K.H. Abdul Wahid Hasyim Al-Majlis al-Islam al-A’la

umum. Para ahli pidato atau da’i ini di gunakan sebagai penyambung gagasan- gagasan Masyumi dan Wahid Hasyim untuk memperkuat rasa persatuan dan persaudaraan umat Islam Indonesia. Di Jakarta diadakan latihan ulama yang didalamnya beliau memberikan pelajaran kedisiplinan dan ceramah-ceramah mengenai pengetahuan umum dan perjuangan. Latihan ini setiap bulannya mengeluarkan 60 kiai yang tersebar di seluruh Jawa. Pada zaman inilah bisa dikatakan sebagai masa emas politik Islam ketika masing-masing golongan bekerja sama dan mengetahui posisinya masing-masing. Muhammadiyah giat mengadakan latihan untuk menolong fakir miskin sedangkan NU giat latihan untuk mempersiapkan kiai-kiainya. Menjelang kemerdekaan 1944 Wahid hasyim pindah di Jakarta karena banyak tenaga dan pekerjaan yang harus dicurahkannya di ibukota. Bisa dikatakan pada tahun inilah fase politisnya dimulai. Apalagi pada tahun 1945 beliau menjadi ketua Masyumi. Organisasi ini bisa dikatakan adalah partai politik Islam terbesar di Indonesia saat itu. Fase ini sebelumnya dimulai ketika Wahid Hasyim yang berada dalam BPUPKI mempersiapkan proklamasi kemerdekaan dengan tujuan menyusun Pancasila, UUD 1945. Di dalam tugas tersebut, Wahid Hasyim mewakili NU juga mewakili MIAI. Kemudian hal itu dilanjutkan ketika beliau menjadi wakil Masyumi masuk kedalam stuktur pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, yaitu dalam kabinet Soekarno sebagai dan dalam kabinet Parlementer sebagai Menteri Agama mewakili Masyumi. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia dan berdiri R.I.S. maka dalam kabinet Hatta 1950 Wahid Hasyim dipilih menjadi Menteri Agama. Jabatan itu terus menerus dipegangnya sampai tiga kali kabinet yaitu dalam kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman. Kiprah Wahid Hasyim dalam Masyumi juga bisa dilihat dari susunan kepengurusan Masyumi dari periode ke periode. Misalnya pada periode 1945 dalam pengurusan Pimpinan Pusat Masyumi Wahid Hasyim menjabat Ketua Muda II bagian Majlis Syuro dan ketua umumnya adalah ayahnya. Kemudian, pada tahun 1949 perubahan kepengrusan Pimpinan Pusat Mayumi, yaitu menghilangkan kepengurusan Majlis Syuro. Wahid Hasyim menjadi salah satu anggota pimpinan pusat Masyumi. Hal ini dilanjutkan kembali pada 1951. Pada periode inilah NU mengalami perselisian kemudian berlajut perpecahan dengan Masyumi dan akhirnya memutuskan keluar dari Masyumi. Namun demikian, bahwa NU keluar dari Masyum lebih disebabkan karena pembagian kursi atau kepentingan politiknya di parlemen dan pemerintahan tidak adil dan menindas NU yang kebanyakan memberikan sumbangsihnya. Wahid Hasyim mengakomodir persoala ini agar tidak jauh menjadi perpecahan. Akan tetapi, ketika sulit diatasi maka beliau lebih memilih untuk memperjuangkan NU dan tetap menjaga hubungan baik dengan kelompok lain dengan mendirikan LMI Liga Muslim Indonesia. 28

e. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Liga Muslim

Pada tahun 1952 Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslim Indonesia LMI, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Serikat Islam Indonesia PSII, Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti, dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan kepengurusannya adalah K.H. A. Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II. 29

4. Karya-karya K.H. Abdul Wahid Hasyim

Wahid Hasyim adalah seorang tokoh yang aktif dan produktif dalam menulis. Namun yang disayangkan adalah belum sampai di cetak sebagai buku. Banyak artikel beliau baik yang menyangkut keagamaan, pendidikan maupun tentang politik di publikasikan di berbagai majalah dan koran. Dan pemikiran beliau di kumpulkan dalam buku yang diterbitkan oleh Kementrian Agama serta banyak para cendikia yang menuliskan pemikiran beliau dalam bentuk buku. Buku-buku yang membahas Kehidupan, pemikiran dan perjuangan beliau mungkin sudah tidak bisa ditemukan dipasaran lagi, seperti Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Kemudian, K.H. A. Wahid Hasyim 28 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 68-70 29 Ensiklopedi Islam, op. cit., hal. 164