memberikan pemahaman akan potensi-pontensi setiap individu. Oleh karena itu Wahid Hasyim berpendapat bahwa tidak selayaknya tujuan
pendidikan di lingkup pesantren hanya berorientasi dalam cakupan yang kecil, dan hanya bercita-cita untuk menghasilkan lulusan jebolan yang
berpengetahuan agama yang mendalam ahli agama ulama. Menurut beliau penguasaan ilmu agama yang luas dan dalam
bukanlah jaminan untuk memastikan baiknya keagamaan seseorang dan sebaliknya ada perilaku seseorang yang menunjukkan keagamaan yang
baik yang berasal dari orang yang keberagamaannya tidak lebih baik. Beberapa alasan Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian;
yaitu: 1 Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan
tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari kyai berbagai pesantren.
2 Para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang dituls dengan bahasa non-arab.
3 Para santri dapat menfokuskan waktu untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan ketrampilan lainnya yang dapat
digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat.
47
Dengan itulah K.H. A. Wahid Hasyim berinisiatif untuk merombak dan mengembangkan tujuan pendidikan Islam, dengan menyarankan agar
tidak semua santri dicetak untuk menjadi ulama atau ahli agama. Maksud beliau itu agar santri bukan semata-mata mencari ridho Allah swt.
Melainkan mampu beradabtasi dengan lingkungan masyarakat, kreatif, berketrampilan dan bertanggung jawab. Dan ide ini sekarang dikenal
dengan life skill education. Walau demikian Wahid Hasyim tetap berharap adanya sebagian
santri yang betul-betul menjadi ulama dan ahli agama. Sesuai dengan tulisannaya:
“..Ini tidaklah berarti bahwa saya tidak menyetujui orang mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan bahasa
yang mengandung bahasa Arab. Maksud saya ialah tidak menyetujui mengarabkan angkatan generasi kita yang akan
47
Muhammad Rifai, op. cit., hal. 54.
datang dengan memakai bahasa dan istiadat Arab yang berbeda dari bahasa dan istiadat Indonesia.
Dalam pada itu bagi orang yang ingin menjadi betul tentang ilmu agama Islam, maka tiada lain jalannya kecuali melalui bahasa yang
mengandungnya. Akan tetapi hal itu hanya bagi orang-orang ahli
yang sedikit jumlahnya.”
48
Menurut Shofiyullah Mz, bahwa tujuan pemikiran dari Wahid Hasyim lebih bercorak subtantif dan inklusif, dan lebih indah lagi jika
corak pemikiran tersebut dapat diwarisi oleh generasi bangsa sekarang.
49
Dengan demikian dapat dipahami tujuan pendidikan menurut Wahid Hasyim harus memenuhi kebutuhan akhirat ukhrowi dan Duniawi. Serta
moral dan akhlak. Seperti tulisan beliau tentang Ilmu pengetahuan dan Ketuhanan:
“..Dua kemungkinan itu kuncinya terletak pada pendidikan, baik mengenai pendidikan kecerdasan, maupun pendidikan jiwa
rohani, ataupun pendidikan badan jasmani. Dengan perkataan pendidikan di sini tidaklah diartikan secara falsafah yang berurat
dengan dalamnya.”
50
Inilah preogresifnya Wahid Hasyim yang mana sudah jauh mencanangkan untuk martabat para santri, agar santri tidak dianggap
remeh dan bisa dikatakan sejajar atau lebih tinggi dari kelompok lain. Jadi Tujuan Pendidikan menurut Beliau ialah mengembangkan
pendidikan Islam pesantren dan menyarankan agar tidak semua santri dicetak menjadi ulama, dan orientasi pendidikan Islam kepada kebutuhan
masyarakat sesuai perkembangan zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yang baik.
b. Kurikulum Pedidikan Islam
Pada zaman kolonial Belanda, Umat Islam mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam dan dikelola kolonial.
Sistem pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern,
48
K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 823.
49
Shofiyullah Mz ed, op. cit., hal. 71.
50
K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 78.
liberal dan netral agama. Kenetralan Belanda terhadap agama tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen daripada Islam.
51
Spesialis masing-masing lembaga pendidikan jelas berbeda, jika lembaga pendidikan umat Islam kajian ilmu-ilmu agama saja sedangkan lembaga
pendidikan Belanda lebih menekankan kepada ilmu-ilmu umum atau non- agama.
Dalam konteks ini upaya Wahid Hasyim yang dilakukkan adalah menengahi perbedaan dua sistem pendidikan diatas. Kepedulian Wahid
Hasyim terhadap pendidikan umat Islam Indonesia khususnya kalangan pesantren, yaitu mencoba memperbaiki sistem pendidikan Islam Indonesia
dengan memodernisasi sistem pendidikan pesantren yang nyatanya kurang ikut perkembangan zaman.
Sifat keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup maju dapat dilihat ketika beliau mengusulkan
adanya perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang ditawarkan adalah dimasukkanny
a ilmu pengetahuan “sekuler” dalam kurikulum pesantren dengan harapan santri tidak hanya menguasai ilmu keagamaan,
tetapi menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat, sehingga santri, dalam pandangannya, menjadi manusia yang sempurna. Di satu sisi santri
menjadi ahli agama, di sisi lain santri siap bersaing dengan koleganya yang berasal dan sekolah “sekuler” dalam memperebutkan lapangan
pekerjaan.
52
Bentuk realisasi dari gagasan pembaruan pendidikan Wahid Hasyim yaitu dengan didirikannya sekolah atau lembaga pendidikan yang
bernama Madrasah Nizhamiyah.
53
Di mana 70 kurikulumnya berisi materi pelajaran umum.
51
Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005, hal. 53
52
Achmad Zaini, op. cit., hal. 2
53
Madrasah Nidhzamiyah berdiri tahun 1934 dan direstui oleh ayahandanya tahun 1935. Pada awal ruang pengajarannya di Serambi Masjid Tebuireng dengan siswa 29. Ini adalah
terobosan pendidikan, karena pertama kali pesantren yang mengembangkan penjaran umum 70. Lihat Shofiyullah Mz ed, op. cit., hal. 37.
Ide Wahid Hasyim yang mengembangkan pendidikan umum dengan prosentase lebih besar dari pendidikan Islam, itu bukan tanpa
alasan, karena menurut pandangan beliau bahwa santri diajari pelajaran agama secara meluas dan mendalam, sebagian santri tidak akan menjadi
ulama. Karena Wahid Hasyim ingin membekali santri dengan ketrampilan untuk bekal di masyarakat.
Materi pelajaran yang diberikan meliputi aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam sedang untuk bahasa meliputi bahasa
Indonesia, Inggris dan bahasa Belanda. Dan ketrampilan mengetik.
54
Lembaga pendidikan Nidhzamiyah memberikan materi yang beragam, dari bahasa dan ilmu pengetahuan umum dikarenakan bahasa-
bahasa asing dan ilmu pengetahuan umum tersebut untuk konteks perjuangan bangsa Indonesia yang sedang dijajah. Namun tidak
melupakan bahasa Indonesia yang nantinya untuk mempersatukan Indonesia.
Seperti tulisan Wahid Hasyim yang menyatakan, hanyalah sebagai bukti bahwasannya kemajuan bahasa itu berarti kemajuan bangsa:
“...Penulis senang kepada orang yang berbahasa asing dan setuju juga, karena kecuali termasuk menunaikan kewajiban sebagai
putera Timur yang muslim yang diharuskan menuntuk akan sekalian kepandaian yang ada diatas jenapa ini dan ilmu
pengetahuan yang beraneka ragam itu, pun penulis pernah juga belajar sekalipun hanya satu ONE dan ONE atau se EEN du EEN
tetapi dalam selama kita belajar itu, kita harus tetap mempunyai anggapan dan kepercayaan bahwasannya kita putra Indonesia, kita
mempunyai bahasa sendiri
”.
55
Berkaitan dengan di atas Wahid Hasyim mendirikan perpustakaan untuk meningkatkan kebiasaan membaca. Selain 1.000 judul buku. Bagian
perpustakaan berlangganan majalah dan surat kabar, yaitu Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam,
al-Munawwarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan
54
Achmad Zaini, op. cit., hal. 38.
55
K.H. A. Wahid Hasyim, Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 66.
Penyebar Semangat. Ketujuh urutan pertama jurnal tersebut diterbitkan oleh berbagai organisasi Islam di tahun 1930-an, baik modernis maupun
traisionalis. Keempat jurnal yang terakhir diterbitkan oleh kelompok “Nasionalis”. Dari kesebelas jurnal tersebut, hanya Berita Nahdlatul
Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Kesediaan Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan
surat kabar milik kaum Is lam modern dan kelompok “Nasionalis”
merupakan gambaran pribadinya yang progresif.
56
Dalam pembaharuan ini Wahid Hasyim tidak lepas dari kritik. Segala kritik, segala serangan mengenai usahanya dari segala golongan,
tidak diindahkan oleh Wahid Hasyim, semuanya itu disambut dengan tenang dan beliauberjalan dengan keyakinannya sebagai idealis.
57
Yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan terobosan baru dikalangan pesantren. Padahal pada saat itu mata pelajaran non-agama
masih dianggap tabu karena dianggap identik dengan Barat. Saat itu usia beliau baru 21 tahun.
Hal ini Wahid Hasyim mengatakan bahwa: “Kalau dulu orang mengartikan pendidikan Barat itu pada
umumnya sebagai suatu cara pendidikan yang didasarkan atas pengetahuan Barat, adat-istiadat Barat, bahasa Barat secara yang
lahir, maka di sini yang dimaksud dengan Barat adalah lebih dari itu. Pendidikan yang didasarkan pada filsafat Barat yang pokok
yaitu kebendaan materialisme walaupun wadahnya sudah dinasionalkan dengan adat-istiadat nasional dan bahasa nasional
”.
58
Tulisan Wahid Hasyim di atas itu mengenai ketidak setujuan beliau terhadap pandangan masyarakat pesantren pada saat itu, yang menganggap
pendidikan umum atau non-agama itu dikategorikan dalam keilmuan yang negatif. Karena pada waktu itu Barat Belanda adalah musuh besar untuk
masyarakat Indonesia. Menurut beliau yang dimaksud dengan Barat Itu
56
Shofiyullah Mz ed, op. cit., hal. 177.
57
Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 153.
58
K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 803.