sepupunya tersebut. Semenjak itu Wahid Hasyim menjadi seorang kutu buku. Berbagai buku, majalah dan jurnal dibacanya, baik itu ditulis dalam bahasa
Indonesia, Jawa maupun Arab. Dia juga berlangganan beberapa jurnal dan majalah dalam negeri dan luar negeri, seperti Penyebar Semangat, Daulat Rakyat,
Pandji Pustaka, Umm al- Qura’, Shaut al-Hijaz, al-Latha’if al-Musawarah,
Kullusha’in wa al-Dunya dan De Locomotif. Kemampuan membaca huruf latin mengantarkan Wahid Hasyim mengenal
ilmu pengetahuan “sekuler” dan berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda dan Inggris. Disamping dia mempelajari ilmu dan bahasa tersebut secara otodidak
dari Sumber Pengetahuan, majalah tiga bulanan, Wahid Hasyim belajar juga kepada Imam Sukarlan
12
, Moh. Ilyas
13
, dan beberapa santri ayahnya yang mempunyai kemampuan dalam bidang tersebut. Hal ini dimungkinkan karena
santri yang belajar dari Tebuireng datang dari berbagai lapisan dan daerah, yang mana sebagian mereka pernah belajar di sekolah-sekolah Belanda.
Wahid Hasyim juga tercatat sebagai anggota perpustakaan di Surabaya. Tidak seperti anggota lainnya yang membaca berdasar sesuatu yang menjadi
keinginan interes mereka, Wahid Hasyim membaca semua buku yang tersedia di perpustakaan, bahkan dilaporkan bahwa dia meminjam berdasarkan nomor buku
secara berurutan. Sayangnya, informasi berkaitan dengan hal ini sangat sedikit. Bisa jadi bener bahwa dia membaca seluruh buku yang ada dikarenakan jumlah
buku yang tersedia masih sangat terbatas, atau dia mereview buku tersebut untuk melihat isi buku, kemudian dia membaca secara selektif sesuai dengan minatnya.
Singkatnya, melalui otodidak, pengetahuan yang didapat sangat luas mulai tafsir, hadis, fiqih, sampai pegetahuan tentang sejarah, politik, dan filsafat.
14
Kegemaran membacanya kian meningkat, sampai-sampai Wahid Hasyim harus menggunakan
kaca mata.
15
Ini semua bekal ilmu pengetahuan yang luas ini menjadikan modal
12
Imam Sukarlan adalah Guru pada Taman Siswa yang belajar ilmu keislaman sekaligus mengajar bahasa Belanda di Tebuireng.
13
Moh. Ilyas adalah saudara sepupu Wahid Hasyim. Dia adalah alumni sekolah Belanda, Holland Inlandsche Scholen HIS di Surabaya. Di Tebuireng, Ilyas selain belajar ilmu keislaman
juga mengajar bahasa Belanda dan Sains.
14
Achmad Zaini, op.cit., hal. 14
15
Lihat Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 146
utama untuk mengajar di Tebuireng dan sekaligus bahan untuk ceramah dan pengajian.
Pada tahun 1931 mulailah Wahid Hasyim mengajar kitab “Ad-Durarul Bahiyah
” dan “Kafrawi” kepada murid-muridnya di malam hari, dan kadang- kadang ia diminta untuk berpidato, kalau kebetulan ada rapat umum. Pendek kata,
pengaruhnya sudah mulai tampak sekalipun masih samar-samar.
16
Ketika menginjak umur 17 tahun 1932-1933, beliau dikirim ayahnya belajar selama 1 tahun di Mekkah, disamping untuk menunaikan ibadah haji
dengan ditemani Moh. Ilyas sepupunya, yang telah banyak berjasa pada pembentukan kecerdasan dan pribadi Wahid Hasyim. Pergaulan dengan
bermacam-macam bahasa Islam yang sama ke Mekkah untuk kepentingan Ibadah dan menuntut Ilmu pengetahuan agama, membuat wahid Hasyim luas cara
berfikirnya dan tidak sombong ta’ashub dalam menghadapi suatu persoalan.
Disamping belajar ilmu pengetahuan, bersama Moh. Ilyas beliau turut menginsafkan masyarakat Indonesia di Mekkah menurut ukuran kebangsaannya,
berupa menentang pelecehan penghinaan-penghinaan yang pada waktu itu ditujukan kepada bangsa Jawa.
Setelah kurang lebih satu tahun di Mekkah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia. Selain sebagai seorang Ulama, beliau menjadi staf pengajar di
Tebuireng. Beliau juga ditunjuk menjadi asisten badal ayahnya yang tugasnya, antara lain menjaga kesinambungan proses belajar mengajar PBM, menjawab
surat-surat yang berkaitan dengan fiqih yang di tujukan kepada ayahnya dan mendatangi pengajian atau ceramah. Hal yang demikian itu sudah menjadi pola
kaderisasi di pesantren, seorang Gus yang dikirim ke Mekkah dan sekembalinya dari Mekkah setatusnya bukan lagi sebagai santri ayahnya melainkan sebagai staf
pengajar dan harus siap suatu saat menggantikan ayahnya dalam memimpin pesantren.
17
Selanjutnya Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya pada usia sekitar 25 tahun dengan menikahi Solehah binti K.H. bisyri Syamsuri, pendiri dan
16
Ibid., hal. 147
17
Ruchman Basori, op. cit., hal. 67-68.
pimpinan Pesantren Denanyar Jombang serta salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari perkawinan ini Wahid Hasyim
dikaruniai 6 anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah Abdurahman ad- Dachil Sekarang lebih dikenal dengan Abdurahman Wahid Gus Dur, Persiden 4
RI, Aisyah, Salahuddin Al-Ayyubi dikenal dengan Shalahuddin Wahid dan sekarang Pemimpin Pesantren Tebuireng, Umar, Lily Chadijah, dan Muhammad
Hasyim.
18
3. Organisasi K.H. Abdul Wahid Hasyim
a. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Ikatan Pelajar Islam IKPI
Untuk mengorganisasikan kegiatan para pemuda dan santri, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam IKPI pada tahun 1936. Beliau sendiri
yang langsung menjadi pemimpinnya. Ussaha ikatan ini antara lain mendirikan taman bacaan.
19
Tidak lama ikatan pelajar itu telah beranggotakan lebih dari 300 orang. Lalu beliau mendirikan sebuah taman bacaan atau bibliotheek, yang menjadikan
tidak kurang dari 500 buah kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda. Kitab- kitab bacaan itu terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda,
Belanda, dan Inggris. Suatu kemajuan yang sangat luar biasa pada pesantren pada saat itu.
20
b. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Nadhlatul Ulama NU
Nahdlatul Ulama NU, artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M 16 Rajab 1344 H
di Surabaya. Lahirnya NU berkaitan dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan
politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz Mekkah yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran
18
Lihat Azyumardi Azra; Saiful Umam ed., op. cit., hal. 102.
19
Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hal. 163
20
Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 154
Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni yang sudah berjalan sejak lama di Tanah
Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan lainnya akan
dilarang, bahkan Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan kekuasaanya ke seluruh dunia. Dari sinilah
akhirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan.
21
Hampir warga NU yang berada di desa, baik yang berprofesi sebagai petani, pedagang, buruh, maupun tukang, dalam menjadi warga NU lebih
mempertimbagkan emosional. Kebanyakan dari mereka menjadi warga NU karena keluarga, tetangga, majikan, sahabat, dan tokoh yang menjadi panutan
mereka. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada diri Wahid Hasyim. Beliau memiliki
pertimbangan tersendiri ketika terjun dalam organisasi pergerakan. Padahal saat itu beiau sudah terkenal sebagai tokoh muda yang cerdas, apalagi ia seorang anak
dari pendiri NU. Banyak tawaran dari berbagai organisasi agar ia berkiprah dalam berbagai organisasi tersebut. Akan tetapi, Wahid Hasyim melihat saat itu berbagai
organisasi tersebut selalu saja ada kekurangannya. Apakah itu massnya, kurang militan-radikal-revolusioner, ataupun kurang banyak kaum terpelajar dalam
organisasi pergerakan tersebut. Oleh sebab itu beliau membutuhkan empat tahun lamanya sebelum
akhirnya berkeputusan bergabung dengan NU. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim bergabung dengan Nahdlatul Ulama
NU. Alasan beliau adalah tidak ada satu pun perhmpunan yang 100 memuaskan atau sempurna. Masing-masing ada kekurangannya, maka harus
dipilih yang paling ringan kekurangannya. Dari sini, beliau memakai ukuran keradikalan ketangkasan dan kecepatan, NU jelas bukan. Akan tetapi, NU
adalah organisasi yang mengalami perkembangan pesat dengan cabang di mana- mana. Jadi, apa artinya radikal jika selama 10 tahun hanya mempunyai sepuluh
cabang. Sementara NU yang dikatakan lambat bergerak itu sudah mempunyai
21
Soeleiman Fadeli dkk, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, Surabaya: Khalista, 2007, hal. 1-2.
cabang 60 di berbagai daerah dan hampir merata di seluruh Indonesia.
22
Melihat kenyataan ini beliau mengenyampingkan ukuran radikalisme, beliau memandang
bahwa yang terpenting bukanlah kegagalan dalam berjuang, melainkan hasil dari perjuangan itu sendiri. Dari sini bisa kita lihat karakter berfikir Wahid Hasyim
yaitu satu sisi beliau terlihat sebagai sosok yang tradisionalis dan di sisi lain tentunya jalur radikal. Akan tetapi beliau melihat NU mempunyai prospek yang
bagus kedepannya dari pada organisasi yang lainnya. Dalam karir dan perjuangan di NU ini, Wahid Hasyim tidak langsung
menjadi tokoh penting. Padahal, jika beliau mau, bisa saja beliau menjadi seorang tokoh dalam NU, apalagi beliau adalah anak tokoh salah satu pendiri organisasi
NU yang saqngat dihormati oleh para ulama sepuh. Namun, beliau memulai karir dan perjuangannya di tubuh NU dari bahwa sekali.
Karirnya di NU dimulai sebagai penulis ranting NU Cukir, kemudian dipilih beliau menjadi Ketua NU Jombang, dan kemudian pada 1940 beliau
menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif Pendidikan.
23
c. K.H. Abdul Wahid Hasyim Al-Majlis al-Islam al-A’la
al-Indonesia MIAI
MIAI merupakan gabungan dari ormas-ormas Islam yang berdiri atas prakarsa dari K.H. Abdul Wahab dari NU, K.H. Mas Mansur dan K.H. Ahmad
Dahlan dari Muhammadiyah serta W. Wondoamiseno dari Serikat Islam. pada tahun 1937 M di kota Surabaya.
24
MIAI dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Majlis Islam Tinggi.
Kiprah Wahid Hasyim dalam organisasi MIAI ini bisa dikatakan penting selain karena kepribadiannya yang terbuka, mudah bergaul, berpengethuan yang
luas, dan kepandaiannya, juga karena pengaruh ayahnya, K.H. M. Hasyim Asyari, yang sebenarnya ditunjuk oleh para ulama dan para pemuka Islam kala itu
menjadi pemimpinnya organisasi tersebut. K.H. M. Hasyim Asyari menerima
22
Muhammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Jogjakarta: Garasi, 2009, hal. 58
23
Ibid., hal. 60
24
Shofiyullah Mz ed, K.H. A. Wahid Hasyim, Sejarah Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011, Cet I, hal. 276.
dirinya ditunjuk sebagai penasehat MIAI, tetapi pendelegasian dan pelimpahan tugas-tugas atas kepemimpinan organisasi tersebut dilimpahkan kepada anaknya,
yaitu Wahid Hasyim. Wahid Hasyim masuk ke dalam MIAI dan berkiprah di sana ketikan MIAI
mengadakan kogres pada 1939. Dalam kongres tersebut, beliau terpilih sebagai ketua MIAI mewakili dari NU. Organisasi yang bergabung dalam MIAI pada
1941 antara lain: PSII, PBII, Muhammadiyah, Persatuan Ulama Indonesia, Persis, Nahdlatul Ulama, Ijtihadul Islamiyah, Al-Islam, Al-Irsyad, PAI, Musyawaratun
Thalibin, dan Jamiatul Washilah. Kiprahnya Wahid Hasyim adalah menjaga persaudaraan antar-umat Islam
bisa dilakukan dengan konsekuen. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan kesamaan ketimbang perbedaan di antara golongan, aliran, dan perbedaan mazhab
Islam di Indonesia. Perjalanan Wahid Hasyim dalam organisasi ini relatif tidak banyak. Pada
1941 beliau mengundurkan diri dari MIAI dan mengundurkan diri pula di PBNU ketua bidang Ma’arif NU, dengan alasan dipanggil ayahnya untuk megasuh
Pesantren Tebuireng karena ayahnya sudah lanjut usia.
25
Dengan demikian beliau hanya menjadi anggota biasa di MIAI. Tidak lama MIAI dibekukan oleh Jepang,
kemudian menjadi Masyumi.
d. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Masyumi
Pada tahun 1943 didirikan Masyumi di Jakarta pada masa pendudukan tentara Jepang di bawah pimpinan K.H. Mas Mansur sebagai ketua dan Wahid
Hasyim sebagai wakil ketua. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka timbullah fikiran dari
pemuka-pemuka Islam, di antaranya M. Nasir dan Wahid Hasyim hendak mengadakan Mu’tamar Islam dari segala golongan seluruh Indonesia. Akhirnya
diadakanlah: Kongres Umat Islam di Yogyakarta Nopember 1945. Pada waktu itu lahirlah satu partai politik baru dengan nama Masyumi.
25
Muhammad Rifai, op. cit., hal. 65-66.