Latar Belakang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim

andil dan sumbangsih Wahid Hasyim menjadi ketua Majlis A’la Islam Indonesia MIAI, ditunjuk menjadi salah seorang anggota PPM sampai dipilihnya dia sebagai menteri agama menunjukkan bahwa perannya sangat signifikan dalam rangka merebut kemerdekaan dan mempersatukaan wilayah Indonesia. 37 Wahid Hasyim adalah sosok pejuang yang cerdas, pragmatis dan tokoh muda yang menjadi ketua Departemen Ma’arif PBNU, ketua MIAI, ketua Masyumi, perintis berdirinya Hizbullah, pendiri Sekolah Tinggi Islam Jakarta, Kepala Jawatan Agama Pusat Shumubucho, anggota termuda BPUPKI, penasehat Panglima Besar Jendral Sudirman, Ketua Umum PBNU, Menteri Agama. 38 Dan juga kyai Wahid Hasyim adalah sosok konseptor pendidikan Indonesia yang sangat tangguh yang dibuktikan oleh kemampuannya menjadikan Kementrian Agama sebagai Pengelola pendidikan bagi generasi muda Indonesia. 39 Di abad ini Tradisi Pesantren telah melahirkan budayawan agung kyai Wahid Hasyim, tokoh pembangunan Peradaban Indonesia Modern, setaraf kualitas dan kelasnya dengan pendiri Peradaban Melayu Islam Nusantara antara abad ke-13 dan ke 17; Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf Singkel, dan Nuruddin Arraniri. 40 Meneliti gagasan dan pemikiran Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan, merupakan suatu hal yang sangat menarik. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini peneliti merumuskan konsep pemikiran pendidikan Wahid Hasyim dalam tiga aspek, yaitu a Tujuan Pendidikan Islam, b Kurikulum Pendidikan, dan c Metode Pembelajaran.

a. Tujuan Pendidikan Islam

Sebelum menuju sub pembahasan Wahid Hasyim, ada beberapa faktor pembaharuan pendidikan yang di formulasikan oleh Wahid Hasyim yaitu ada dua hal secara historis melatarbelakangi pembaharuan. Pertama, 37 Achmad Zaini, op. cit., hal. 1-3. 38 Saifullah Ma’shum, op. cit., hal. 299. 39 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011, hal. 149 40 Ibid., hal. 37. kondisi umat Islam yang terbelakang dalam hal pendidikan, yang berdasar pada kesadaran pentingnya pendidikan dalam rangka membangun bangsa. Kedua, sentimen negatif Wahid Hasyim terhadap kolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait hak-hak untuk mengenyam pendidikan, begitu pula nasionalisme yang dibangun anak bangsa yang merambah dan mewujud dalam bentuk reformasi pendidikan Islam sebagai peneguhan atas eksistensi identitas umat Islam juga sebagai perlawanan terhadap pemerintah kolonialisme. 41 Kedua faktor diatas itulah yang melatarbelakangi Wahid Hasyim dalam melakukan perubahan pendidikan Islam di Tebuireng. Setiap orang mengenal bahwa pesantren pada masa awal merupakan suatu lembaga pendidikan klasik dan tradisional di negeri ini. 42 Termasuk Pesantren Tebuireng. Pesantren ialah tempat di mana anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari bahasa Arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik kitab kuning karangan ulama-ulama besar. Mereka yang berhasil dalam belajaranya memang diharapkan menjadi kyai, ulama, muballigh, setidak-tidaknya guru agama. 43 Pesantren yang semula mempunyai tujuan untuk menjadikan kyai, ulama dan muballigh mendapat respon dari masyarakat, terutama orang tua yang mempercayakan kepada kyai dan mendidik anaknya agar kelak memahami agama secara mendalam dan pada akhirnya harapan untuk menjadikan anak-anaknya sebagai tokoh agama. “......orang tua-tua masa lalu mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anaknya harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya, kurangnya kesedian 41 Shofiyullah Mz ed, op. cit., hal.361 42 Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal. 224. 43 M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet ke-3, hal. 2 anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern.. ”. 44 Dengan demikian tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan menegakan Islam dan kejayaan umat. 45 Dari latar belakang itulah tujuan pesantren dirumuskan hanya mencetak para ulama dan ahli agama belaka, dengan kata lain pesantren tidak menerima atau menolak pelajar umum masuk dalam kurikulum pesantren. Dengan alasan tidak sesuai dengan tujuan pesantren tersebut. Kecenderungan belajar di pesantren yang demikian, menggugah Wahid Hasyim untuk memberikan alternatif lain kepada santri. Yang menyarankan kepada sebagian santri tidak untuk menjadi ulama. Hal tersebut senada dengan kenyataan pada waktu itu sebagian santri yang mondok bertujuan tidak untuk menjadi ulama. Pemikiran Wahid Hasyim pula, dapat dilihat dari tulisannya tentang “Pentingnya Terjemah Hadits pada Masa Pembangunan”. Wahid Hasyim mengatakan bahwa: “...Untuk menjadikan orang beragama tidak perlu orang itu diharuskan ditentukan mempunyai ilmu agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya, orang yang berpengetahuan agama tidak mesti menjadi orang yang beragama dengan baik. Acap kali kita dapatkan seorang yang tidak berpengetahuan agama dengan luas dan dalam, beragama lebih sempurna dari orang yang berpengetahuan agama, dalam arti yang dalam dan luas. Juga sering kita dapatkan irang yang mengerti betul ilmu-ilmu agama dengan sedalam-dalamnya, perbuatannya tidak memberikan nama baik sebagai orang b eragama” 46 Tulisan Wahid Hasyim di atas, bukan semata-mata beliau anti terhadap pengetahuan agama melainkan upaya Wahid Hasyim dalam 44 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, K.H.A. Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU?, Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985, hal. 71. 45 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, Jakarta: Erlangga, tt, hal. 4. 46 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 70.