Metode Pembelajaran Konsep Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim
otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduanpetunjuk kehidupan dunia.
66
Modernisme muncul karena beberapa faktor, antara lain kontak dengan Barat, kesadaran reinterpretasi ajaran agama, kejumudan
67
dan taqlid.
68
Yang dimaksud dengan dasar-dasar modernisme dalam Islam di sini adalah dasar-dasar pemikiran ulama dan cendikiawan muslim guna
mengembangkan analisa mereka dalam memperjuangkan ajaran Islam yang universal.
69
Kenyataannya pendidikan Islam Indonesia pada zaman Belanda mengalami nasib yang tragis, di mana pendidikan Islam pada saat itu dianak
tirikan, bahkan penduduk asli bumi putera diperlakukan sebagai penduduk kelas nomer tiga, karena kelas nomer tiga itu kelas paling rendah di negeri ini. Di mana
orang Belanda sebagai kelas nomor satu, orang asing termasuk Cina sebagai kelas dua, sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga.
70
Dari latarbelakang itulah para cendikiawan muslim mencoba memperbaru pendidikan Islam, yang mana agar Indonesia dipandang dan pendidikan Islam di
Indonesia mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan tradisi lama. Salah satu tokoh pembaharu pendidikan Islam adalah K.H. Abdul Wahid Hasyim
merombak sistem pesantren Tebuireng, metode pembelajaran dan tujuan pendidikannya.
Maka Wahid Hasyim mencoba untuk mengoreksi harapan expectation santri belajar di pesantren. Beliau mengusulkan agar kebanyakan santri yang
datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dan buku-buku yang ditulis dengan huruf latin, dan menghabiskan
waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan
66
Qurroti A’yun’s Blog, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Link http:aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan-Islam
. Diakses pada tanggal 28 Maret 2013.
67
Jumud adalah mandek atau statis dan baku. Lihat M. Dahlan Y. Al-Barry, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Surabaya: Target Press, 2003, hal. 346.
68
Taqlid adalah mengikuti sesuatu tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Lihat Ibid., hal. 757.
69
T.H. Thalhas, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan K.H. M. Hasyim Asy’ari, Jakarta:
Galura Pase, hal. 10.
70
Mansur dkk, op. cit., hal. 55
menguasai ketrampilan yang berguna langsung di tengah masyarakat di mana mereka berada.
Akhirnya pada tahun 1935 Wahid Hasyim mendirikan sekolah yang bernama Nizhamiyah, dengan kurikulumnya 70 pelajaran umum dan 30
pelajaran agama. Yang mana di ajarkan aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam dan bahasa Indonesia, Belanda serta ketrampilan mengetik.
Tidak cukup disitu Wahid Hasyim juga mendirikan perpustakaan yang bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca para santri.
71
Dengan didirikannya Madrasah Nizhamiyah, beliau tidak lepas dari kritikan. Antara lain kritikan yang datang itu dari kalangan ulama dan masyarakat.
Anggapan ulama bahwa ide pembaharuan Wahid Hasyim sebagai upaya mencapur adukan ajaran agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian yang
mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih dianggap produk bangsa kolonial.
72
Beliau tidak mengindahkan dengan adanya kritikan tersebut. Melainkan melanjutkan
pembaharuan yang sudah dirancangnya. Keberhasilan Madrasah Nizhamiyah sebagai pilot project dalam
memodernisasi pesantren merupakan langkah awal bagi Wahid Hasyim dalam mengembangkan reformasi pendidikan di kalangan kaum tradisional. Sejak
beberapa kyai mengadopsi sistem madrasah di pesantrennya, kurikulum yang diterapkan bervariasi disesuaikan dengan keahlian yang dimiliki oleh pesantren
tersebut dan tersedianya guru.
73
Hasil dan pembaharuan pendidikan di Tebuireng sangat meggembirakan dengan masuknya orang-orang NU di departemen-
departemen. Sebagai contoh, ketika Wahid Hasyim ditunjuk menjadi asisten ayahnya sebagai mentri agama di masa penjajahan Jepang mengajukan usulan
agar dibentuk Shumuka kantor cabang kementrian agama di tiap residen, dia dengan mudah menunjuk beberapa lulusan Tebuireng dan lulusan pesantren
lainnya yang layak menduduki posisi tersebut.
74
71
Achmad Zaini, op. cit., hal. 37-39.
72
Ibid., hal. 41.
73
Ibid., hal. 42.
74
Ibid., hal. 44.
Setelah bangsa Indonesia memenangkan “Perang Revolusi” melawan Belanda, Presiden Soekarno mengangkat K.H. A. Wahid Hasyim menjadi Mentri
Agama Republik Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949, dua hari setelah ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar KMB di Denhag. Belanda
menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia Serikat RIS kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta pada penutupan sidang KMB yang memungkinkan Bung Karno
segera membentuk Kabinet RIS Pertama tanggal 29 Desember 1949. Wahid Hasyim selaku Menteri Agama segera menyiapkan langkah-
langkah untuk mewujudkan impiannya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai modal untuk memahami ajaran-ajaran Islam, menjadikan al-
Qur’an dan Hadist sebagai tuntutan moral yang dapat menjiwai hati dan pikiran dalam upaya
membangun peradaban Indonesia Modern. Langkah-langkah beliau sangat konkrit. Dalam waktu enam bulan setelah
menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri PGAN di hampir setiap keresidenan, Sekolah Guru dan Hakim Agama
Negeri SGHAN di Yogyakarta, Bukittinggi, Bandung, Malang, serta mendirikan Perguruan Tinggi Agama Negeri PTAIN di Yogyakarta.
75
Pemikiran pendidikan guru berangkat dari pemikiran beliau bahwa guru yang mengajar di madrasah hanya lulusan HIS atau pesantren, sehingga dinilai
masih kurang ilmunya untuk menjadi guru, itu sebabnya berdirinya pendidikan guru agama di setiap provinsi dan kabupaten.
Enam tahun sebelum menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim mendirikan Sekolah Tinggi Islam. Sekolah yang diasuh K.H. Kahar Muzakkir ini berdiri di
gedung Kantor Imigrasi, Gondangdia, Jakarta, pada 1944. Dari sekolah itulah bermacam Perguruan Tinggi Islam yang ada di negeri ini berhulu.
76
Empat tahun kemudian tepatnya tahun 1948, sekolah ini berubah menjadi Universitas Islam Indonesia UII dengan empat fakultas: pendidikan, agama,
hukum dan ekonomi. Universitas tertua itu sejak didirikan hingga kini berada di Yogyakarta.
75
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hal. 152.
76
Seri Buku Tempo, op. cit., hal. 78.