METODOLOGI PENELITIAN Pemikiran K. H. Abdul Wahid Hasyim Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam

38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim

Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 atau bertepatan dengan tanggal 5 rabi’ al-Awwal 1333 di Jombang, Jawa Timur. Dia adalah putra Kyai Haji K.H Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama NU. 1 Dari pasangan K.H. M. Hasyim Asy’ari – Nyai Nafiqoh binti Kyai Ilyas Madiun. Wahid Hasyim adalah anak kelima K.H. M. Hasyim Asy’ari dan Nafiqah, dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi A. Wahid Hasyim. Dan kemudia, dia lebih dikenal dengan Wahid Hasyim. 2 Ada cerita menarik tentang bayi Wahid Hasyim. ibunya setiap kali mengandung selalu payah. Kepayahan tersebut dirasakan lebih parah ketika mengandung Wahid Hasyim, sehingga di khawatir jika bayi yang sedang dikandungnya itu tidak sempurna. Dalam suasana seperti itu, dia bernazar; 1 Achmad Zaini, K.H. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011, hal. 7 2 Azyumardi Azra; Saiful Umam ed., Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial- Politik, Jakarta: PPIM, 1998, hal. 99 seandainya bayinya itu selamat dan tidak kurang suatu apa, dia akan bawa berkunjung ke Kyai Kholil, di Bangkalan, Madura, yang juga guru K.H. M. Hasyim Asy’ari. Tradisi nazar memang suatu hal yang biasa dalam tradisi pesantren, begitu juga mengunjungi rumah kyai terkenal. Nazar ini dilaksanakan ibunya ketika Wahid Hasyim berusia sekitar 3 bulan. Ketika mereka sampai dirumah Kyai Kholil, hari sudah malam dan turun hujan. Namun apa yang terjadi? Mereka tidak diperbolehkan masuk ke rumah tetapi juga tidak diizinkan pergi dari tempat itu. Mereka diminta untuk tetap di depan rumah sambil kehujanan. Ketika hujan makin deras, sang ibu meletakan anaknya di lantai halaman rumah Kyai Kholil, agar terlindung dari hujan, karena khawatir anaknya jatuh sakit. Tapi Kyai Kholil melarang hal ini dan memerintahkan sang ibu untuk mengambil kembali anaknya. Kejadian ini diyakini sebagai pertanda bahwa sang bayi akan menjadi orang yang luar biasa. 3 Konon cerita itu adalah kilas balik dari keberhasilan K.H. Abdul Wahid Hasyim menjadi orang besar di negara ini dan menjadikannya pribadi yang perfikir kedepan, dan diyakini sebagai pertanda bahwa beliau akan menjadi orang yang luar biasa. Itu semua tidak lepas dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga ulama masyhur, perintis pesantren di Jawa. Ayahnya, K.H. M. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri K.H. Muhammad Ilyas, pendiri pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antara-anak kyai atau anak kyai dengan santrinya. Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, Raja pertama kesultanan Pajang 1549-1582 keduanya bermuara di sultan Demak raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498. 4 3 Ibid., hal. 100 4 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta: KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011, hal. 34 Berikut silsilah K.H. Abdul Wahid Hasyim yang bermuara ke Brawijaya VI. Garis Ayah Garis Ibu Gambar 2.1 Silsilah K.H. A. Wahid Hasyim yang bermuara ke Brawijaya VI. 5 5 Ibid., hal. 35. BRAWIJAYA VI JAKA TINGKIR Meninggal 1578 JAKA TARUB II Abdurrahman Wahid 1939-2009 Aisyah 1941 Sholahuddin Al-Ayubi 1942 Muhammad Hasyim 1953 PANGERAN BENAWA PANGERAN SAMBO K.H. HASYIM ASY’ARI 1871-1957 Pesantren Tebuireng K.H.A. WAHID HASYIM 1914-1953 SHOLIHAH 1922-1994 Umar 1944 Lily Chadijah 1948 KYAI AGENG KETIS AHMAD KYAI AGENG SABA ABDUL JABBAR KYAI AGENG SOLO KYAI AGENG PEMANAHAN SICHAH LAYYINAH HALIMAH WINIH PANEMBAHAN SENOPATI PANGERAN KAJURAN MARKINAH NAFIQOH Meninggal 1939 JAKA TARUB I Jelas sekali Asal usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan para ulama-ulama besar dan priyai. Menjadikannya orang yang besar dan berpengaruh pula. Mengambil kata mutiara yaitu Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang religius. Ibunya, Nafiqah, adalah anak Kyai Ilyas seorang Kyai yang terkenal dari pesantren Sewulan madiun, sedang dari garis keturunan ayah, dia merupakan keturunan dari ulama yang sangat dihormati. Ayah, kakek dan buyutnya adalah ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar ilmu agama dan yang mengilhami berdirinya pesantren di pulau Jawa. Ayah Wahid Hasyim sendiri adalah pendiri pesantren Tebuireng Jombang, K.H. M. Hasyim Asyari. Kakeknya K.H. Hasyim Asyari adalah pendiri pesantren Keras di Jombang. Sedang kakek buyutnya K.H. Usman selain dikenal sebagai pendiri pesantren Gedang, juga dikenal sebagai ulama yang mengenalkan ajaran Thariqat Naqsabandiyah di Jombang. Bahkan pesantrennya sebagaimana disinyalir oleh Gus Dur sebagai pusat gerakan sufi di Jawa Timur. Sejak kecil ia terkenal sebagai anak yang pendiam, peramah, dan pandai mengambil hati orang. Dikenal banyak orang sebagai orang yang gemar menolong kawan, suka bergaul dengan tidak memandang bangsan, atau memilih agama pangkat dan uang; terlalu percaya pada kawan, suka berkorban, akan tetapi mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah, akan tetapi dapat mengatasi kemarahannya. 6 Dengan sifat yang mudah bergaul dan suka menolong ini lah yang menjadikan Wahid Hasyim sebagai orang yang dihormati oleh kawan maupun lawan politiknya.

2. Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim

Pendidikan dan bimbingan agama beliau dapatkan langsung dari ayahnya dalam lingkungan keluarga yang sangat religius yaitu pesantren Tebuireng. Sebagaimana umumnya anak-anak yang lain, pada umur 5 tahun beliau belajar membaca al- Qur’an pada ayahnya selepas shalat Maghrib dan Dzuhur, di samping 6 Ruchman Basori, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia: Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim, Jakarta: Inceis, 2006, Cet I, hal. 62