V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kebijakan Impor Gula di Indonesia
Produksi gula dalam negeri semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi sehingga kekurangan tersebut harus ditutupi dengan gula impor yang
terus meningkat dari tahun ke tahun sejak 1990. Saat ini, Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terpenting di dunia setelah Rusia. Impor yang tinggi serta
harga internasional yang murah telah mempersulit posisi sebagian besar pabrik gula untuk bertahan dalam industri gula nasional apalagi untuk berkembang.
Impor gula semakin terbuka lebar dan membanjir semenjak pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No
25MPPKep11998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis termasuk gula dan tarif impor yang ditetapkan
sebesar nol persen. Impor gula nasional yang besar telah menarik minat banyak pelaku pasar sehingga menimbulkan kesulitan pengendaliannya. Kemelut
pengelolaan impor gula terus berlangsung sehingga mendorong pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Perindustrian mengatur tataniaga dan impor
seperti instrumen NPIK Nomor Pengenal Importir Khusus sampai penerapan kuota impor. Kuota impor gula putih hanya diberikan kepada importir terdaftar
yang memenuhi syarat, terutama yang menyerap tebu rakyat lebih dari 75 persen total tebu yang digunakan oleh produsen tersebut. Kuota impor gula putih juga
diberikan kepada BULOG, mengingat importir terdaftar belum berpengalaman dalam mengimpor gula serta tidak mempunyai jaringan distribusi seperti halnya
BULOG. Kebijakan tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk
mengangkat harga gula di pasar domestik maupun untuk mengontrol volume impor. Menanggapi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor
melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230MPPKep61999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen
untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar.
5.2 Hasil Dugaan Model
Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik yang ada menunjukkan hasil
yang memuaskan dimana parameter-parameter dalam setiap persamaan memberikan tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut
pandang teori ekonomi. Koefisien determinasi R
2
dari masing-masing persamaan struktural berkisar antara 0,576 sampai dengan 0,9647. Hal ini
menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas exogenous variable yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah
endogen endogenous variable. Besaran nilai statistik khususnya uji F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 4,981 sampai dengan 227,736 yang berarti variasi
peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural secara bersama -sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya pada taraf a sebesar
0,0001 dan 0,0023. Nilai statistik-t digunakan untuk menguji apakah masing- masing peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil
statistik-t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah penjelas yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya pada
taraf a sebesar 0,01. Dalam penelitian ini, taraf a yang digunakan cukup fleksibel
berkisar antara 0,01 sampai dengan 0,20 dengan masing-masing simbol sebagai berikut:
1. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,01 A
2. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,05 B
3. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,10 C
4. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,15 D
5. Berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,20 E
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-h, persamaan yang digunakan tidak mengandung adanya autokorelasi karena nilai h-hitung lebih kecil dari tabel
distribusi normal. Hasil dalam pendugaan model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena ekonomi gula di
Indonesia.
5.3 Dugaan Model Ekonometrika