Dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di indonesia

(1)

MARLINA DESIDERIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia adalah karya penulis dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini penulis melimpahkan hak cipta dari karya tulis penulis kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Marlina Desideria


(4)

(5)

ABSTRAK

MARLINA DESIDERIA. Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan HASTUTI.

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Permintaan gula di Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula. Guna mencukupi permintaan gula maka pemerintah melakukan impor. Saat ini, impor gula Indonesia dibatasi melalui kebijakan tarif. Pada tahun 2015, tarif impor gula Indonesia harus dihapuskan kerena adanya kesepakatan regional ASEAN Economic Community (AEC). Penghapusan tarif impor gula ini akan menyebabkan pasokan gula impor yang besar dan menyebabkan harga gula menjadi rendah. Rendahnya harga gula menyebabkan petani tebu tidak memiliki insentif untuk meningkatkan produksi gula domestik. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen gula. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga gula ; (2) menganalisis dampak kebijakan ekonomi komoditas gula dalam terhadap penawaran, permintaan, dan harga gula ; (3) menganalisis dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia. Penelitian ini dianalisis menggunakan model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan. Spesifikasi model Perdagangan Gula Indonesia terdiri dari 20 persamaan (13 persamaan struktural dan tujuh persamaan identitas). Penghapusan tarif impor gula akan menurunkan kesejahteraan produsen gula, sehingga kebijakan ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan harga gula di tingkat petani agar kesejahteraan produsen dan konsumen meningkat.


(6)

ABSTRACT

MARLINA DESIDERIA. The Impact of Economic Policies in Sugar Commodity to

Sugar’s Producers and Consumers Welfare in Indonesia. Supervised by BONAR

M. SINAGA and HASTUTI.

Sugar is one of the basic necessities for peoples. Demand of sugar in Indonesia tend to be higher than the production of sugar. In order to fulfill the highly demand of sugar, Indonesian government conduct to import the sugar.

Indonesia’s sugar import are limited by tariff policy. In 2015, Indonesian sugar import tariff should be eliminated due to the regional agreement of ASEAN Economic Community (AEC). The removal of sugar import tariff will cause large supply of imported sugar and causes sugar prices to be low. The low price of sugar causes sugarcane farmers doesn’t have incentive to increase domestic sugar productions. Therefore, it is a requirement to create a policy in order to improve sugar's producers and consumers welfare. The purpose of this research is: (1) to analyze the factors that affect the supply, demand, and price of sugar; (2) to analyze the impact of economic policies in sugar commodity on supply, demand, and price of sugar; (3) to analyze the impact of economic policies in sugar commodity to sugar's producers and consumers welfare in Indonesia. This research is analyzed using econometric model in the form of simultanous equations system. Specification of Indonesian sugar trade model consists of 20 equations (13 structural equations and 7 identity equations). The removal of sugar import tariff will decrease the welfare of sugar producers. The removal of sugar import tariff needs to be combined with increasing sugar prices at the farm level so producers and consumers welfare will be improved.


(7)

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI KOMODITAS GULA

TERHADAP KESEJAHTERAAN PRODUSENDAN

KONSUMEN GULA DI INDONESIA

MARLINA DESIDERIA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 sampai Agustus 2014 adalah perdagangan

pertanian dengan judul “Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap

Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua penulis tercinta, (Alm) Pujono dan Tati Darwati ; kakak penulis tersayang, (Alm) Apri Sutanto, Mami Riyanto, dan Ratna Indriati ; ayah asuh penulis, Benno Gaechter ; dan kakak asuh penulis, Dina Safitri atas bantuan, doa, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Hastuti SP, MP, MSi selaku dosen pembimbing. Terima kasih kepada Novindra, SP, MSi dan Nuva SP, MSc sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dosen dan staf sekretariat Departemen ESL yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi, serta seluruh staf sekretariat sekolah Pascasarjana EPN yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi.

Terima kasih juga kepada teman sebimbingan yang banyak memberikan masukan dan bantuan kepada penulis, sahabat penulis atas motivasi, semangat, dan bantuannya dalam penyusunan skripsi, serta seluruh teman-teman ESL 47 atas kebersamaannya.

Bogor, Agustus 2014


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Masalah Penelitian ... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.6. Keterbatasan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Karakteristik Gula ... 9

2.2. Kesepakatan Regional ASEANEconomic Community (AEC) .... 10

2.3. Kebijakan Perdagangan Gula ... 12

2.4. Penelitian Terdahulu ... 15

2.5. Kebaruan Penelitian ... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

3.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran ... 21

3.1.2. Fungsi Permintaan ... 22

3.1.3. Harga ... 24

3.1.4. Teori Perdagangan Internasional ... 25

3.1.5. Permintaan Impor ... 26

3.1.6. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen ... 27

3.1.7. Dampak Tarif terhadap Kesejahteraan ... 29

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional... 30

IV. METODE PENELITIAN ... 33

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 33

4.2. Spesifikasi Model ... 33


(12)

4.2.2. Produktivitas Gula ... 36

4.2.3. Produksi Gula ... 37

4.2.4. Penawaran Gula ... 39

4.2.5. Permintaan Gula ... 39

4.2.6. Volume Impor Gula ... 41

4.2.7. Harga Riil Gula Impor ... 41

4.2.8. Harga Riil Gula di Tingkat Konsumen ... 42

4.2.9. Harga Riil Gula di Tingkat Pedagang Besar... 42

4.2.10.Harga Riil Gula di Tingkat Petani ... 43

4.3. Identifikasi Model ... 43

4.4. Metode Estimasi Model ... 46

4.5.1. Uji Kesesuaian Model (Uji F) ... 46

4.5.2. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) ... 47

4.5.3. Uji Autocorrelation ... 47

4.5.4. Uji Multicollinearity ... 48

4.5.5. Uji Heteroscedasticity ... 49

4.5.6. Konsep Elastisitas ... 50

4.5. Validasi Model... 51

4.6. Simulasi Model Kebijakan ... 52

4.7. Analisis Surplus Produsen dan Konsumen ... 53

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN GULA DI INDONESIA ... 55

5.1. Perkembangan Produksi Gula di Indonesia ... 55

5.2. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia ... 58

5.3. Neraca Perdagangan Gula Indonesia ... 59

5.4. Perkembangan Harga Gula di Indonesia ... 62

VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN HARGA GULA DI INDONESIA ... 65

6.1. Keragaan Umum Estimasi Model ... 65

6.1.1. Hasil Uji Autocorrelation ... 65

6.1.2. Hasil Uji Multicollinearity ... 66


(13)

6.2. Luas Areal Perkebunan Tebu ... 67

6.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu Rakyat ... 67

6.2.2. Luas Areal Perkebunan Tebu Negara... 69

6.2.3. Luas Areal Perkebunan Tebu Swasta ... 71

6.3. Produktivitas Gula Hablur Indonesia ... 73

6.3.1. Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Rakyat ... 73

6.3.2. Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Besar Negara .... 75

6.3.3. Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Besar Swasta .... 76

6.4. Produksi Gula ... 78

6.5. Penawaran Gula... 79

6.6. Permintaan Gula ... 79

6.6.1. Permintaan Gula Rumahtangga ... 79

6.6.2. Permintaan Gula Industri ... 80

6.6.3. Permintaan Gula Domestik ... 82

6.7. Volume Impor Gula ... 82

6.8. Harga Riil Gula Impor... 83

6.9. Harga Riil Gula di Tingkat Konsumen ... 85

6.10. Harga Riil Gula di Tingkat Pedagang Besar ... 86

6.11. Harga Riil Gula di Tingkat Petani ... 87

VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI KOMODITAS GULA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) ... 89

7.1. Validasi Model ... 89

7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) terhadap Penawaran, Permintaan, dan Harga Gula ... 90

7.2.1. Kebijakan Tarif Impor Gula sebesar 10 Persen ... 90

7.2.2. Kebijakan Tarif Impor Gula sebesar 5 Persen ... 92

7.2.3. Penghapusan Tarif Impor Gula ... 93

7.2.4. Kebijakan Harga Gula di Tingkat Petani sebesar 30 Persen ... 95

7.2.5. Kebijakan Peningkatan Stok Gula sebesar 20 Persen ... 97

7.2.6. Kombinasi Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 10 Persen dan Peningkatan Stok Gula sebesar 20 Persen .... 98


(14)

7.2.7. Kombinasi Penghapusan Tarif Impor Gula Menjadi Nol Persen dan Peningkatan Harga Gula di Tingkat Petani

sebesar 30 Persen ... 100

7.2.8. Ringkasan Dampak Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Stok Gula terhadap Penawaran, Permintaan, dan Harga Gula ... 101

7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia ... 104

VIII.SIMPULAN DAN SARAN ... 111

8.1. Simpulan ... 111

8.2. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 119


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2013 . 1

2. Volume dan Nilai Ekspor–Impor Gula Indonesia Tahun 2008-2012 2

3. Perkembangan Produksi Tebu Indonesia Tahun 2010-2012 ... 4

4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2008-2009 ... 5

5. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu ... 17

6. Perubahan Kesejahteraan sebagai Akibat dari Pemberlakuan Tarif .. 30

7. Hasil Identifikasi Model dari Masing-masing Persamaan ... 45

8. Range Statistik Durbin-Watson ... 48

9. Produksi Gula Hablur di Indonesia Tahun 2010-2012 ... 55

10. Kinerja Industri Gula Berbahan Baku Tebu Tahun 2013 ... 56

11. Kinerja Industri Gula Berbahan Baku Tebu di Indonesia Tahun 2009-2013 ... 57

12. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 57

13. Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2008-2012... 58

14. Neraca Perdagangan Gula Indonesia Tahun 2008-2012 ... 59

15. Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Gula Tebu di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 60

16. Nilai Import Dependency Ratio dan Self Sufficiency Ratio Gula Tebu di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 61

17. Impor Gula Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2012 ... 62

18. Perkembangan Biaya Pokok Produksi, Harga Pokok Penjualan, dan Harga Gula di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 62

19. Perkembangan Harga Gula Tingkat Konsumen di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 63

20. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Perkebunan Tebu Rakyat di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 68

21. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Perkebunan Tebu Negara di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 70

22. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Perkebunan Tebu Swasta di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 71

23. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Rakyat di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 73


(16)

24. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Gula Hablur Perkebunan

Besar Negara di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 75 25. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Gula Hablur Perkebunan

Besar Swasta di Indonesia Tahun 1990-2012... 77 26. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Gula Rumahtangga di

Indonesia Tahun 1990-2012 ... 79 27. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Gula Industri di Indonesia

Tahun 1990-2012 ... 81 28. Hasil Estimasi Parameter Volume Impor Gula di Indonesia Tahun

1990-2012 ... 82 29. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula Impor di Indonesia

Tahun 1990-2012 ... 84 30. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula di Tingkat Konsumen di

Indonesia Tahun 1990-2012 ... 85 31. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula di Tingkat Pedagang

Besar di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 86 32. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula di Tingkat Petani di

Indonesia Tahun 1990-2012 ... 87 33. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun

2003-2012 ... 89 34. Hasil Simulasi Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 10

Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 91 35. Hasil Simulasi Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 5

Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 92 36. Hasil Simulasi Penghapusan Tarif Impor Gula di Indonesia Tahun

2003-2012 ... 94 37. Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Peningkatan Harga Gula di

Tingkat Petani sebesar 30 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 .... 96 38. Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Peningkatan Stok Gula

sebesar 20 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012... 97 39. Hasil Simulasi Kombinasi Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 10

Persen dan Peningkatan Stok Gula sebesar 20 Persen di Indonesia

Tahun 2003-2012 ... 99 40. Hasil Simulasi Kombinasi Penghapusan Tarif Impor Gula Menjadi

Nol Persen dan Peningkatan Harga Gula di Tingkat Petani sebesar

30 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 100 41. Ringkasan Hasil Simulasi Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga

Gula Tingkat Petani, dan Stok Gula terhadap Penawaran,


(17)

42. Dampak Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Stok Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 105

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional ... 26 2. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi

Keseimbangan Pasar ... 28 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor... 29 4. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional ... 31 5. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Ekonomi Perdagangan

Gula Indonesia ... 34

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data dan Sumber Data Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun 1990-2012 ... 121 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Perdagangan Gula Indonesia

Tahun 1990-2012 ... 129 3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen dalam Model

Perdagangan Gula Indonesia Tahun 1990-2012 ... 130 4. Program Estimasi Parameter Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan

Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 132 5. Hasil Estimasi Parameter Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan

Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 136 6. Program Uji Multicollinearity Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Nilai VIF dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 149 7. Hasil Uji Multicollinearity Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Nilai VIF dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 153 8. Program Uji Heteroscedasticity Model Perdagangan Gula

Indonesia Menggunakan Metode Park dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012... 166


(18)

9. Hasil Uji Heteroscedasticity Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode Park dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 174 10. Program Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia

Menggunakan Metode NEWTON dan Prodesur SIMNLIN dengan

Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 2003-2012 ... 187 11. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan

Metode NEWTON dan Prodesur SIMNLIN dengan Software

SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 2003-2012 ... 192 12. Contoh Program Simulasi Penerapan Kebijakan Tarif Impor Gula

Sebesar 10 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 196 13. Contoh Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Tarif Impor Gula


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi pertanian yang besar. Peranan sektor pertanian dapat dilihat dari share Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2013

No. Lapangan Usaha

Harga Konstan

(Triliun Rupiah) Distribusi (Persen)

Triwulan II Triwulan III Triwulan II Triwulan III 1. Pertanian, Peternakan,

Kehutanan, dan Perikanan 87.7 93.1 14.92 15.21

2. Pertambangan Penggalian 47.9 48.8 10.64 10.78

3. Industri Pengolahan 174.6 179.6 23.66 23.11

4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5.3 5.3 0.82 0.76

5. Konstruksi 45.0 46.5 10.48 10.65

6. Perdagangan, Hotel, dan

Restoran 125.0 127.0 14.34 13.38

7. Pengangkutan dan

Komunikasi 72.4 74.7 6.85 7.07

8. Keuangan, Real Estate, dan

Jasa Perusahaan 67.7 69.2 7.51 7.44

9. Jasa – jasa 63.5 65.3 10.78 11.10

PDB 689.1 709.5 100.00 100.00

Sumber : Badan Pusat Statistik (2014)

Berdasarkan data pada Tabel 1, sektor pertanian memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Menurut data BPS (2014) sektor pertanian menyumbang sebesar 15.21 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan III tahun 2013. Kontribusi ini menempatkan sektor pertanian pada posisi kedua setelah industri pengolahan yang menyumbang sebesar 23.11 persen tehadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Menurut Ruslan (2013), meskipun transformasi struktur ekonomi mengantarkan Indonesia menuju negara yang perekonomiannya lebih didukung oleh sektor industri dan jasa, sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan masih merupakan leading sector dalam perekonomian.

Sektor pertanian merupakan sektor penyedia kebutuhan hidup masyarakat, baik pangan maupun non pangan. Kebutuhan pada produk pertanian akan terus bertambah seiring dengan makin meningkatnya populasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat ini menyebabkan permintaan


(20)

terhadap produk pertanian juga meningkat, terutama pada produk pertanian sembilan bahan pokok (sembako). Kesembilan bahan pokok tersebut adalah beras / sagu / jagung, gula, sayur dan buah, daging (sapi dan ayam), minyak goreng dan margarin, susu, telur, minyak tanah / gas LPG, serta garam beriodium dan bernatrium. Salah satu kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah gula (Departemen Industri dan Perdagangan, 1998).

Gula merupakan produk sektor pertanian dalam subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan memiliki kontribusi sebesar 2.34 persen terhadap PDB Indonesia atau senilai Rp 55 518 miliar (Badan Pusat Statistik, 2013). Tebu merupakan bahan baku dasar dalam pembuatan gula. Di Indonesia produksi tebu pada tahun 2008 sebesar 2 668 428 ton dan mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi sebesar 2 267 887 ton (Kementerian Pertanian, 2013). Penurunan produksi ini mendorong pemerintah mencanangkan program swasembada gula agar produksi tebu maupun gula dapat meningkat. Kebutuhan gula untuk konsumsi rumahtangga dan industri di Indonesia sebesar 5.8 juta ton (Susianti, 2013). Pemerintah menargetkan swasembada gula pada tahun 2014 dengan produksi awal 5.7 juta ton menjadi 3.1 juta ton. Nilai produksi 3.1 juta ton ini hanya bisa memenuhi kebutuhan rumahtangga, tidak untuk industri. Penurunan target swasembada ini dikarenakan masih kurangnya lahan perkebunan tebu dan revitalisasi pabrik gula yang tidak berjalan. Subsektor perkebunan tebu membutuhkan tambahan lahan seluas 350 000 Ha dan revitalisasi pabrik sebanyak 20 unit (Kementerian Pertanian, 2013).

Indonesia merupakan negara importir dan eksportir gula. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), volume dan nilai impor gula Indonesia lebih besar dari ekspor gula Indonesia. Volume dan nilai ekspor – impor gula dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor – Impor Gula Indonesia Tahun 2008-2012

Tahun

Ekspor Impor Ekspor - Impor

Volume (Ton)

Nilai (000 US$)

Volume (Ton)

Nilai (000 US$)

Volume (Ton)

Nilai (000 US$)

2008 1 543 754 983 944 352 385 (982 401) (351 631)

2009 750 644 1 373 527 567 034 (1 372 777) (566 390)

2010 581 866 1 382 525 803 114 (1 381 944) (802 248)

2011 686 788 2 371 250 1 638 729 (2 370 564) (1 637 941)

2012 487 818 2 743 778 1 618 307 (2 743 291) (1 617 489)


(21)

Berdasarkan data pada Tabel 2, Indonesia merupakan negara net importir gula. Volume dan nilai net impor gula Indonesia terus mengalami peningkatan. Peningkatan impor dalam setiap tahun berpengaruh besar terhadap kebijakan terkait gula di Indonesia terutama pada sektor produksi dan harga. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk membatasi masuknya gula impor salah satunya adalah hambatan tarif impor. Kebijakan tarif impor di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional, perdagangan internasional, ataupun kesepakatan regional. Salah satu kesepakatan regional antar negara yang mempengaruhi kebijakan tarif impor di Indonesia adalah ASEAN Economic Community (AEC).

ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu kebijakan yang menyepakati ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal. AEC mulai berlaku pada tahun 2015. Seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas sebagaimana digariskan dalam AEC Blueprint. AEC merupakan langkah yang lebih maju dan komprehensif dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA). Komponen arus perdagangan bebas barang tersebut meliputi penurunan dan penghapusan tarif secara signifikan maupun penghapusan hambatan non tarif sesuai skema AFTA (Kementerian Perdagangan, 2013).

Beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, melakukan reservasi terhadap produk-produk sensitifnya. Indonesia melakukan reservasi terhadap produk beras dan gula sebagaimana tercantum dalam Protocol to Provide Special Consideration on Rice and Sugar. Protokol tersebut mengatur pos tarif untuk beras dan gula. Produk beras dan gula akan masuk dalam Inclusion List

pada tahun 2015. Inclusion List merupakan produk-produk intra-ASEAN dimana harus dilakukan penghapusan tarif seluruhnya terhadap produk-produk tersebut (Kementerian Perdagangan, 2013).

Kondisi perekonomian dan penghapusan tarif impor dari kesepakatan regional ASEAN Economic Community (AEC) ini menyebabkan besarnya pasokan gula impor di pasar domestik tidak dapat dihindari. Besarnya pasokan impor gula


(22)

yang tidak tepat jumlah dan waktu menyebabkan peningkatan penawaran gula di pasar domestik. Peningkatan penawaran gula ini menyebabkan jatuhnya harga gula di pasar domestik tanpa diiringi oleh penurunan biaya produksi. Biaya produksi yang tetap dengan harga yang semakin turun meyebabkan penerimaan petani tebu mengalami penurunan bahkan terkadang petani menderita kerugian. Jika pendapatan petani tebu terus mengalami penurunan maka tidak akan ada insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi tebu yang menyebabkan swasembada gula gagal dicapai dan kesejahteraan masyarakat menurun. Oleh sebab itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia.

1.2. Masalah Penelitian

Perkembangan produksi tebu di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Berdasarkan data pada Tabel 3, pada tahun 2010 produksi tebu (setara gula) mencapai 2.29 juta ton dan turun 1.95 persen pada tahun 2011 menjadi sebesar 2.24 juta ton. Produksi gula pada musim giling 2013 juga mengalami penurunan sebanyak 10-20 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Pada musim giling 2013, produksi gula berkisar antara 2.3 juta ton sedangkan produksi gula pada musim giling 2012 mencapai 2.6 juta ton (Kemeterian Pertanian, 2013).

Tabel 3. Perkembangan Produksi Tebu Indonesia Tahun 2010-2012

Tahun Jumlah (Ton) Pertumbuhan (%)

2010 2 288 735 -

2011 2 244 154 -1.95

2012 2 600 352 15.87

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

Penurunan produksi ini disebabkan oleh kondisi anomali cuaca, terutama musim hujan yang panjang di sejumlah wilayah pabrik gula di Indonesia. Penurunan produksi gula nasional juga disebabkan oleh penyusutan lahan untuk perkebunan tebu, pabrik gula yang tidak mampu bekerja maksimal, minimnya dukungan modal bagi pertanian tebu dan industri gula, kebijakan impor gula, serta pertanian tebu yang tidak sanggup lagi mengangkat kesejahteraan kaum tani (Admin, 2013).


(23)

Produksi gula Indonesia sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri dan hanya sebagian kecil saja yang diekspor ke manca negara. Rendahnya produksi gula nasional yang terus menurun dalam setiap tahun menyebabkan konsumsi gula dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Perkembangan produksi dan konsumsi gula di Indonesia disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun

2008-2012

Tahun Produksi Gula (Ton) Konsumsi Gula (Ton)

2008 2 551 513 2 605 220

2009 2 333 885 3 011 971

2010 2 288 735 2 288 025

2011 2 244 154 2 768 831

2012 2 600 352 2 735 655

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

Berdasarkan data pada Table 4, konsumsi gula di Indonesia cenderung lebih tinggi dibanding produksi gula setiap tahunnya. Kekurangan pasokan gula dalam negeri ini mengharuskan Indonesia melakukan impor gula dari berbagai negara. Perkembangan impor gula Indonesia selama periode tahun-tahun terakhir memiliki pola yang cenderung meningkat sedangkan ekspor gula Indonesia memiliki pola yang cenderung menurun walaupun sempat mengalami peningkatan pada tahun 2011 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Guna mencukupi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui beberapa kebijakan seperti kebijakan swasembada gula dengan meningkatkan produksi nasional, namun dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaannya, kebijakan Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai kebijakan internasional yang berpengaruh terhadap impor gula Indonesia.

ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu kesepakatan regional antar negara ASEAN yang mendukung kebijakan penghapusan tarif impor. Kebijakan penghapusan tarif impor mulai dilakukan pada 1 januari 2015 secara progresif. Penghapusan tarif impor secara progresif tersebut merupakan penurunan tarif menjadi 10 persen, penurunan tarif menjadi 5 persen, dan penghapusan tarif impor menjadi sebesar nol persen. Kebijakan penghapusan tarif impor ini akan menyebabkan peningkatan impor gula sehingga petani tebu dan industri gula dalam negeri berpotensi mengalami kerugian. Masuknya gula impor ke Indonesia menyebabkan gula nasional kehilangan sebagian pasarnya. Meningkatnya pasokan gula impor dan penurunan pasar gula nasional ini


(24)

mengakibatkan turunnya harga. Banyak petani tebu yang meninggalkan profesinya dikarenakan harga gula yang rendah. Kondisi ini menyebabkan petani mengalami kerugian yang berdampak pada turunnya kesejahteraan petani (Toharisman, 2013).

Kebijakan ekonomi pada komoditas gula yang berupa peningkatan harga gula di tingkat petani sebesar 30 persen dan peningkatan stok gula sebesar 20 persen diharapkan mampu meningkatkan kembali kesejahteraan petani maupun masyarakat secara keseluruhan akibat penurunan tarif impor yang akan diberlakukan. Sehubungan dengan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga gula. 2. Dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap penawaran, permintaan,

dan harga gula.

3. Dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga gula.

2. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi terhadap penawaran, permintaan, dan harga gula.

3. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap perkembangan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi pada komoditas gula dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia. Manfaat lain dari penelitian ini diantaranya :


(25)

1. Penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam suatu pengambilan keputusan / kebijakan yang mampu melindungi kesejahteraan masyarakat, khususnya petani tebu serta mengurangi ketergantungan impor gula di Indonesia.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi akademisi dan peneliti lain untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Gula yang dianalisis adalah gula kristal dengan kode HS 1701.13.00.00. 2. Harga internasional gula menggunakan harga gula rata-rata bursa London

(London Daily Price).

3. Indikator kesejahteraan yang digunakan adalah konsep surplus produsen dan surplus konsumen.

4. Kebijakan ekonomi komoditas gula yang dimaksud adalah kebijakan penurunan dan penghapusan hambatan tarif impor sesuai skema ASEAN Economic Community (AEC), peningkatan harga gula di tingkat petani, dan peningkatan stok gula.

5. Jumlah penawaran dan permintaan gula diasumsikan berada pada titik keseimbangan.

6. Konsumen gula rumahtangga merupakan konsumen yang menggunakan gula untuk konsumsi akhir.

7. Konsumen gula industri merupakan konsumen yang menggunakan gula sebagai bahan baku untuk produk yang akan dijual kembali.

8. Gula kristal putih dan gula kristal rafinasi dianggap homogen.

1.6. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data produksi dan produktivitas yang digunakan adalah gula dalam bentuk hablur karena ketiadaan data time series produksi dan produktivitas tebu.


(26)

2. Gula kristal putih dan gula kristal rafinasi tidak bersubstitusi secara sempurna, namun data produksi, impor, ekspor, stok, dan permintaan gula dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis gula.

3. Data yang digunakan merupakan data resmi pemerintah dan tidak mencakup data gula yang tidak resmi dan tidak tercatat.

4. Data industri yang digunakan dalam penelitian ini adalah industri sedang dan besar karena ketiadaan data time series industri kecil.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Gula

Gula tebu yang paling banyak diperdagangkan adalah gula yang dikenal dengan nama lokal sebagai gula mentah, gula kristal putih, dan gula kristal rafinasi. Jenis-jenis gula tersebut memiliki nama yang tidak selalu sama dalam perdagangan Internasional. Nama internasional gula mentah adalah raw sugar, gula kristal putih adalah plantation white sugar atau mill white sugar, dan gula kristal rafinasi adalah white sugar. Oleh sebab itu, white sugar sama dengan gula kristal rafinasi dan bukan gula kristal putih (Agrirafinasi, 2013).

Gula mentah atau raw sugar dibuat dari nira tebu yang diproses secara sederhana yaitu dengan menyaring padatan kotoran atau lumpurnya kemudian dikristalkan. Gula tersebut berwarna coklat tua karena masih mengandung sisa kotoran dan molases (tetes tebu) sehingga tidak untuk dikonsumsi karena tidak layak dikonsumsi. Gula kristal putih atau plantation white sugar dibuat dari nira tebu yang diproses dengan tahapan yang lebih panjang daripada proses pembuatan gula mentah. Setelah disaring padatan kotorannya, nira tebu dibersihkan melalui proses karbonatasi atau proses sulfitasi. Nira tebu yang lebih bersih tersebut dikentalkan lalu dikristalkan mejadi gula kristal putih. Warna gulanya menjadi putih namun agak keruh. Beberapa pabrik menggunakan proses karbonatasi ganda untuk memperoleh warna gula yang lebih putih. Proses sulfitasi juga sudah tidak digunakan karena tidak higienis akibat sisa belerang yang tertinggal di gula. Gula kristal rafinasi atau white sugar adalah gula yang paling putih warnanya karena beberapa hal sebagai berikut : (1) bahan bakunya adalah gula mentah, (2) proses pembuatannya meliputi karbonatasi juga menggunakan teknologi pertukaran ion (ion-exchanger). Proses pertukaran ion (ion-exchanger) ini mampu memisahkan molekul non-sukrosa seperti sisa kotoran, sisa mineral, dan molekul warna yang terluput dalam proses karbonatasi sehingga hasilnya adalah gula kristal yang sangat putih (Agrirafinasi, 2013).

Gula mentah digunakan oleh pabrik gula rafinasi, pabrik gula berbasis tebu, dan pabrik MSG (penyedap). Gula kristal putih digunakan untuk konsumsi langsung masyarakat, dan gula kristal rafinasi digunakan oleh industri makanan,


(28)

minuman, dan farmasi (Nusantara Sugar Club, 2014). Volume dan mutu gula pada dasarnya tergantung dari dua faktor utama yaitu kandungan gula dalam batang tebu dan pengolahan nira tebu menjadi gula kristal. Apabila kandungan gulanya maksimal dan pengolahannya di pabrik efisien maka hasilnya akan maksimal. Proses produksi gula kristal di pabrik gula adalah memisahkan gula atau sukrosa dari batang tebu dan mengolahnya menjadi butiran gula kristal. Kerusakan dan kebocoran sukrosa dalam proses tersebut perlu diminimalisasi sehingga sukrosa yang dapat dikristalkan menjadi maksimal. Sukrosa murni adalah kristal yang tidak mengandung air (anhydrous), berbentuk persegi tidak seragam (monoclinic), tidak berbau, dan berwarna putih cemerlang dengan rasa manis dan berat jenis 1,58 pada suhu 150 oC. Tingkat keputihan warna gula dilihat melalui standar

ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dan semakin gelap warnanya makin tinggi nilai ICUMSA-nya. Satuan nilai ICUMSA adalah skala internasional unit (IU). Gula kristal mentah serendah-rendahnya memiliki nilai ICUMSA 1200 IU, gula kristal putih 150-90 IU, dan gula kristal rafinasi setinggi-tingginya 45 IU (Agrirafinasi, 2013).

2.2. Kesepakatan Regional ASEAN Economic Community (AEC) Pada tahun 1997, para Kepala Negara ASEAN menyetujui kesepakatan tentang ASEAN Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi (ASEAN Summit, 1997). Kemudian pada tahun 2003, disepakati 3 (tiga) pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi 2015, yaitu : (1) ASEAN Economic Community, (2) ASEAN Political-Security Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community (ASEAN Summit, 2003).

Pada tahun 2004, ASEAN mulai bekerja sama dengan negara di luar ASEAN dalam bidang ekonomi. Kerja sama yang pertama dengan China (ASEAN-China Free Trade Area) dalam sektor barang. Pada tahun 2005, integrasi ekonomi ASEAN semakin ditingkatkan dengan menambah sektor prioritas pada tahun 2010 dan jasa logistik pada tahun 2013. Pada tahun 2007,


(29)

para Kepala Negara sepakat mempercepat pencapaian AEC dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pada tahun 2007 ini ditandatangani ASEAN Charter dan AEC Blueprint. Pada tahun 2009 ditandatangani ASEAN Trade in Goods Agreement

(ATIGA). Keputusan untuk mempercepat pembentukan AEC menjadi 2015 ditetapkan dalam rangka memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapi kompetisi global seperti dengan India dan China. Beberapa pertimbangan lain yang mendasari percepatan AEC adalah : a) potensi penurunan biaya produksi di AEAN sebesar 10-20 persen untuk barang konsumsi sebagai dampak integrasi ekonomi ; dan b) meningkatkan kemampuan kawasan dengan implementasi standar dan praktik internasional serta adanya persaingan (Kementerian Perdagangan, 2013).

AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam blueprint tersebut. AEC Blueprint memuat empat kerangka utama yaitu (The ASEAN Secretariat, 2013) :

1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas.

2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan inetelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerse. 3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata

dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam).

4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) merupakan modifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan barang (trade in goods). ATIGA merupakan penyempurnaan perjanjian ASEAN


(30)

dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif yang disesuaikan dengan kesepakatan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint terkait dengan pergerakan arus barang (free flow of goods) sebagai salah satu elemen pembentuk pasar tunggal dan basis produksi regional. ATIGA mencakup prinsip-prinsip umum perdagangan internasional (non-discrimination, Most Favoured Nations-MFN treatment, national treatment), liberalisasi tarif, pengaturan non-tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, kepabeanan, standar, regulasi teknis dan prosedur pemeriksaan penyesuaian, SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), dan kebijakan pemulihan perdagangan (safeguards, anti-dumping, countervailing measures) (Kementerian Perdagangan, 2013).

ATIGA memiliki komitmen utama dalam penurunan dan penghapusan tarif. Penghapusan tarif seluruh produk intra-ASEAN, kecuali produk yang masuk dalam kategori Sensitive List (SL) dan Highly Sensitive List (HSL), dilakukan sesuai jadwal dan komitmen yang telah ditetapkan dalam persetujuan CEPT-AFTA. Produk-produk dalam kategori SL dan HSL harus masuk ke dalam skema

Inclusion List sesuai dengan jadwal yang disepakati. Setelah masuk dalam skema

Inclusion List, maka tarif produk-produk tersebut diturunkan menjadi 0-5 persen. Produk beras dan gula akan masuk dalam inclusion List pada tahun 2015 sesuai dengan ketentuan dalam Protocol to Provide Special Consideration on Rice and Sugar (Government of ASEAN, 2007).

2.3. Kebijakan Perdagangan Gula

Untuk menanggulangi permasalahan perdagangan secara internasional, telah disepakati liberalisasi perdagangan yang tertuang dalam Putaran Uruguay (PU) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993. Upaya mengurangi distorsi perdagangan gula telah ditempuh berbagai negara dengan mewujudkan komitmen pada empat hal penting yaitu :

1. Tindakan sanitasi / fitosanitasi (kontaminasi aflatoxin dan standar yang ketat). 2. Bantuan / dukungan domestik yang diukur dengan total agregat measurement of support (AMS) dimana untuk negara maju menurunkan 20 persen, sedangkan negara berkembang 13 persen.


(31)

3. Akses pasar yaitu tarifikasi, penurunan tarif yang umum diterapkan berbagai negara (ad valorem tariffs) dimana negara maju diharapkan mewujudkan tahun 2000 dengan penurunan sebesar 21 hingga 23 persen, sedangkan negara berkembang tahun 2004 sebesar 9 hingga 14 persen dan tarif spesifik yang proporsi penerapannya sangat terbatas berkisar antara 24 hingga 26 persen. 4. Pengurangan subsidi ekspor berdasarkan penurunan volume ekspor, volume

yang disubsidi sebesar 18 persen dari produk pertanian yang dipasarkan di dunia dan nilai ekspor.

Namun implementasi kesepakatan GATT tersebut belum banyak menyentuh distorsi perdagangan gula (Susila dan Sinaga, 2005). Hal ini disebabkan karena (Wahyuni et al, 2009) :

1. Gula tidak banyak berpengaruh terhadap kesehatan dan lingkungan.

2. Berbagai fakta kebijakan subsidi yang ditempuh berbagai negara masih menempatkan industri gula menerima subsidi yang besar.

Dalam rangka kesepakatan GATT tersebut, pemerintah Indonesia membuka pasar impor secara dramatis. Guna peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Kepmenperindag No.25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada Bulog untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula (Susila dan Sinaga, 2005).

Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen mengakibatkan industri gula lokal terancam karena harga gula impor lebih murah dibanding harga gula domestik. Hal ini menunjukkan ketidakefisienan dari industri gula di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Melalui surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000 maka semua importir baik importir umum (IU) maupun importir produsen (IP) termasuk BULOG diperbolehkan mengimpor gula dengan ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih. Pada tahun 2004, dalam rangka mendukung program akselerasi, pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakan sebelumnya yaitu dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan


(32)

Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 dimana pemerintah kembali melibatkan BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula di Indonesia. BULOG mempunyai peran sebagai distributor tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) melalui jaringannya yang tersebar diseluruh Indonesia (Rahman, 2013).

Ketika krisis ekonomi Indonesia mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan tersebut disebabkan tiga faktor yaitu harga gula dunia terus menurun, nilai tukar rupiah yang menguat, serta tidak adanya tarif impor (Wahyuni et al, 2009). Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Untuk melindungi produsen, maka pemerintah menetapkan harga provenue gula. Kebijakan harga provenue tersebut ternyata merupakan kebijakan yang tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai seperti pendanaan guna implementasi kebijakan. Penentuan harga provenue yang terlalu rendah dapat mematikan industri gula karena akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Sebaliknya, penentuan harga yang terlalu tinggi akan menumbuhkan industri gula tetapi meningkatkan subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah (Malian, 2004). Sebelum tahun 2000 harga gula yang diterima petani adalah harga

provenue yang merupakan harga pembelian BULOG kepada petani tebu. Tahun 2000-2003 harga gula yang diterima petani adalah harga gula lelang kesepakatan antara petani dengan investor gula, sedangkan setelah tahun 2004 hingga saat ini harga gula yang diterima petani adalah harga lelang berdasarkan harga pokok penjualan (HPP) sebagai harga dasar pembelian gula oleh investor. Pemerintah mengeluarkan kebijakan penetapan harga pokok penjualan (HPP) dalam industri gula untuk memberikan perlindungan kepada petani. HPP gula ini merupakan salah satu insentif bagi petani dalam berbudidaya tebu. Harga pokok penjualan ini besarannya ditetapkan oleh pemerintah dan direvisi angkanya setiap tahun (Rahman, 2013).

Pemerintah juga mencanangkan program khusus Swasembada Gula Nasional terkait pengendalian impor gula. Swasembada dianggap penting karena harga gula diprediksi akan terus meningkat. Pemerintah berupaya meningkatkan


(33)

produksi dan produktivitas melalui program akselerasi dan perbaikan kebijakan tataniaga serta impor gula. Guna merealisasi Swasembada Gula, mulai dikembangkan pabrik gula rafinasi yang dimaksudkan untuk membantu mencukupi kebutuhan gula untuk industri makanan dan minuman. Pabrik gula rafinasi memperoleh kemudahan dalam impor bahan baku gula mentah yaitu dengan keringanan bea masuk atau pajak impor. Ketentuan yang sama tentang keringanan bea masuk ini juga berlaku kepada industri rafinasi yang melakukan perluasan usahanya. Dalam rangka melindungi harga gula kristal putih domestik, perdagangan gula rafinasi diatur dengan SK Memperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 bahwa gula rafinasi hanya untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengguna dan distribusi gula rafinasi langsung ke industri pengguna tanpa melalui distributor. Dalam surat Menperdag No.111/2009 disebutkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk industri pengguna atau industri makanan dan minuman setiap produsen gula rafinasi dapat menunjuk distributor secara resmi, selanjutnya distributor dapat menunjuk subdistributor secara resmi . distributor yang tidak memiliki surat penunjukkan atau pengangkatan dari produsen gula rafinasi dilarang mendistribusikan atau memperdagangkan gula rafinasi. Hal yang sama juga berlaku bagi subdistributor (Wahyuni et al, 2009).

2.4. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang dapat dijadikan referensi antara lain penelitian Rahman (2013); Subekti dan Carolina (2011); Arsyad, Sinaga, dan Yusuf (2011); Hadi dan Mardianto (2004); dan Fitriana (2012). Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

2.3.1. Penelitian tentang Gula

Penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti penelitian oleh Rahman (2013) serta Subekti dan Carolina (2011). Penelitian Rahman (2013) menganalisis tentang prospek perdagangan gula Indonesia dalam implementasi kerangka perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China. Penelitian Subekti dan Carolina (2011) menganalisis tentang pengaruh kebijakan tarif impor gula terhadap integrasi pasar gula domestik dan dunia (Tabel 4).


(34)

2.3.2. Penelitian tentang Kebijakan Perdagangan Komoditas Pertanian Penelitian terdahulu mengenai perdagangan komoditas pertanian juga telah banyak dilakukan diantaranya oleh Arsyad, Sinaga, dan Yusuf (2011) serta Hadi dan Mardianto (2004). Penelitian tersebut melihat dampak adanya suatu kebijakan perdagangan (ekspor atau impor) terhadap faktor-faktor yang dipengaruhinya dengan menggunakan dua alat analisis yang berbeda. Penelitian Arsyad, Sinaga, dan Yusuf (2011) menggunakan model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Squares sedangkan Hadi dan Mardianto (2004) menggunakan model pendekatan Constant Market Share (Tabel 4).

2.3.3. Penelitian tentang Pengaruh Kebijakan terhadap Kesejahteraan Fitriana (2012) meneliti mengenai pengaruh kebijakan terhadap kesejahteraan masyarakat. Penelitian tersebut mengkaji dampak adanya perubahan kebijakan yang akan mempengaruhi besarnnya kesejahteraan masyarakat. Indikator kesejahteraan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah perubahan surplus produsen dan surplus konsumen (Tabel 4).

2.5. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan kebaruan dibandingkan penelitian Subekti dan Carolina (2011) serta Rahman (2013). Persamaan penelitian ini dengan Subekti dan Carolina (2011) yaitu menganalisis pengaruh kebijakan tarif impor gula terhadap pasar gula domestik. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Subekti dan Carolina (2011) menggunakan model Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction (VEC) sedangkan penelitian ini menggunakan model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Squares.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rahman (2013) adalah menganalisis dampak adanya kebijakan terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia, sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini lebih fokus membahas tentang dampak penurunan dan penghapusan tarif impor gula akibat adanya kesepakatan regional ASEAN Economic Community (AEC).


(35)

Tabel 5. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu

No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

1 Rahman (2013) ; Prospek Perdagangan Gula Indonesia dalam Implementasi Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China

1. Menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula

serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

2. Mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada era pra liberalisasi ACFTA (2004-2010). 3. Meramalkan dampak kebijakan

ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020.

Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Squares. Simulasi kebijakan :

1. Peningkatan harga gula tingkat petani sebesar 25 persen.

2. Peningkatan harga tingkat konsumen tertinggi pupuk 33 persen.

3.Peningkatan luas areal perkebunan tebu Indonesia 20 persen.

4.Penurunan tarif impor 49 persen.

5.Penurunan kuota impor gula 50 persen.

Permintaan gula rumahtangga dipengaruhi oleh harga riil gula tingkat konsumen, pertumbuhan PDB riil Indonesia, populasi dan permintaan gula rumahtangga tahun sebelumnya, sedangkan permintaan gula industri hanya dipengaruhi oleh PDB riil sektor makanan dan minuman serta permintaan gula industri tahun sebelumnya. Peda perilaku impor, impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa impor gula dari China sehingga kebijakan tarif impor yang sama akan meningkatkan impor gula yang lebih besar dari Tahiland. Indonesia mempunyai ketergantungan yang lebih besar terhadap impor gula dari Thailand dibanding impor gula dari China. Peningkatan harga gula sebesar 25 persen, peningkatan harga pupuk sebsar 33 persen berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan penurunan tarif impor gula 49 persen, peningkatan luas areal 20 persen, dan penurunan kuota impor 50 persen

berdampak pada penurunan kesejahteraan

masyarakat. 2 Subekti dan Carolina (2011) ;

Pengaruh Kebijakan Tarif Impor Gula terhadap Integrasi Pasar Gula Domestik dan Dunia

1. Menganalisis integrasi pasar gula domestik dengan pasar gula dunia. 2. Menganalisis pengaruh kebijakan

tarif impor gula terhadap integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia.

Model Vector

Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction (VEC).

Tarif impor gula yang diterapkan oleh pemerintah ternyata dipengaruhi oleh integrasi pasar yang terjadi. Tarif impor gula mentah dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga gula mentah internasional dan tarif impor gula putih. Sementara itu tarif impor gula putih dipengaruhi oleh harga gula mentah internasional, harga gula putih internasional, dan tarif impor tahun sebelumnya. Respon harga gula dalam negeri terhadap perubahan seluruh variabel lainnya menunjukkan respon yang positif. Perubahan harga


(36)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

gula dalam negeri, perubahan harga gula mentah internasional, dan perubahan harga gula putih internasional memiliki pengaruh yang cukup besar, sedangkan perubahan tarif impor gula mentah dan perubahan tarif impor gula putih mempengaruhi harga gula dalam negeri dengan nilai yang relatif kecil.

3 Arsyad, Sinaga, dan Yusuf (2011) ; Analisis Dampak Kebijakan Pajak Ekspor dan Subsidi Harga Pupuk terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia Pasca Putaran Uruguay

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia.

2. Menganalisis dampak rencana pemberlakukan pajak ekspor dan subsidi harga pupuk terhadap produksi dan ekspor kakao pasca Putaran Uruguay.

Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Squares.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara potensial mempengaruhi ekspor kakao indonesia adala harga ekspor kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah, dan trend waktu. Rencana pemberlakukan pajak ekspor berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Urguay, sementara tencana kebijakan pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan ekspor kakao Indonesia.

4 Hadi dan Mardianto (2004) ; Analisis Komparasi Daya

Saing Produk Ekspor

Pertanian Antar Negara

ASEAN dalam Era

Perdagangan Bebas AFTA

1. Menganalisis pertumbuhan ekspor produk pertanian ke kawasan ASEAN.

2. Menganalisis efek komposisi produk, efek distribusi pasar, dan efek daya saing terhadap ekspor produk pertanian ke kawasan ASEAN.

Model pendekatan Pangsa Pasar Konstan (Constant Market Share).

Ekspor produk pertanian Indonesia ke kawasan ASEAN selama 1997-1999 mengalami pertumbuhan positif dan lebih cepat dibanding ekspor dunia ke kawasan yang sama. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya daya saing komoditas pertanian Indonesia terutama karena depresiasi rupiah. Namun selama 1999-2001, terjadi sebaliknya yaitu pertumbuhan ekspor Indonesia turun dan lebih lambat dibanding ekspor dunia ke kawasan yang sama yang disebabkan oleh apresiasi rupiah. Komposisi produk dan distribusi pasar ekspor Indonesia masih lemah yang menunjukkan bahwa Indonesia belum memperhatikan pertumbuhan impor komoditas pertanian menurut komposisi komoditas


(37)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

yang tepat dan perkembangan impor di

masing-masing negara anggota ASEAN. Lemahnya

penyelidikan pasar (market intellegence) merupakan fenomena umum para eksportir Indonesia yang menyebabkan dinamika penawaran dan permintaan komoditi pertanian di kawasan ASEAN (dan juga kawasan dunia lainnya) tidak terpantau secara baik. 5 Fitriana (2012) ; Dampak

Kebijakan Impor dan Faktor

Eksternal terhadap

Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Bawang Merah di Indonesia

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, permintaan, impor, dan harga bawang merah.

2. Menganalisis dampak kebijakan tarif impor, kuota impor, dan faktor eksternal terhadap penawaran, permintaan, dan harga bawang merah.

3. Menganalisis dampak kebijakan tarif impor, kuota impor, dan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen bawang merah di Indonesia.

Model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Squares. Simulasi kebijakan :

1.Penetapan kebijakan tarif

impor bawang merah

sebesar 20 persen.

2.Penerapan kebijakan tarif

impor bawang merah

sebesar 12,5 persen. 3.Penerapan kebijakan tarif

impor bawang merah

menjadi 40 persen. 4. Penghapusan tarif impor

bawang merah menjadi sebesar nol persen. 5. Penurunan harga riil

bawang merah dunia

sebesar 12 persen.

6.Penerapan kebijakan penurunan kuota impor bawang merah sebesar 50 persen.

Produksi bawang merah dipengaruhi oleh harga riil bawang merah di tingkat produsen, luas areal panen, dan perubahan tingkat suku bungan bank persero. Permintaan bawang merah rumahtangga dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia, sedangkan permintaan non rumahtangga dipengaruhi oleh harga riil mie instan dan GDP riil masyarakat Indonesia. Impor bawang merah dipengaruhi oleh permintaan bawang merah rumahtangga dan impor bawang merah tahun sebelumnya. Harga riil bawang merah dipengaruhi oleh harga riil bawang merah dunia dan tarif impor bawang merah. Penerapan kebijakan tarif impor bawang merah berdampak pada peningkatan harga impor, penurunan impor bawang merah, penurunan penawaran, penurunan permintaan, dan peningkatan harga bawang merah domestik. Hal ini menyebabkan kesejahteraan produsen bawang merah dan penerimaan meningkat, sedangkan kesejahteraan konsumen bawang merah mengalami penurunan. Penerapan tarif impor sebesar sembilan persen telah mampu melindungi petani bawang merah dari adanya penurunan harga dunia. Secara nasional penerapan kebijakan tarif berdampak pada peningkatan kesejahteraan bersih. Kebijakan penghapusan tarif impor bawang merah dapat menurunkan harga impor, meningkatkan impor, meningkatkan penawaran dan permintaan, serta menurunkan harga


(38)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

7.Kombinasi penerapan tarif

impor bawang merah

sebesar 9 persen dan penurunan harga dunia sebesar 12 persen.

8.Kombinasi penghapusan tarif impor bawang merah dan penurunan harga dunia sebesar 12 persen.

bawang merah domestik. Kebijakan tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan produsen

bawang merah, berkurangnya penerimaan

pemerintah, dan peningkatan kesejahteraan konsumen. Secara nasional penghapusan tarif impor

bawang merah berdampak pada penurunan

kesejahteraan bersih.


(39)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Komponen utama perdagangan gula di Indonesia mencakup kegiatan produksi, konsumsi, dan impor. Berikut dipaparkan teori dari fungsi produksi dan penawaran, fungsi permintaan, harga, teori perdagangan internasional, permintaan impor, surplus produsen dan surplus konsumen, serta dampak tarif terhadap kesejahteraan.

3.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran

Produksi adalah proses mengubah input menjadi output sehingga menciptakan nilai tambah untuk suatu barang atau komoditas. Fungsi produksi berkaitan dengan hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, et al., 1987). Fungsi produksi mengasumsikan bahwa produsen bertindak rasional yaitu selalu memaksimumkan keuntungan. Fungsi produksi gula dapat dirumuskan sebagai berikut :

QGTT = f (LATT, TKGT, ILGT) ... (3.1) Dimana :

QGTT = Produksi gula (Ton) LATT = Luas areal tebu (Ha) TKGT = Tenaga kerja (HOK)

ILGT = Input produksi lainnya (Unit)

Sehingga persamaan biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut :

C = C0 + Pl*LATT + Pt*TKGT + Pi*ILGT ... (3.2)

Dimana C adalah biaya total, C0 adalah biaya tetap, sedangkan Pl, Pt, Pi adalah

harga lahan, upah tenaga kerja, dan harga input lain.

Keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya produksi. Jika PKGR adalah harga gula maka fungsi keuntungan produsen gula dapat dirumuskan sebagai berikut :

π = PKGR*QGTT – C

π = PKGR * f (LATT, TKGT, ILGT) – (C0 + Pl * LATT + Pt * TKGT +


(40)

Fungsi keuntungan maksimum akan tercapai apabila turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol, maka diperoleh :

δπ/ δLATT = PKGR*MPLATT– Pl = 0 maka PKGR*MPLATT = Pl ... (3.4)

δπ/ δTKGT = PKGR*MPTKGT– Pt = 0 maka PKGR*MPTKGT = Pt .. (3.5)

δπ/ δILGT = PKGR*MPILGT– Pi = 0 maka PKGR*MPILGT = Pi ... (3.6)

Berdasarkan syarat orde pertama, keuntungan produsen akan maksimum jika pada suatu tingkat produksi tertentu diperoleh nilai produk marjinal masing-masing input sama dengan harga yang harus dibayarkan untuk memperoleh input tersebut. Selanjutnya fungsi (3.4), (3.5), dan (3.6) dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut :

VMPLATT = Pl ... (3.7)

VMPTKGT = Pt ... (3.8)

VMPILGT = Pi ... (3.9)

Berdasarkan fungsi (3.7), (3.8), dan (3.9) dapat diperoleh fungsi permintaan masing-masing inputnya, yaitu LATTd, TKGTd, ILGTd adalah permintaan terhadap lahan, tenaga kerja, dan input lain.

LATTd = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.10) TKGTd = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.11) ILGTd = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.12) Substitusi fungsi permintaan input (3.10), (3.11), dan (3.12) ke dalam fungsi produksi (3.1) maka didapatkan fungsi penawaran gula sebagai berikut :

QSGT = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.13) Persamaan (3.13) menunjukkan bahwa penawaran gula merupakan fungsi dari harga gula (PKGR) dan harga input seperti lahan, tenaga kerja, dan input lainnya. Harga lahan tidak tersedia dalam kurun waktu penelitian sehingga harga lahan tidak diperhitungkan.

3.1.2. Fungsi Permintaan

Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu. Permintaan berkaitan dengan keinginan konsumen akan suatu barang dan jasa yang ingin dipenuhi. Fungsi permintaan menyatakan bahwa kuantitas yang diminta tergantung pada harga, pendapatan, dan preferensi (Nicholson, 2002). Menurut Koutsoyiannis (1979) fungsi permintaan diturunkan


(41)

dari fungsi utilitas konsumen yang dimaksimumkan dengan kendala tingkat pendapatan tertentu. Fungsi utilitas konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut :

U = u (Q, R) ... (3.14) Dimana :

U = Total utilitas mengkonsumsi gula Q = Jumlah konsumsi gula (Ton)

R = Jumlah konsumsi komoditas lain (substitusi/komplementer) (Unit) Konsumen yang rasional akan selalu memaksimumkan kepuasannya terhadap konsumi suatu komoditas pada tingkat harga yang berlaku dan pada tingkat pendapatan tertentu. Tingkat pendapatan merupakan kendala dalam memaksimumkan fungsi utilitas yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : Y = PKGR * Q + PR * R ... (3.15) Dimana :

Y = Tingkat pendapatan konsumen (Rp) PKGR = Harga gula per unit (Rp/Kg)

PR = Harga komoditas lain per unit (Rp/Unit)

Dari persamaan (3.14) dan (3.15) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang akan dimaksimumkan dengan kendala pendapatan sebagai berikut :

Z = U (Q, R) + λ (Y – PKGR*Q – PR*R) ... (3.16)

Dimana λ adalah lagrangian multiplier. Guna memaksimumkan fungsi Z, maka

turunan dari fungsi tersebut sama dengan nol, maka diperoleh :

δz/ δQ = δU/ δQ –λ PKGR = 0 atau MUQ= λ PKGR ... (3.17)

δz/ δR = δU/ δR –λ PR = 0 atau MUR= λ PR ... (3.18) δz/ δλ = Y – PKGR*Q – PR*R = 0 ... (3.19) dengan menyelesaikan persamaan (3.17) dan (3.18) maka diperoleh nilai :

λ = MUQ/PKGR = MUR/PR atau MUQ/MUR = PKGR/PR ... (3.20)

dimana MUQ dan MUR masing-masing adalah utilitas marjinal komoditas Q dan

R.

Persamaan (3.17), (3.18), dan (3.19) menunjukkan bahwa PKGR, PR, dan Y merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi permintaan gula sehingga fungsi permintaan gula dapat dirumuskan sebagai berikut :


(42)

Gula merupakan salah satu komoditas yang berfungsi sebagai bahan utama yang tidak dapat digantikan sehingga gula tidak memiliki komoditas substitusi. Oleh karena itu, harga komoditas substitusi tidak termasuk sebagai salah satu faktor yang menentukan jumlah permintaan gula. Menurut Lipsey, et al. (1987) selain dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut dan pendapatan, permintaan suatu komoditas dipengaruhi oleh selera, distribusi pendapatan di antara rumahtangga, dan besarnya populasi.

3.1.3. Harga

Harga merupakan sejumlah uang yang harus dikeluarkan untuk memperoleh satu unit komoditas. Dalam teori ekonomi disebutkan bahwa harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Penawaran berhubungan dengan produsen sedangkan permintaan berhubungan dengan konsumen. Harga yang terbentuk dan telah disepakati oleh produsen dan konsumen merupakan harga pasar. Pada tingkat harga tersebut jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta. Harga pasar disebut juga harga keseimbangan (ekuilibrium).

Harga pasar memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai (Nicholson, 2002) : 1. Pemberi sinyal/informasi bagi produsen mengenai berapa banyak barang yang

seharusnya diproduksi untuk mencapai laba maksimum.

2. Penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum.

Kenaikan dalam permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif. Penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika terjadi peningkatan penawaran maka harga akan cenderung turun. Penurunan harga ini disebabkan oleh kuantitas barang yang ditawarkan produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau yang diinginkan oleh konsumen (Fitriana, 2012).

Pembentukan harga pada komoditas pangan/pertanian lebih dipengaruhi oleh penawaran karena permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan tren. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran komoditas pangan/pertanian adalah faktor produksi/panen dan perilaku penyimpanan (Tomek, 2000). Variasi harga besar pada saat musim tanam dan mengecil pada saat musim panen


(1)

Lampiran 12. Lanjutan

LPPGR = LAG (PPGR) ;

LPPPR = LAG (PPPR) ;

LKPPG = LAG (KPPG) ;

LSBKR = LAG (SBKR) ;

LPPUR = LAG (PPUR) ;

LPOPU = LAG (POPU) ;

LTMGT = LAG (TMGT) ;

LQSGT = LAG (QSGT) ;

PARM

A0

271512.3

A1

0.022181

A2 -

0.04157

A3 -

0.08622

A4 -

0.85009

A5

1.195236

B0

97971.48

B1

0.007117

B2 -

67.9086

B3 -

0.01825

B4 -

1.24576

B5

0.011098

C0 -

31550.4

C1

0.000400

C2 -

276.102

C3 -

0.00379

C4

0.265906

C5

0.791304

D0 -

1.90643

D1

6.527E-7

D2 -

0.00014

D3

0.681679

D4

0.001622

D5

0.443404

E0 -

0.36260

E1

1.89E-6

E2 -

0.00023

E3

0.499303

E4

0.038149

E5

0.195496

F0 -

0.90547

F1

0.000019

F2 -

0.00038

F3

0.870560

G0

956245.3

G1 -

0.23811

G2

0.494037

G3

0.092469

H0 -

86298.9

H1 -

0.01765

H2

3.738226

H3

35466.46

H4

0.595997

I0

934125.9

I1

0.399810

I2 -

0.10443

I3 -

30161.5

J0 -

301.300

J1

0.070704

J2

1.302188

J3

0.670957

K0

469104.1

K1 -

0.08379

K2

0.650286

K3

0.515651

L0

1753341

L1

0.334862

L2

0.257241

M0

516406.7

M1

0.753963

M2

0.059253

;

/*STRUCTURAL EQUATIONS*/

LATR

= A0 + A1*PPGR + A2*(PPPR-LPPPR) + A3*PPUR + A4*UTKR +

A5*(KPPG-LKPPG) ;

LATN

= B0 + B1*LPBGR + B2*LSBKR + B3*PPUR + B4*UTKR + B5*LLATN ;

LATS

= C0 + C1*(PKGR-LPKGR) + C2*SBKR + C3*(PPUR-LPPUR) +

C4*KPPG + C5*LLATS ;

YGTR

= D0 + D1*LATR + D2*CRHJ + D3*REND + D4*T + D5*LYGTR ;

YGTN

= E0 + E1*LATN + E2*CRHJ + E3*REND + E4*T + E5*LYGTN ;

YGTS

= F0 + F1*LLATS + F2*CRHJ + F3*REND ;

QDGR

= G0 + G1*PKGR + G2*(POPU-LPOPU) + G3*PPKR ;

QDGI

= H0 + H1*LPBGR + H2*NTIR + H3*T + H4*LQDGI ;

MGTT

= I0 + I1*QDGT + I2*(PMGR*ERIR) + I3*LTMGT ;

PMGR

= J0 + J1*(((MGTT-LMGTT)/LMGTT)*

100

) + J2*PWGR + J3*LPMGR ;

PKGR

= K0 + K1*LQSGT + K2*QDGT + K3*LPKGR ;

PBGR

= L0 + L1*PKGR + L2*LPBGR ;

PPGR

= M0 + M1*PBGR + M2*LPPGR ;

/*IDENTITY EQUATIONS*/

QGTR

= (LATR*YGTR)*

1.003

;

QGTN

= (LATN*YGTN)*

1.003

;

QGTS

= (LATS*YGTS)*

1.003

;

QGKP

= QGTR + QGTN + QGTS ;

QGTT

= QGKP + QGKR ;

QSGT

= QGTT + STGT + MGTT - XGTT ;

QDGT

= QDGR + QDGI ;

ID TAHUN ;

RANGE TAHUN =

2003

TO

2012

;

PROC

PRINT

DATA=VALIDASI;


(2)

Model Summary

Model Variables 20 Endogenous 20 Parameters 61 Range Variable Tahun ID Variables 1 Equations 20 Number of Statements 38 Program Lag Length 1

The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options

DATA= SIMULASI OUT= HASIL

Solution Summary

Variables Solved 20 Simulation Lag Length 1 Solution Range Tahun First 2003 Last 2012 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.18E-16 Maximum Iterations 2 Total Iterations 20 Average Iterations 2

Observations Processed Read 11 Lagged 1 Solved 10 First 14 Last 23

Variables Solved For

LATR LATN LATS YGTR YGTN YGTS QGTR QGTN QGTS QGKP QGTT QSGT QDGR QDGI QDGT MGTT PMGR PKGR PBGR PPGR


(3)

Lampiran 13. Lanjutan

The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2003 To 2012 Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label LATR 10 10 225364 28815.1 230053 27285.1 Luas areal perkebunan tebu rakyat (Ha) LATN 10 10 81762.7 4634.9 81280.5 1916.2 Luas areal perkebunan tebu negara (Ha) LATS 10 10 99763.5 13702.5 91081.6 14376.1 Luas areal perkebunan tebu swasta (Ha) YGTR 10 10 5.4801 0.3852 5.4354 0.3403 Produktivitas gula hablur perkebunan rakyat (Ton/Ha) YGTN 10 10 4.7258 0.3465 4.6001 0.2964 Produktivitas gula hablur perkebunan besar negara (Ton/Ha)

YGTS 10 10 6.5924 0.7146 6.4199 0.4637 Produktivitas gula hablur perkebunan besar swasta (Ton/Ha) QGTR 10 10 1241589 197666 1257270 190141 Produksi gula kristal putih perkebunan rakyat (Ton)

QGTN 10 10 387107 29785.1 375175 28013.7 Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara (Ton) QGTS 10 10 658688 103781 588772 117930 Produksi gula kristal putih perkebunan besar swasta (Ton) QGKP 10 10 2287383 294177 2221218 315717 Produksi gula kristal putih Indonesia (Ton) QGTT 10 10 3726224 1002264 3660059 1046455 Produksi gula Indonesia (Ton) QSGT 10 10 6194137 1626798 6566177 1411670 Penawaran gula Indonesia (Ton) QDGR 10 10 2609068 219175 2625359 166542 Permintaan gula rumahtangga (Ton) QDGI 10 10 1838643 673028 1766784 534393 Permintaan gula industri (Ton) QDGT 10 10 4447712 785712 4392143 698602 Permintaan gula domestik (Ton) MGTT 10 10 1733124 735216 2171329 197844 Volume impor gula (Ton) PMGR 10 10 303.2 49.9649 300.0 201.8 Harga riil gula impor (US$/Ton) PKGR 10 10 5715386 965010 5583782 652199 Harga riil gula di tingkat

konsumen (Rp/Ton)

PBGR 10 10 4846601 610130 4841443 295319 Harga riil gula di tingkat pedagang besar (Rp/Ton) PPGR 10 10 4340485 564708 4424084 236433 Harga riil gula di tingkat petani


(4)

LATR 10 4688.6 2.5035 15115.0 6.7455 17431.1 7.8442 0.5934 Luas areal perkebunan tebu rakyat (Ha) LATN 10 -482.2 -0.2688 3968.7 4.9008 5125.7 6.3424 -.3589 Luas areal perkebunan tebu negara (Ha) LATS 10 -8681.9 -8.6841 9304.0 9.2445 10861.1 10.5889 0.3019 Luas areal perkebunan tebu swasta (Ha) YGTR 10 -0.0447 -0.6481 0.2138 3.8302 0.2787 4.8963 0.4184 Produktivitas gula hablur perkebunan rakyat (Ton/Ha) YGTN 10 -0.1257 -2.3366 0.2994 6.1760 0.3807 7.6903 -.3415 Produktivitas gula hablur perkebunan besar negara (Ton/Ha)

YGTS 10 -0.1725 -1.7048 0.6462 9.7170 0.7472 11.0721 -.2146 Produktivitas gula hablur perkebunan besar swasta (Ton/Ha) QGTR 10 15681.8 1.9419 109256 8.6037 133310 9.9959 0.4946 Produksi gula kristal putih perkebunan rakyat (Ton)

QGTN 10 -11931.5 -2.6963 26943.7 6.8988 35194.0 8.8541 -.5513 Produksi gula kristal putih perkebunan besar negara (Ton) QGTS 10 -69915.3 -9.8313 112479 16.5158 122690 17.9008 -.5529 Produksi gula kristal putih perkebunan besar swasta (Ton) QGKP 10 -66165.0 -2.6601 156532 6.6145 208893 8.4894 0.4397 Produksi gula kristal putih Indonesia (Ton) QGTT 10 -66165.0 -1.9603 156532 4.1196 208893 5.3610 0.9517 Produksi gula Indonesia (Ton) QSGT 10 372040 8.0901 721501 12.7823 830791 14.9593 0.7102 Penawaran gula Indonesia (Ton) QDGR 10 16290.7 1.0665 142725 5.5930 199978 8.1735 0.0750 Permintaan gula rumahtangga (Ton) QDGI 10 -71859.7 -0.0813 188880 11.5538 247748 14.8302 0.8494 Permintaan gula industri (Ton) QDGT 10 -55569.0 -0.7003 225108 5.2650 276489 6.2556 0.8624 Permintaan gula domestik (Ton) MGTT 10 438205 43.5016 670086 51.5410 776172 65.2552 -.2383 Volume impor gula (Ton) PMGR 10 -3.2465 -4.8900 139.2 44.8837 163.7 51.9823 -10.93 Harga riil gula impor (US$/Ton) PKGR 10 -131604 -1.2289 426350 7.4918 559318 9.8026 0.6267 Harga riil gula di tingkatkonsumen (Rp/Ton)

PBGR 10 -5158.8 1.4131 410128 9.4075 560069 14.5455 0.0637 Harga riil gula di tingkat pedagang besar (Rp/Ton) PPGR 10 83599.4 3.4506 376762 9.5633 496910 14.2386 0.1397 Harga riil gula di tingkat petani (Rp/Ton)


(5)

Lampiran 13. Lanjutan

The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2003 To 2012 Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATR 10 3.0384E8 0.80 0.07 0.05 0.88 0.01 0.92 0.0768 0.0380 LATN 10 26272935 -0.21 0.01 0.29 0.70 0.25 0.74 0.0626 0.0314 LATS 10 1.1796E8 0.88 0.64 0.04 0.32 0.00 0.36 0.1080 0.0564 YGTR 10 0.0777 0.69 0.03 0.07 0.91 0.02 0.95 0.0507 0.0255 YGTN 10 0.1449 0.31 0.11 0.22 0.67 0.02 0.88 0.0804 0.0407 YGTS 10 0.5583 0.21 0.05 0.16 0.79 0.10 0.85 0.1127 0.0572 QGTR 10 1.777E10 0.74 0.01 0.10 0.89 0.00 0.98 0.1062 0.0528 QGTN 10 1.2386E9 0.27 0.11 0.29 0.60 0.00 0.88 0.0907 0.0461 QGTS 10 1.505E10 0.55 0.32 0.22 0.45 0.01 0.66 0.1842 0.0970 QGKP 10 4.364E10 0.77 0.10 0.17 0.73 0.01 0.89 0.0907 0.0460 QGTT 10 4.364E10 0.98 0.10 0.08 0.81 0.04 0.86 0.0543 0.0273 QSGT 10 6.902E11 0.88 0.20 0.00 0.80 0.06 0.74 0.1301 0.0635 QDGR 10 3.999E10 0.43 0.01 0.12 0.88 0.06 0.93 0.0764 0.0381 QDGI 10 6.138E10 0.94 0.08 0.14 0.77 0.28 0.63 0.1273 0.0655 QDGT 10 7.645E10 0.93 0.04 0.01 0.95 0.09 0.87 0.0613 0.0309 MGTT 10 6.024E11 0.43 0.32 0.02 0.66 0.43 0.25 0.4155 0.1918 PMGR 10 26799.8 0.67 0.00 0.95 0.05 0.77 0.23 0.5334 0.2470 PKGR 10 3.128E11 0.82 0.06 0.05 0.89 0.28 0.66 0.0966 0.0490 PBGR 10 3.137E11 0.31 0.00 0.03 0.97 0.28 0.72 0.1147 0.0576 PPGR 10 2.469E11 0.41 0.03 0.00 0.97 0.39 0.58 0.1136 0.0564

Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U LATR 10 0.00666 0.55 0.08 0.20 0.72 0.00 0.92 0.9272 0.4400 LATN 10 0.00410 0.62 0.01 0.06 0.93 0.05 0.95 0.8062 0.4420 LATS 10 0.0127 0.19 0.67 0.17 0.16 0.01 0.32 1.7412 0.8238 YGTR 10 0.00246 0.72 0.03 0.00 0.97 0.13 0.84 0.6811 0.3918 YGTN 10 0.00666 0.73 0.14 0.01 0.85 0.23 0.63 0.7108 0.4394 YGTS 10 0.0151 0.71 0.05 0.03 0.92 0.05 0.90 0.7260 0.3946 QGTR 10 0.0117 0.62 0.02 0.13 0.86 0.01 0.98 0.7887 0.3991 QGTN 10 0.00947 0.58 0.13 0.01 0.86 0.15 0.72 0.8278 0.5086 QGTS 10 0.0416 0.63 0.32 0.10 0.58 0.00 0.67 0.9824 0.5053 QGKP 10 0.00878 0.66 0.12 0.09 0.79 0.01 0.87 0.7824 0.4213 QGTT 10 0.00402 0.82 0.15 0.00 0.85 0.08 0.77 0.4083 0.2261 QSGT 10 0.0266 0.61 0.22 0.08 0.70 0.02 0.77 0.7813 0.3583 QDGR 10 0.00503 0.79 0.00 0.02 0.98 0.23 0.77 0.6017 0.3469 QDGI 10 0.0295 0.62 0.01 0.11 0.88 0.02 0.97 0.6807 0.3599

QDGT 10 0.00487 0.69 0.03 0.00 0.97 0.13 0.84 0.6128 0.3475 MGTT 10 0.3438 0.52 0.34 0.12 0.54 0.00 0.66 1.0577 0.4527

PMGR 10 0.2499 0.36 0.01 0.88 0.11 0.50 0.49 2.7635 0.7008 PKGR 10 0.0104 0.70 0.05 0.00 0.95 0.17 0.78 0.6770 0.4023 PBGR 10 0.0156 0.69 0.00 0.07 0.93 0.02 0.98 0.7384 0.3896 PPGR 10 0.0149 0.68 0.04 0.06 0.90 0.03 0.94 0.7548 0.3918


(6)

dari ayah Pujono (alm) dan ibu Tati Darwati. Penulis adalah anak kelima dari lima

bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 1

Sidodadi. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri

1 Sidomulyo. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah

Atas Negeri 2 Bandar Lampung. Pada tahun 2010, penulis lulus seleksi masuk

IPB dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas

Ekonomi dan Manajemen.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten praktikum

Ekonomi Umum pada tahun ajaran 2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014.

Penulis juga aktif mengajar privat siswa sekolah dasar dan menengah pertama.

Organisasi kemahasiswaan yang pernah diikuti oleh penulis antara lain Himpunan

Profesi REESA (

Resources and Environmental Economics Student Association

)

sebagai Sekretaris Umum pada tahun 2012-2013.

Penulis juga aktif mengikuti karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa seperti

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Karya tulis ilmiah yang penulis ajukan

pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) lolos didanai oleh DIKTI pada tahun

2012 (PKM bidang Kewirausahaan) dan tahun 2013 (PKM bidang Gagasan

Tertulis dan PKM bidang Kewirausahaan).