jangka pendek dan -0,23 dalam jangka panjang. Artinya, jika harga dasar gabah meningkat sebesar satu persen, maka produktivitas tebu akan turun sebesar 0,17
persen dalam jangka pendek dan 0,23 persen dalam jangka panjang, cateris paribus
. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa harga dasar gabah tidak responsif baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Perubahan tarif impor,
harga impor gula berpengaruh nyata secara positif terhadap produktivitas tebu tetapi tidak responsif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa produktivitas tebu tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas tebu dengan nilai koefisien
dugaan sebesar 0,276116. Artinya, jika terjadi kenaikan produktivitas tebu tahun sebelumnya sebesar satu ton per hektar, maka produktivitas tebu akan meningkat
sebesar 0,276116 ton per hektar, cateris paribus.
5.3.3 Harga Provenue Gula
Koefisien determinasi R
2
dari model harga provenue gula sebesar 0,83394 yang menyatakan bahwa 83,394 persen keragaman harga provenue gula
dapat diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model, yakni harga dasar gabah, impor gula, harga gula eceran, harga dunia, dan harga provenue gula
tahun sebelumnya sementara sisanya sebesar 16,606 persen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model tersebut. Hasil dugaan
parameter dan elastisitas harga provenue gula dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa secara statistik harga provenue
gula dipengaruhi secara nyata oleh harga dasar gabah, impor gula, harga gula eceran, dan harga provenue gula tahun sebelumnya dengan hubungan positif.
Kebijakan harga provenue gula mulai diterapkan pemerintah sejak tahun 1975
sejalan dengan program TRI. Salah satu argumen penting dalam kebijakan harga provenue
gula adalah memberi jaminan harga output untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh produsen gula, khususnya petani tebu. Harga provenue gula
biasanya ditetapkan pemerintah menjelang musim tanam tebu dimulai. Dengan demikian, petani memiliki kepastian harga output sehingga petani memiliki
informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan menanam tebu atau komoditas lainnya Susila, 2005.
Tabel 6. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Provenue Gula
Variabel Koefisien
t
hitung
P Elastisitas
Nama Variabel Pendek
Panjang Intercep
-268208 -2,15
0,0426 -
- Intersep HDG
0,457433 1,67
0,1095 D 0,21
0,28 Harga Dasar Gabah IMG
0,063375 1,71
0,0998 C 0,04
0,06 Impor Gula PNE
0,509195 5,09 0,0001 A
0,70 0,98 Harga Gula Eceran
PW 0,076731
1,18 0,2519
- - Harga Gula Dunia
LHPROV 0,254941
2,05 0,0519 C
- - Lag HPROV
R-Sq 0,83394
0,79784 23,10
1,5324 Adj R-Sq
F Stat DW Stat
Berdasarkan nilai elastisitas, harga dasar gabah bersifat inelastis atau tidak responsif baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas
masing-masing sebesar 0,21 dan 0,28. Hal ini menyatakan bahwa jika terjadi peningkatan harga dasar gabah satu persen, maka harga provenue gula akan
meningkat sebesar 0,21 persen dalam jangka pendek dan 0,28 persen dalam jangka panjang, cateris paribus. Harga provenue gula merupakan salah satu
kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka melindungi produsen atau petani tebu sehingga mereka terangsang untuk berproduksi.
Menurut Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2005, harga provenue gula selalu lebih besar daripada harga dasar gabah. Oleh karena itu, kenaikan harga dasar
gabah akan diikuti juga oleh kenaikan harga provenue gula.
Koefisien dugaan variabel impor gula sebesar 0,063375. Artinya, jika terjadi peningkatan impor gula sebesar satu ton, maka harga provenue gula akan
meningkat sebesar 0,063375 Rupiah per ton, cateris paribus. Seperti terlihat dari tanda koefisien dugaannya, harga gula eceran di Indonesia berpengaruh positif
terhadap harga provenue gula. Hal ini dapat dipahami karena kenaikan harga gula eceran akan mendorong peningkatan harga provenue gula. Dilihat dari nilai
elastisitasnya, impor gula bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,04 dan 0,06.
Artinya, jika impor gula naik sebesar satu persen, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar 0,04 persen dalam jangka pendek dan 0,06 persen dalam
jangka panjang, cateris paribus. Sementara itu, koefisien dugaan harga gula eceran sebesar 0,509195 yang
artinya jika terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu Rupiah per ton, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar Rp 0,509195 per ton, cateris
paribus . Harga gula eceran tidak responsif terhadap perubahan harga provenue
gula baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut terlihat dari nilai elastisitasnya yang masing-masing sebesar 0,70 dan 0,98. Artinya, jika
terjadi kenaikan harga gula eceran sebesar satu persen, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar 0,70 persen dalam jangka pendek dan 0,98 persen dalam
jangka panjang. Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga provenue gula dengan koefisien dugaannya sebesar 0,254941 yang mengindikasikan bahwa
jika terjadi kenaikan harga provenue gula tahun sebelumnya sebesar satu Rupiah per ton, maka harga provenue gula akan meningkat sebesar Rp 0,254941 per ton,
cateris paribus .
5.3.4 Stok Gula Indonesia