menunjukkan bahwa sekitar 187 720 hektar sawah di Indonesia telah terkonversi ke penggunaan lain setiap tahunnya. Apabila Rencana Tata Ruang dan Wilayah
yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi 7.3 juta hektar, hanya sekitar 4.2 juta hektar 57.6 persen yang dapat
dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3.01 juta hektar 42.4 persen terancam terkonversi ke penggunaan lain Winoto, 2005
Laju konversi lahan yang meningkat setiap tahunnya secara nyata akan mempengaruhi produksi padi selanjutnya ketahanan pangan nasional tidak
tercapai. Kerugian yang ditimbulkan konversi lahan dikemukakan Irawan 2005, seperti hilangnya peluang produksi padi sawah rata-rata sebesar 1.19 juta ton
per tahun atau 2.46 persen dari produksi padi sawah tahunan selama 2000-2002, dan lahan sawah yang sudah dikonversi tidak pernah berubah kembali menjadi
lahan sawah. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan diungkapkan
oleh Nasution dan Winoto 1996, Pakpahan et al. 2003 , Igbal 2007, dan Iqbal dan Sumaryanto 2007, yaitu : 1 implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah
RTRW yang lemah, 2 motif ekonomi pemilik lahan, 3 menurunnya kualitas lahan, 4 peluang memperoleh pendapatan rendah, 5 daerah persawahan
banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan, 6 infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering,
dan 7 dampak pembangunan, dimana pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsun cepat di
wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu terutama di Pulau Jawa ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
2.4 Penggunaan Benih
Tabel Lampiran 1 menunjukkan dinamika perkembangan kebijakan perberasan dalam Inpres, dimana pada kolom matriks terdapat hubungan dasar
pertimbangan menetapkan kebijakan dengan diktum dalam Inpres. Inpres yang secara eksplisit memuat tentang diktum penggunaan benih padi unggul
bersertifikat yaitu Inpres No 3 Tahun 2007. Tujuan penggunaan benih unggul bersertifikat yaitu untuk mencapai tujuan kebijakan perberasan.
Sembiring 2008 mengidentifikasi beberapa faktor kegagalan dari sisi
pembuat kebijakan pemerintah pusat sehingga kebijakan pengadaan benih tidak mencapai target yang ditentukan. Kegagalan kebijakan bantuan benih di tingkat
pembuat kebijakan karena: 1 ada lag waktu antara perubahan mekanisme kebijakan pengadaan benih dari sistim tender menjadi penunjukan langsung,
dengan keluarnya Surat Edaran Bersama SEB, 2 pedoman umum tentang kebijakan pengadaan benih belum tersedia, 3 pengadaan benih padi lamban
karena terkendala perubahan prosedur pengadaan, dari semula tender menjadi penunjukan langsung, 3 komitmen pemerintah melaksanakan kebijakan
pengadaan benih lemah, 4 kerjasama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah lemah, dan 5 kebijakan pengadaan benih kurang memperhatikan
”informasifakta”di lapangan, misalnya iklim dan infrastuktur. Pada kenyataannya pemda kurang meresponi kebijakan pengadaan benih. Bantuan benih yang
dijanjikan pemerintah pusat belum didistribusikan ke sejumlah petani di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Beberapa daerah sentra produksi di Jawa
Barat seperti Kerawang, Cirebon, Sukabumi dan Cianjur. Sentra produksi beras di
propinsi Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Bali, pengadaan benih kurang terealisasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan respon pemda terhadap kebijakan pengadaan benih kurang berhasil karena: 1 bupati atau walikota terkendala
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang menyebutkan proyek yang nilainya
lebih dari Rp 50 juta harus melalui tender, 2 pemahaman aparat pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah terhadap peraturan berbeda, 3 para bupati
atau walikota takut kebijakan pengadaan benih melalui penunjukan langsung terkait dengan persoalan hukum, 4 proses administrasi persetujuan penggunaan
anggaran untuk pengadaan benih belum selesai, dan 5 pemda kurang percaya terhadap keputusan di tingkat pemerintah pusat.
2.5 Penggunaan Pupuk
Inpres yang secara eksplisit memuat tentang diktum penggunaan pupuk berimbang yaitu Inpres No 3 Tahun 2007. Dalam perkembangannya, instrumen
kebijakan penggunaan pupuk berimbang berubah menjadi penggunaan pupuk anorganik dan organik secara seimbang, pada Inpres No 8 Tahun 2008, seperti
ditunjukkan pada Lampiran 4. Inpres tentang Kebijakan Perberasan tidak mencantumkan harga pupuk bersubsidi, tetapi ditetapkan melalui Peraturan
Menteri Pertanian yang dikeluarkan setiap tahun. Berdasarkan perhitungan Kariyasa, Maulana dan Murdianto 2004, maka
Harga Eceran Tertinggi HET pupuk urea pada tahun 2004 adalah Rp 1 130 per kg, sehingga subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah untuk melakukan
kebijakan subsidi sebesar Rp 251 per kg. Kebijakan HET dan subsidi pupuk