Permintaan Beras TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Metode Analisis Studi Terdahulu
Chambers dan Quiggin 2003 melakukan analisis stabilisasi harga terhadap perusahaan penghindar resiko dalam kondisi yang stokastik. Kondisi
stokastik yang dimaksud adanya harga-harga dan lingkungan produksi yang stokastik. Studi tersebut mempelajari dampak lingkungan stokastik terhadap
tingkat kesejahteraan perusahaan. Perusahaan penghindar resiko berusaha menyeimbangkan ketidak pastian harga terhadap ketidakpastian produksi untuk
memperoleh pendapatan dengan melakukan self insurance. Newbery dan Stiglitz 1981, Williams dan Wright 1991, Jha dan
Srinivasan 1999 mengemukakan bahwa kegiatan distribusi dapat mempengaruhi fluktuasi harga dan menciptakan ekonomi yang tidak efisien tetapi tujuan
stabilisasi harga tidak tercapai. Sedangkan Mc Gregor, 1998; Timmer, 2000; Dawe, 2001 berpendapat bahwa stabilisasi harga pangan dapat menyebabkan
pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan. Myers 2006 dalam studinya menguji kembali pendekatan Newbery dan
Stiglitz 1981 tentang standar biaya kesejahteraan fluktuasi harga pangan dengan menggunakan pendekatan kegunaan second-order Taylor, yang mendefinisikan
ukuran equivalent variation dari biaya kesejahteraan fluktuasi harga pangan. Fokus studi Newbery dan Stiglitz 1981 mengukur kesejahteraan terhadap
konsumen dan produsen, sedangkan studi Myers 2006 mengevaluasi dampak kesejahteraan terhadap rumah tangga sebagai produsen dan konsumen pangan.
Timmer 1996 menyebutkan keuntungan stabilisasi harga: 1 menurunkan tingkat resiko yang dihadapi petani sehingga investasi semakin
produktif dan mendorong petani melakukan investasi yang lebih besar melalui inovasi dan teknologi baru yang meningkatkan produktifitas usahatani beras, dan
2 konsumen diuntungkan melalui harga yang stabil. Keuntungan konsumen melalui stabilisasi harga berpengaruh nyata dari sisi keadilan, dan 3 mengurangi
kemiskinan. Menurut Timer 1996 ada dua fakta penting dari Tabel 13, yaitu : 1
Bulog telah menunjukkan kontribusi yang besar terhadap proses pertumbuhan ekonomi dalam 25 tahun melalui stabilisasi harga beras. Kontribusi stabilisasi
harga beras oleh Bulog pada periode 1969-74 sangat besar, mencapai 0.98 persen atau hampir mencapai seperenam dari peningkatan output total dalam periode
tersebut, dan 2 peranan Bulog melalui stabilisasi harga beras terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sepanjang tahun. Pada pertengahan
Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita ke Lima pada tahun 1991, kontribusi stabilisasi harga beras tinggal 0.19 persen terhadap pertumbuhan
ekonomi atau 3.8 persen terhadap kenaikan total dalam pendapatan per kapita. Penurunan tersebut disebabkan kontribusi beras terhadap perekonomian terus
menurun setiap tahun. Dengan kata lain, dampak stabilisasi harga beras terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi menurun sedangkan pendapatan per kapita
naik. Tabel 13 Kontribusi Stabilisasi Harga oleh Bulog terhadap Pertumbuhan Ekonomi
di Indonesia Tahun
Periode Pertumbuhan GDP
per Kapita Pertumbuhan GDP
per Kapita oleh Bulog
Pangsa Pertumbuhan GDP per Kapita oleh
Bulog 1969-74 5.96
0.96 16.4
1974-79 4.51 0.61
13.5 1979-84 4.17
0.28 6.7
1984-89 3.42 0.27
7.9 1989-91 5.01
0.19 3.8
Sumber: Timer 1996
Pengalaman Bulog yang dianggap sukses dalam melaksanakan stabilisasi harga beras, mendorong Poulton, C et al. 2006 menyarankan model Bulog
Indonesia sebagai model untuk melaksanakan stabilisasi harga pangan di Afrika. Bagi Pearson, S.et al. 1997, kebijakan stabilisasi harga yang membutuhkan
pembiayaan besar diimplementasikan oleh Bulog. Ellis 1993 mengemukakan bahwa pada musim surplus produksi bulan Februari-Mei, Bulog melakukan
pembelian gabahberas sekitar 1.3 juta ton dengan menggunakan kebijakan harga dasar gabah. Disisi lain, Yonekura 2005 melakukan studi tentang tahapan
reformasi kelembagaan Bulog menjadi perusahaan publik. Cummings Jr et al. 2006 mempelajari pengalaman negara-negara di Asia
tentang stabilisasi harga biji-bijian. Studi tersebut menunjukkan bahwa stabilisasi harga biji-bijian berdampak positip terhadap pertumbuhan sektor pertanian,
pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Cummings Jr et al. 2006 menunjukkan dengan data empiris bahwa pengalaman beberapa negara di Asia,
khususnya Indonesia, Pakistan, Fhilippina dan India berbeda dalam menghadapi stabilisasi harga biji-bijian. Timmer 2000 memandang bahwa pertumbuhan
ekonomi tersebut merupakan dimensi ”makro” dari ketahanan pangan. Smith, L. D 1997 mengemukakan bahwa stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah
akan berimplikasi terhadap kestabilan makroekonomi.