Studi konteks propinsi, Indonesia dan luar negeri, Cahyono 2001. Studi konteks propinsi oleh Sakrani 1978; Benu 1996; Hutauruk dan Sembiring 2002;
konteks Indonesia dengan propinsi oleh Sastrohoetomo 1984, sedangkan kabupaten Ritonga 2004.
2.2 Luas Panen Padi
Salah satu tujuan kebijakan dalam instruksi Presiden yaitu meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani apabila produksi padi
meningkat. Peningkatan produksi padi tidak terlepas dari teknologi dan sumberdaya yang dimiliki petani padi. Tabel 5 menunjukkan ada tujuh belas
jumlah variabel penjelas yang mempengaruhi luas panen padi. Jumlah variabel penjelas tersebut menggambarkan bahwa fenomena luas panen padi studi
beragam. Studi Hutauruk 1996, dan Hutauruk dan Sembiring 2002 memasukkan instrumen kebijakan perberasan dalam model. Dalam kurun waktu
tersebut, variabel penjelas harga dasar padi masih relevan dimasukkan sebagai variabel penjelas dalam persamaan fungsional luas areal padi.
Pedoman harga dasar dalam Inpres No 8 Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001 berubah menjadi harga dasar pembelian melalui Inpres No
9 Tahun 2001 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002. Dalam diktum pertama Inpres No 9 Tahun 2001 diberikan instruksi kepada menterikepala badan sampai
kepada para bupati dan walikota, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 3, untuk memberi dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi
beras nasional. Pada tanggal 1 Desember 1969, program Bimas disempurnakan menjadi
program Bimas Nasional dengan dibentuknya Badan Pengendalian Bimas melalui
Keputusan Presiden Kepres Nomor 95 tahun 1969. Bimas dikembangkan menjadi Intensifikasi Khusus Insus, selanjutnya menjadi Supra Insus. Berbagai
bentuk program intensifikasi tersebut memerlukan penerapan teknologi dan penyaluran kredit usahatani seperti kredit ketahanan pangan, kredit agribisnis dan
skim kredit lainnya. Disamping dukungan kredit, pemerintah juga menyediakan pupuk kimia yang disubsidi oleh pemerintah Hafsah dan Sudaryanto, 2004.
Tabel 5. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Luas Areal Padi Pada Persamaan Simultan
No Variabel Penjelas
P
1
P
2
P
3
P
4
P
5
P
6
P
7
P
8
P
9
1 Harga padi
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpk
g 2
Harga dasar padi Rpkg
Rpkg 3
Harga jagung Rpkg
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpkg Rpkg Rpk
g 4
Harga pupuk Rpkg
Rpkg Rpkg
Rpkg Rpkg
5 Rasio gabah
Rpkg 6
Suku bunga 7
Kredit usahatani Rpha
Rpha Rp
000ha Rp
8 Luas areal irigasi
000 ha 000 ha
Ha 9
Areal tanam padi 000ha
10 Konversi lahan
sawah 000 ha
000 ha 11 Curah
hujan mmth Mm
mmth mmth mmth mmt
h 12 Produktifitas
padi Tonha
Kuha 13 Lag
produktifitas padi
Kuha 14 Peubah
dummy √
15 Serangan hama
penyakit ha
16 Lag pengeluaran
riil irigasi Mlr rp
17 Lag luas
areal √
√ √
√ √
√ √
√ √
Jumlah variabel
7 7 6 5 8 4 5 6 7
Keterangan : P
1
= Hutauruk 1996; P
2
= Mulyana 1998; P
3
= Sitepu 2002; P
4
= Hutauruk dan Sembiring 2002; P
5
= Ritonga 2004; P
6
= Sugiyono 2005; P
7
= Sembiring 2007; P
8
= Sembiring et al 2008 dan P
9
= Kusumaningrum 2008
Studi Hutauruk 1996, Hutauruk dan Sembiring 2002 dan Sitepu 2002 memasukkan harga pupuk dan kredit usahatani sebagai variabel penjelas yang
mempengaruhi luas areal padi. Disisi lain, Kusumaningrum 2008 yang menggunakan data time series tahun 1981 - 2005 hanya memasukkan kredit
usahatani sebagai variabel penjelas, seperti ditunjukkan Tabel 5. Studi Sastrohoetomo 1984 menggunakan model pendugaan areal panen,
dimana luas areal panen setiap musim dipengaruhi oleh harga gabah di deflasi dengan Indeks Harga Konsumen, realisasi dosis pemupukan, areal tanam, bagian
areal tanam berupa sawah dalam persen, bagian areal tanam yang berupa sawah bermutu, bagian areal tanam yang menggunakan bibit varitas unggul baru, bagian
areal tanam yang puso tidak panen karena serangan hama penyakit dan bencana alam kekeringan dan atau kebanjiran, variabel boneka musim, musim hujan
diberi nilai 0, musim kemarau diberi nilai 1.
2.3 Konversi Lahan