Karakteristik Lanskap Sejarah Kawasan Empang

4.2 Identifikasi Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Identifikasi karakter lanskap sejarah bertujuan untuk mengetahui tatanan lanskap yang menjadi ciri khas dan identitas bagi kawasan Empang. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap elemen lanskap sejarah sebagai elemen pembentuk kawasan. Identifikasi karakter dan elemen lanskap sejarah kawasan Empang akan dijelaskan pada uraian berikut.

4.2.1 Karakteristik Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Kawasan Empang telah mengalami beberapa tahapan periode sejarah dalam perkembangan kawasannya, meliputi masa Kerajaan Pajajaran 1482- 1579, masa Kolonial Belanda 1754-1945, dan masa Kemerdekaan 1945- sekarang. Aspek politik, sosial-budaya, dan ekonomi yang berlaku pada setiap periode berpengaruh terhadap bentukan lanskap kawasan Empang. Setiap periode meninggalkan berbagai elemen yang menjadi karakter dari lanskap sejarah yang terbentuk saat ini. Pada awalnya, kawasan Empang merupakan bagian dari sebuah alun-alun luar Kota Pakuan yang membentang dari tepi Sungai Cisadane sampai ke Cipakancilan. Seperti alun-alun tradisional pada umumnya, alun-alun tersebut berupa lapangan terbuka yang dilengkapi oleh pohon beringin pada setiap tepinya sebagai salah satu ciri dari kelengkapan sebuah alun-alun tradisional. Sejak masa Pemerintahan Belanda, kawasan Empang mulai membentuk pola-pola ruang yang menjadi dasar perkembangan kawasan selanjutnya. Pola ruang terbagi berdasarkan fungsi kawasan yaitu zona I berupa zona pusat pemerintahan Kampung Baru, zona II berupa zona pemukiman Arab, dan zona III berupa zona pemukiman Pribumi Gambar 15. Kawasan Empang sebagai pusat pemerintahan Kampung BaruRegentscape Buitenzorg 1745-1872, memiliki pola ruang konsentrik dimana kegiatan pemerintahan berpusat di sekitar alun- alun. Hal tersebut mengikuti konsep pusat kota tradisional Jawa dengan pola tata letak yang dapat dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan Ekadjadi 2003, pola tata letak elemen lanskap menurut konsep pusat kota tradisional Jawa menempatkan posisi pendopo bupati, masjid, pasar, dan penjara dalam satu komunitas yang berpusat pada alun-alun. Pendopo bupati terletak di sebelah selatan, masjid di sebelah barat, pasar di sebelah utara, dan penjara di sebelah timur alun-alun. Gambar15 Gambar 16. Konsep Pusat Kota Tradisional Jawa Konsep pusat kota tradisional Jawa juga dapat diidentifikasi pada pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru. Namun penetapan kawasan Empang khususnya Pekojan sebagai zona pemukiman bagi etnis Arab, menghasilkan suatu tatanan lanskap yang khas pada pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru. Alun-alun sebagai pusat berbatasan dengan pendopo bupati disisi selatan, Masjid Agung Empang disisi barat, dan Pasar Bogor disisi utara. Perbedaan terletak pada elemen lanskap disisi timur alun-alun. Penjara tidak ditempatkan disana, melainkan terletak di dalam wilayah zona pemukiman pribumi, yaitu di Rawa Bolang dekat dengan Sungai Cisadane. Sementara pada sisi timur alun-alun, terdapat kediaman bagi Kapiten Arab. Pola pusat pemerintahan Kampung Baru dapat dilihat pada Gambar 17. Kawasan Empang sebagai tipe lanskap pemukiman memiliki nilai sejarah bagi perkembangan Kota Bogor karena merupakan suatu produk khas dari sistem politik dan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Belanda serta sistem sosial- budaya suatu kelompoksuku masyarakat etnik pada masa lalu. Masyarakat etnis Arab dan Sunda yang telah lama bermukim di kawasan ini memberi pengaruh terhadap tatanan khas lanskap sejarah kawasan Empang. Gambar 17 Sejak diberlakukannya kebijakan wijkenstelsel tahun 1835-1915, kawasan Empang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman bagi bangsa Arab dan Pribumi. Kawasan Empang khususnya Pekojan, Kaum, dan Lolongok menjadi wilayah pemukiman bagi bangsa Arab. Sementara bangsa Pribumi menempati kawasan selatan pemukiman Arab yang berada di sekitar bantaran Sungai Cisadane. Pola pemukiman bangsa Arab dan Pribumi memiliki perbedaan karakter. Namun pada hakekatnya pola pemukiman tumbuh dan berkembang karena perkembangan individu dari setiap rumah. Pola tata ruang pemukiman Arab menempatkan masjid sebagai pusat pemukimannya Gambar 18. Keberadaan masjid sebagai simbol masyarakat Arab yang beragama Islam menduduki posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena masjid merupakan pusat pertemuan orang-orang beriman dan menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat Widodo, 1996. Mengingat fungsi penting yang dimiliki masjid, maka masjid menempati hierarki ruang paling tinggi di dalam pemukiman Arab serta berfungsi menentukan arah orientasi dari rumah- rumah yang ada dan perkembangan pemukiman selanjutnya. Tipe pola pemukiman Arab seperti yang telah dijelaskan dapat diidentifikasi pada pemukiman Arab di Empang. Masjid Agung Empang, Masjid At Taqwa, dan Masjid An Noer menjadi pusat bagi pemukiman Arab yang ada di sekelilingnya. Gambar 18. Pola Pemukiman Arab Masjid Agung Empang menjadi pusat bagi perkampungan Kaum, Masjid At Taqwa menjadi pusat bagi perkampungan Pekojan, dan Masjid An Noer menjadi pusat bagi perkampungan Lolongok. Perkembangan pola pemukiman juga dipengaruhi oleh adanya hubungan pertalian keluarga diantara penghuni dalam kawasan pemukiman komunitas Arab. Tipe seperti ini dapat dilihat pada Masjid An Noer yang dikelilingi oleh rumah-rumah warga keturunan Arab bermarga al- Attas. Berdasarkan Widodo 1996, ruang terbuka merupakan elemen pendukung bagi pemukiman Islam. Ruang terbuka berfungsi sebagai perluasan masjid ketika melaksanakan aktivitas tambahan yang tidak dapat ditampung dalam masjid. Hubungan fungsional seperti yang telah dijelaskan dapat dilihat pada pemukiman Arab Empang dimana alun-alun sebagai ruang terbuka merupakan perluasan dari Masjid Agung Empang. Pola pemukiman Arab di kawasan Empang serta hubungan fungsional antara alun-alun dan masjid secara spasial dapat dilihat pada Gambar 19. Pola tata ruang pemukiman Pribumi masyarakat Empang tidak memiliki acuan atau orientasi tertentu sehingga perkembangannya cenderung tidak tertata dengan baik. Tidak seperti pemukiman Arab yang menempatkan masjid sebagai pusat pemukimannya, dalam pemukiman pribumi tidak terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman. Rumah-rumah penduduk pribumi umumnya merupakan bangunan semi atau non-permenen yang awalnya berkembang secara linear di daerah aliran Sungai Cisadane. Pemukiman pribumi selanjutnya berkembangan mengikuti pola jalan dengan alasan praktis untuk mendapat kemudahan terhadap akses jalan

4.2.2 Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang