cukup ramai dan penting. Salah satu bandar Kerajaan Pajajaran yang terpenting dan terbaik adalah Kalapa yang dapat ditempuh kira-kira dua hari perjalanan dari
pusat kota Pajajaran dengan menggunakan kapal atau perahu melalui Sungai Ciliwung.
Gambar 4. Denah Benteng Kerajaan Pajajaran Sumber : Danasasmita, 1983
4.1.2 Periode Kolonial Belanda 1754-1945
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, bekas ibu kota Kerajaan Pajajaran telah berkembang menjadi sebuah wilayah pusat pemerintahan
Karesidenan Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Bogor terhitung sejak tahun 1754-1872. Karesidenan
tersebut merupakan gabungan dari sembilan buah kampung dan dikepalai oleh seorang bupati pribumi yang diberi gelar Demang. Setelah dihapuskannya
Karesidenan Kampung Baru oleh pemerintah Kolonial Belanda, kawasan Empang mulai berkembang menjadi konsentrasi pemukiman bagi warga keturunan Arab
1835-1945.
a Kondisi Fisik
Awal perkembangan kawasan Empang sebagai ibu kota kabupaten dimulai sejak bupati Kampung Baru, Demang Wiranata, mengajukan permohonan
penyewaan Tanah Sukahati kepada Gubernur Jendral Mossel untuk dijadikan sebagai tempat kediamannya. Semula, pusat pemerintahan yang berada di Tanah
Baru merupakan daerah tandus dengan ketersediaan air yang terbatas. Demang Wiranata menilai bahwa Tanah Sukahati merupakan lahan yang subur dengan
ketersediaan air yang melimpah serta pemandangan Gunung Salak yang indah. Itulah alasan mengapa kawasan ini diberi nama Sukahati karena dapat membuat
hati seseorang menjadi senang apabila berada di kawasan tersebut. Sejak tahun 1754, pusat pemerintahan Kampung Baru resmi berpindah dari Tanah Baru ke
Sukahati. Sebuah sketsa yang melukiskan kunjungan Gubernur Jenderal Van der
Parra 1761-1775 kepada bupati Kampung Baru di Sukahati memberikan informasi bahwa bila seseorang berdiri di bawah jembatan kereta api sekarang
akan tepat berhadapan dengan rumah bupati tersebut Gambar 5.
Gambar 5. Alun-alun Empang Abad Ke-18 Sumber : Danasasmita, 1983
Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati di Sukahati terletak di sebelah timur Sungai Cisadane dekat dengan muara Sungai
Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah dalam Balebat, 2007 menyebutkan
bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah galeri dari kayu
dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Bangunan pendopo bupati dibatasi oleh :
Sebelah Utara
: berupa lapangan luas yang difungsikan sebagai alun-alun kabupaten. Disetiap sisi alun-alun ditanami pohon
beringin Ficus elastica. Diluar pagar alun-alun, terdapat kolam ikan besar vijver. Masyarakat saat itu menyebut
kolam ini dengan nama empang.
Sebelah Timur : berupa parit besar dan tebing terjal sisa peninggalan
benteng alam Kerajaan Pajajaran. Parit tersebut dikenal dengan nama Parit Cibalok. Sementara jalan sempit yang
memisahkan tebing dengan parit dikenal dengan nama Lolongok.
Sebelah Selatan : merupakan kolam yang dibuat disisi sebelah barat Parit
Cibalok. Kolam tersebut kemudian dikenal dengan nama Kolam Jaya. Di seberangnya, terdapat rumah bagi
penghulu dan para kerabat bupati. Tidak jauh dari sana, lebih ke arah selatan, terdapat Kampung Rawa Balong
yang dijadikan tempat interniran tahanan yang melawan pemerintah Belanda. Diantara yang ditawan itu adalah
Gusti Arsyad atau lebih dikenal dengan nama Ratu Saleh dari Banjarmasin beserta keluarganya. Sampai saat ini,
bekas pemukiman para tawanan Belanda diabadikan menjadi nama sebuah gang, yaitu Gang Banjar.
Sebelah Barat
: berupa mushola tempat melakukan ibadah shalat secara bersama-sama. Di belakang mushola sebelah timur
Sungai Cisadane terdapat Kampung Kaum sebagai tempat tinggal para petugas masjid marbot.
Tanggal 28 Oktober 1763 dikeluarkan akte resmi pembentukan Karesidenan Kampung Baru Regentscape Buitenzorg yang setingkat dengan
kabupaten. Sejak tahun 1770, nama Empang sudah mulai muncul dan masyarakat lebih sering menyebut kawasan ini dengan nama Empang. Sebutan ini berangsur-
angsur mendesak nama Sukahati. Dokumen tanggal 28 November 1815 secara resmi sudah menyebut kawasan ini dengan nama Empang Soelaeman, 2004.
Kegiatan pemerintahan Kampung Baru berpusat di alun-alun Empang. Konsep alun-alun berkembang sebagai identitas pusat pemerintahan bagi kota-kota di
Jawa pada masa Kolonial Belanda Mustapa, 2010. Pada masa pemerintahan Demang Aria Natanegara 1761-1789 dibangun
saluran air dari Empang menuju Kedungbadak yang sangat penting bagi perkembangan pertanian. Demang Aria Natanegara membangun bendungan pada
muara Sungai Cipakancilan dan menyalurkan alirannya melalui kanal buatan. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua dengan Sungai
Cipakancilan. Pengalihan aliran air membentuk Empang Pulo. Aliran Sungai Cipakancilan dipecah kembali dengan kanal Cidepit dan selanjutnya aliran air
tersebut disalurkan menuju Sungai Ciliwung. Saluran air dan bendungan yang diselesai dibuat tahun 1776 merupakan penerapan teknologi maju pengelolaan air
karya bangsa pribumi yang dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial Belanda Danasasmita, 1983.
Pada awal abad ke-19, belum terdapat bangunan megah berupa masjid yang berada di sebelah barat alun-alun. Dari lukisan karya R. Toelar yang dibuat
tanggal 18 April 1847 Gambar 6, didapat informasi bahwa di wilayah Empang, yang dicirikan oleh Gunung Salak, saat itu baru terdapat bangunan kecil dengan
atap berundak yang diidentifikasi sebagai sebuah surau Iskandar, 2010. Surau tersebut merupakan cikal bakal Masjid Agung Empang yang ada sekarang.
Kepindahan pusat pemerintahan Kampung Baru membangkitkan kegiatan perekonomian, sampai terbentuk sebuah pasar di arah utara Empang yang saat ini
dikenal dengan nama Pasar Bogor. Keberadaan pasar tersebut menarik minat para
pedagang asing untuk ikut berdagang di Buitenzorg. Oleh pemerintah Belanda para pedagang asing dimasukan ke dalam golongan timur asing vreemde
oosterlingen yang kedudukannya lebih tinggi dari golongan pribumi inlanders de Jonge, 2000.
Gambar 6. Lukisan R. Toelar Tahun 1843 Sumber : Tropenmuseum, 2010
Perbedaan penggolongan ini bertujuan untuk menjaga agar bangsa pribumi tidak mendapatkan pengaruh berbahaya dari keberadaan bangsa timur asing.
Untuk itu, maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang mengatur pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis. Kebijakan tersebut
dikenal dengan wijkenstelsel yang mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Gubernur Jendral Belanda J.J Rochussen tahun 1835. Mereka membagi tanah jajahan
kedalam tiga zona, yaitu zona satu untuk bangsa Eropa, zona dua untuk bangsa Timur Asing, dan zona tiga untuk bangsa Pribumi Gambar 7.
Kawasan Empang khususnya Pekojan, diperuntukkan bagi orang Arab yang bermukim di Buitenzorg. Para pedagang Arab diharuskan untuk bermukim
di dalam Pekojan dan tidak diijinkan keluar kawasan pemukimannya tanpa adanya surat ijin wijken-en passenstelsen dari pemerintah Belanda. Sementara bangsa
pribumi mendiami bagian selatan Empang dan wilayah lain di pinggiran Buitenzorg.
Gambar 7. Pembagian Zona Etnis di Buitenzorg Tahun 1745-1845 Sumber : Universitas Parahyangan, 198586
Pekojan merupakan kawasan dataran rendah berupa lembah di sebelah selatan pemukiman orang Cina dan berbatasan dengan pusat pemerintahan
Kampung Baru. Menurut Prof Dr LWC van den Berg yang pernah meneliti perkampungan komunitas Arab pada tahun 1884-1886, sebelum dihuni oleh orang
Arab dari Hadramaut, Pekojan lebih dulu menjadi pemukiman bagi orang Benggali yang berasal dari India. Kata Pekojan berasal dari kata koja, sebutan
untuk muslim India yang datang dari Benggali. Berdasarkan kesamaan profesi dan kepercayaan, para imigran Arab dan Benggali hidup berdampingan dalam
perkampungan yang sama. Dalam perkembangannya jumlah orang Arab semakin banyak jumlahnya. Lama kelamaan Pekojan yang awalnya di huni oleh orang
Benggali digantikan oleh orang Arab van den Berg, 2010.
Bersamaan dengan diberlakukannya zona pemukiman di Buitenzorg, pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan yang melarang mendirikan
warung, toko, ataupun pasar di kawasan Empang. Akibat peraturan tersebut, para pedagang Arab menjual barang dagangannya secara berkeliling dari rumah ke
rumah. Mereka tidak memiliki toko seperti orang Cina di wilayah pemukimannya de Jonge, 2000.
Tahun 1870, Ratu Belanda mengeluarkan besluit keputusan yang menyebutkan bahwa pusat pemerintahan Hindia-Belanda dipindahkan dari
Batavia Jakarta ke Buitenzorg Bogor. Dengan adanya keputusan tersebut, tata pemerintahan pun berubah. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1872
Karesidenan Kampung Baru dihapuskan. Sejak itu, banyak dari para kerabat bupati memilih untuk pindah dan bermukin di kawasan luar Empang seperti di
Batutulis Hayatullah, 2007. Masjid Kabupaten dipugar pada tahun 1873 menjadi bangunan permanen
berbentuk joglo yang memiliki menara berundak dua tingkat. Dalem Shalawat menghibahkan tanah miliknya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan
lahan untuk pemakaman bagi para bupati dan kerabatnya yang telah wafat. Tanah wakaf tersebut terletak tidak jauh dari pintu air Pulau Empang. Salah satu tokoh
agama keturunan Arab bernama Ismail bin Alaydrus, mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid baru yang saat ini dikenal dengan nama Masjid At Taqwa,
guna menampung jamaah Masjid Kabupaten yang jumlahnya semakin meningkat. Tanah wakaf tersebut terletak 200 M arah utara Masjid Kabupaten.
Pada tahun 1915, kebijakan pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis dihapuskan. Perkembangan selanjutnya kawasan Empang menjadi pemukiman
bagi keturunan Arab-Sunda serta jalan masuk bagi imigran Arab yang baru datang dari Hadramaut Gambar 8. Pemukiman orang Arab semakin meluas ke arah
yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru dan menyebar ke daerah lain di sekitar Pekojan, seperti ke Empang Pulo, Kebon
Kelapa, Lolongok, dan Bondongan. Orang Arab tinggal di rumah yang bergaya sama dengan rumah pribumi atau bagi mereka yang kaya tinggal di rumah besar
atau kecil bergaya villa seperti orang Eropa van den Berg, 2010.
Gambar 8. Perkembangan Pemukiman di Buitenzorg Tahun 1845-1945 Sumber : Universitas Parahyangan, 198586
Penyebaran agama Islam di Empang sangat kuat. Salah satu tokoh penting yang memiliki pengaruh dalam penyebaran Agama Islam adalah Habib Abdullah
bin Mukhsin al-Attas. Beliau membangun masjid di atas tanah rawa dan berjarak 100 M ke arah timur Masjid Kabupaten. Bangunan masjid memiliki gaya
arsitektur khas karena mengadopsi bentuk masjid yang ada di Yaman. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid An Nur. Setelah Habib Abdullah bin
Mukhsin al-Attas wafat pada tanggal 29 Djulhijjah 1351 H, dibangun cungkup di sebelah barat masjid. Di dalam cungkup tersebut terdapat tujuh makam yang
merupakan makam dari Habib Abdullah bin Moekhsin al-Attas, lima orang putranya, dan seorang murid kesayangan beliau.
Keberadaan makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas menarik banyak peziarah dari luar Buitenzorg berdatangan ke kawasan Empang. Perkembangan
kawasan Empang sejak awal abad ke-20 sampai dengan akhir masa pemerintahan Belanda dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.
b Kondisi Sosial Masyarakat
Sampai dengan awal abad ke-20, keberadaan komunitas Arab walaupun dalam jumlah sedikit membentuk komunitas khas yang berbeda dengan komunitas
lainnya di Buitenzorg. Orang Arab menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Kampung Baru. Mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan orang
pribumi dan menyatukan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dalam komunitas Arab, terdapat dua golongan masyarakat yang
dibedakan berdasarkan statusnya, yaitu golongan sayyid dan golongan non- sayyid. Golongan sayyid adalah golongan yang memiliki kekerabatan dengan
Nabi Muhammad SAW dari keturunan al-Husein. Orang Arab yang masuk dalam golongan sayyid tidak berprofesi sebagai pedagang ataupun petani. Mereka aktif
berperan dalam penyebaran Agama Islam dan bergelar Habib untuk laki-laki dan Hababah untuk perempuan. Kata sayyid digunakan sebagai keterangan pada
nama seorang Arab dan bukan merupakan sebuah gelar van den Berg, 2010. Salah satu tokoh penting dari golongan sayyid yang memiliki pengaruh dalam
penyebaran Agama Islam di Empang adalah Habib Abdullah bin Mukhsin al- Attas. Jamiatul Khair merupakan perhimpunan bagi golongan sayyid yang
terbentuk sejak tahun 1905. Orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang umumnya merupakan
golongan non-sayyid. Di bidang perdagangan, komoditas barang dagangan mereka yang utama adalah bahan pakaian, seperti kain katun impor dan batik.
Komoditas lainnya yang mereka jual adalan bahan bangunanmaterial, furniture, batu berharga, parfum, barang-barang dari kulit hewan, dan kebutuhan rumah
tangga sehari-hari de Jonge, 2000. Golongan non-sayyid berhimpun dalam organisasi Al Irsyad. Sejak tahun 1915, perhimpunan Al Irsyad cabang Bogor
sudah melaksanakan aktivitas sosial dan dakwah Batarfie, 2003.
Gambar 9. Peta Kawasan Empang Tahun 1900
Gambar 10. Peta Kawasan Empang Tahun 1920
Kebijakan pemerintah Belanda yang memberlakukan zona pemukiman wijkenstelsel dan surat ijin keluar kawasan pemukimannya passen-stelsel
membatasi ruang gerak orang Arab. Pengurusan surat ijin dilakukan oleh kepala kelompok komunitas Arab berpangkat Kapiten yang bertanggung jawab langsung
kepada Gubernur
Jendral Belanda.
Kebijakan tersebut
menghambat perkembangan bisnis para pedagang Arab.
Pada tahun 1885, dilakukan sensus khusus dan rinci oleh pemerintah Belanda pada setiap Karesidenan tempat bermukim orang Arab di Jawa dan
Madura. Saat itu, wilayah Buitenzorg secara administratif masih berada di bawah pemerintahan karesidenan Batavia. Sehingga sensus yang dilakukan pada tahun
1859, 1870, dan 1885 merupakan jumlah dari Karesidenan Batavia yang meliputi wilayah Batavia sekarang Jakarta, Mr. Cornelis sekarang Jatinegara,
Buitenzorg sekarang Bogor, dan Tanggerang Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Orang Arab di Batavia Tahun 1859-1885
No. Tahun
Jumlah Orang Arab
1. 1859
312 jiwa 2.
1870 952 jiwa
3. 1885
1662 jiwa Sumber : van den Berg 2010
Dari sensus tahun 1885, didapat data yang lebih terperinci. Diketahui bahwa jumlah orang Arab yang bermukim di Karesidenan Buitenzorg sebesar 97
jiwa. Orang Arab yang lahir di Arab berjumlah 31 jiwa dan semuanya adalah laki- laki. Sementara orang Arab yang lahir di Indonesia berjumlah 66 jiwa, dengan
rincian 12 orang laki-laki, 15 orang perempuan, dan 39 orang anak-anak van den Berg, 2010. Jumlah orang Arab semakin bertambah karena adanya pernikahan
dengan orang pribumi dan banyaknya orang Arab baru yang datang langsung dari Arab. Istilah muwalad digunakan untuk keturunan Arab yang keluarganya telah
lama tinggal di Indonesia dan wulaiti digunakan untuk orang Arab yang baru datang dari negeri asalnya.
Sejak kebijakan zona pemukiman dihapuskan pada tahun 1915, orang Arab memiliki kebebasan untuk bermukim di luar zona yang telah ditentukan. Hal
tersebut menyertai pergeseran batas sosial dan budaya. Setelah beberapa generasi, terjadi asimilasi budaya Arab dan Sunda. Budaya Arab yang pertama mulai luntur
adalah penggunaan bahasa Arab, kemudian ciri khas berpakaian, dan terakhir penggunaan nama keluarga van den Berg, 2010.
4.1.3 Periode Kemerdekaan 1945-sekarang