Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Masjid Agung Empang menjadi pusat bagi perkampungan Kaum, Masjid At Taqwa menjadi pusat bagi perkampungan Pekojan, dan Masjid An Noer menjadi pusat bagi perkampungan Lolongok. Perkembangan pola pemukiman juga dipengaruhi oleh adanya hubungan pertalian keluarga diantara penghuni dalam kawasan pemukiman komunitas Arab. Tipe seperti ini dapat dilihat pada Masjid An Noer yang dikelilingi oleh rumah-rumah warga keturunan Arab bermarga al- Attas. Berdasarkan Widodo 1996, ruang terbuka merupakan elemen pendukung bagi pemukiman Islam. Ruang terbuka berfungsi sebagai perluasan masjid ketika melaksanakan aktivitas tambahan yang tidak dapat ditampung dalam masjid. Hubungan fungsional seperti yang telah dijelaskan dapat dilihat pada pemukiman Arab Empang dimana alun-alun sebagai ruang terbuka merupakan perluasan dari Masjid Agung Empang. Pola pemukiman Arab di kawasan Empang serta hubungan fungsional antara alun-alun dan masjid secara spasial dapat dilihat pada Gambar 19. Pola tata ruang pemukiman Pribumi masyarakat Empang tidak memiliki acuan atau orientasi tertentu sehingga perkembangannya cenderung tidak tertata dengan baik. Tidak seperti pemukiman Arab yang menempatkan masjid sebagai pusat pemukimannya, dalam pemukiman pribumi tidak terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman. Rumah-rumah penduduk pribumi umumnya merupakan bangunan semi atau non-permenen yang awalnya berkembang secara linear di daerah aliran Sungai Cisadane. Pemukiman pribumi selanjutnya berkembangan mengikuti pola jalan dengan alasan praktis untuk mendapat kemudahan terhadap akses jalan

4.2.2 Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Perkembangan kawasan Empang dari dulu sampai sekarang meninggalkan jejak-jejak sejarah dalam bentuk fisik dan budaya. Identifikasi elemen lanskap sejarah dalam bentuk fisik dianalisis dengan menelusuri sejarah perkembangan kawasan dan melihat peta kawasan Empang tahun 1920, sehingga diketahui fitur lanskap yang berperan dalam pembentukan karakteristik kawasan. Kondisi elemen lanskap sejarah saat ini diketahui dengan melakukan pengecekan lapang. 19Gambar Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Bogor tahun 2007 dan hasil analisis dengan menggunakan kriteria pada UU Republik Indonesia tahun 1992 tentang BCB, teridentifikasi 32 elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang Tabel 11 meliputi Alun-alun Empang, Masjid Agung Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru, dan Kediaman Resmi Kapiten Arab sebagai elemen pembentuk zona I, Pemakaman Arab, Masjid At Taqwa, Masjid An Noer, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas, serta Pemukiman Arab di Pekojan 4 bangunan, Kaum 1 bangunan, dan Lolongok 6 bangunan sebagai elemen pembentuk zona II, Makam Keluarga Dalem Shalawat, Pemukiman Pribumi di Sadane 10 bangunan, serta Bendungan Empang sebagai elemen pembentuk zona III. Sebaran lokasi elemen lanskap sejarah kawasan Empang dapat dilihat pada Gambar 20. Dari 32 elemen lanskap sejarah yang telah teridentifikasi, lima belas elemen lanskap sejarah Gambar 21 masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya menurut UU No. 5 Tahun 1992 Disbudpar Kota Bogor, 2007. Masjid Agung Empang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat Penetapan BCB Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No : PM.26PW.007MKP2007. Sementara tujuh belas elemen lanskap sejarah lainnya belum ditetapkan secara resmi melalui legislasi di tingkat pusat ataupun daerah. Perkembangan beberapa elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang akan dijelaskan secara singkat dalam uraian berikut. a Alun-alun Empang Alun-alun Empang merupakan sisa peninggalan Alun-alun Luar Kerajaan Pajajaran 1482-1579 yang telah ada sejak sekitar abad ke-15. Dahulu, alun-alun tersebut terbentang dari sisi Cisadane sampai ke Cipakancilan dan berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan medan pertempuran saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579. Sejak kawasan Empang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kampung Baru Gambar 20 Gambar 21 Tabel 11. Identifikasi Elemen Lanskap Sejarah Pembentuk Kawasan Empang No. Kategori Jenis ElemenLanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang Zona I. Pusat Pemerintahan 1. Ruang Terbuka Alun-alun Alun-alun Empang Mengalami degradasi fisik akibat penambahan elemen lanskap yang tidak sesuai dengan karakter awal sebagai sebuah alun-alun tradisional. Kondisi fisik alun-alun saat ini kurang terawat. Alun-alun tradisional Jawa. Sisa alun-alun luar Kerajaan Pajajaran 1482-1579. Alun- alun yang ada saat ini terbentuk sejak tahun 1754. Ruang terbuka yang memiliki makna khusus sebagai simbol kekuasaan dan identitas pusat pemerintahan karesidenan Kampung Baru. Ruang terbuka publik yang tidak memiliki makna khusus. Digunakan sebagai lapangan olahraga oleh warga dan tempat penggembalaan kambing oleh pedagang makanan olahan yang ada di sekitarnya. Belum BCB Yayasan At Tohirriyah 2. Bangunan Sarana Ibadah Masjid Agung Empang Terletak di Jl. Empang No. 1. Kondisi fisik bangunan kurang terawat, terkait kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki. Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional Jawa. Masjid pertama yang dibangun tahun 1817 di Buitenzorg. Masjid. Memiliki keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun. Masjid Agung dan majlis ta’lim, pusat berbagai aktivitas keagamaan seperti dakwah dan pengajian rutin. Tidak ada keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun. BCB Yayasan At Tohirriyah dan Pemerintah Kota 3. Perdagangan dan Jasa Pasar Bogor Kepadatan di lingkungan pasar diramaikan oleh pedagang kaki lima dan terminal angkutan umum. Karakter pasar dengan ruko khas pedagang cina masih terasa kuat. Arsitektur Cina. Terbentuk pada tahun 1777. Pasar kelontong para pedagang cina sekaligus sebagai tempat petani menyerahkan semua hasil buminya kepada pemerinah Belanda. Pasar tradisional yang menjual segala keperluan rumah tangga dan bahan makanan. Belum BCB Pemerintah Kota 4. Rumah Tinggal Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru Terletak di Jl. Empang No. 2A-C. Struktur dan elemen pada bangunan masih asli dan kokoh. Kondisi fisik bangunan cukup terawat. Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional Jawa. Tahun 1754, ketika pusat pemerintahan Kampung Baru berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati Empang.. Rumah tinggal resmi bagi Bupati Kampung Baru. Rumah tinggal seorang keturunan Arab-Sunda bernama Abdul Aziz al Wahdi. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 5. Rumah Tinggal Kediaman Resmi Kapiten Arab Terletak di Jl. Empang Masjid No. 15. Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik. Sampai saat ini bentuk bangunan tidak mengalami perubahan struktur, elemen, dan detail ornamennya. Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur Arab. Ada sebelum tahun 1900. Rumah tinggal resmi Kapiten Arab dari keluarga Bajenet bernama Ahmad bin Syaid Bajenet. Masih menjadi rumah tinggal salah seorang keturunan dari keluarga besar Bajenet bernama Ibu Titi Bajenet. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota Zona I. Pemukiman Arab 6. Ruang Terbuka Pemakaman Pemakaman Arab Merupakan tanah wakaf dari Keluarga Bajenet seluas 2,5 Ha. Pemakaman ini dikenal dengan nama los. - Digunakan sebagai pemakaman sejak tahun 1898. Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya. Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya yang tinggal di Kota Bogor. Belum BCB Pribadi 58 59 59 Tabel 11. Lanjutan No. Kategori Jenis ElemenLanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang 7. Bangunan Sarana Ibadah Masjid At Taqwa Nilai sejarah pada bangunan masjid sudah hilang karena pembangunan masjid baru yang lebih mengutamakan nilai fungsional dan efisiensi pada bangunan masjidnya. Arsitektur modern 1900-an Masjid Masjid serta pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah para tokoh agama dari golongan non sayyid yang berhimpun dalam organisasi Al Irsyad. Belum BCB Yayasan Al Irsyad Bogor 8. Sarana Ibadah Masjid An Noer Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik. Sampai saat ini bentuk bangunan tidak mengalami perubahan struktur dan elemen, termasuk detail ornamennya. Perpaduan arsitektur Arab negeri Yaman dan arsitektur tradisional. 1909 Majid Masjid dan pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah para tokoh agama dengan gelar Habib, pusat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, serta pelaksanaan tradisi khatam Al-Quran setiap tanggal 21 Ramadhan. BCB Yayasan An Noer Tauhid dan Pemerintah Kota 9. Sarana Ibadah Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas Kondisi fisik bangunan cungkup makam terawat dengan baik. Kebersihan bagian dalam cungkup terjaga untuk memberi kenyamanan bagi para peziarah. Arsitektur Arab 1933 Komplek makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas beserta lima orang anak dan seorang murid kesayanganya. Makam yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat sehingga banyak dikunjungi peziarah baik dari dalam ataupun luar Kota Bogor. BCB Yayasan An Noer Tauhid dan Pemerintah Kota 10. Perdagangan dan Jasa Jl. Raden Saleh No. 19 Atap bangunan toko masih dapat menunjukkan gaya arsitektur khas dengan kondisi yang masih kokoh. Arsitektur Cina 1946-an Toko kelontong pedagang Cina. Toko kitab dan wewangian khas bangsa Arab. Belum BCB Pribadi 11. Rumah Tinggal Jl. Raden Saleh No. 12 Struktur, elemen, dan detail ornamen bangunan relatif tidak mengalami perubahan. Bangunan saat ini berada di tengah lingkungan perdagangan padat di tepi jalan Empang Arsitektur tradisional 1920-an Rumah tinggal Rumah tinggal BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 12. Rumah Tinggal Jl. RA. Wiranata No.18 Beberapa elemen seperti jendela dan detail ornamen bangunannya mengalami penurunan kualitas fisik akibat pengelolaan yang kurang intensif terhadap kondisi bangunan. Arsitektur Arab Moor Akhir abad 19. Rumah tinggal Rumah tinggal yang bagian bawah rumahnya digunakan sebagai toko onderdil dan kois pulsa telepon selular. Belum BCB Pribadi 60 Tabel 11. Lanjutan No. Kategori Jenis ElemenLanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang 13. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Pekojan No. 31 Merupakan salah satu bangunan dengan struktur, elemen, dan detail ornamen yang masih asli sejak awal dibangunnya. Kondisi fisik bangunan cukup terawat. Arsitektur tradisional 1932 Rumah tinggal Rumah tinggal milik Ibu Zakiyyah Abdullah. Belum BCB Pribadi 14. Rumah Tinggal Jl. Masjid No. 5 Penggunaan dinding bilik dan pondasi bangunan bekas rumah panggung menunjukan arsitektur khas tradisional Jawa Barat. Kondisi fisik bangunan cukup terawat. Arsitektur tradisional 1920-an Rumah tinggal Rumah tinggal Belum BCB Pribadi 15. Rumah Tinggal Jl. Masjid No. 7 Struktur, elemen, dan detail ornamen bangunan masih asli. Mengalami degradasi lingkungan fisik akibat penataan warung dan lapak dagang pada bagian depan bangunan. Arsitektur tradisional 1920-an Rumah tinggal Rumah tinggal Belum BCB Pribadi 16. Rumah Tinggal Jl. Kaum No. 17 Merupakan tipe bangunan yang mengadopsi pola ruang dalam bangunan khas bangsa Timur Tengah yang membagi ruang berdasarkan jenis kelamin. Arsitektur Arab 1960-an Rumah tinggal Rumah tinggal milik Bapak Achmad bin Ali Abdad sekaligus sebagai industri rumah tangga yang membuat roti konde khas Arab. Belum BCB Pribadi 17. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 1 Kondisi fisik bangunan saat ini tidak terawat. Kerusakan berat terjadi pada beberapa elemen bangunan seperti atap, jendela, dan dinding. Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional. 1935 Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas. Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas saat ini tidak dihuni dan dibiarkan kosong. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 18. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 3 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan, namun cat dinding kusam sehingga secara visual kurang menarik. Arsitektur kolonial 1940 Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas. Tetap menjadi rumah tinggal milik keluarga besar al Attas. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 19. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 5 Memliki kesamaan tipe dan bentuk bangunan dengan rumah di Jl. Lolongok No.3. Namun penambahan ruang pada bagian depan bangunan mengurangi tingkat keaslian bangunan. Arsitektur kolonial 1940 Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas. Tetap menjadi rumah tinggal milik keluarga besar al Attas. Belum BCB Pribadi 60 61 Tabel 11. Lanjutan No. Kategori Jenis ElemenLanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang 20. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 7 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan. Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan baik. Arsitektur kolonial 1956 Rumah tinggal milik Keluarga besar al Attas. Tetap menjadi rumah tinggal milik Keluarga besar al Attas. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota Zona III. Pemukiman Pribumi 21. Ruang Terbuka Pemakaman Makam Keluarga Dalem Shalawat Kondisi lingkungan makam dan bangunan utamanya terpelihara dengan baik, dalam keadaan bersih, terawat, dan dijaga oleh dua orang penjaga dari Yayasan At Tohirriyah. Arsitektur tradisional 1882 Makam Bupati Kampung Baru beserta keluatganya. Komplek makam keluarga besar Dalem Shalawat. Merupakan makan yang juga dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Bogor sehingga dikunjungi oleh peziarah. Belum BCB Yayasan At Tohirriyah 22. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.10 Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan baik dengan struktur, elemen, dan ornamen pada bangunan yang masih asli sejak awal dibangunnya. Arsitektur kolonial 1955 Rumah tinggal Rumag tinggal Belum BCB Pribadi 23. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.13 Bangunan mengalami asilimilasi struktur pondasi dan dinding. Namun elemen dan ornamen detail pada jendela dan pintu masih asli. Arsitektur tradisional 1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 24. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.14 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan mengalami asimilasi namun tidak mengubah karakter tradisional sebagai ciri bangunan masa lalu. Arsitektur tradisional 1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal milik ibu Nunung. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 25. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.20 Memliki kesamaan tipe bangunan dengan rumah di Jl. Lolongok No. 20. Namun kondisi fisiknya saat ini kurang terawat. Arsitektur tradisional 1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal milik Bapak Salie al Batatie. Belum BCB Pribadi 61 62 Sumber : Disbudpar 2007 dan Survey Lapang 2010 Tabel 11. Lanjutan No. Kategori Jenis ElemenLanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang 26. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.22 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan saat ini asli dan terawat. Serambi depan yang ditopang kolom dan halaman depan yang luas berfungsi sebagai private open space. Arsitektur kolonial 1958 Rumah tinggal Rumag tinggal BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 27. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.31 Bekas pondasi rumah panggung masih dapat terlihat walaupun sudah mengalami asimilasi. Pintu dan jendela masih menggunakan elemen bangunan asli. Arsitektur tradisional 1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal Belum BCB Pribadi 28. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.38 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan masih asli sejak awal dibangun. Kondisi fisiknya saai ini terawat dengan baik. Arsitektur kolonial 1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal milik keluarga RD. Koesoemapradja. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 29. Rumah Tinggal Jl. Sadane No. 13 Tampak bangunan yang simetris menunjukkan arsitektur khas kolonial. Namun kondisi fisik bangunan tidak terawat. Bagian atap, jendela, dan pagar rusak mengalami kerusakan ringan. Arsitektur kolonial 1935 Rumah tinggal Rumag tinggal Belum BCB Pribadi 30. Rumah Tinggal Jl. Sadane No. 23 Tampak depan bangunan tradisional terhalangi oleh penggunaan elemen tambahan seperti atap terpal sehingga mengalami penurunan kualitas secara visual. Arsitektur tradisional 1946 Rumah tinggal Rumah tinggal milik Ibu Jumilah saat ini juga berfungsi sebagai rumah makan makanan khas bangsa Timur Tengah. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 31. Rumah Tinggal Jl. Sadane No. 71 Struktur bangunan mengalami asimilasi, namun elemen dan detail ornamen pada bangunan masih dapat menunjukkan kekhasan masa lalunya. Kondisi fisiknya saai ini terpelihara dengan baik. Arsitektur tradisional 1 Januari 1938 Rumah tinggal Rumah tinggal milik Bapak Ali Ahuway. Halaman depan rumahnya digunakan sebagai area parkir penyewaan mobil. BCB Pemilik dan Pemerintah Kota 32. Bangunan Bendungan Bendungan Empang Struktur fisik bendungan sampai sekarang masih utuh dan dalam keadaan kokoh. Arsitektur kolonial 1776 atas prakarsa Bupati Kampung Baru Aria Natanegara Pengontrol debit air sungai Cisadane untuk kepentingan saluran irigasi pada lahan pertanian. Pengontrol debit air Sungai Cisadane untuk mengetahui debit air sungai saat terjadi curah hujan yang tinggi. Belum BCB Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air 62 63 oleh Demang Wiranata, Alun-alun Empang menjadi bagian dari kediaman Bupati Kampung Baru.Pada masa Pemerintahan Belanda alun-alun berfungsi sebagai identitas pemerintahan Karesidenan Kampung BaruRegentscape Buitenzorg dalam bentuk fisik. Selain itu, alun-alun memiliki fungsi sosial sebagai ruang terbuka publik dimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas sosialnya. Pada masa itu masyarakat dapat menikmati pemandangan Gunung Salak dari alun-alun. Pada awal masa kemerdekaan, alun-alun Empang sewaktu-waktu berfungsi untuk menampung jamaah masjid apabila Masjid Agung Empang sudah tidak dapat menampung jamaahnya. Selain itu, setiap perayaan Hari Raya Idul Firti alun-alun Empang berubah menjadi kawasan bermain bagi anak-anak dimana mereka dapat naik delman dan kuda-kudaan. Saat ini, Alun-alun Empang mengalami pergeseran fungsi menjadi tempat bermain bola bagi warga sekitar dan tempat penggembalaan kambing milik pedagang makanan olahan yang berada di sekeliling alun-alun. Perbandingan situasi Alun-alun Empang pada masa Kolonial Belanda dan saat ini dapat dilihat pada Gambar 22. a b Gambar 22. a Alun-alun Empang Tahun 1880 dan b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010 Alun-alun Empang terletak pada lokasi strategis, berada pada persimpangan Jalan Pahlawan-Raden Saleh-Raden Aria Wiranata. Hal tersebut menjadikan alun-alun sebagai penanda dan gerbang masuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Alun-alun Empang merupakan lapangan berbentuk persegi dengan luas lahan sebesar 3660,54 m 2 . Di setiap sisinya ditanam sebuah pohon beringin. Pohon beringin terbesar sudah berusia sekitar dua puluh tahun merupakan jenis beringin karet Ficus elastica. Kondisi fisik Alun-alun Empang saat ini semakin lama semakin memburuk. Penambahan elemen fisik berupa pagar yang dipasang disekeliling alun-alun membatasi keterkaitan fungsi dan hubungan kesejarahan antara alun- alun dan masjid. Selain itu, penambahan vegetasi yang tidak sesuai, seperti pinus Pinus merkusii dan palem raja Roystonea regia mengakibatkan pudarnya karakter alun-alun. Eksistensi Alun-alun Empang sebagai suatu alun-alun bersejarah di Kota Bogor semakin tenggelam akibat tertutup oleh para pedagang kaki lima yang berjualan disekelilingnya Gambar 23. Setelah Indonesia Merdeka, status kepemilikan tanah alun-alun berada di pihak yayasan At Tohirriyah yang juga mengelola Masjid Agung Empang. Gambar 23. Kondisi Lingkungan di Sekitar Alun-alun Empang Sumber : Survey Lapang 2010 b Masjid Agung Empang Masjid Agung Empang merupakan masjid pertama yang dibangun di Buitenzorg pada masa pemerintahan Kampung Baru. Sebelum tahun 1817, sudah terdapat bangunan kecil berupa surau dengan struktur bangunan yang belum permanen. Letak surau berada di sisi sebelah barat alun-alun Empang sesuai dengan konsep pusat pemerintahan tradisional di masa kolonial Belanda. Bangunan surau dengan struktur permanen mulai dibangun tahun 1817 oleh Bupati RH.Muhammad Tohir, yang terkenal sebagai buyut Kampung Baru. Beliau menghibahkan tanah seluas 5462,10 m 2 untuk perluasan tanah masjid yang juga mencakup lahan alun-alun dan lahan dekat Empang Pulo. Pembangunan masjid diteruskan oleh putra beliau yang bernama Dalem Wiranata. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh bupati Regentscape Buitenzorg terakhir yang masih berkedudukan di Empang bernama RA Wiranata 1854-1872 atau lebih dikenal dengan nama Dalem Shalawat. Gaya bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur kolonial Belanda. Sementara pengaruh gaya arsitektur tradisional terlihat dari bentuk atap menara berundak tiga. Terdapat empat pilar penyangga bangunan utama masjid yang dikenal dengan saka guru Fitri, 2006. Tiang-tiang ini memiliki filosofi yaitu 4 mashaf islam dan 4 jaman keislaman. Dalam perkembangannya, Masjid Agung Empang mengalami beberapa tahap pemugaran. Pada tahun 1873, masjid ini dipugar dari sebuah mushola kecil menjadi bangunan permanen berupa pendopo bergaya arsitektur tradisional yang memiliki atap menara berundak dua tingkat Gambar 24. Kompleks masjid yang merupakan tanah wakaf dari RH Muhammad Tohir mengalami penambahan luas dengan adanya tambahan wakaf dari Sayyid Alwi Bin Ismail Alayidrus 1927 dan Habib Abdillah Assegaf 1937. Beliau mewakafkan tanahnya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan lahan untuk pemakaman yang letaknya tidak jauh dari Pintu Air Pulau Empang. Kompleks pemakaman ini diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir para kerabat bupati. Untuk keperluan urusan agama seperti pernikahan atau perceraian, di samping masjid didirikan Kantor Pengadilan Agama. Selain itu, dibangun ruangan untuk berkumpul dan melakukan pengajian bersama. a b Gambar 24. a Masjid Agung Empang Tahun 1847 dan b Tahun 1873 Sumber : Tropenmuseum 2010, Danasasmita 1983 Masjid Agung Empang kembali mengalami pemugaran pada tahun 1952. Bangunan joglo diubah menjadi bangunan yang mendapat pengaruh gaya arsitektur kolonial oleh Silaban, seorang arsitek yang juga merancang Masjid Istiqlal. Namun bentuk atap bangunan utama masjid mempertahankan gaya tradisional dengan bentuk segitiga sementara atap menara tidak lagi berundak dan digantikan oleh atap menara tinggi yang memiliki kubah. Pada tahun 1955 saat digelar Konferensi Asia Afrika KAA, Presiden Soekarno besama Presiden Mesir Jenderal Gamal Abdul Naser melaksanakan solat berjamaah di Masjid Agung Empang. Masjid Agung Empang sampai dengan sekarang masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Selain sebagai tempat melaksanakan ibadah solat berjamaah, setiap malam di Masjid Agung Empang dilakukan pengajian rutin yang dihadiri oleh warga di sekitar lingkungan masjid. Kondisi fisiknya tidak jauh berubah sejak mengalami renovasi terakhir pada masa awal kemerdekaan Gambar 25. a b Gambar 25. a Masjid Agung Empang Tahun 1952 dan b Tahun 2010 Sumber : Danasasmita 1983, Survey Lapang 2010 Masjid Agung Empang yang terletak di Jalan Empang No. 1 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya BCB oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat Penetapan BCB Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No : PM.26PW.007MKP2007, sehingga pelestarian Masjid Agung Empang berada di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Bogor. Sementara pengelolaan keseharian lingkungan dalam dan sekitar masjid dilakukan oleh penduduk setempat yang tergabung dalam Yayasan Masjid Agung At Tohirriyah. Kondisi fisik bangunan masjid saat ini terlihat kurang terawat, terkait dengan masalah kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki. c Pasar Bogor Kepindahan pusat pemerintahan Kampung BaruRegentscape Buitenzorg membawa kesibukan pemerintahan berlangsung sepanjang jalur Tanah Baru dan Sukahati Empang. Kawasan ini semakin bertambah ramai dengan adanya kegiatan perekonomian. Pemerintah Belanda mewajibkan para petani mengangkut semua hasil bumi ke gudang yang terletak di arah utara Empang. Setelah menjual hasil buminya, para petani singgah untuk beristirahat sejenak. Keadaan tersebut menciptakan terbentuknya pasar untuk memfasilitasi kebutuhan para petani. Pasar dibuka seminggu sekali sesuai dengan jadwal penyerahan hasil bumi petani kepada pemerintah Belanda. Kemajuan pasar menarik para pedagang untuk menetap dan bermukim di dekat pasar, terutama bagi para pedagang Cina. Melihat potensi kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya menyewakan tanah Buitenzorg miliknya kepada para pedagang. Tahun 1777, penghasilan tambahan Gubernur Jenderal sebesar 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar Danasasmita, 1983. Pasar tersebut kemudian dikenal dengan nama Pasar Bogor karena letaknya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg. Sampai saat ini, pasar tersebut masih dikenal dengan nama Pasar Bogor. Karakteristik pasar yang sejak dulu didominasi oleh para pedagang Cina masih kuat terasa. Kepadatan lingkungan di sekitar Pasar Bogor semakin ramai dengan adanya terminal dan pedagang kaki lima yang keberadaanya tidak teratur dengan baik Gambar 26. a b Gambar 26. a Pasar Bogor Periode Kolonial Belanda dan b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010 d Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati Kampung BaruRegentscape Buitenzorg terletak di sebelah timur Sungai Cisadane dekat dengan muara Sungai Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah dalam Balebat 2007 menyebutkan bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah galeri dari kayu dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah Regentscape Buitenzorg dihapuskan pada tahun 1872 oleh Pemerintah Belanda, para kerabat bupati berpindah ke daerah sekitar Empang. Selanjutnya, pendopo bekas kediaman Bupati Kampung Baru berpindah tangan pada seorang warga keturunan Arab. Atap bangunan pada awalnya bergaya tradisional berbentuk atap joglo. Penambahan fasad bangunan dari bahan beton yang mengadopsi gaya arsitektur kolonial indische menutupi bentuk atap tradisionalnya. Lantai kayu pada bangunan pendopo digantikan dengan lantai keramik yang lebih kuat dan tahan lama. Namun tampak bangunan yang simetris tidak mengalami perubahan Gambar 27. Bekas bangunan pendopo sempat beralih fungsi menjadi rumah produksi kain tenun pada awal abad ke 20. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena rumah produksi kain tenun kemudian dipindahkan ke Pekalongan oleh pemiliknya yang merupakan warga keturunan Arab. Selanjutnya bangunan ini kembali menjadi rumah tinggal tanpa mengalami perubahan fisik bangunan walaupun status kepemilikannya berubah-ubah. Status kepemilikan bangunan saat ini berada di tangan Abdul Aziz al Wahdi. Walaupun sudah berusia lebih dari dua ratus tahun, bangunan tua bekas pendopo sampai sekarang kondisinya tetap kokoh dan cukup terawat. Pemeliharaan yang kurang maksimal terlihat pada cat dinding bangunan dan pagar yang mengelupas dan terlihat kusam namun tidak dilakukan pengecetan ulang akibat keterbatasan dana. Perhatian pemerintah daerah terhadap pengelolaan bangunan pun kurang dapat dirasakan walaupun bangunan yang terletak di Jalan Empang No. 2A-C tersebut telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya Kota Bogor. a b Gambar 27. a Pendopo Bupati Periode Kolonial Belanda dan b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010 e Kediaman Resmi Kapiten Arab Kediaman resmi Kapiten Arab terletak di sisi timur Alun-alun Empang, tepatnya di Jalan Empang Masjid No. 15. Rumah ini menjadi kediaman resmi bagi Kapiten Arab sejak akhir abad ke-19. Pemimpin komunitas Arab terakhir bernama Ahmad bin Syaid Bajenet 1900-1910 diketahui menempati rumah tersebut Survey Lapang, 2010. Kondisi fisik bangunan bekas kediaman resmi Kapiten Arab terawat dengan baik. Gaya arsitektur bangunan mengadopsi gaya indische dimana bangunan utama terdiri atas serambi depan, ruang tamu, ruang tengah, ruang tidur, dan serambi belakang. Elemen bangunan seperti jendela, pintu, serta ragam hias pada lubang ventilasi dari dulu sampai sekarang tetap dipertahankan. Bangunan ini dikelilingi oleh dinding setinggi dua meter. Terdapat dua jalur masuk yang terpisah untuk tamu laki-laki dan tamu perempuan. Selain itu, terdapat kamar mandi yang terletak di samping rumah dan terpisah dari bangunan utama dan diperuntukkan bagi tamu laki-laki. Pemisahan ruang berdasarkan jenis kelamin pada bangunan bekas kediaman resmi Kapiten Arab merupakan pola hunian khas bangsa Timur Tengah van den Berg, 2010. Sampai saat ini, bangunan bekas kediaman Resmi Kapiten Arab tetap berfungsi sebagai bangunan tinggal dan dikelola secara pribadi oleh keturunan Ahmad bin Syaid Bajenet, bernama Titi Bajenet. Pemeliharaan bangunan yang dilakukan meliputi kegiatan pengecetan terutama pada dinding pagar yang sering kali menjadi objek vandalisme masyarakat yang tidak bertanggung jawab Gambar 28. Perbaikan elemen bangunan yang mengalami kerusakan ringan diperbaiki tanpa merubah karakter fisik bangunan. a b Gambar 28. a Vandalisme pada Dinding Pagar b Kondisi Tahun 2010 Sumber : Survey Lapang 2010 f Masjid At Taqwa Masjid At Taqwa dibangun di atas tanah wakaf seorang tokoh agama keturunan Arab bernama Ismail bin Alaydrus. Namun tidak diketahui kapan tepatnya masjid tersebut didirikan. Pada awalnya Masjid At Taqwa dikenal dengan nama Masjid Pekojan kerana tanah wakaf yang dihibahkan berada di dalam kawasan Pekojan dan berjarak sekitar 200 m ke arah utara Masjid Agung Empang. Sebelum diwakafkan menjadi sebuah masjid, lahan tersebut merupakan tempat untuk memelihara kuda istal. Para tokoh agama dari golongan non sayyid yang berhimpun dalam organisasi Al Irsyad, memusatkan kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah di Masjid Pekojan. Menurut majalah At Tauhid pada tahun 1933, diketahui bahwa pengurus Al Irsyad menghimpun dana untuk merenovasi Masjid Pekojan. Ahli waris Ismail bin Alaydrus, Salim bin Alaydrus, menyerahkan sepenuhnya akte sertifikat wakaf Masjid Pekojan kepada Yayasan Al Irsyad pada tanggal 27 September 1978, setelah cukup lama menjadi pusat bagi kegiatan dakwah Al Irsyad. Selanjutnya pada tanggal 11 Februari 1982, Yayasan Al Irsyad Bogor membentuk kepanitiaan dalam rangka mendirikan bangunan baru sebagai pengganti bangunan masjid lama. Keputusan tersebut menimbulkan kontroversi internal antar anggota Al Irsyad. Kalangan yang lebih tua menentang didirikannya bangunan baru yang akan menghilangkan nilai sejarah pada bangunan lama. Namun, setelah dilakukan mufakat antar anggota Al Irsyad, maka pembangunan masjid dimulai pada tanggal 1 April 1983. Nama Masjid Pekojan diubah menjadi Masjid At Taqwa. Almarhum Ali Azzan Abdad memberikan tanah wakaf untuk penambahan lahan di bagian barat masjid seluas 100 m 2 . Tahap awal pembangunan Masjid At Taqwa dibiayai oleh dana hibah yang berasal dari almarhum Ahmad bin Usman Bawahab. Dana pembangunan selanjunya didapat dengan menghimpun dana dari para donatur dari dalam dan luar negeri. Bangunan Masjid At Taqwa cenderung bergaya minimalis dengan mengutamakan fungsi bangunan yang lebih efektif dan efisien Gambar 29. a b Gambar 29. a Masjid At Taqwa Tahun 1933 b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010 g Masjid An Noer Masjid An Noer didirikan oleh Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Beliau merupakan seorang tokoh agama berkebangsaan Arab dari golongan sayyid yang mendapatkan gelar Habib. Pada tahun 1900, Habib Abdullah bin Mukhsin al- Attas hijrah ke Empang. Beliau bermukim di dekat pusat pemerintahan tepatnya di kawasan Lolongok. Dahulu, Lolongok merupakan kawasan berawa-rawa. Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk mengeringkan daerah rawa tersebut dalam satu malam. Sehingga pemerintah Belanda yang saat itu berkuasa, memberikan tanah Lolongok kepada Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas untuk bermukim. Pada tahun 1909 Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas mendirikan Masjid An Noer Hayatullah, 2007 yang terletak tidak jauh dari kediamannya. Bangunan Masjid An Noer memiliki gaya arsitektur timur tengah dengan mengadopsi model arsitektur sebuah masjid yang ada di Yaman. Pengaruh arsitektur tradisional terlihat dari bentuk segitiga pada atap masjid. Hal tersebut merupakan bentuk adaptasi arsitektural terhadap iklim tropis yang ada di Indonesia. Awalnya, menara masjid terpisah dari bangunan utama dan serambi disekeliling masjid merupakan area terbuka Gambar 30. Gambar 30. Masjid An Noer Tahun 1909 Sumber : Tropenmuseum 2010 Pada sekitar tahun 1990an, Masjid An Noer mengalami pemugaran. Bangunan masjid diperluas sehingga bangunan utama dan menara masjid bersatu. Selain itu, atap menara masjid yang semula berbentuk segitiga diganti menjadi atap kubah yang pada setiap ujung kubahnya memiliki bentuk yang berbeda-beda Gambar 31. Saat ini Masjid An Noer telah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya BCB Kota Bogor. Status kepemilikan Masjid An Noer berada di bawah Yayasan An Noer Tauhid yang dikelola oleh keluarga besar al-Attas dan bekerjasama dengan pemerintah daerah Kota Bogor. a b Gambar 31. a Masjid An Noer Tahun 2010 dan b Kaligrafi pada Atap Masjid Sumber : Survey Lapang 2010 Yayasan An Noer Tauhid secara rutin mengadakan pengajian setiap hari Kamis sore dan dipusatkan di Masjid An Noer. Selain acara pengajian, Masjid An Noer juga menjadi pusat perayaan saat memperiangati Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad di Kawasan Empang berlangsung khidmat dan meriah. Berbagai seni budaya Islam seperti musik marawis ditampilkan. Tradisi tahunan tersebut juga diisi dengan ceramah dari para Habib terkemuka serta pembacaan shalawat Nabi untuk menghormati dan mengenang Nabi Muhammad SAW. Peringatan Maulid Nabi ditutup dengan acara makan nasi kebuli yaitu nasi khas racikan Arab dengan lauk daging kambing secara bersama-sama. Tradisi tahunan lainnya yang dipusatkan di Masjid An Noer adalah tradisi khatam Al Quran pada malam ke-21 bulan Ramadhan. Tradisi yang berasal dari Hadramaut tersebut sudah berlangsung puluhan bahkan lebih dari satu abad di masjid-masjid tua yang tersebar di Jakarta dan Bogor. h Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas atau disebut juga Wali Qutub merupakan cucu keturunan ketiga puluh enam Nabi Muhammad SAW. Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas berasal dari Yaman, sebuah negara di tenggara Saudi Arabia. Beliau dilahirkan di Kampung Khuraidah Hadramaut pada bulan Desember tahun 1859. Semasa hidupnya, beliau berkelana ke berbagai penjuru dunia untuk menyebarkan agama Islam, sampai akhirnya menetap di Empang dan membangun Masjid An Noer bersama para kerabatnya. Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas adalah seorang tokoh penyebar agama Islam yang cukup berpengaruh pada masa Pemerintahan Belanda. Beliau menikah dengan seorang wanita keturunan Dalem Shalawat, Bupati Kampung Baru yang terakhir. Pada tanggal 29 Djulhijjah 1351 H atau 26 April 1933 Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas wafat. Jasadnya dimakamkan di bagian barat Masjid An Noer. Sampai saat ini makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Empang dan Kota Bogor. Keberadaan makam beliau menarik banyak peziarah dari berbagai daerah bahkan luar negeri untuk datang ke kawasan Empang terutama pada hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ataupun pada peringatan haul wafatnya Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Dihari-hari biasa, makam beliau ramai dikunjungi peziarah pada malam jumat dan akhir pekan setiap minggunya. Suasana semakin bertambah ramai dengan kehadiran para pedagang musiman yang menjual perlengkapan ibadah seperti tasbih, sorban, peci dan kerudung, wewangian, kitab, maupun kaset murotal Gambar 32. Gambar 32. Pedagang Musiman di Lingkungan Sekitar Makam Habib Sumber : Survey Lapang 2010 Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir membangun cungkup pada lokasi komplek makam yang di dalamnya terdapat makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas, lima orang putranya, dan seorang murid kesayangannya Gambar 33. Kondisi fisik komplek makam terawat dengan baik. Kebersihan lingkungan dan dalam komplek makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas dikelola oleh Yayasan An Noer Tauhid. Saat ini komplek makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya BCB oleh pemerintah daerah Kota Bogor. a b Gambar 33. a Cungkup Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas dan b Komplek Makam Dalam Cungkup Sumber : Survey Lapang 2010 i Makam Keluarga Dalem Shalawat Makam Keluarga Dalem Shalawat terletak di sisi Jalan RA Wiranata dan berdekatan dengan Masjid Agung Empang. Pada area pemakaman terdapat satu bangunan persegi dengan atap tradisional berbentuk joglo. Di dalam bangunan tersebut terdapat enam belas makam, terdiri dari tiga belas makam perempuan dan tiga makam laki-laki. Dua diantara enam belas makam merupakan makam dari Bupati Kampung Baru yaitu RH Muhammad Tohir dan putra beliau yang bernama Raden Aria Wiranata atau yang lebih dikenal dengan nama Dalem Shalawat. RA Wiranata merupakan Bupati Kampung Baru terakhir. Beliau meninggal pada tahun 1872 bertepatan dengan tahun dihapuskannya Regentscape Buitenzorg oleh pemerintah Belanda. Keberadaan kedua makam yang telah berusia lebih dari seratus tahun menarik banyak minat peziarah untuk datang berkunjung ke kawasan Empang. Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat berada dalam kondisi terawat. Hal tersebut dapat terlihat pada makam Bupati Kampung Baru RH Muhammad Tohir yang ditutup kain putih dan diberi pagar kayu disekelilingnya sebagai suatu bentuk perlindungan. Dua orang penjaga makam bertugas untuk merawat kebersihan lingkungan makam dan bangunan Gambar 34. Pengelolaan rutin dilakukan secara mandiri dan berada dibawah pengawasan Yayasan At Tohirriyah. Walaupun secara resmi Komplek Makam belum terdaftar sebagai BCB, namun pemerintah Kota Bogor ikut berperan dalam melestarikan Komplek Makam Keluarga Dalem Shalawat dengan memberikan bantuan dana pembangunan pagar disekeliling area pemakaman. a b Gambar 34. a Makam RH Muhammad Tohir b Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat Sumber : Survey Lapang 2010 j Bendungan Empang Bendungan Empang dibangun pada masa pemerintahan Bupati Kampung Baru Aria Natanegara 1761-1789. Pembangunan bendungan bertujuan untuk meningkatkan perkembangan pertanian pada masa itu. Saluran irigasi berupa kanal buatan dibangun dari Empang menuju Kedungbadak dengan memanfaatkan aliran Sungai Cisadane, Cipakancilan, dan Ciliwung. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua. Muara Sungai Cipakcilan pada tepi Sungai Cisadane dibendung dan disalurkan melalui kanal buatan. Pengalihan aliran air mengakibatkan terbentuknya Empang Pulo. Aliran Sungai Cipakancilan kembali dipecah dengan kanal Cidepit kemudian alirannya disalurkan ke Sungai Ciliwung. Bendungan dan saluran air selesai dibangun pada tanggal 6 Agustus 1776 dengan membuat kanal buatan yang menghubungkan Ciliwung dan Cisadane melalui perpanjangan aliran Cipakancilan sejauh beberapa kilometer. Penerapan teknologi maju pengelolaan air karya bangsa pribumi dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial Belanda Danasasmita, 1983. Selanjutnya, pemerintah Belanda memperbesar saluran air dan memperkokoh bendungan dengan beton Gambar 35. Bendungan Empang saat ini masih berfungsi. Perbaikan dilakukan tehadap pintu-pintu air agar Bendungan Empang dapat mengontrol debit aliran air Sungan Cisadane dengan baik. Pengelolaan Bendungan Empang berada dibawah pengawasan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Kota Bogor. a b Gambar 35. a Bendungan Empang Periode Kolonial Belanda b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010

4.2.3 Lanskap Budaya Kawasn Empang