Masjid Agung Empang menjadi pusat bagi perkampungan Kaum, Masjid At Taqwa menjadi pusat bagi perkampungan Pekojan, dan Masjid An Noer menjadi
pusat bagi perkampungan Lolongok. Perkembangan pola pemukiman juga dipengaruhi oleh adanya hubungan pertalian keluarga diantara penghuni dalam
kawasan pemukiman komunitas Arab. Tipe seperti ini dapat dilihat pada Masjid An Noer yang dikelilingi oleh rumah-rumah warga keturunan Arab bermarga al-
Attas. Berdasarkan Widodo 1996, ruang terbuka merupakan elemen pendukung bagi pemukiman Islam. Ruang terbuka berfungsi sebagai perluasan masjid ketika
melaksanakan aktivitas tambahan yang tidak dapat ditampung dalam masjid. Hubungan fungsional seperti yang telah dijelaskan dapat dilihat pada pemukiman
Arab Empang dimana alun-alun sebagai ruang terbuka merupakan perluasan dari Masjid Agung Empang. Pola pemukiman Arab di kawasan Empang serta
hubungan fungsional antara alun-alun dan masjid secara spasial dapat dilihat pada Gambar 19.
Pola tata ruang pemukiman Pribumi masyarakat Empang tidak memiliki acuan atau orientasi tertentu sehingga perkembangannya cenderung tidak tertata
dengan baik. Tidak seperti pemukiman Arab yang menempatkan masjid sebagai pusat pemukimannya, dalam pemukiman pribumi tidak terdapat elemen lanskap
yang menjadi pusat pemukiman. Rumah-rumah penduduk pribumi umumnya merupakan bangunan semi atau non-permenen yang awalnya berkembang secara
linear di daerah aliran Sungai Cisadane. Pemukiman pribumi selanjutnya berkembangan mengikuti pola jalan dengan alasan praktis untuk mendapat
kemudahan terhadap akses jalan
4.2.2 Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang
Perkembangan kawasan Empang dari dulu sampai sekarang meninggalkan jejak-jejak sejarah dalam bentuk fisik dan budaya. Identifikasi elemen lanskap
sejarah dalam bentuk fisik dianalisis dengan menelusuri sejarah perkembangan kawasan dan melihat peta kawasan Empang tahun 1920, sehingga diketahui fitur
lanskap yang berperan dalam pembentukan karakteristik kawasan. Kondisi elemen lanskap sejarah saat ini diketahui dengan melakukan pengecekan lapang.
19Gambar
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Bogor tahun 2007 dan hasil analisis dengan menggunakan kriteria pada UU Republik
Indonesia tahun 1992 tentang BCB, teridentifikasi 32 elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang Tabel 11 meliputi Alun-alun Empang, Masjid
Agung Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru, dan Kediaman Resmi Kapiten Arab sebagai elemen pembentuk zona I, Pemakaman
Arab, Masjid At Taqwa, Masjid An Noer, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas, serta Pemukiman Arab di Pekojan 4 bangunan, Kaum 1 bangunan, dan
Lolongok 6 bangunan sebagai elemen pembentuk zona II, Makam Keluarga Dalem Shalawat, Pemukiman Pribumi di Sadane 10 bangunan, serta Bendungan
Empang sebagai elemen pembentuk zona III. Sebaran lokasi elemen lanskap sejarah kawasan Empang dapat dilihat pada Gambar 20.
Dari 32 elemen lanskap sejarah yang telah teridentifikasi, lima belas elemen lanskap sejarah Gambar 21 masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya
menurut UU No. 5 Tahun 1992 Disbudpar Kota Bogor, 2007. Masjid Agung Empang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota
Bogor melalui Surat Penetapan BCB Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No : PM.26PW.007MKP2007. Sementara tujuh belas elemen lanskap sejarah lainnya
belum ditetapkan secara resmi melalui legislasi di tingkat pusat ataupun daerah. Perkembangan beberapa elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang
akan dijelaskan secara singkat dalam uraian berikut.
a Alun-alun Empang
Alun-alun Empang merupakan sisa peninggalan Alun-alun Luar Kerajaan Pajajaran 1482-1579 yang telah ada sejak sekitar abad ke-15. Dahulu, alun-alun
tersebut terbentang dari sisi Cisadane sampai ke Cipakancilan dan berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara
keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan medan pertempuran saat
melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579. Sejak kawasan Empang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kampung Baru
Gambar 20
Gambar 21
Tabel 11. Identifikasi Elemen Lanskap Sejarah Pembentuk Kawasan Empang
No. Kategori
Jenis ElemenLanskap
Kondisi Fisik Tipe
Arsitektur Tahun
Pembangunan Fungsi
Status Pengelola
Dahulu Sekarang
Zona I. Pusat Pemerintahan
1. Ruang
Terbuka Alun-alun
Alun-alun Empang Mengalami degradasi fisik
akibat penambahan elemen lanskap yang tidak sesuai
dengan karakter
awal sebagai sebuah alun-alun
tradisional. Kondisi fisik alun-alun saat ini kurang
terawat. Alun-alun
tradisional Jawa. Sisa alun-alun luar
Kerajaan Pajajaran
1482-1579. Alun- alun yang ada saat ini
terbentuk sejak tahun 1754.
Ruang terbuka
yang memiliki
makna khusus
sebagai simbol kekuasaan dan
identitas pusat
pemerintahan karesidenan
Kampung Baru. Ruang terbuka publik yang
tidak memiliki makna khusus. Digunakan sebagai lapangan
olahraga oleh warga dan tempat
penggembalaan kambing
oleh pedagang
makanan olahan yang ada di sekitarnya.
Belum BCB Yayasan At
Tohirriyah
2. Bangunan
Sarana Ibadah Masjid Agung Empang
Terletak di Jl. Empang No. 1. Kondisi fisik bangunan
kurang terawat,
terkait kebersihan dan beberapa
bagian bangunan
yang rusak
tidak segera
diperbaiki. Perpaduan
arsitektur kolonial dan
arsitektur tradisional Jawa.
Masjid pertama yang dibangun tahun 1817
di Buitenzorg. Masjid. Memiliki keterkaitan
fungsi antara masjid dan alun-alun.
Masjid Agung dan majlis ta’lim,
pusat berbagai
aktivitas keagamaan seperti dakwah dan pengajian rutin.
Tidak ada keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun.
BCB Yayasan At
Tohirriyah dan Pemerintah
Kota
3. Perdagangan
dan Jasa Pasar Bogor
Kepadatan di lingkungan pasar
diramaikan oleh
pedagang kaki lima dan terminal angkutan umum.
Karakter pasar
dengan ruko khas pedagang cina
masih terasa kuat. Arsitektur Cina.
Terbentuk pada tahun 1777.
Pasar kelontong
para pedagang
cina sekaligus
sebagai tempat
petani menyerahkan semua hasil
buminya kepada pemerinah Belanda.
Pasar tradisional
yang menjual
segala keperluan
rumah tangga dan bahan makanan.
Belum BCB Pemerintah
Kota
4. Rumah Tinggal
Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru
Terletak di Jl. Empang No. 2A-C. Struktur dan elemen
pada bangunan masih asli dan kokoh. Kondisi fisik
bangunan cukup terawat. Perpaduan
arsitektur kolonial dan
arsitektur tradisional Jawa.
Tahun 1754, ketika pusat pemerintahan
Kampung Baru
berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati
Empang.. Rumah tinggal resmi bagi
Bupati Kampung Baru. Rumah
tinggal seorang
keturunan Arab-Sunda
bernama Abdul
Aziz al
Wahdi. BCB
Pemilik dan Pemerintah
Kota
5. Rumah Tinggal
Kediaman Resmi Kapiten Arab
Terletak di Jl. Empang Masjid No. 15. Kondisi
fisik bangunan
terawat dengan baik. Sampai saat
ini bentuk bangunan tidak mengalami
perubahan struktur, elemen, dan detail
ornamennya. Perpaduan
arsitektur kolonial dan
arsitektur Arab.
Ada sebelum tahun 1900.
Rumah tinggal resmi Kapiten Arab dari keluarga Bajenet
bernama Ahmad bin Syaid Bajenet.
Masih menjadi rumah tinggal salah seorang keturunan dari
keluarga besar
Bajenet bernama Ibu Titi Bajenet.
BCB Pemilik dan
Pemerintah Kota
Zona I. Pemukiman Arab
6. Ruang
Terbuka Pemakaman
Pemakaman Arab
Merupakan tanah wakaf dari Keluarga Bajenet
seluas 2,5
Ha. Pemakaman ini dikenal
dengan nama los.
- Digunakan
sebagai pemakaman
sejak tahun 1898.
Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya.
Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya
yang tinggal di Kota Bogor. Belum BCB
Pribadi
58
59
59 Tabel 11. Lanjutan
No. Kategori
Jenis ElemenLanskap
Kondisi Fisik Tipe
Arsitektur Tahun
Pembangunan Fungsi
Status Pengelola
Dahulu Sekarang
7. Bangunan
Sarana Ibadah Masjid At Taqwa
Nilai sejarah
pada bangunan masjid sudah
hilang karena
pembangunan masjid baru yang lebih mengutamakan
nilai fungsional
dan efisiensi pada bangunan
masjidnya. Arsitektur modern
1900-an Masjid
Masjid serta pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah
para tokoh
agama dari
golongan non sayyid yang berhimpun dalam organisasi
Al Irsyad. Belum BCB
Yayasan Al Irsyad Bogor
8. Sarana Ibadah
Masjid An Noer Kondisi fisik bangunan
terawat dengan
baik. Sampai saat ini bentuk
bangunan tidak mengalami perubahan struktur dan
elemen, termasuk detail ornamennya.
Perpaduan arsitektur
Arab negeri Yaman dan
arsitektur tradisional.
1909 Majid
Masjid dan pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah
para tokoh agama dengan gelar Habib, pusat perayaan
Maulid
Nabi Muhammad
SAW, serta
pelaksanaan tradisi
khatam Al-Quran
setiap tanggal 21 Ramadhan. BCB
Yayasan An Noer Tauhid
dan Pemerintah
Kota
9. Sarana Ibadah
Makam Habib Abdullah bin Mukhsin
al Attas Kondisi fisik bangunan
cungkup makam terawat dengan baik. Kebersihan
bagian dalam
cungkup terjaga
untuk memberi
kenyamanan bagi para peziarah.
Arsitektur Arab 1933
Komplek makam
Habib Abdullah bin Mukhsin al
Attas beserta lima orang anak dan seorang murid
kesayanganya. Makam yang dikeramatkan
oleh sebagian
masyarakat sehingga banyak dikunjungi
peziarah baik dari dalam ataupun luar Kota Bogor.
BCB Yayasan An
Noer Tauhid dan
Pemerintah Kota
10. Perdagangan
dan Jasa Jl. Raden Saleh No. 19
Atap bangunan toko masih dapat menunjukkan gaya
arsitektur khas
dengan kondisi yang masih kokoh.
Arsitektur Cina 1946-an
Toko kelontong pedagang Cina.
Toko kitab dan wewangian khas bangsa Arab.
Belum BCB Pribadi
11. Rumah Tinggal
Jl. Raden Saleh No. 12 Struktur, elemen, dan
detail ornamen bangunan relatif tidak mengalami
perubahan. Bangunan saat ini
berada di
tengah lingkungan
perdagangan padat di tepi jalan Empang
Arsitektur tradisional
1920-an Rumah tinggal
Rumah tinggal BCB
Pemilik dan Pemerintah
Kota
12. Rumah Tinggal
Jl. RA. Wiranata No.18 Beberapa elemen seperti
jendela dan detail ornamen bangunannya mengalami
penurunan kualitas fisik akibat pengelolaan yang
kurang intensif terhadap kondisi bangunan.
Arsitektur Arab Moor
Akhir abad 19. Rumah tinggal
Rumah tinggal yang bagian bawah rumahnya digunakan
sebagai toko onderdil dan kois pulsa telepon selular.
Belum BCB Pribadi
60
Tabel 11. Lanjutan
No. Kategori
Jenis ElemenLanskap
Kondisi Fisik Tipe Arsitektur
Tahun Pembangunan
Fungsi Status
Pengelola Dahulu
Sekarang
13. Bangunan
Rumah Tinggal Jl. Pekojan No. 31
Merupakan salah
satu bangunan dengan struktur,
elemen, dan
detail ornamen yang masih asli
sejak awal dibangunnya. Kondisi fisik bangunan
cukup terawat. Arsitektur
tradisional 1932
Rumah tinggal Rumah tinggal milik Ibu
Zakiyyah Abdullah. Belum BCB
Pribadi
14. Rumah Tinggal
Jl. Masjid No. 5 Penggunaan dinding bilik
dan pondasi
bangunan bekas rumah panggung
menunjukan arsitektur
khas tradisional
Jawa Barat.
Kondisi fisik
bangunan cukup terawat. Arsitektur
tradisional 1920-an
Rumah tinggal Rumah tinggal
Belum BCB Pribadi
15. Rumah Tinggal
Jl. Masjid No. 7 Struktur,
elemen, dan
detail ornamen bangunan masih
asli. Mengalami
degradasi lingkungan fisik akibat penataan warung
dan lapak dagang pada bagian depan bangunan.
Arsitektur tradisional
1920-an Rumah tinggal
Rumah tinggal Belum BCB
Pribadi
16. Rumah Tinggal
Jl. Kaum No. 17 Merupakan tipe bangunan
yang mengadopsi
pola ruang dalam bangunan
khas bangsa Timur Tengah yang
membagi ruang
berdasarkan jenis kelamin. Arsitektur Arab
1960-an Rumah tinggal
Rumah tinggal milik Bapak Achmad
bin Ali
Abdad sekaligus
sebagai industri
rumah tangga yang membuat roti konde khas Arab.
Belum BCB Pribadi
17. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No. 1 Kondisi fisik bangunan
saat ini tidak terawat. Kerusakan berat terjadi
pada beberapa
elemen bangunan
seperti atap,
jendela, dan dinding. Perpaduan
arsitektur kolonial dan
arsitektur tradisional.
1935 Rumah
tinggal milik
keluarga besar al Attas. Rumah tinggal milik keluarga
besar al Attas saat ini tidak dihuni dan dibiarkan kosong.
BCB Pemilik dan
Pemerintah Kota
18. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No. 3
Struktur, elemen, dan detail ornamen pada
bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan,
namun
cat dinding
kusam sehingga secara visual kurang menarik.
Arsitektur kolonial 1940 Rumah
tinggal milik
keluarga besar al Attas. Tetap menjadi rumah tinggal
milik keluarga besar al Attas. BCB
Pemilik dan Pemerintah
Kota
19. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No. 5
Memliki kesamaan tipe dan bentuk bangunan
dengan rumah di Jl. Lolongok No.3. Namun
penambahan ruang pada bagian depan bangunan
mengurangi
tingkat keaslian bangunan.
Arsitektur kolonial 1940 Rumah
tinggal milik
keluarga besar al Attas. Tetap menjadi rumah tinggal
milik keluarga besar al Attas. Belum BCB
Pribadi
60
61
Tabel 11. Lanjutan
No. Kategori
Jenis ElemenLanskap
Kondisi Fisik Tipe Arsitektur
Tahun Pembangunan
Fungsi Status
Pengelola Dahulu
Sekarang
20. Bangunan
Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 7
Struktur, elemen, dan detail ornamen pada
bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan.
Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan
baik.
Arsitektur kolonial
1956 Rumah
tinggal milik
Keluarga besar al Attas. Tetap menjadi rumah tinggal
milik Keluarga besar al Attas. BCB
Pemilik dan Pemerintah
Kota
Zona III. Pemukiman Pribumi
21. Ruang
Terbuka Pemakaman
Makam Keluarga Dalem Shalawat
Kondisi lingkungan
makam dan bangunan utamanya
terpelihara dengan
baik, dalam
keadaan bersih, terawat, dan dijaga oleh dua
orang penjaga
dari Yayasan At Tohirriyah.
Arsitektur tradisional
1882 Makam Bupati Kampung
Baru beserta keluatganya. Komplek
makam keluarga
besar Dalem
Shalawat. Merupakan makan yang juga
dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Bogor sehingga
dikunjungi oleh peziarah. Belum BCB
Yayasan At Tohirriyah
22. Bangunan
Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.10
Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan
baik dengan struktur, elemen, dan ornamen
pada bangunan yang masih asli sejak awal
dibangunnya.
Arsitektur kolonial
1955 Rumah tinggal
Rumag tinggal Belum BCB
Pribadi
23. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.13
Bangunan mengalami
asilimilasi struktur
pondasi dan dinding. Namun
elemen dan
ornamen detail pada jendela dan pintu masih
asli.
Arsitektur tradisional
1960-an Rumah tinggal
Rumag tinggal BCB
Pemilik dan Pemerintah
Kota
24. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.14
Struktur, elemen, dan detail ornamen pada
bangunan mengalami
asimilasi namun tidak mengubah
karakter tradisional sebagai ciri
bangunan masa lalu.
Arsitektur tradisional
1960-an Rumah tinggal
Rumag tinggal milik ibu Nunung.
BCB Pemilik dan
Pemerintah Kota
25. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.20
Memliki kesamaan tipe bangunan
dengan rumah di Jl. Lolongok
No. 20. Namun kondisi fisiknya saat ini kurang
terawat.
Arsitektur tradisional
1960-an Rumah tinggal
Rumag tinggal milik Bapak Salie al Batatie.
Belum BCB Pribadi
61
62
Sumber : Disbudpar 2007 dan Survey Lapang 2010 Tabel 11. Lanjutan
No. Kategori
Jenis ElemenLanskap
Kondisi Fisik Tipe Arsitektur
Tahun Pembangunan
Fungsi Status
Pengelola Dahulu
Sekarang
26. Bangunan
Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.22
Struktur, elemen,
dan detail
ornamen pada
bangunan saat ini asli dan terawat. Serambi depan
yang ditopang kolom dan halaman depan yang luas
berfungsi sebagai private open space.
Arsitektur kolonial
1958 Rumah tinggal
Rumag tinggal BCB
Pemilik dan
Pemerintah Kota
27. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.31 Bekas
pondasi rumah
panggung masih
dapat terlihat walaupun sudah
mengalami asimilasi.
Pintu dan jendela masih menggunakan
elemen bangunan asli.
Arsitektur tradisional
1960-an Rumah tinggal
Rumag tinggal Belum BCB
Pribadi
28. Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.38 Struktur,
elemen, dan
detail ornamen
pada bangunan masih asli sejak
awal dibangun. Kondisi fisiknya saai ini terawat
dengan baik. Arsitektur
kolonial 1960-an
Rumah tinggal Rumag tinggal milik keluarga
RD. Koesoemapradja. BCB
Pemilik dan
Pemerintah Kota
29. Rumah Tinggal
Jl. Sadane No. 13 Tampak bangunan yang
simetris menunjukkan
arsitektur khas kolonial. Namun
kondisi fisik
bangunan tidak terawat. Bagian atap, jendela, dan
pagar rusak mengalami kerusakan ringan.
Arsitektur kolonial
1935 Rumah tinggal
Rumag tinggal Belum BCB
Pribadi
30. Rumah Tinggal
Jl. Sadane No. 23 Tampak depan bangunan
tradisional terhalangi oleh penggunaan
elemen tambahan
seperti atap
terpal sehingga mengalami penurunan kualitas secara
visual. Arsitektur
tradisional 1946
Rumah tinggal Rumah tinggal milik Ibu
Jumilah saat ini juga berfungsi sebagai
rumah makan
makanan khas bangsa Timur Tengah.
BCB Pemilik
dan Pemerintah
Kota
31. Rumah Tinggal
Jl. Sadane No. 71 Struktur
bangunan mengalami
asimilasi, namun elemen dan detail
ornamen pada bangunan masih dapat menunjukkan
kekhasan masa lalunya. Kondisi fisiknya saai ini
terpelihara dengan baik. Arsitektur
tradisional 1 Januari 1938
Rumah tinggal Rumah tinggal milik Bapak
Ali Ahuway. Halaman depan rumahnya digunakan sebagai
area parkir penyewaan mobil. BCB
Pemilik dan
Pemerintah Kota
32. Bangunan
Bendungan Bendungan Empang
Struktur fisik bendungan sampai sekarang masih
utuh dan dalam keadaan kokoh.
Arsitektur kolonial
1776 atas prakarsa Bupati
Kampung Baru Aria Natanegara
Pengontrol debit air sungai Cisadane untuk kepentingan
saluran irigasi pada lahan pertanian.
Pengontrol debit air Sungai Cisadane untuk mengetahui
debit air sungai saat terjadi curah hujan yang tinggi.
Belum BCB Dinas
Pengelolaan Sumberdaya
Air
62
63
oleh Demang Wiranata, Alun-alun Empang menjadi bagian dari kediaman Bupati Kampung Baru.Pada masa Pemerintahan Belanda alun-alun berfungsi sebagai
identitas pemerintahan Karesidenan Kampung BaruRegentscape Buitenzorg dalam bentuk fisik. Selain itu, alun-alun memiliki fungsi sosial sebagai ruang
terbuka publik dimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas sosialnya. Pada masa itu masyarakat dapat menikmati pemandangan Gunung Salak dari alun-alun.
Pada awal masa kemerdekaan, alun-alun Empang sewaktu-waktu berfungsi untuk menampung jamaah masjid apabila Masjid Agung Empang sudah
tidak dapat menampung jamaahnya. Selain itu, setiap perayaan Hari Raya Idul Firti alun-alun Empang berubah menjadi kawasan bermain bagi anak-anak dimana
mereka dapat naik delman dan kuda-kudaan. Saat ini, Alun-alun Empang mengalami pergeseran fungsi menjadi tempat bermain bola bagi warga sekitar dan
tempat penggembalaan kambing milik pedagang makanan olahan yang berada di sekeliling alun-alun. Perbandingan situasi Alun-alun Empang pada masa Kolonial
Belanda dan saat ini dapat dilihat pada Gambar 22.
a b
Gambar 22. a Alun-alun Empang Tahun 1880 dan b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010
Alun-alun Empang terletak pada lokasi strategis, berada pada persimpangan Jalan Pahlawan-Raden Saleh-Raden Aria Wiranata. Hal tersebut
menjadikan alun-alun sebagai penanda dan gerbang masuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Alun-alun Empang merupakan lapangan berbentuk persegi dengan
luas lahan sebesar 3660,54 m
2
. Di setiap sisinya ditanam sebuah pohon beringin. Pohon beringin terbesar sudah berusia sekitar dua puluh tahun merupakan jenis
beringin karet Ficus elastica.
Kondisi fisik Alun-alun Empang saat ini semakin lama semakin memburuk. Penambahan elemen fisik berupa pagar yang dipasang disekeliling
alun-alun membatasi keterkaitan fungsi dan hubungan kesejarahan antara alun- alun dan masjid. Selain itu, penambahan vegetasi yang tidak sesuai, seperti pinus
Pinus merkusii dan palem raja Roystonea regia mengakibatkan pudarnya karakter alun-alun. Eksistensi Alun-alun Empang sebagai suatu alun-alun
bersejarah di Kota Bogor semakin tenggelam akibat tertutup oleh para pedagang kaki lima yang berjualan disekelilingnya Gambar 23. Setelah Indonesia
Merdeka, status kepemilikan tanah alun-alun berada di pihak yayasan At Tohirriyah yang juga mengelola Masjid Agung Empang.
Gambar 23. Kondisi Lingkungan di Sekitar Alun-alun Empang Sumber : Survey Lapang 2010
b Masjid Agung Empang
Masjid Agung Empang merupakan masjid pertama yang dibangun di Buitenzorg pada masa pemerintahan Kampung Baru. Sebelum tahun 1817, sudah
terdapat bangunan kecil berupa surau dengan struktur bangunan yang belum permanen. Letak surau berada di sisi sebelah barat alun-alun Empang sesuai
dengan konsep pusat pemerintahan tradisional di masa kolonial Belanda. Bangunan surau dengan struktur permanen mulai dibangun tahun 1817 oleh
Bupati RH.Muhammad Tohir, yang terkenal sebagai buyut Kampung Baru. Beliau menghibahkan tanah seluas 5462,10 m
2
untuk perluasan tanah masjid yang juga
mencakup lahan alun-alun dan lahan dekat Empang Pulo. Pembangunan masjid diteruskan oleh putra beliau yang bernama Dalem Wiranata. Pembangunan
selanjutnya dilakukan oleh bupati Regentscape Buitenzorg terakhir yang masih berkedudukan di Empang bernama RA Wiranata 1854-1872 atau lebih dikenal
dengan nama Dalem Shalawat. Gaya bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur kolonial
Belanda. Sementara pengaruh gaya arsitektur tradisional terlihat dari bentuk atap menara berundak tiga. Terdapat empat pilar penyangga bangunan utama masjid
yang dikenal dengan saka guru Fitri, 2006. Tiang-tiang ini memiliki filosofi yaitu 4 mashaf islam dan 4 jaman keislaman. Dalam perkembangannya, Masjid
Agung Empang mengalami beberapa tahap pemugaran. Pada tahun 1873, masjid ini dipugar dari sebuah mushola kecil menjadi bangunan permanen berupa
pendopo bergaya arsitektur tradisional yang memiliki atap menara berundak dua tingkat Gambar 24. Kompleks masjid yang merupakan tanah wakaf dari RH
Muhammad Tohir mengalami penambahan luas dengan adanya tambahan wakaf dari Sayyid Alwi Bin Ismail Alayidrus 1927 dan Habib Abdillah Assegaf
1937. Beliau mewakafkan tanahnya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan lahan untuk pemakaman yang letaknya tidak jauh dari Pintu Air Pulau
Empang. Kompleks pemakaman ini diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir para kerabat bupati. Untuk keperluan urusan agama seperti pernikahan
atau perceraian, di samping masjid didirikan Kantor Pengadilan Agama. Selain itu, dibangun ruangan untuk berkumpul dan melakukan pengajian bersama.
a b
Gambar 24. a Masjid Agung Empang Tahun 1847 dan b Tahun 1873 Sumber : Tropenmuseum 2010, Danasasmita 1983
Masjid Agung Empang kembali mengalami pemugaran pada tahun 1952. Bangunan joglo diubah menjadi bangunan yang mendapat pengaruh gaya
arsitektur kolonial oleh Silaban, seorang arsitek yang juga merancang Masjid Istiqlal. Namun bentuk atap bangunan utama masjid mempertahankan gaya
tradisional dengan bentuk segitiga sementara atap menara tidak lagi berundak dan digantikan oleh atap menara tinggi yang memiliki kubah.
Pada tahun 1955 saat digelar Konferensi Asia Afrika KAA, Presiden Soekarno besama Presiden Mesir Jenderal Gamal Abdul Naser melaksanakan
solat berjamaah di Masjid Agung Empang. Masjid Agung Empang sampai dengan sekarang masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Selain sebagai tempat
melaksanakan ibadah solat berjamaah, setiap malam di Masjid Agung Empang dilakukan pengajian rutin yang dihadiri oleh warga di sekitar lingkungan masjid.
Kondisi fisiknya tidak jauh berubah sejak mengalami renovasi terakhir pada masa awal kemerdekaan Gambar 25.
a b
Gambar 25. a Masjid Agung Empang Tahun 1952 dan b Tahun 2010 Sumber : Danasasmita 1983, Survey Lapang 2010
Masjid Agung Empang yang terletak di Jalan Empang No. 1 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya BCB oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat
Penetapan BCB
Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata
RI No
: PM.26PW.007MKP2007, sehingga pelestarian Masjid Agung Empang berada
di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Bogor. Sementara pengelolaan keseharian lingkungan dalam dan sekitar masjid dilakukan
oleh penduduk setempat yang tergabung dalam Yayasan Masjid Agung At Tohirriyah. Kondisi fisik bangunan masjid saat ini terlihat kurang terawat, terkait
dengan masalah kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki.
c Pasar Bogor
Kepindahan pusat pemerintahan Kampung BaruRegentscape Buitenzorg membawa kesibukan pemerintahan berlangsung sepanjang jalur Tanah Baru dan
Sukahati Empang. Kawasan ini semakin bertambah ramai dengan adanya kegiatan perekonomian. Pemerintah Belanda mewajibkan para petani mengangkut
semua hasil bumi ke gudang yang terletak di arah utara Empang. Setelah menjual hasil buminya, para petani singgah untuk beristirahat sejenak. Keadaan tersebut
menciptakan terbentuknya pasar untuk memfasilitasi kebutuhan para petani. Pasar dibuka seminggu sekali sesuai dengan jadwal penyerahan hasil bumi petani
kepada pemerintah Belanda. Kemajuan pasar menarik para pedagang untuk menetap dan bermukim di
dekat pasar, terutama bagi para pedagang Cina. Melihat potensi kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya menyewakan
tanah Buitenzorg miliknya kepada para pedagang. Tahun 1777, penghasilan tambahan Gubernur Jenderal sebesar 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar
Danasasmita, 1983. Pasar tersebut kemudian dikenal dengan nama Pasar Bogor karena letaknya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Karesidenan
Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg. Sampai saat ini, pasar tersebut masih dikenal dengan nama Pasar Bogor. Karakteristik pasar yang sejak dulu
didominasi oleh para pedagang Cina masih kuat terasa. Kepadatan lingkungan di sekitar Pasar Bogor semakin ramai dengan adanya terminal dan pedagang kaki
lima yang keberadaanya tidak teratur dengan baik Gambar 26.
a b
Gambar 26. a Pasar Bogor Periode Kolonial Belanda dan b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010
d Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru
Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati Kampung BaruRegentscape Buitenzorg terletak di sebelah timur Sungai Cisadane
dekat dengan muara Sungai Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah dalam Balebat
2007 menyebutkan bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah
galeri dari kayu dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah Regentscape Buitenzorg dihapuskan pada tahun 1872 oleh
Pemerintah Belanda, para kerabat bupati berpindah ke daerah sekitar Empang. Selanjutnya, pendopo bekas kediaman Bupati Kampung Baru berpindah tangan
pada seorang warga keturunan Arab. Atap bangunan pada awalnya bergaya tradisional berbentuk atap joglo. Penambahan fasad bangunan dari bahan beton
yang mengadopsi gaya arsitektur kolonial indische menutupi bentuk atap tradisionalnya. Lantai kayu pada bangunan pendopo digantikan dengan lantai
keramik yang lebih kuat dan tahan lama. Namun tampak bangunan yang simetris tidak mengalami perubahan Gambar 27.
Bekas bangunan pendopo sempat beralih fungsi menjadi rumah produksi kain tenun pada awal abad ke 20. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama
karena rumah produksi kain tenun kemudian dipindahkan ke Pekalongan oleh pemiliknya yang merupakan warga keturunan Arab. Selanjutnya bangunan ini
kembali menjadi rumah tinggal tanpa mengalami perubahan fisik bangunan walaupun status kepemilikannya berubah-ubah. Status kepemilikan bangunan saat
ini berada di tangan Abdul Aziz al Wahdi. Walaupun sudah berusia lebih dari dua ratus tahun, bangunan tua bekas pendopo sampai sekarang kondisinya tetap kokoh
dan cukup terawat. Pemeliharaan yang kurang maksimal terlihat pada cat dinding bangunan dan pagar yang mengelupas dan terlihat kusam namun tidak dilakukan
pengecetan ulang akibat keterbatasan dana. Perhatian pemerintah daerah terhadap pengelolaan bangunan pun kurang dapat dirasakan walaupun bangunan yang
terletak di Jalan Empang No. 2A-C tersebut telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya Kota Bogor.
a b
Gambar 27. a Pendopo Bupati Periode Kolonial Belanda dan b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010
e Kediaman Resmi Kapiten Arab
Kediaman resmi Kapiten Arab terletak di sisi timur Alun-alun Empang, tepatnya di Jalan Empang Masjid No. 15. Rumah ini menjadi kediaman resmi bagi
Kapiten Arab sejak akhir abad ke-19. Pemimpin komunitas Arab terakhir bernama Ahmad bin Syaid Bajenet 1900-1910 diketahui menempati rumah tersebut
Survey Lapang, 2010. Kondisi fisik bangunan bekas kediaman resmi Kapiten Arab terawat
dengan baik. Gaya arsitektur bangunan mengadopsi gaya indische dimana bangunan utama terdiri atas serambi depan, ruang tamu, ruang tengah, ruang tidur,
dan serambi belakang. Elemen bangunan seperti jendela, pintu, serta ragam hias pada lubang ventilasi dari dulu sampai sekarang tetap dipertahankan. Bangunan
ini dikelilingi oleh dinding setinggi dua meter. Terdapat dua jalur masuk yang terpisah untuk tamu laki-laki dan tamu perempuan. Selain itu, terdapat kamar
mandi yang terletak di samping rumah dan terpisah dari bangunan utama dan diperuntukkan bagi tamu laki-laki. Pemisahan ruang berdasarkan jenis kelamin
pada bangunan bekas kediaman resmi Kapiten Arab merupakan pola hunian khas bangsa Timur Tengah van den Berg, 2010.
Sampai saat ini, bangunan bekas kediaman Resmi Kapiten Arab tetap berfungsi sebagai bangunan tinggal dan dikelola secara pribadi oleh keturunan
Ahmad bin Syaid Bajenet, bernama Titi Bajenet. Pemeliharaan bangunan yang dilakukan meliputi kegiatan pengecetan terutama pada dinding pagar yang sering
kali menjadi objek vandalisme masyarakat yang tidak bertanggung jawab Gambar 28. Perbaikan elemen bangunan yang mengalami kerusakan ringan
diperbaiki tanpa merubah karakter fisik bangunan.
a b
Gambar 28. a Vandalisme pada Dinding Pagar b Kondisi Tahun 2010 Sumber : Survey Lapang 2010
f Masjid At Taqwa
Masjid At Taqwa dibangun di atas tanah wakaf seorang tokoh agama keturunan Arab bernama Ismail bin Alaydrus. Namun tidak diketahui kapan
tepatnya masjid tersebut didirikan. Pada awalnya Masjid At Taqwa dikenal dengan nama Masjid Pekojan kerana tanah wakaf yang dihibahkan berada di
dalam kawasan Pekojan dan berjarak sekitar 200 m ke arah utara Masjid Agung Empang. Sebelum diwakafkan menjadi sebuah masjid, lahan tersebut merupakan
tempat untuk memelihara kuda istal. Para tokoh agama dari golongan non sayyid
yang berhimpun dalam organisasi Al Irsyad, memusatkan kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah di Masjid Pekojan. Menurut majalah At Tauhid pada tahun
1933, diketahui bahwa pengurus Al Irsyad menghimpun dana untuk merenovasi Masjid Pekojan.
Ahli waris Ismail bin Alaydrus, Salim bin Alaydrus, menyerahkan sepenuhnya akte sertifikat wakaf Masjid Pekojan kepada Yayasan Al Irsyad pada
tanggal 27 September 1978, setelah cukup lama menjadi pusat bagi kegiatan dakwah Al Irsyad. Selanjutnya pada tanggal 11 Februari 1982, Yayasan Al Irsyad
Bogor membentuk kepanitiaan dalam rangka mendirikan bangunan baru sebagai pengganti bangunan masjid lama. Keputusan tersebut menimbulkan kontroversi
internal antar anggota Al Irsyad. Kalangan yang lebih tua menentang didirikannya bangunan baru yang akan menghilangkan nilai sejarah pada bangunan lama.
Namun, setelah dilakukan mufakat antar anggota Al Irsyad, maka pembangunan masjid dimulai pada tanggal 1 April 1983. Nama Masjid Pekojan diubah menjadi
Masjid At Taqwa. Almarhum Ali Azzan Abdad memberikan tanah wakaf untuk penambahan
lahan di bagian barat masjid seluas 100 m
2
. Tahap awal pembangunan Masjid At Taqwa dibiayai oleh dana hibah yang berasal dari almarhum Ahmad bin Usman
Bawahab. Dana pembangunan selanjunya didapat dengan menghimpun dana dari para donatur dari dalam dan luar negeri. Bangunan Masjid At Taqwa cenderung
bergaya minimalis dengan mengutamakan fungsi bangunan yang lebih efektif dan efisien Gambar 29.
a b
Gambar 29. a Masjid At Taqwa Tahun 1933 b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010
g Masjid An Noer
Masjid An Noer didirikan oleh Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Beliau merupakan seorang tokoh agama berkebangsaan Arab dari golongan sayyid yang
mendapatkan gelar Habib. Pada tahun 1900, Habib Abdullah bin Mukhsin al- Attas hijrah ke Empang. Beliau bermukim di dekat pusat pemerintahan tepatnya
di kawasan Lolongok. Dahulu, Lolongok merupakan kawasan berawa-rawa. Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk
mengeringkan daerah rawa tersebut dalam satu malam. Sehingga pemerintah Belanda yang saat itu berkuasa, memberikan tanah Lolongok kepada Habib
Abdullah bin Mukhsin al-Attas untuk bermukim. Pada tahun 1909 Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas mendirikan Masjid
An Noer Hayatullah, 2007 yang terletak tidak jauh dari kediamannya. Bangunan Masjid An Noer memiliki gaya arsitektur timur tengah dengan
mengadopsi model arsitektur sebuah masjid yang ada di Yaman. Pengaruh arsitektur tradisional terlihat dari bentuk segitiga pada atap masjid. Hal tersebut
merupakan bentuk adaptasi arsitektural terhadap iklim tropis yang ada di Indonesia. Awalnya, menara masjid terpisah dari bangunan utama dan serambi
disekeliling masjid merupakan area terbuka Gambar 30.
Gambar 30. Masjid An Noer Tahun 1909 Sumber : Tropenmuseum 2010
Pada sekitar tahun 1990an, Masjid An Noer mengalami pemugaran. Bangunan masjid diperluas sehingga bangunan utama dan menara masjid bersatu.
Selain itu, atap menara masjid yang semula berbentuk segitiga diganti menjadi atap kubah yang pada setiap ujung kubahnya memiliki bentuk yang berbeda-beda
Gambar 31. Saat ini Masjid An Noer telah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya BCB Kota Bogor. Status kepemilikan Masjid An Noer berada di bawah
Yayasan An Noer Tauhid yang dikelola oleh keluarga besar al-Attas dan bekerjasama dengan pemerintah daerah Kota Bogor.
a b
Gambar 31. a Masjid An Noer Tahun 2010 dan b Kaligrafi pada Atap Masjid Sumber : Survey Lapang 2010
Yayasan An Noer Tauhid secara rutin mengadakan pengajian setiap hari Kamis sore dan dipusatkan di Masjid An Noer. Selain acara pengajian, Masjid An
Noer juga menjadi pusat perayaan saat memperiangati Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya.
Suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad di Kawasan Empang berlangsung khidmat dan meriah. Berbagai seni budaya Islam seperti
musik marawis ditampilkan. Tradisi tahunan tersebut juga diisi dengan ceramah dari para Habib terkemuka serta pembacaan shalawat Nabi untuk menghormati
dan mengenang Nabi Muhammad SAW. Peringatan Maulid Nabi ditutup dengan
acara makan nasi kebuli yaitu nasi khas racikan Arab dengan lauk daging kambing secara bersama-sama.
Tradisi tahunan lainnya yang dipusatkan di Masjid An Noer adalah tradisi khatam Al Quran pada malam ke-21 bulan Ramadhan.
Tradisi yang berasal dari Hadramaut tersebut sudah berlangsung puluhan bahkan lebih dari satu abad di masjid-masjid tua yang tersebar di Jakarta dan Bogor.
h Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas
Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas atau disebut juga Wali Qutub merupakan cucu keturunan ketiga puluh enam Nabi Muhammad SAW.
Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas berasal dari Yaman, sebuah negara di tenggara
Saudi Arabia. Beliau dilahirkan di Kampung Khuraidah Hadramaut pada bulan Desember tahun 1859. Semasa hidupnya, beliau berkelana ke berbagai penjuru
dunia untuk menyebarkan agama Islam, sampai akhirnya menetap di Empang dan membangun Masjid An Noer bersama para kerabatnya.
Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas adalah seorang tokoh penyebar agama Islam yang cukup
berpengaruh pada masa Pemerintahan Belanda. Beliau menikah dengan seorang wanita keturunan Dalem Shalawat, Bupati Kampung Baru yang terakhir. Pada
tanggal 29 Djulhijjah 1351 H atau 26 April 1933 Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas wafat. Jasadnya dimakamkan di bagian barat Masjid An Noer.
Sampai saat ini makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Empang dan Kota Bogor. Keberadaan
makam beliau menarik banyak peziarah dari berbagai daerah bahkan luar negeri untuk datang ke kawasan Empang terutama pada hari peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW ataupun pada peringatan haul wafatnya Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Dihari-hari biasa, makam beliau ramai dikunjungi peziarah
pada malam jumat dan akhir pekan setiap minggunya. Suasana semakin bertambah ramai dengan kehadiran para pedagang musiman yang menjual
perlengkapan ibadah seperti tasbih, sorban, peci dan kerudung, wewangian, kitab, maupun kaset murotal Gambar 32.
Gambar 32. Pedagang Musiman di Lingkungan Sekitar Makam Habib Sumber : Survey Lapang 2010
Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir membangun cungkup pada lokasi komplek makam yang di dalamnya terdapat makam Habib Abdullah bin Mukhsin
al-Attas, lima orang putranya, dan seorang murid kesayangannya Gambar 33. Kondisi fisik komplek makam terawat dengan baik. Kebersihan lingkungan dan
dalam komplek makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas dikelola oleh Yayasan An Noer Tauhid. Saat ini komplek makam Habib Abdullah bin Moehsin
al-Attas telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya BCB oleh pemerintah daerah Kota Bogor.
a b
Gambar 33. a Cungkup Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas dan b
Komplek Makam Dalam Cungkup Sumber : Survey Lapang 2010
i Makam Keluarga Dalem Shalawat
Makam Keluarga Dalem Shalawat terletak di sisi Jalan RA Wiranata dan berdekatan dengan Masjid Agung Empang. Pada area pemakaman terdapat satu
bangunan persegi dengan atap tradisional berbentuk joglo. Di dalam bangunan tersebut terdapat enam belas makam, terdiri dari tiga belas makam perempuan dan
tiga makam laki-laki. Dua diantara enam belas makam merupakan makam dari Bupati Kampung Baru yaitu RH Muhammad Tohir dan putra beliau yang
bernama Raden Aria Wiranata atau yang lebih dikenal dengan nama Dalem Shalawat. RA Wiranata merupakan Bupati Kampung Baru terakhir. Beliau
meninggal pada tahun 1872 bertepatan dengan tahun dihapuskannya Regentscape Buitenzorg oleh pemerintah Belanda. Keberadaan kedua makam yang telah
berusia lebih dari seratus tahun menarik banyak minat peziarah untuk datang berkunjung ke kawasan Empang.
Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat berada dalam kondisi terawat. Hal tersebut dapat terlihat pada makam Bupati Kampung Baru RH
Muhammad Tohir yang ditutup kain putih dan diberi pagar kayu disekelilingnya sebagai suatu bentuk perlindungan. Dua orang penjaga makam bertugas untuk
merawat kebersihan lingkungan makam dan bangunan Gambar 34. Pengelolaan rutin dilakukan secara mandiri dan berada dibawah pengawasan Yayasan At
Tohirriyah. Walaupun secara resmi Komplek Makam belum terdaftar sebagai BCB, namun pemerintah Kota Bogor ikut berperan dalam melestarikan Komplek
Makam Keluarga Dalem Shalawat dengan memberikan bantuan dana pembangunan pagar disekeliling area pemakaman.
a b
Gambar 34. a Makam RH Muhammad Tohir b Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat Sumber : Survey Lapang 2010
j Bendungan Empang
Bendungan Empang dibangun pada masa pemerintahan Bupati Kampung Baru Aria Natanegara 1761-1789. Pembangunan bendungan bertujuan untuk
meningkatkan perkembangan pertanian pada masa itu. Saluran irigasi berupa kanal buatan dibangun dari Empang menuju Kedungbadak dengan memanfaatkan
aliran Sungai Cisadane, Cipakancilan, dan Ciliwung. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua. Muara
Sungai Cipakcilan pada tepi Sungai Cisadane dibendung dan disalurkan melalui kanal buatan. Pengalihan aliran air mengakibatkan terbentuknya Empang Pulo.
Aliran Sungai Cipakancilan kembali dipecah dengan kanal Cidepit kemudian
alirannya disalurkan ke Sungai Ciliwung. Bendungan dan saluran air selesai dibangun pada tanggal 6 Agustus 1776 dengan membuat kanal buatan yang
menghubungkan Ciliwung dan Cisadane melalui perpanjangan aliran
Cipakancilan sejauh beberapa kilometer. Penerapan teknologi maju pengelolaan air karya bangsa pribumi dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial
Belanda Danasasmita, 1983. Selanjutnya, pemerintah Belanda memperbesar saluran air dan memperkokoh bendungan dengan beton Gambar 35. Bendungan
Empang saat ini masih berfungsi. Perbaikan dilakukan tehadap pintu-pintu air agar Bendungan Empang dapat mengontrol debit aliran air Sungan Cisadane
dengan baik. Pengelolaan Bendungan Empang berada dibawah pengawasan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Kota Bogor.
a b
Gambar 35. a Bendungan Empang Periode Kolonial Belanda b Tahun 2010 Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010
4.2.3 Lanskap Budaya Kawasn Empang