Periode Kerajaan Pajajaran 1482-1579

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Perkembangan Kawasan Empang

Perkembangan Kawasan Empang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Kota Bogor itu sendiri. Kawasan Empang sebagai salah satu kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti dari pertumbuhan Kota Bogor telah mengalami perubahan besar dan penggunaan lahan yang berbeda-beda sejak masa Kerajaan Pajajaran 1482-1579, masa Kolonial Belanda 1754-1945, dan masa Kemerdekaan 1945-sekarang. Letak kawasan Empang yang strategis karena dekat dengan pusat kota Bogor menyebabkan kawasan ini dipengaruhi oleh perkembangan yang cepat baik secara fisik maupun non fisik.

4.1.1 Periode Kerajaan Pajajaran 1482-1579

Pada masa Kerajaan Pajajaran terhitung sejak tahun 1482-1579, jauh sebelum kawasan Empang menjadi salah satu kawasan pemukiman padat di Kota Bogor, wilayah yang berada di daerah sempit yang diapit oleh Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan ini menjadi bagian dari pusat pemerintahan sekaligus ibukota Kerajaan Hindu yang cukup berkuasa pada masanya di Jawa Barat. Ibukota kerajaan Pajajaran itu dikenal dengan nama Pakuan. a Kondisi Fisik Posisi Pakuan sebagai kota pusat Kerajaan Pajajaran ditandai dengan adanya benteng yang berfungsi sebagai pertahanan dan sekaligus batas kota. Pakuan dikelilingi benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya, sedangkan di bagian selatan batas kota Pakuan berlahan datar dan terdapat benteng kota yang paling besar. Pintu gerbang Pakuan terletak di sisi sebelah Utara dan Selatan. Sebagai ibukota kerajaan, Pakuan dilengkapi oleh berbagai komponen fisik kota yang terletak di dalam dan di luar benteng Pakuan. Kelengkapan kota Pakuan yang berada di dalam benteng meliputi Keraton dan Alun-alun Dalam Kotaraja. Sedangkan kelengkapan di luar benteng kerajaan meliputi Bukit Badigul, Tajur Agung, dan Alun-alun Luar Kotaraja. Berdasarkan berita Cerita Parahiyangan dalam Danasasmita 1983, pada masa pemerintahan Ratu Dewata 1535-1543 seorang pemimpin Pajajaran yang merupakan cucu Prabu Siliwang, dituturkan bahwa “Datang na bencana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung ”. Hal ini diartikan bahwa “Datang bencana serangan laskar musuh yang tidak diketahui asalnya. Terjadilah perang di alun- alun”. Cerita Parahiyangan diperkuat oleh laporan hasil ekspedisi Abraham van Riebeck, seorang orientalis Belanda pada tahun 1709. Dalam ekspedisinya, van Riebeck menemukan alun-alun setelah ia melewati Cipakancilan dari arah Panaragan. Ia pun mencatat bahwa terdapat tiga batang pohon beringin yang menjadi salah satu kelengkapan alun-alun tradisional. Alun-alun itu membentang dari tepi Cisadane sampai ke parit yang membentang dari Lolongok sampai ke Cipakancilan. Setelah melewati parit inilah terdapat jalan masuk yang mendaki menuju benteng Kota Pakuan. Denah benteng Kota Pakuan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada masa itu, alun-alun luar berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan medan pertempuran saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579 Danasasmita, 1983. b Kondisi Sosial Masyarakat Tahun 1521, menurut sensus yang dilakukan oleh petugas Keraton Demak tercatat bahwa penduduk Kerajaan Pajajaran berjumlah 48.271 jiwa Danasasmita, 1983. Pada masa itu, ibu kota Kerajaan Pajajaran merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak apabila dilihat dari jumlah penduduknya. Penduduk Kerajaan Pajajaran menganut agama Hindu. Hal tersebut mengikuti kepercayaan yang dianut oleh raja-raja Pajajaran. Pengaruh agama Hindu mempengaruhi pola tata letak dan pola kehidupan masyarakat Pajajaran pada masa itu. Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama dari perladangan. Namun demikian, Pajajaran juga melakukan kegiatan perdagangan dengan daerah atau negara lain. Diketahui bahwa Pajajaran memiliki enam buah bandar yang cukup ramai dan penting. Salah satu bandar Kerajaan Pajajaran yang terpenting dan terbaik adalah Kalapa yang dapat ditempuh kira-kira dua hari perjalanan dari pusat kota Pajajaran dengan menggunakan kapal atau perahu melalui Sungai Ciliwung. Gambar 4. Denah Benteng Kerajaan Pajajaran Sumber : Danasasmita, 1983

4.1.2 Periode Kolonial Belanda 1754-1945