Upaya Rehabilitasi Karang dan Pemberdayaan Komunitas Kabalutan

Disisi lain, penerapan zona inti berdampak pada perubahan area tangkapan nelayan menjauh dari pemukiman yang berdekatan dengan lokasi zona inti DPL. Sementara itu, pada lokasi lain yaitu di perairan Selatan Kabalutan yaitu Sappa Toro Pasibatang, Silalang Malalang, Sappa Ruma dan Sappa Buntar menunjukan trend kerusakan terumbu karang yang terus meningkat dalam kurun waktu 13 tahun terakhir 1998 – 2011. Hal ini menjadi catatan tersendiri, bahwa inisisasi DPL belum berhasil menekan laju degradasi secara menyeluruh. Dengan kata lain, penutupan akses pada area zona inti berdampak pada peningkatan kerusakan terumbu karang di tempat lain yang dalam hal ini adalah wilayah perairan di bagian Selatan Kabalutan. Namun ketika penelitian ini berlangsung di Desa Kabalutan, zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha tidak lagi menjadi zona inti no-take zone , karena hampir semua nelayan di Desa Kabalutan tidak memiliki pantangan untuk mengambil ikan di lokasi manapun baik di dalam maupun di luar wilayah DPL termasuk tetap menangkap di wilayah zona inti. Peraturan desa yang mengatur mengenai DPL dan pembagian zona pun hingga ini belum terlaksana. Sewaktu inisiasi DPL memang ada penanda wilayah yaitu papan peringatan, pelampung dan sabua yang berfungsi sebagai pos penjagaan di sekitar DPL. Hanya saja karena sudah cukup lama, semua fasilitas tersebut tidak ada dikarenakan proses pelapukan kayu. Selain itu, program pemberdayaan juga diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan yang ditujukan agar masyarakat sama bisa melestarikan dan menjaga laut. Program yang turun tersebut berupa bantuan bibit dan perlengkapan budidaya rumput laut yang diberikan kepada kelompok nelayan. Selain bantuan berupa bibit dan perlengkapanan budidaya, juga dibangun gudang rumput laut yang diperuntukan untuk menampung hasil budidaya rumput laut. Beberapa waktu berjalannya bantuan ini, masyarakat mengeluh akan gagalnya program ini. Pertama , disebabkan oleh penyakit yang terkena pada rumput laut, kedua, program ini dianggap tidak realistis karena jumlah bantuan bibit dirasakan sangat kurang, bantuan perlengkapan tidak sebanding dengan bibit yang diberikan. Jumlah panen beberapa kelompok rumput laut di Kabalutan tidak sebanyak yang diharapkan, sehingga gudang yang ada tidak pernah penuh dengan hasil panen rumput laut. Program bantuan lainnya adalah bantuan kapal fiber 22 unit yang ditujukan kepada komunitas nelayan Kabalutan, yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Pemerintah Pusat yang penyalurannya diberikan melalui Dinas Perikanan. Selain kapal fiber, kelompok nelayan Kabalutan juga mendapatkan bantuan keramba 44 unit dan bagan apung fiber sebanyak 10 unit yang diperuntukan untuk budidaya. Selain itu, bantuan lain adalah satu banguan pos penjaga yang berfungsi sebagai lokasi pemantauan aktivitas penggunaan alat tangkap merusak. Di Kabalutan sendiri ada 4 petugas pengawas yang diberi honor Rp300.000,-bulan oleh Dinas Perikanan. Program penjaga ini hanya ada dibeberapa pulau yang ditinggali oleh mayoritas nelayan bajau. Jika dibandingkan dengan desa lainnya, Desa Kabalutan mendapatkan porsi pengawas paling banyak, hal ini disebabkan oleh padatanya populasi penduduk di Kabalutan. Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa aparatur desa dan nelayan, banyak bantuan yang diberikan dirasakan belum tepat sasaran bahkan boleh dikatakan tidak tepat. Kapal fiber yang diberikan pada kelompok sebanyak 22 unit tidak bermanfaat bagi nelayan dikarenakan kapal tersebut terlalu boros bensin, hampir tiga kali lipatnya jika dibandingkan dengan biaya operasional nelayan yang menggunakan katinting. Semua nelayan lebih memilih menggunakan katinting dibandingkan dengan perahu fiber bantuan, dan keramba fiber juga tidak dimanfaatkan oleh nelayan Kabalutan, karena tidak semuanya mampu menjadi penampung ikan hidup. Pemerintah daerah Tojo Una-Una saat ini melarang penangkapan ikan untuk jenis Napoleon, hal ini merupakan salah satu respon terhadap degradasi terumbu karang akibat penggunaan alat tangkap yang merusak. Selain itu, pelarangan penangkapan ikan Napoleon berawal dari “daftar merah” ikan yang terancam punah yang diikeluarkan oleh IUCN, Ikan Napoleon diketegorikan sebagai ikan yang memiliki produktivitas rendah dan beresiko tinggi terhadap kepunahan. Spesies ini dimasukkan dalam daftar karena melihat kemerosotan jumlah di berbagai wilayah di dunia. Secara umum, peraturan mengenai perikanan di Indonesia diatur di dalam UU No. 9 tahun 1985. Keputusan Menteri Pertanian No. 375KptsIK.25051995 mengenai pelanggaran penangkapan Ikan Napoleon menyebutkan bahwa “Pasal 1 ikan Napoleon dilarang untuk ditangkap, Pasal 2 kecuali jika ada ijin dari menteri pertanian melalui Direktorat Jendral Perikanan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan budidaya, serta jika ditangkap oleh nelayan tradisional dengan menggunakan alat dan cara yang tidak merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya”. Keputusan Menteri Perdagangan No. 94KpV1995 mengenai Pelarangan Ekspor Ikan Napoleon menyatakan dilarangnya ekspor ikan Napoleon dalam keadaan hidup atau mati, maupun bagian - bagian dari ikan tersebut Dhafir 2011. Pelarangan ikan Napoleon di Kabupaten Tojo Una Una mampu menekan laju kerusakan ikan akibat penggunaan obat bius sianida. Walaupun pada kenyataannya, saat penelitian ini berlangsung, di Kabalutan sendiri masih ada pengumpul yang menyimpang ikan Napoleon dalam jumlah yang banyak di kerambanya, dengan alasan sebagai koleksi di keramba. Fenomena ini menunjukan bahwa pada tataran lokal, penjualan ikan Napoleon masih berlangsung. Penulis mengalami kesulitan dalam menggali informasi mengenai penangkapan ikan Napoleon dan khususnya informasi mengenai praktek pengemboman. Faktor penerapan sanksi hukum dari aparatur merupakan alasan utamanya. Kesimpulan yang bisa ditarik dari paparan diatas adalah baik upaya rehabilitasi dan program pemberdayaan yang dilakukan baik dari pemerintah maupun organisasi pemerintah mampu mengurangi tingkat penggunaan alat tangkap yang merusak pada areal yang lokasinya dekat dengan pemukiman tetapi belum mampu menghentikan praktek penggunaan alat tangkap yang merusak pada areal yang jauh dari pemukiman. Hal ini disebabkan oleh : pertama, areal dekat pemukiman pernah dijadikan zona inti DPL dimana CII menjadi salah satu penggeraknya pada kurun waktu 2005 hingga 2006 dan kedua : adalah areal dekat pemukiman masih terjangkau dari tim pengawas yang tinggal di pemukiman. Sementara itu, pada lokasi terumbu karang yang lainnya yaitu Selatan Kabalutan menunjukan peningkatan laju kerusakan terumbu karang karena masih adanya penggunaan alat tangkap yang merusak.

4.7. Analisis Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kepulauan Togean

4.7.1. Sejarah Kebijakan

Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Poso, tepatnya pada tahun 2003. Di bawah wilayah administrasi kabupaten Poso, Kepulauan Togean telah diajukan sebagai taman wisata laut berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah melalui Dinas Kehutanan. Wilayah Togean sejak sejak dahulu hingga sekarang memang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara, walaupun aktivitas wisata tersebut sempat terhenti karena kerusuhan panjang yang terjadi di wilayah Poso. Oleh karena potensi Togean yang kaya akan keindahan terumbu karang, maka orientasi pengelolaan berfokus pada pengembangan wisata laut baik yang dikelola oleh warga lokal maupun warga asing. Berdasarkan dokumentasi Conservation International Indonesia CII, pada tahun 2004, Menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No. 418Menhut04 menunjuk kawasan Togean menjadi Taman Nasional Kepulauan Togean TNKT seluas 362.605 ha yang meliputi ± 10.659 sepuluh ribu enam ratus lima puluh sembilan hektar hutan lindung, hutan produksi terbatas seluas ± 193 seratus sembilan puluh tiga hektar, hutan produksi tetap seluas ± 11.759 sebelas ribu tujuh ratus lima puluh sembilan hektar, hutan produksi yang dapat dikonversi seluas ± 3.221 tiga ribu dua ratus dua puluh satu hektar dan perairan laut seluas ± 336.773 tiga ratus tiga puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh tiga hektar. Pada tahun 1989 Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 10.000 ha kawasan laut kepulauan Togean untuk ditetapkan sebagai taman wisata laut. Antara tahun 1989 hingga 1993, Kementrian Lingkungan Hidup maupun Bapenas telah mengusulkan sebagian wilayah Kepulauan Togean sebagai kawasan konservasi dengan status bervariasi, seperti Suaka Margasatwa, Cagar Alam Laut, atau Cagar Alam Multiguna. Setelah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Kepulauan Togean sebagai kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional, Gubernur Sulawesi Tengah kembali menyurati Menteri Kehutanan agar wilayah Kepulauan Togean seluas 411,373 ha dijadikan taman wisata laut. Surat Gubernur ini pun didukung oleh Bupati Tojo Una Una. Enam bulan kemudian, Kementrian Kehutanan mengirim Tim Terpadu untuk melakukan kajian dan verfikasi lapangan ke Kepulauan Togean. Rekomendasi tim terpadu adalah; 1 luasan seluas 411.373 hektar secara teknis maupun administrasi pengelolaan kawasan akan lebih efektif bila ditingkatkan statusnya sebagai taman nasional, 2 memperhatikan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, maka pengelolaan kawasan kepulauan Togean akan lebih optimal bila diwadahi oleh status taman nasional, 3 taman nasional memungkinkan adanya pembentukan zonasi-zonasi yang lebih jelas dan sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sehingga mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat, baik tentang perlunya status hukum maupun pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan kepulauan Togean yang berkelanjutan, 4 taman nasional secara kelembagaan memiliki landasan hukum yang jelas dan memiliki manajemen pengelolaan tersendiri sehingga lebih efektif mencegah pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip- prinsip konservasi, 5 status taman nasional akan lebih mampu melindungi ekosistem Kepulauan Togean dari kekhawatiran dari dampak negatif terhadap lingkungan secara luas akibat rencana pengembangan kawasan teluk Tomini sebagai pusat pengembangan ekonomi berbasis sektor kelautan. Dengan mempertimbangkan masukan dari tim terpadu tersebut, Gubernur Sulawesi Tengah kembali mengirimkan surat yang mengubah usulan status Kepulauan Togean dari Taman Wisata Alam Menjadi Taman Nasional. Usulan Gubernur pun disetujui Menteri Kehutanan yang akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan No.418Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan wilayah perairan dan hutan di Kepulauan Togean seluas 362.605 hektar sebagai Taman Nasional. Conservation International Indonesia CII adalah salah satu lembaga yang diminta untuk memfasilitasi proses pembentukan Taman Nasional ini. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah telah mengirim surat khusus No 52230.01PGTH tanggal 19 Mei 2004 kepada CII palu untuk meminta dukungan data dan informasi biodiversitas dan sosial ekonomi yang dibutuhkan sebagai dasar pembentukan Taman Nasional ini. Dalam prosesnya selanjutnya, BKSDA juga terlibat dalam peroses pengusulan ini. CII juga telah melakukan konsultasi dengan beberapa NGO di Palu. Pada level pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una saat ini menolak keberadaan taman nasional di wilayahnya. Secara resmi Bupati Tojo Una-Una mengirimkan surat meminta BKSDA untuk menghentikan aktivitas yang dilakukan antara lain sosialisasi program dan kegiatan lain. Pemerintah daerah lebih memilih menjadikan Kepulauan Togean sebagai taman wisata laut dan bukan taman nasional, walaupun sempat Bupati pada bulan Mei tahun 2006 memberikan surat rekomendasi terhadap pengukuhan taman nasional. Selain itu, pada tataran dasar hukum atau landasan kebijakan wilayah Tojo Una-Una, pemerintah daerah saat ini masih berpegang dengan dasar hukum Peraturan Pemerintahan RI Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dalam lampiran VII Nomor urut 324 Peraturan Pemerintah RI yang berisikan mengenai, Kepulauan Togean dan Pulau Batudaka ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut. Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una melalui Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah mengusulkan kepada pemerintah pusat bahwa dalam penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah KabupatenKota dan kawasan strategis dilaksanakan oleh Pemerintah KabupatenKota sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Dengan dasar ini Pemerintah Daerah mengusulkan pencabutan status Taman Nasional dan disesuaikan dengan peraturan tersebut yang menyebutkan bahwa status kepulauan Togean merupakan Taman Wisata Laut. Dengan dasar hukum ini, Pemda Tojo Una-Una sudah membuat peta perubahan tata batas dan fungsi hutan yang baru, karena pasca pemekaran Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una belum memiliki peta batas yang baru. Peta usulan tata ruang kawasan hutan dan Tabel data perubahannya tercantum pada Tabel 13. Pada peta tersebut menunjukan bahwa perubahan terbesar yang diajukan oleh Dinas Kehutanan adalah untuk jenis Non Kawasan Hutan sebesar 61.83 yaitu dari luasan awal sebesar 179.833,52 ha menjadi 291.023 ha. Pengajuan