Sistem Pengelolaan di Pulau Kabalutan
Tabel 16 Dinamika pemanfaatan sumberdaya, karakteristik akses dan kondisi sosial ekologi Pulau Kabalutan
Q Pola
Kondisi Ekologis Kondisi Sosial
Periodesasi
I Akses Terbuka
pada Komunitas
Subsisten Kondisi terumbu karang masih dalam kategori Baik karena
penggunaan Alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan oleh komunitas Kabalutan.
Tidak banyak ditemukan predator terumbu karang yaitu acanthaster plancii
atau yang disebut dengan lipan laut Masih redahnya Akses Masyarakat terhadap kebutuhan
dasar : pendidikan, kesehatan. Masa 1990
Ikan Napoleon sangat mudah didapatkan disekitar pemukiman Kabalutan. Pada tahun 1986, nelayan Kabalutan bisa memperoleh
ikan jenis kerapu dengan berat hingga 40 kg dan panjang 1 meter. Hasil tangkapan bisa mencapai rata-rata 25 kg sehari
dengan menggunakan alat tradisional.
II Akses Terbuka
pada Komunitas-
Pasar Kondisi terumbu karang di Kabalutan mulai mengalami degradasi
karena penggunaan alat tangkap yang merusak dan maraknya penangkapan
ikan Napoleon
secara masif
oleh nelayan
menyebabakan meningkatkan acanthaster plancii. Pendapatan
komunitas nelayan Bajau meningkat. Dengan penggunaan bom ikan, tangkapan bisa mecapai
ratusan kg dalam sekali membom. Diperkirakan pendapatan nelayan mencapai Rp. 1.250.000. Dengan
cara membius,
rata-rata satu
nelayan bisa
mendapatkan Ikan Napoleon hingga 50 - 70 kgbulan. 1990an
- 2004
III Akses Tertutup
pada komunitas-
Pasar Terjadi fenomena kualitas terumbu karang yang berbeda antara
wilayah Barat dan Selatan Kabalutan. Pada kurun waktu tahun 2010 hingga 2011, di Selatan Kabalutan menunjukan peningkatan tutupan
karang mati sebesar 92.72 dan penurunan tutupan karang hidup sebesar 12.44 , sedangkan pada Barat Kabalutan tahun 2011
menunjukan tutupan karang hidup dalam kategori baik yaitu 54.90 dan tutupan karang mati sebesar 12.30 .
Dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, pendapatan nelayan Kabalutan mengalami penurunan.
68.42 responden menyatakan bahwa pendapatan dari hasil
laut saat ini semakin sedikit.
2004 – saat ini
Berdasarkan hasil survei menunjukan bahwa 57.89 responden menyatakan bahwa ikan Napoleon merupakan ikan yang sulit
ditemukan saat ini, kemudian sebesar 36.84 menjawab ikan jenis kerapu yang sulit ditemukan.
Terjadi penurunan
hasil tangkap
nelayan. Satu
pengumpul hanya bisa mendapatkan rata-rata 100 kgbulan untuk jenis Ikan kerapu Sunu. Dalam sekali
melaut, seorang nelayan hanya bisa mendapatkan rata- rata 2 kg untuk ikan jenis kerapu. lebih detail lihat
lampiran
Sumber: Hasil analisis 201
Pada prakteknya, komunitas masih menggunakan alat tangkap yang merusak baik secara diam-diam maupun terbuka. Kurun waktu ini, pengusaha
yang mampu membayar petugas dapat diloloskan dari upaya penegakan hukum. Sedangkan pada tahun 2004, Gap antara aturan dengan prakteknya tetap terjadi
karena penggunaan alat tangkap yang merusak masih terus berlangsung secara diam-diam walaupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pada tahun 1990an.
4. Monitoring, Enforcement dan Sanction Pada periodesasi sentralisasi, pelarangan penggunaan alat tangkap merusak
diatur oleh pemerintah daerah dalam menekan laju degradasi terumbu karang pada kurun 1990an, saat perdagangan ikan hidup marak dilakukan. Pemerintah daerah
menggunakan aparat kepolisian untuk menindak para pelaku pemboman dan pembiusan, hanya saja monitoring dan sanksi dilakukan sebagai formalitas saja,
sedangkan disisi lain izin pengumpul tetap diberikan izin oleh pemerintah daerah. Pada
masa desentralisasi,
monitoring, pelaksanaan
dilakukan dengan
menggunakan aparat baik formal dan non formal secara partisipatif, pada level lokal tim pengawas dibentuk untuk melakukan monitoring terhadap penggunaan
alat tangkap yang merusak. Sanksi bagi pelanggar yang tertangkap adalah hukuman penjara, tidak ada sanksi sosial dari komunitas. Hanya saja monitoring
dirasakan belum efektif. Aparatur penegak hukum dalam hal ini yaitu polisi air belum memiliki jadwal rutin untuk memonitoring pulau – pulau di Kepulauan
Togean, termasuk Kabalutan. Minimnya jumlah aparat yang tidak setara dengan luasnya jangkauan kerja di Kepulauan Togean menjadi salah satu hambatan dalam
monitoring. Tim pengawasan yang melibatkan masyarakat belum mampu mengurangi
laju penggunaan bom dan potas, karena pada dasarnya tim pengawas masih bekerja mengawasi perairan di sekitar pemukiman yaitu dekat pos penjagaan.
Selain itu, adanya keengganan melaporkan tindak pelanggaran yang dilakukan oleh tetangga dan kerabatnya sendiri menjadi satu hambatan psikologis. Dengan
kata lain kesadaran komunitas akan pentingnya terumbu karang masih rendah.
Tabel 17 Skema pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya Kepulauan
Togean berdasarkan Skema Ruddle 1996
Coral Reef
Fisheries Management
System
Periodesasi Sentralisasi
Desentralisasi
Authority Kewenangan penuh diatur oleh
pemerintah pusat melalui inisiasi kebijakan:
Taman Wisata Laut, Cagar Alam Laut, Cagar Alam
Multi Guna,
dan Kawasan
Ekowisata Bahari
Unggulan Nasional. Dalam skema Ruddle
1996 dikategorikan tipe “fisheries specialist”
Kewenangan pengelolaan
sumberdaya kepulauan togean
diatur oleh pemerintah pusat
serta daerah.
Melalui kebijakan
penunjukan Taman Nasional serta Taman Wisata Laut. Terjadi dualisme pengaturan
pengelolaan antara Pemerintah Daerah dan Kementrian Kehutanan. Dalam skema Ruddle
1996 masih dikategorikan tipe “fisheries specialist”.
Akan tetapi pada level lokal, CII pada
kurun waktu
2004-2006 mengatur
pengelolaan terumbu karang di Kabalutan melalui DPL yang berbasis partisipatif.
Right Hak
pemanfaatan right
of withdrawal
Hak pemanfaataan right of withdrawal yang terbatas pada level komunitas.
Rules Adanya
kesenjangan antara
peraturan formal
dan implementasi.
Adanya kesenjangan antara peraturan formal dan implementasi.
Monitoring, Enforcement,
Sanction Bersifat longgar yang dilakukan
oleh pemerintah. Dilakukan oleh pemerintah dengan sanksi
yang lebih ketat tetapi belum secara efektif membuat efek jera.