Pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut di Pulau

ikan, terutama untuk bius yang merupakan cara aman agar menjaga ikan tetap hidup. Cara tersebut dilakukan untuk menangkap ikan ekonomis seperti ikan Napoleon Cheilinus. Dampak praktek penangkapan dengan menggunakan bom menimbulkan kerusakan fatal pada terumbu karang yaitu menyebabkan lubang bekas ledakan dengan diameter hampir 1 hingga 3 meter, serta berakibat pada hancurnya karang sehingga sulit mendapatkan ikan yang hidup disekitar karang. Dari hasil survei yang dilakukan oleh CII 2004 banyak dari jenis karang bercabang atau Acroporidae ditemukan hancur. Sedangkan dampak potas terhadap terumbu karang adalah karang mati dengan kerangka karang yang masih utuh dan lama kelamaan ditumbuhi alga sehingga bertampak kehijauan. Luas kematian karang akibat potas sangat erat kaitannya dengan besaran dan konsentrasi penggunaan bahan potas sendiri. Babius menyebabkan ikan lemas dan karang yang terkena semprotan juga ikut mati, biasanya bekas semprotan terlihat seperti spot-spot. Sementara itu survei CII juga menunjukan bahwa penggunaan potas dan bius paling banyak ditemukan di Desa Kabalutan dibandingkan dengan Desa lainnya di Kepulauan Togean tabel 9. Penelitian yang dilakukan oleh Celia Lowe pada kurun waktu 1994 dan 1997 menjelaskan, komunitas Sama atau Bajau merupakan orang yang paling menerima konsekuensi dari kerusakan terbesar dari terumbu karang akibat penangkapan ikan hidup yang juga dilakukan oleh komunitas sama ini, sedangkan keuntungan keuntungan dari rantai perdangan ikan hidup tidak berada pada komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dari keuntungan yang didapatkan dari masing- masing aktor dalam rantai komoditas perdagangan ikan hidup tabel 9. Tabel 9 Harga ikan hidup pada tahun pertengahan tahun 1997 No Nama ikan Nama ilmiah Harga di nelayan Harga pengumpul Harga di restauran Cina 1995 1 Napoleon Wrasse Cheilinus undulatus 7.50 125 180 2 Polkadot grouper Cromileptes altivelis 9 90 180 3 Coral trout Plectropomus Leopardus P. Maculatus 6 25 4 Flowery cod Epinephelus fuscogutattus 2.50 25 Sumber: Johannes dan Riepen in Lowe 2001 Tabel 10 Matriks analisis ancaman terhadap terumbu karang di Kepulauan Togean No. Ancaman Kadidiri Utara Malenge Batudaka Atol Pasir Tengah Batu Mandi, Teluk Kilat Pasibatang Kabalutan Indikator 1 Bahan Peledak ++ ++ ++ ++ ++ +++ Kerusakan karang atau patahan karang rubble dalam jumlah besar dan meliputi area relatif luas 2 Potasium sianida potasbius ++ ++ ++ ++ ++ ++ Karang pucat memutih yang lambat laut ditutupi oleh alga 3 Sedimentasi - - - - + - Ditunjukkan oleh polip karang yang banyak ditutupi oleh lapisan jelly atau lendir 4 Penambangan karang - - - - + - Tercabutnya badan karang dari substratnya. 5 Lipan laut Acanthaster plancii + ++ - + + + Adanya “jalur putih” yang merupakan karang mati akibat pemangsaan oleh lipan laut 6 Perubahan lingkungan suhu salinitas - - - - + - Kematian secara perlahan yang diakibatkan stress. Catatan : asumsi mengacu pada kematian akibat El Nino ataupun turunnya salinitas akibat pemasukan air tawar. 7 Aktivitas manusia di terumbu karang tertabrak perahu, jangkar, berjalan di atas karang, fin penyelam + + + + - ++ Patahan khususnya di daerah ujung karang Sumber: Conservation International Indonesia 2004 Nelayan merupakan pihak yang paling mendapatkan keuntungan terkecil dari rantai komoditas penjualan ikan hidup, dari tabel bisa dilihat margin atau selisih yang diterima oleh pengumpul adalah sebesar 117,5 sedangkan nelayan hanya mendapatkan sebesar 7,5 sedangkan rantai terakhir yaitu restauran memiliki margin sebesar 62,5. Dalam rantai komoditas penjualan ikan hidup, pihak pengumpul atau fish camp mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi, tidak heran jika para pengumpul bisa memodali kebutuhan para nelayan seperti bensin, motor katinting dan kebutuhan lainnya sebagai suatu bentuk pengikat. Disisi lain, menurut Lowe 2001, sianida diperkenalkan oleh para pengumpul, mereka yang memasok sianida dan mengajarkan cara menggunakannya. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa secara tidak langsung pengumpul paling berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang. Sementara saat ini di Kabalutan, cara penangkapan ikan jenis kerapu untuk perdagangan ikan hidup telah mengalami perubahan. Jika dahulu para nelayan Kabalutan banyak yang menggunakan sianida, saat ini para nelayan menggunakan umpan untuk menangkap ikan karang. Cara penangkapan tradisonal ini disebut dengan missi. Umpan yang digunakan adalah ikan hidup kecil sebesar setengah telapak tangan yang dikailkan dan kemudian ikan tersebut dijatuhkan ke dalam air hingga menyentuh dasar. Kail tersebut diberikan pemberatladung sehingga ikan yang dikailkan hanya bergerak disatu titik saja menunggu ikan Sunu menangkapnya. Ikan Sunu bisa ditemukan pada kedalaman 60 depa atau setara dengan 90 m. Para nelayan komunitas Sama sendiri memiliki pengetahuan dan pengalaman tersendiri dalam menangkap ikan sunu jenis merah ini. Untuk menghindari kematian ikan pasca tertangkap, nelayan akan mengecek apakah ikan kekurangan atau membutuhkan udara. Jika dirasakan ikan kelebihan udara maka ikan akan disuntik dibagian bawah perut hingga udara bisa keluar, dan jika ikan membutuhkan udara maka nelayan akan meniupkan udara melalui jarum dibagian yang sama. Setelah itu, ikan disimpan di dalam bak penampungan yang terdapat di perahu katinting. Namun tidak semua orang Bajau melakukan penangkapan ikan jenis super atau ikan Sunu. Sebagian besar yang melakukan penangkapan ikan hidup ini adalah komunitas Bajau asli dari golongan tua. Mereka memodifikasi teknik-teknik yang berbeda sesuai dengan pengalaman. Untuk satu jenis ikan Sunu atau super dengan berat 0,5 hingga 0,9 ons akan dihargai Rp 250.000,-, tetapi jika berat ikan lebih dari 1 kg maka ikan Sunu akan dihargai jauh lebih murah. Ukuran 0,5 hingga 0,9 ons merupakan ukuran yang sudah ditentukan oleh penampung, ukuran ini berdasarkan ukuran ekonomis restoran di Hongkong. Ikan super dari Desa Kabalutan dan hampir di wilayah lain di Togean akan dikirim ke Hongkong. Saat sedang perayaan tahun baru Cina yang jatuh antara bulan Desember-Februari, harga ikan Sunu dengan ukuran lebih dari 0,9 ons bisa dihargai lebih tinggi karena pada hari raya kebutuhan ikan dengan ukuran besar meningkat. Selain ukuran dan berat, warna ikan pun mempengaruhi harga penjualan, harga merah lebih mahal dibandingkan dengan jenis ikan Sunu yang berwarna gelap. Kebutuhan permintaan ikan Kerapu hidup di pasar China dan Hongkong mencapai 120 ton per hari. Harga untuk Kerapu tikus di pasar ikan bisa mencapai US100 per kg dan ketika sudah dimasak di sebuah restoran bisa mencapai US180 per kg. Hasil survei CII tahun 2002 menghitung secara umum nilai ekonomi perdagangan ikan hidup di seluruh Togean mencapai nilai sekitar US 977.000 atau setara dengan Rp 7,8 miliar. Pada masa awal perkembangannya, seorang pengusaha ikan hidup di kepulauan Togean dapat menampung sekitar 300 ekor ikan Napoleon per bulan. Bahkan, terkadang 1 ekor ikan mencapai berat lebih dari 10 kg. Namun tahun 1998, mereka rata-rata hanya mampu menerima sekitar 100 ekor dari nelayan. Pengumpul hanya menghargai ikan super dengan ukuran 0,5 kg hingga 0,9 kg sebesar Rp250.000,- sedangkan ukuran yang besar dari standar hanya dihargai Rp125.000,-. Untuk ikan super yang masih kecil dibawah 0,5 kg akan dihargai Rp75.000,-ekor, biasa disebut ikan baby, dan pengumpul akan memeliharanya hingga sesuai dengan ukuran ekonomis. Margin atau selisih harga yang diterima oleh pengumpul untuk satu jenis ikan super pada ukuran 0,5-0,9 kg adalah Rp150.000- dengan total harga sekitar Rp400.000,-. Pengumpul mendapatkan keuntungan lebih saat menjual ikan dengan ukuran yang lebih besar, karena untuk ikan super lebih dari 1 kg akan tetap dihargai sama oleh pedagang besar. Jika dibandingkan dengan margin penjualan ikan Napoleon pada tahun 1990an, nelayan saat ini mendapatkan harga yang lebih tinggi yaitu sekitar 26 untuk ikan jenis sunu merah. Margin pengumpul sebesar 20 hingga 78 dan margin restauran sebesar 51 . Pada rantai penjualan ikan sunu merah, keuntungan terbesar tetap berada pada rantai pengumpul dan bukan nelayan. Tidak semua nelayan Kabalutan mampu melakukan penangkapan ikan kerapu hidup, berdasarkan wawancara dengan pengumpul di Kabalutan sendiri hanya terdapat sekitar 40 nelayan yang menangkap ikan kerapu jenis hidup. Selain menangkap ikan sunu yang dijual secara hidup, nelayan Kabalutan juga menangkap ikan target lainnya yaitu ikan lolosi, barakuda, katamba, baronang dan lainnya. Berdasarkan hasil survei, selain menangkap ikan jenis kerapu, saat ini ikan yang lebih banyak didapatkan nelayan Kabalutan adalah ikan lolosi yaitu sebesar 78.95 . Berikut tabel jenis ikan dan persentase nelayan yang menangkap. Kemudian dari keseluruhan jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan, peresentase ikan yang dijual paling tinggi adalah ikan jenis kerapu sunu merah yaitu 55.26 . Ikan lolosi merupakan jenis ikan yang paling banyak menjadi ikan konsumsi sekaligus ikan yang dijual karena lebih mudah untuk mendapatkan ikan jenis ini dibandingkan dengan jenis Kerapu sunu. Tabel 11 Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan Kabalutan Jenis Ikan Nama latin Jumlah nelayan Persentase Nelayan Dikonsum si sendiri Dijual Dikonsum si dan Dijual Lolosi Caesio teres 30 78.95 2.63 31.58 39.47 Kerapu Sunu Leopard grouper 29 76.32 0.00 55.26 18.42 Baracuda 3 7.89 0.00 5.26 Kerapu lainnya Plectropomus maculatus 24 63.16 0.00 34.21 15.79 Katamba Lethrinus erythracanthus 7 18.42 7.89 2.63 5.26 Bubara 8 21.05 7.89 2.63 7.89 Baronang Siganus canaliculatu 6 15.79 7.89 5.26 2.63 Lainnya 6 15.79 7.89 10.53 5.26 Sumber : Data Survei 2012 Nelayan Kabalutan menangkap ikan di beberapa area sekitar Kabalutan, mereka memiliki penamaan tersendiri pada masing-masing tempat. Area penangkapan nelayan Kabalutan merupakan area hamparan panjang terumbu karang yang bersambung. Bagian Barat Kabalutan mencakup area Sappa Toro Poteh, Lana Korapu, Lana Toro Wa Massing, Lanna Toro Sidrawi. Selatan Kabalutan mencakup Toro Pasibatah, Silalang Malalang, Sappa Ruma, Sappa Buntar dan Sapaa Aloang dan Lanna Kulape. Sedangkan bagian utara adalah Sappa Siring. Hasil survei menunjukan bahwa setiap responden hanya menggunakan kail dan pancing dalam menangkap ikan baik di area sekitar pemukiman maupun area yang lebih jauh dari pemukiman. Hanya saja tidak sedikit dari komunitas Kabalutan yang masih mengupayakan penggunaan bom dalam menangkap ikan. Berdasarkan survei yang dilakukan hampir 26.32 dari nelayan Kabalutan yang menggunakan bom dan potas. Informasi ini juga dikuatkan dengan dari beberapa hasil wawancara mendalam yang menyebutkan praktek pemboman masih berlangsung di Kabalutan secara sembunyi dan sangat hati-hati. Walaupun dari segi kuantitas dibandingkan periode 1990an, saat ini praktek pemboman di Kabalutan telah berkurang. Berdasarkan survei lapang khususnya di Silalang Malalang, terlihat patahan karang yang diakibatkan oleh pemboman, selain itu seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa berdasarkan laporan Balai Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukan bahwa di Selatan Kabalutan khususnya ditemukan penggunaan potas yang masih baru yang menyebabkan kerusakan karang. Hal ini sejalan dengan survei mengenai jenis ikan dan area penangkapan, dimana lokasi Silalang Malalang banyak ditemukan ikan lolosi. Penggunaan bom biasanya dilakukan oleh nelayan Kabalutan untuk menangkap ikan Lolosi. Tabel 12 Lokasi dominan penangkapan ikan sesuai jenis No Jenis Ikan Lokasi Nelayan 1 Lolosi Silalang malalang 43.33 2 Kerapu Sunu Lana korapu 58.62 3 Baracuda Toro Pasibatah, Sappa Aloang, Sappa Ruma 33.33 4 Kerapu lainnya Lana korapu 66.67 5 Katamba Sekitar pemukiman 100 6 Mubara Wa massing 62.5 7 Baronang Sekitar pemukiman 100 8 Lainnya Silalang malalang 33.33 Sumber : Data survei 2012 Gambar 13 Area Penangkapan Nelayan Kabalutan Sumber: Data survei, 2012 Gambar 14. Jenis alat tangkap nelayan Kabalutan Sumber: Data Survei, 2012 Gambar 15 Jenis ikan dan area penangkapan nelayan Kabalutan Sumber: Data Survei, 2012 Sementara itu untuk jenis ikan Kerapu banyak ditemukan di Lana Korapu yang letaknya di Barat Kabalutan lebih dekat dengan pemukiman jika dibandingkan dengan Selatan Kabalutan. Hampir 100 nelayan menangkap ikan katamba pada area sekitar pemukiman yang biasanya lebih banyak dikonsumsi sendiri. Pulau Kabalutan dihuni oleh mayoritas suku Bajau yang bergantung pada laut, sedangkan komunitas non bajau memiliki sumber penghidupan yang berasal dari pertanian, hanya sedikit komunitas asli Bajau yang memiliki kebun. Beberapa diantaranya adalah keluarga Bajau yang sudah melakukan perkawinan dengan non Bajau yang mengupayakan kebun cengkeh, biasanya pihak perempuan berasal dari komunitas Bajau dan yang laki-laki berasal dari komunitas diluar Bajau, contoh saja komunitas Buton, Bugis dan Saluan yang memang memiliki riwayat hidup berkebun. Gambar 16 Persentase sumber pendapatan masyarakat Kabalutan Sumber: Data Survei, 2012 Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat 6 kategori sumber pendapatan dari komunitas di Kabalutan, yaitu yang hanya memiliki sumber pendapatan dari laut sebagai nelayan, dan bagi yang memiliki sumber pendapatan lainnya seperti kebun atau yang berasal dari jasa. Berdasarkan survei sumber pendapatan yang dilakukan, nelayan yang hanya bergantung pada laut lebih banyak berada pada kelas pendapatan Rp. 100.000 yaitu sebesar 29 . Komunitas nelayan yang tidak memiliki diversifikasi mata pencaharian menjadi lebih rentan dibandingkan dengan komunitas memiliki sumber pendapatan lainnya. Dari seluruh paparan sebelumnya, dapat disarikan bahwa perubahan cara penangkapan oleh komunitas Bajau Kabalutan dari penggunaan alat tangkap tradisional menjadi penggunaan alat tangkap merusak babius dan babom terjadi pada sekitar tahun 1990-an, saat perdagangan ikan hidup Napoleon yang bernilai sangat ekonomis diperkenalkan. Hal ini yang secara signifikan merubah tatanan kelola terhadap sumberdaya laut khususnya dampaknya terhadap terumbu karang. Saat ini sebagian dari komunitas Kabalutan tetap menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan, hal ini dikuatkan oleh hasil survei terumbu karang oleh BTNKT 2011 yang menunjukan kerusakan terumbu karang akibat penggunaan potas. Sementara sebagian kecil dari mereka tetap melakukan penjualan ikan hidup dengan jenis ikan sunu. Berbeda dengan pola pemanfaatan pada kurun waktu 1990an, saat ini penangkapan ikan jenis Kerapu Sunu tidak menggunakan obat bius tetapi menggunakan cara tradisional yang ramah lingkungan yaitu missi. Pada rantai penjualan komoditas ikan baik hidup jenis Napoleon atau Sunu, keuntungan terbesar tetap berada pada level pengumpul. Jika dibandingkan dengan komunitas lain yang ada di Kabalutan, komunitas Bajau merupakan komunitas yang paling rentan secara ekonomi, hal ini karena hanya bergantung pada laut sebagai satu-satunya sumber pendapatan, berbeda dengan komunitas non Bajau yang memiliki diversifikasi mata pencaharian yaitu dari hasil perkebunan cengkeh, kelapa.

4.6. Upaya Rehabilitasi Karang dan Pemberdayaan Komunitas Kabalutan

Introduksi beragam program konservasi terumbu karang atau inisiasi pengelolaan kawasan konservasi Kepulauan Togean telah banyak dilakukan, baik yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun NGO lingkungan nasional hingga trans-nasional. Beberapa adalah inisiasi Daerah Perlindungan Laut DPL di Kabalutan dan Teluk Kilat pada tahun 2004, pembersihan lipan laut disekitar wilayah Desa Katupat oleh LSM Toloka pada tahun 2002 hingga program bantuan yang diberikan oleh Dinas Kelautan Kabupaten Tojo Una Una pada tahun 2011. Diantara beragam inisiasi tersebut yang cukup lama melakukan pendampingan masyarakat khususnya di wilayah Kabalutan adalah pembentukan daerah perlindungan laut DPL yang diinisiasi oleh NGO lingkungan internasional yakni Conservation International CI. Dalam prakteknya, gagasan DPL dibentuk dan dirumuskan dalam bingkai besar community-based natural resource management CBNRM. Pada masa inisiasi pembentukan DPL yang berada di dua lokasi yaitu Teluk Kilat dan Kabalutan, Conservation International Indonesia CII bersama masyarakat telah melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha. Di teluk Kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembanato dan Matobiyai, yaitu di Urung Dolom dan Manggafai dengan total luas areal sekitar 36,92 ha. 2. Inisiasi Pembuatan Peraturan Desa PERDES yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan di Teluk Kilat dan Kabalutan. 3. Penyediaan sarana penunjang, seperti papan peringatan, pelampung dan sabua yang berfungsi sebagai pos penjagaan di sekitar DPL. 4. Studi banding ke TN. Bunaken dan DPL berbasis masyarakat di Desa Blongko dan Tumbak, Sulawesi Utara serta pelatihan monitoring terumbu karang dan hutan bakau. 5. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi kondisi terumbu karang dan hutan mangrove. 6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una Una. 7. Kerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil small grant. Inisasi DPL Kabalutan pada kurun waktu tahun 2005 hingga 2006 oleh CII, berhasil membangun kesepakatan bersama komunitas mengenai zonasi pemanfaatan yang termasuk didalamnya mengatur zona inti yang terletak di Sappa Toro Sidrawi yaitu perairan bagian Barat Pulau Kabalutan seluas 22 ha. Kesepakatan ini berhasil menekan laju kerusakan terumbu karang dan berhasil meningkatkan kualitas tutupan karang hidup dan menekan laju penggunaan alat tangkap merusak khususnya di area dekat pemukiman yang dijadikan sebagai zona inti Toro Sidrawi. Kondisi ini didukung juga oleh pengawasan dan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak. Disisi lain, penerapan zona inti berdampak pada perubahan area tangkapan nelayan menjauh dari pemukiman yang berdekatan dengan lokasi zona inti DPL. Sementara itu, pada lokasi lain yaitu di perairan Selatan Kabalutan yaitu Sappa Toro Pasibatang, Silalang Malalang, Sappa Ruma dan Sappa Buntar menunjukan trend kerusakan terumbu karang yang terus meningkat dalam kurun waktu 13 tahun terakhir 1998 – 2011. Hal ini menjadi catatan tersendiri, bahwa inisisasi DPL belum berhasil menekan laju degradasi secara menyeluruh. Dengan kata lain, penutupan akses pada area zona inti berdampak pada peningkatan kerusakan terumbu karang di tempat lain yang dalam hal ini adalah wilayah perairan di bagian Selatan Kabalutan. Namun ketika penelitian ini berlangsung di Desa Kabalutan, zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha tidak lagi menjadi zona inti no-take zone , karena hampir semua nelayan di Desa Kabalutan tidak memiliki pantangan untuk mengambil ikan di lokasi manapun baik di dalam maupun di luar wilayah DPL termasuk tetap menangkap di wilayah zona inti. Peraturan desa yang mengatur mengenai DPL dan pembagian zona pun hingga ini belum terlaksana. Sewaktu inisiasi DPL memang ada penanda wilayah yaitu papan peringatan, pelampung dan sabua yang berfungsi sebagai pos penjagaan di sekitar DPL. Hanya saja karena sudah cukup lama, semua fasilitas tersebut tidak ada dikarenakan proses pelapukan kayu. Selain itu, program pemberdayaan juga diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan yang ditujukan agar masyarakat sama bisa melestarikan dan menjaga laut. Program yang turun tersebut berupa bantuan bibit dan perlengkapan budidaya rumput laut yang diberikan kepada kelompok nelayan. Selain bantuan berupa bibit dan perlengkapanan budidaya, juga dibangun gudang rumput laut yang diperuntukan untuk menampung hasil budidaya rumput laut. Beberapa waktu berjalannya bantuan ini, masyarakat mengeluh akan gagalnya program ini. Pertama , disebabkan oleh penyakit yang terkena pada rumput laut, kedua, program ini dianggap tidak realistis karena jumlah bantuan bibit dirasakan sangat kurang, bantuan perlengkapan tidak sebanding dengan bibit yang diberikan. Jumlah panen beberapa kelompok rumput laut di Kabalutan tidak sebanyak yang