Analisis Kebijakan Sumberdaya di Kepulauan Togean

Tabel 14 Matriks status kawasan Kepulauan Togean No Variabel Status Kawasan Taman Wisata Laut Cagar Alam Laut Cagar Alam Multi Guna Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional Taman Nasional 1 Dasar hukumketetapan Surat usulan Gubernur kepada Menteri Kehutanan 55638DishutGST Mengusulkan Taman Wisata Alam Laut ekowisata Kepulauan Togean seluas 411.373 Ha; Laporan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Usulan Cagar Alam laut : 100.000 ha Bappenas dalam Biodervesity Action Plan Perencanaan Kawasan Ekowisata Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 SK. Gubernur 5033931Dinhut89 : Kepulauan Togean dinyatakan sebagai Taman Wisata Laut; seluas 100.000 ha Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 SK. Menhut 188.440840Dephut89 Menetapkan Kawasan Taman Wisata Laut seluas 100.000 ha; Surat Keputusan No. 418Menhut04 Perpres No 88 tahun 2011 Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi yang menyatakan bahwa Kepulauan Togean dan Batudaka Sebagai Taman Wisata 2 Lembaga Penginisiasi Propinsi Sulawesi tengah Menteri Kependudukan dan Lingkungan Bappenas Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Kementrian KehutananPengelola Balai Taman Nasional. dan Conservation International CI 3 Pendekatan Co Management Goverment Based Management Co Management Co Management Goverment Based Management 4 Sumberdaya yg diatur Sumber Hayati Laut : Terumbu Karang Endemik, Tumbuhan, satwa dan ekosistem laut Tumbuhan, satwa dan ekosistem Sumberdaya Hayati laut : Terumbu Karang Sumberdaya Laut dan Hutan baik tumbuhan maupun satwa 5 Pola akses warga Terbatas secara tidak ketat Terbatas Terbatas Terbuka Terbatas secara ketat Sumber: Hasil Analisis 2012 pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah KabupatenKota dan kawasan strategis dilaksanakan oleh Pemerintah KabupatenKota. Kawasan strategis yang dimaksudkan adalah Taman Wisata Laut yang telah di tetapkan melalui Perpres No 88 Tahun 2011. Kedua belah pihak, baik Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tojo Una Una merasa memiliki hak terhadap pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean, hal ini yang memicu konflik diantara mereka dan menyebabkan tumpang tindih kebijakan yang berimplikasi pada terjadinya dualisme pengelolaan antara pusat dan daerah. Kebijakan taman nasional menempati posisi level paling tinggi dalam hierarki kawasan konservasi yang berimplikasi pada terbatasnya kawasan hutan yang dapat diakses untuk kegiatan non konservasi. Hal ini yang menjadi salah satu alasan penolakan Kabupaten Tojo Una Una, berdasarkan peta pengajuan perubahan kawasan dan peta rencana tata ruang kabupaten menunjukan bahwa pemerintah daerah fokus pada pengajuan perubahan wilayah hutan menjadi non kawasan hutan yaitu areal penggunaan lain. Dalam peta rencata tata ruang yang disiapkan, APL akan digunakan salah satunya untuk lokasi tambang mineral serta pemanfaatan lainnya yang bisa menghasilkan pendapatan untuk daerah. Oleh karenanya pemerintah daerah menolak insiasi taman nasional yang akan mengurangi luasan kawasan non hutan atau APL yang bisa berimplikasi pada pengurangan pendapatan daerah. Pengelolaan taman nasional berada dalam kewenangan Kementrian Kehutanan. Hal ini merujuk pada kebijakan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati. Melalui undang-undang ini pemerintah pusat berwenang menetapkan kawasan konservasi yang meliputi taman nasional, taman hutan serta taman wisata alam. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah No 68 tahun 1998 tentang kawasan suaka margasatwa dan konservasi. Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur mengenai kriteria penetapan kawasan taman nasional, seperti kecukupan ukuran untuk proses ekologis, keunikan sumberdaya alamnya, keaslian ekosistem, potensi wisata bahari, dan kemungkinan zonasi Satria 2009. Sebagai pelaksana teknis di lapang, Kementrian Kehutanan membetuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA. Disisi lain, konteks munculnya wacana taman nasional di Kepulauan Togean pertama kali diinisiasi oleh tim terpadu yang didominasi oleh lembaga NGO Conservation International Indonesia CII yang memiliki latar belakang konservasi. Hasil rekomendasi tim terpadu ini lah yang menjadi titik balik perubahan kebijakan pengelolaan Kepulauan Togean dari taman wisata menjadi taman nasional. Sementara itu, berdasarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengelola sumber daya di wilayah laut Pasal 18, dijelaskan bahwa Pemerintah Propinsi berwenang hingga wilayah 12 mil dan sepertiganya adalah kewenangan pemerintah kotakabupaten. Kewenangan tersebut mencakup 1 eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, 2 pengaturan administrasi, 3 pengaturan tata ruang dan 4 penegakan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah KabupatenKota dijelaskan bahwa kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi sumber daya mineral dan pariwisata merupakan urusan pilihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah propinsi dan kabupatenkota. Tetapi dengan adanya Undang Undang No 32 tahun 2004 serta PP No 38 Tahun 2007, kebijakan mengenai konservasi masih belum bisa dikelola oleh pemerintah daerah. Tumpang tindih peraturan tersebut yang berkontribusi terhadap belum sinkronnya peraturan yang berdampak pada pengelolaan di level daerah. Pada masa sentralisasi atau masa orde baru, peraturan dan perundang- undangan pengelolaan sumberdaya alam berlandaskan pada keutamaan kewenangan terpusat pada penyelanggara negara, sebagai pengatur atas kepentingan nasional. Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa ini masih bias darat, sedangkan pembangunan ekonomi yang berbasiskan pengembangan kepulauan dan laut belum terkelola. Disisi lain, pengelolaan sumberdaya laut pada masa ini masih menggunakan pendekatan antroposentrisme yaitu pendekatan yang berpusat pada manusia sehingga pengelolaan sumberdaya berfokus pada eksploitasi besar-besaran seperti penambangan pasir, reklamasi pantai, pengoperasian pukat harimau, kapal ikan asing atau penetapan sebagai wilayah konservasi oleh pusat. Disisi lain tumpang tindih kebijakan dan pengelolaan sumberdaya juga muncul pada saat Departemen Kelautan dan Perikanan DKP berdiri tahun 1999, DKP menganggap urusan taman laut dibawah kewenangannya, karena taman laut merupakan bagian dari domain ekosistem laut. Antara Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan Perikanan memiki persepsi yang berbeda terhadap konsep preservasi dan konservasi. Departemen Kehutanan mengembangkan konservasi sebagai perlindungan ekosistem yang memisahkan apakah satu kawasan dan spesies dilindungi atau tidak. Jadi ikan diklasifikasikan untuk diproteksi atau tidak, sedangkan musim atau ukuran, dan wilayah tangkapan tidak dipertimbangkan dalam pengelolaan. Departemen Kelautan dan Perikanan menganggap pola konservasi laut oleh Departemen Kehutanan terlalu simplitis bila diperlakukan seperti ekosistem hutan di daratan, mengingat pengelolaan wilayah teresterial mesti berbeda dengan laut Subekti 2008. Hingga pada tahun 2004, DPR mengeluarkan revisi Undang-Undang Perikanan Nomor 31 tahun 2004 yang memberikan otoritas untuk mengelola kawasan konservasi laut, yaitu taman nasional. Hanya saja pada realisasinya, peralihan wewenang dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan belum bisa terwujud disebabkan oleh masalah teknis dan serta terkait sejarah panjang wewenang Departemen Kehutanan yang sudah sangat mengakar pada kawasan konservasi. Tercatat hanya 4 taman nasional laut yang wewenangnya sudah diberikan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu Taman Wisata Laut Gili Anyar, Gili Meno dan Gili Trawanan di NTB, Taman Wisata Laut Pulau Padaido di Papua, Taman Wisata Laut Kapopong di Sulawesi Tenggara dan yang terakhir adalah Taman Wisata Alam laut Pulau Weh di Sumatera Barat. Taman Wisata Laut Togean dan Pulau Batudaka sendiri didukung oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan KKP yang termasuk dalam salah satu KKLD yang diinisiasi dalam kurun waktu 2002 -2004 Daftar KKLD bisa dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Daftar kawasan konservasi laut daerah kurun waktu 2002-2004 No Nama Kawasan Luas Kabupaten Keunikan 1 Taman laut Selat Pantar 21.850 Alor, Propinsi Nusa Tenggara Terumbu Karang, Penangkapan Ikan Paus 2 Taman Wisata Laut Pulau Penyu 733 Pantai Selatan, Sumatera Barat Penyu dan Terumbu karang 3 Pulau Kakaban 2.489 Berau, Kalimantan Timur Terumbu karang dan danau 4 Taman Wisata Laut Biawak 720 Indramayu, Jawa Barat Terumbu karang 5 Taman Wisata Kepulauan Tiworo 27.396 Muna, Sulawesi Tenggara Terumbu karang 6 Taman Wisata Gili Lawang, Gili Sulat, dan Petagan 5.807 Lombok timur. Nusatenggara Barat Terumbu karang 7 Taman Wisata Laut dan Konservasi Bengkayang 15.300 Bengkayang, Kalimantan Barat Terumbu karang 8 Taman wisata laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka 113.171 Poso, Central Sulawesi Terumbu karang 9 Taman Wisata Laut 1.294 Bitung, Sulawesi Utara Terumbu karang 10 Taman Wisata Teluk Ratatotok 330 Minahasa, Sulawesi Utara Terumbu karang 11 Taman Nasional Kepualauan Banggai 275.839 Banggai, Sulawesi Tengah Terumbu karang, Ikan banggai 12 Wilayah Laut daerah Cijulang 1.449 Ciamis, Jawa Barat Terumbu karang dan Mangrove 13 Area Konservasi dan Taman Wisata Pulau Gili Banta 43.750 Bima, Nusatenggaran Barat Tarumbu karang 14 Taman Wisata laut Pulau Sembilan dan Pulau Laut Barat Selatan 22.099 Kotabaru, Kalimantan Selatan Tarumbu karang, Mangrove, Ikan Hias 15 Taman Wisata laut dan Daerah perlindungan Laut Buleleng 18.970 Buleleng, Bali Tarumbu karang, Mangrove, Ikan Hias 16 Taman Laut Suaka Margasatwa Pasoso 313 Donggala, Sulawesi tengah Terumbu karang 17 Lingga na Lingga, Kepulauan Riau Sumber : Satria 2009 Pada periode sentralisasi, kebijakan pengelolaan sumberdaya laut di Kepulauan Togean diatur oleh pemerintah pusat dengan pendekatan pengelolaan berbasis wisata laut, yang kemudian berubah menjadi pendekatan konservasi melalui Taman Nasional dimana kontribusi wacana lembaga internasional CII sangat besar. Sementara itu, perubahan rejim pengelolaan dari sentralistik menjadi desentralistik telah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah Tojo Una- Una untuk mengatur sumberdayanya, termasuk dalam mendorong kebijakan pengelolaan yang berbasis wisata laut serta pengelolaan hutan dengan status areal penggunaan lain APL. Kepentingan pemerintah daerah ini erat hubungannya dengan kepentingan ekonomi dimana pendapatan asli daerah banyak dikontribusikan melalui sektor kehutanan dan wisata. Sedangkan Pemerintah Pusat melalui Kementrian Kehutanan masih menganggap bahwa wilayah konservasi khususnya taman nasional menjadi kewenangan pusat. Walaupun secara yuridis hukum, posisi Peraturan Presiden mengenai Tata Ruang Taman Pulau Togean sebagai Taman Wisata Laut lebih tinggi dibandingkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan mengenai penetapan Kepulauan Togean sebagai Taman Nasional. Dengan demikian, di Kepulauan Togean telah terjadi dualisme pengelolaan antara pusat dan daerah. Tumpang tindih dan dualisme pengelolaan ini masih menghambat proses kerja teknis zonasi wilayah konservasi baik pada Taman Nasional maupun Taman Wisata Laut pada level lapangan, sehingga keduanya sama-sama belum dapat menyelesaikan fenomena degradasi terumbu karang akibat pemanfaatan yang merusak.

4.7.3. Dinamika Ekologi dan Sosial di Pulau Kabalutan

Berdasarkan sejarah pemanfaatan sumberdaya laut oleh masyarakat Kabalutan serta analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Togean, dapat dipetakan tipologi akses terhadap sumberdaya serta moda corak produksi komunitas Gambar 18 yang memperlihatkan dinamika ekologi dan sosialnya. Tipologi dibagi menjadi empat quadran Q atau pola yaitu: akses terbuka pada komunitas subsisten Q I, akses terbuka pada komunitas pasar Q II, akses tertutup pada komunitas pasar Q III, dan akses tertutup pada komunitas subsisten Q IV. Setiap pola memiliki konsekuensi terhadap kondisi ekologi maupun sosial-ekonomi Tabel 16. Pada awalnya suku Bajau Kabalutan hanya memanfaatkan sumberdaya laut untuk kebutuhan subsisten yaitu pada kurun waktu sekitar tahun 1960 an Q1, dimana mereka melakukan proses penggaraman terhadap hasil tangkapannya. Mengikuti penjelasan teori Chayanov 1967 mengenai perilaku ekonomi peisan, bahwa motivasi komunitas peisan subsisten berbeda dengan motivasi sistem kapitalispasar dimana tujuan utama produksi bukan untuk kepentingan akumulasi keuntungan melainkan memenuhi kebutuhan subsisten Kerblay 1971. Akses Terhadap SDL Terbuka 1990an -2004 1960 I II Subsisten Pasar Ekonomi IV III 2004-Sekarang Akses Terhadap SDL TertutupTerbatas Gambar 18 Tipologi akses dan corak produksi komunitas Komunitas Bajau sendiri sejak dahulu memiliki sejarah penangkapan tradisional dengan segala bentuk adaptasinya terhadap lingkungan laut. Secara subsisten, nelayan suku Bajau sejak dahulu menggunakan kail untuk menangkap berbagai jenis ikan karang, khususnya ikan kerapu. Hutabarat 2001 mencatat bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat Bajau memiliki berbagai teknik tangkap, diantaranya “Missi” memancing, Bapatape, NgarintaBaninta, NgetuBaetulBarenjo, NondaBatonda Menggunakan pancing tonda, NgaruaBapukat memukat, NyingkelBakanjai Menombak, Nuong Menyelam, ManaBapanah memanah, Ngal’kima mengambil kima. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dikatakan bahwa penggunaan teknik penangkapan tradisional oleh masyarakat Bajau ada yang berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang tetapi ada juga yang tidak. Teknik Missi, Bapatape, Ngarinta, Ngetu, dan Nonda memiliki kesamaan, yaitu menggunakan tali nilon dan mata pancing sebagai bahan utama, sehingga tidak berdampak negatif terhadap terumbu karang. Masyarakat Bajau memadukan pengetahuan mengenai kecerahan air, hembusan angin, cahaya bulan, kedalaman, serta kuat lemahnya cahaya lampu petromaks dalam menangkap ikan. Sementara itu, untuk beberapa teknik tradisional seperti nyingkel, Nuong, Bapanah dan Ngal’kima menyebabkan kerusakan terumbu karang. Pada tipe masyarakat subsisten dengan akses terbuka Q I, tujuan produksi pada komunitas subsisten bukan dalam rangka mengakumulasi keuntungan ekonomi, seperti yang terjadi pada komunitas Bajau di Kabalutan di era 1960- an. Pada era itu, akses terhadap sumberdaya masih terbuka dan komunitas Bajau masih menggunakan pengetahuan dan teknologi yang telah turun-temurun local knowledge . Meskipun sebagian dari cara dan teknologi yang digunakan pada saat itu memungkinkan dapat merusak terumbu karang, namun laju dan tingkat kerusakan masih tergolong sangat kecil, yang memungkinkan ekosistem terumbu karang melakukan regenerasi. Kemudian pola tersebut berubah seiring dengan waktu dengan meningkatnya permintaan pasar ekport ikan hidup tahun 1990-an hingga tahun 2000an. Modernisasi, komodifikasi dan komersialisasi komoditas perikanan mendorong perubahan pola pemanfaatan serta pola pengelolaan komunitas terhadap sumberdaya. Komersialisasi dan komodifikasi sendiri adalah muculnya pasar baru untuk produk perikanan yang bernilai tinggi, yang dapat mempengaruhi dan menekan sistem pengelolaan berbasis lokal atau tradisional, dengan membawa nilai baru yang merubah cara pandang persepsi lokal mengenai nilai Ruddle 1996. Perubahan struktural dalam perekonomian lokal yang menyebabkan nelayan akan terus melanggar aturan atau kebiasaan tradisional. Selain itu, komunitas Bajau sendiri tidak memiliki pimpinan adat atau lembaga adat yang kuat yang berfungsi untuk mengelola dan mengontrol sumberdaya laut untuk menekan laju pengikisan nilai-nilai lokal yang sebenarnya telah dijalani sejak dahulu oleh komunitas Bajau. Hal ini turut tercermin pada komunitas nelayan di Kabalutan pada era 1990- an seiring meningkatnya permintaan pasar eksport ikan hidup yaitu ikan Napoleon Q II. Berbeda dengan corak produksi subsisten, faktor tingginya permintaan harga pasar ekspor ikan hidup market driven, tujuan produksi dimaksudkan untuk memaksimalkan keuntungan profit maximization. Selain mendorong migrasi warga luar Kabalutan masuk ke dalam wilayah Kabalutan, tingginya harga penawaran ikan hidup di pasar global memacu nelayan meningkatkan jumlah tangkapannya, salah satunya dengan menggunakan bom dan obat bius. Dalam era perdagangan ikan hidup, laju kerusakan terumbu karang di wilayah