Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

2. Pembuatan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam dan air. 3. Penyediaan sarana penunjang, contohnya papan peringatan, pelampung, sabua pos penjagaan disekitar daerah DPL 4. Studi Banding ke TN Bunaken dan DPLBM di Desa Blongko dan Tumbak Sulawesi Utara. 5. Peningkatan kapasitas lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove 6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dan pemenrintah daerha setempat. 7. Kerjasama dengan Balai Taman Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil small grant. 2.8. Model pengelolaan sumberdaya 2.8.1. Model pengelolaan tradisional Pengelolaan sumberdaya tradisional di wilayah Asia –Pasifik berdasarkan pada hak kepemilikan dan berasosisi dengan rejim yang merefleksikan kekuatan struktur lokal dan berdasarkan organisasi sosial. Sistem tradisional didukung oleh kewenangan authority yang berbeda antara area satu dengan area yang lain dan kemungkinan termasuk pemimpin adat, pemimpin agama atau ahli perikanan. Pelaksanaan aturan pengelolaan sangat spesifik dan dikontrol oleh kewenangan local Ruddle 1996 Tidak seperti pengelolaan perikanan konvensional, sistem pengelolaan tradisional fokus pada penyelesaian masalah penggunaan alat tangkap dan berdasarkan pada area dan kontrol terhadap akses, dimana pemantauan dilakukan oleh komunitas lokal dan dilaksanakan oleh moral dari komunitas lokal dan kewenangan politik. Hal tersebut merupakan kekuatan paling baik dari system, yang bisa dikontribusikan kepada kerangka pengelolaan modern Ruddel 1996. Sedangkan Nikijuluw dalam wahyudin 2004, mendefinisikan Pengelolaan Berbasis Masyarakat merupakan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya. Hal ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Menurut definisi hak kepemilikan berbasis masyarakat dimaknai sebagai “berasal dari dan dilakukan oleh masyarakat”. Layaknya hak asasi manusia, yang menurunkan hak kewenangan mereka dari dan diakui oleh hukum internasional, dan juga oleh konsep hukum alam, kepemilikan berbasis masyarakat tidak tergantung pada pemberian hak oleh pemerintah. Namun ciri yang diperlihatkan adalah bahwa hak tersbut didapat dari mandat masyarakat dimana mereka berada, bukan dari negara tempat dimana mereka berada. Pengakuan hukum formal terhadap kepemilikan berbasis masyarakat biasanya diperlukan dan dapat membantu untuk menyakinkan bahwa hak tersebut dihormati, dilindungi dan digunakan untukmencapai kepentingan publik Lynch dan harwell 2006.

2.8.2. Sistem Co-Management

Co-manajement didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan atau kewenangan antara pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal untuk mengelola sumberdaya tertentu, misalnya perikanan, terumbu karang. Meletakan antara dua strategi- manajemen pengendalian terpusat dan manajemen diri atau masyarakat - co-manajement mencakup spektrum yang luas dari pengaturan manajemen ICRAM 1998. Sedangkan Ruddle 1996 menjelaskan pada sistem co management , keputusan dibagi antara pusat dan pemerintah provinsi serta kewenangan komunitas. Tinggi Rendah Pengelolaan Top Down Konsultatif Kooperatif Delegasi Pengelolaan Bottom up Co Management P en g ar u h K el o m p o k P en g g u n a d al am P en g am b il an K ep u tu sa n P en g el o la an P en g ar u h P em er in ta h d al am P en g am b il an K ep u tu sa n P en g el o la an Gambar 4 Spectrum Co Management Proses pengelolaan kolaboratif harus memenuhi unsur sebagai berikut : 1. Konsultatif : proses konsultatif dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan kelompok atau komunitas yang ada, tetapi semua keputusan tetap berada dan diputuskan oleh pemerintah. 2. Kooperatif atau kerjasama : pemerintah melakukan kerjasama dengan komunitas lainnya sebagai rekan setara dalam membuat keputusan. 3. Kewenangan pengelolaan delegasi terutama untuk peraturan operasional didelegasikan kepada kelompok pengguna lainkomunitas dan pemerintah diinformasikan mengenai keputusan yang diambil.

2.9. Penelitian Terdahulu di Kepulauan Togean

Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian dari inisiasi wilayah segitiga terumbu karang CTI, yang terkenal memiliki keanekaragaman terumbu karang yang tinggi. Keragaman tersebut menjadikan Kepulauan Togean fokus penelitian dari beberapa peneliti, baik yang memfokuskan pada penelitian ekologi maupun sosial budaya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang tersebut. Beberapa yang menjadi referensi dalam penelitian ini memiliki fokus pada perubahan pola pemanfaatan nelayan Togean yang didorong oleh pasar ikan hidup level global. Lowe 1998 mengawali penelitiannya dengan judul “An Analysis of Local People’s Histories, Perceptions, and Experiences of Outsiders And Their Projects in the Togean Islands of Sulawesi, Indonesia. A Report to Conservation International” yang disponsori oleh Conservation Internasional. Penelitian tersebut dilakukan antara tahun 1994 dan 1997, Celia memperlajari bagaimana perdagangan ikan hidup terbangun di pulau Togean, khususnya di desa yang ditinggali oleh suku Sama atau Bajau. Penelitian ini menggambarkan bahwa yang paling menerima konsekuensi dari hancurnya terumbu karang adalah suku Sama, akan tetapi dibalik perdagangan ikan hidup keuntungan terbesar dimiliki oleh orang-orang non bajau, yaitu para pengumpul serta para pendatang. Penelitian ini juga menunjukan bahwa introdusir metode dan alat tangkap merusak diperkenalkan oleh para pengumpul.