Dinamika Ekologi dan Sosial di Pulau Kabalutan

Pada tipe masyarakat subsisten dengan akses terbuka Q I, tujuan produksi pada komunitas subsisten bukan dalam rangka mengakumulasi keuntungan ekonomi, seperti yang terjadi pada komunitas Bajau di Kabalutan di era 1960- an. Pada era itu, akses terhadap sumberdaya masih terbuka dan komunitas Bajau masih menggunakan pengetahuan dan teknologi yang telah turun-temurun local knowledge . Meskipun sebagian dari cara dan teknologi yang digunakan pada saat itu memungkinkan dapat merusak terumbu karang, namun laju dan tingkat kerusakan masih tergolong sangat kecil, yang memungkinkan ekosistem terumbu karang melakukan regenerasi. Kemudian pola tersebut berubah seiring dengan waktu dengan meningkatnya permintaan pasar ekport ikan hidup tahun 1990-an hingga tahun 2000an. Modernisasi, komodifikasi dan komersialisasi komoditas perikanan mendorong perubahan pola pemanfaatan serta pola pengelolaan komunitas terhadap sumberdaya. Komersialisasi dan komodifikasi sendiri adalah muculnya pasar baru untuk produk perikanan yang bernilai tinggi, yang dapat mempengaruhi dan menekan sistem pengelolaan berbasis lokal atau tradisional, dengan membawa nilai baru yang merubah cara pandang persepsi lokal mengenai nilai Ruddle 1996. Perubahan struktural dalam perekonomian lokal yang menyebabkan nelayan akan terus melanggar aturan atau kebiasaan tradisional. Selain itu, komunitas Bajau sendiri tidak memiliki pimpinan adat atau lembaga adat yang kuat yang berfungsi untuk mengelola dan mengontrol sumberdaya laut untuk menekan laju pengikisan nilai-nilai lokal yang sebenarnya telah dijalani sejak dahulu oleh komunitas Bajau. Hal ini turut tercermin pada komunitas nelayan di Kabalutan pada era 1990- an seiring meningkatnya permintaan pasar eksport ikan hidup yaitu ikan Napoleon Q II. Berbeda dengan corak produksi subsisten, faktor tingginya permintaan harga pasar ekspor ikan hidup market driven, tujuan produksi dimaksudkan untuk memaksimalkan keuntungan profit maximization. Selain mendorong migrasi warga luar Kabalutan masuk ke dalam wilayah Kabalutan, tingginya harga penawaran ikan hidup di pasar global memacu nelayan meningkatkan jumlah tangkapannya, salah satunya dengan menggunakan bom dan obat bius. Dalam era perdagangan ikan hidup, laju kerusakan terumbu karang di wilayah Kabalutan meningkat. Meski pendapatan nelayan Bajau meningkat, namun dalam seluruh rantai nilai perdagangan ikan hidup justru pedagang dan pengumpul komunitas non Bajau yang memperoleh surplus terbesar. Pada tahun 2005, melalui insiatif pemerintah pusat bersama NGO konservasi CII mendorong hadirnya tata kelola kawasan konservasi yang bersifat tertutup dan terbatas. Penutupan atau pembatasan akses terhadap sebuah kawasan untuk kepentingan konservasi seperti taman nasional atau daerah perlindungan lainnya sangat berdampak pada tingkat kesejahteraan komunitas subsisten Q IV. Dalam kondisi ini, selain mengancam sumber nafkah, juga rawan terhadap kriminalisasi komunitas subsisten dan tradisional seperti yang banyak terjadi di Indonesia saat ini. Sementara saat ini pada pada karakteristik komunitas pasar dengan akses terbatas Q III yaitu pada saat hadirnya insiatif insiasi Taman Nasional Kepulauan Togean TNKT oleh pemerintah pusat bersama NGO lingkungan trans-nasional melalui DPL, tetap tidak memperbaiki kualitas terumbu karang karena dengan dorongan pasar tetap tinggi. Meskipun inisiasi zona inti DPL dekat wilayah pemukiman nelayan Bajau oleh CII berhasil menekan laju kerusakan terumbu karang, namun penggunaan alat tangkap yang merusak masih terjadi meski secara diam-diam dan kerusakan di tempat lain Selatan Kabalutan justru menunjukkan tren meningkat. Saat ini nelayan Kabalutan mengalami penurunan kualitas terumbu karang yaitu dengan ditandai oleh penurunan tangkapan yang berimplikasi pada penurunan pendapatan. Sebagian kecil dari mereka masih tetap melakukan pemboman dan menggunakan potas sebagai cara cepat mendapatkan tangkapan disaat mereka sulit mendapatkan ikan dengan menggunakan alat tangkap tradisional, hal ini dikarenakan karena pasar tetap mendorong mereka untuk menyediakan stok ikan. Pengumpul masih tetap membeli ikan hasil pemboman atau ikan Napoleon yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Di sisi lain, komunitas bajau sangat rawan ekonomi dan paling termarjinalkan karena tidak memiliki alternatif mata pencaharian seperti halnya suku non bajau yang mengusahakan kebun. Sementara itu, sebagai respon dalam mengatasi masalah penggunaan alat tangkap merusak dan membangun alternatif mata pencaharian, pemerintah daerah memiliki beberapa upaya dan program yang diberikan kepada nelayan Kabalutan, yaitu program bantuan kapal, pembentukan tim pengawasan serta program budidaya rumput laut. Hanya saja, dirasakan program tersebut belum bisa secara optimal mengurangi penggunaan alat tangkap merusak. Hal ini disebabkan oleh, pertama : bantuan kapal yang diberikan terlalu boros bensin sehingga tidak terpakai oleh nelayan, kedua untuk bantuan budidaya laut, bibit yang diberikan tidak sebanding dengan alat yang diberikan. Pembentukan tim pengawasan belum mampu mengurangi laju penggunaan bom dan potas, karena pada dasarnya tim pengawas masih bekerja mengawasi perairan di sekitar pemukiman yaitu dekat pos penjagaan. Selain itu, adanya keengganan melaporkan tindak pelanggaran yang dilakukan oleh tetangga dan kerabatnya sendiri menjadi satu hambatan psikologis. Dengan kata lain kesadaran komunitas akan pentingnya terumbu karang masih rendah. Disisi lain tumpang tindih kebijakan pengelolaan yang muncul pada masa desentralisasi antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan kondisi terumbu karang tetap mengalami kerusakan, karena pemerintah pusat melalui BTNKT belum bisa membuat zonasi wilayah konservasi akibat penolakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tojo Una Una dan mayoritas masyarakat Kepulauan Togean. Sementara itu, Pemerintah Daerah Tojo Una Una mengalami hambatan dalam merealisasikan kebijakan Taman Wisata Laut karena terbitnya SK No. 418 Tahun 2004 mengenai penunjukan Taman Nasional Kepulauan Togean, selain itu Perpres No 88 tahun 2011 mengenai rencana tata ruang Sulawesi yang menyebutkan bahwa Kepulauan Togean sebagai Taman Wisata Laut terlambat diterbitkan. Sehingga kedua belah pihak masih bersitegang dalam melegalisasi kebijakan pengelolaan yang seharusnya berlaku. Secara hirerarki, Peraturan Presiden memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan SK Menteri Kehutanan, seharusnya SK tersebut dengan sendirinya tidak berlaku. Hanya saja, Kementrian Kehutanan masih belum memberikan pernyataan atas tumpang tindih kebijakan ini dan terus melakukan aktivitas di Kepulauan Togean. Berdasarkan hasil identifikasi masalah pengelolaan dan pemanfaatan di Pulau Kabalutan tersebut, dapat dibuat skema yang menempatkan identifikasi masalah sesuai dengan posisinya, yaitu seperti terlihat pada gambar 19. Akar Masalah Driven market : Pasar Ikan hidup Pasar Ikan hasil Pemboman Dualisme Pengurusan Kepulauan Togean antara Pusat Daerah : Dorongan Harga dan kemudahan tekhnologi Tumpang tindihnya kebijakan Masalah Antara Penggunaan metode dan alat tangkap yang merusak Penurunan hasil tangkapan dan pendapatan, Tidak ada diversifikasi pencaharian Sumber daya manusia yang rendah Penegakan Hukum yang Masih belum Optimal melibatkan komunitas Fenomena Lapang Kerusakan TR yang masih berlangsung Komunitas bajau dalam strata terendah Penjualan Ikan Napoleon dan Ikan hasil Bom Program Pengawasan yang dibentuk belum efektif Migrasi Masuk Program Bantuan yang masih “satu arah” Tidak berlakunya pengelolaan tradisional Gambar 19 Identifikasi masalah pengelolaan dan pemanfaatan di Pulau Kabalutan Sumber: Hasil Analisis 2012 Jika menggunakan periodesasi rejim pengelolaan yaitu pada periodesasi sentralisasi dan desentralisasi, bisa disimpulkan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi sebagai berikut : 1. Pada masa desentralisasi, kondisi terumbu karang tidak menunjukan kondisi yang baik. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan tutupan karang mati di wilayah bagian Selatan Pulau Kabalutan sebesar 125 . 2. Secara ekonomi pada masa sentralistik pendapatan nelayan meningkat secara drastis karena tingginya harga jual ikan hidup jenis Napoleon Cheilinus undulatus serta kemudahaan mendapatkan ikan dengan metode pemboman. Sedangkan pada periode desentralisasi, pendapatan nelayan menurun karena turunnya daya dukung yang menyebabkan ikan sulit didapatkan saat ini. 3. Pada masa desentralisasi, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya meluas. Hal ini dicerminkan dari adanya inisiasi Daerah Perlindungan Laut DPL berbasis masyarakat di Pulau Kabalutan.

4.7.4. Sistem Pengelolaan di Pulau Kabalutan

Kerusakan terumbu karang yang terus terjadi di Pulau Kabalutan dipengaruhi oleh berbagai aspek yang bersumber pada perubahan pola pemanfaatan serta tumpang tindihnya kebijakan. Pola pemanfaatan di Pulau Kabalutan mengalami perubahan yang cukup signifikan dari penggunaan teknik tradisional menjadi teknik merusak. Perubahan ini didorong oleh pasar yaitu meningkatnya harga ikan khususnya untuk ikan jenis kerapu. Pada level kebijakan, tumpang tindih kebijakan pengelolaan sumber daya Kepulauan Togean antara Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tojo Una Una berkontribusi terhadap ketidak jelasan status dan kewenangan terhadap pengelolaan. Berdasarkan kompleksitas permasalahan pengelolaan yang melibatkan peran pengelola sumberdaya, kebijakan serta dampak terhadap kondisi ekologi dan ekonomi masyarakat. Oleh karenanya penting menggunakan skema Ruddle 1996 dalam menganalisis permasalahan pengelolaan yang bertumpu pada analisis kewenangan, hak, aturan serta pengawasan. Skema ini berperan dalam menemukan akar masalah serta untuk menemukan solusi dari masalah. Dengan menggunakan skema Ruddle 1996, menganalisis kondisi sistem pengelolaan sumberdaya laut di Kepulauan Togean adalah sebagai berikut : 1. Authority kewenangan Pada periode sentralisasi di level kebijakan kewenangan diatur oleh pemerintah pusat serta pemerintah daerah melalui inisiasi kebijakan: Taman Wisata Laut, Cagar Alam Laut, Cagar Alam Multi Guna, dan Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional. Pada level lokal, Kabalutan dihuni oleh mayoritas komunitas Bajau yang memiliki cara tangkap tradisional, hanya saja komunitas Bajau tidak memiliki pimpinan komunitas atau lembag adat yang berfungsi untuk mengatur dan mengontrol pengelolaan sumberdaya laut berbasis lokal. Sedangkan pada periode desentralisasi kewenangan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean masih diatur oleh pemerintah pusat serta daerah melalui kebijakan penunjukan Taman Nasional serta Taman Wisata Laut. Sementara itu pada tataran lokal, pemerintah pusat melalui Conservation International Indonesia CII menginisiasi pengelolaan terumbu karang dalam program Daerah Perlindungan Laut DPL yang berbasis komunitas dengan konsep partisipatif. Konsep ini secara efektif menekan laju degradasi terumbu karang disekitar zona inti. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2006 DPL sangat efektif menekan degradasi kerusakan pada wilayah zona inti hanya saja diluar zona inti khususnya di wilayah perairan Selatan Kabalutan kerusakan masih berlangsung. 2. Right atau hak Berdasarkan Ostrom dan Schlengger 1990 ditingkat komunitas pada sebelum tahun 2004, hak yang berlaku adalah hak atas akses right of access dan hak pemanfataatan right of withdrawal, yang kemudian berubah menjadi hak pemanfaatan yang lebih terbatas karena penunjukan Kepulauan Togean sebagai Taman Nasional dan salah satu nya dengan inisiasi program DPL di Kabalutan. Sebelum penunjukan Taman Nasional, masyarakat bisa mengakses seluruh area penangkapan disekitar pulau Kabalutan, sedangkan setelah inisiasi DPL, komunitas memiliki zonasi wilayah tangkapan yang boleh dan tidak boleh diakses. Sementara itu, pada level kebijakan, hak pengelolaan pada sentralisasi ada pada pemerintah pusat, sedangkan pada periode desentralisasi, hak pengelolaan seharusnya berada pada pemerintah daerah, hanya saja Kementrian Kehutanan melalui Taman Nasional mengklaim memiliki hak pengelolaan yang sama. 3. Rules atau Aturan Pada kurun waktu 1990-2004, tidak ada aturan yang disepakati oleh komunitas Bajau di Kabalutan. Secara formal yang berlaku adalah peraturan pemerintah termasuk aturan pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak. Hanya saja, pada masa ini terjadi kesenjangan Gap antara aturan yang berlaku dan aturan pada prakteknya. Tabel 16 Dinamika pemanfaatan sumberdaya, karakteristik akses dan kondisi sosial ekologi Pulau Kabalutan Q Pola Kondisi Ekologis Kondisi Sosial Periodesasi I Akses Terbuka pada Komunitas Subsisten Kondisi terumbu karang masih dalam kategori Baik karena penggunaan Alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan oleh komunitas Kabalutan. Tidak banyak ditemukan predator terumbu karang yaitu acanthaster plancii atau yang disebut dengan lipan laut Masih redahnya Akses Masyarakat terhadap kebutuhan dasar : pendidikan, kesehatan. Masa 1990 Ikan Napoleon sangat mudah didapatkan disekitar pemukiman Kabalutan. Pada tahun 1986, nelayan Kabalutan bisa memperoleh ikan jenis kerapu dengan berat hingga 40 kg dan panjang 1 meter. Hasil tangkapan bisa mencapai rata-rata 25 kg sehari dengan menggunakan alat tradisional. II Akses Terbuka pada Komunitas- Pasar Kondisi terumbu karang di Kabalutan mulai mengalami degradasi karena penggunaan alat tangkap yang merusak dan maraknya penangkapan ikan Napoleon secara masif oleh nelayan menyebabakan meningkatkan acanthaster plancii. Pendapatan komunitas nelayan Bajau meningkat. Dengan penggunaan bom ikan, tangkapan bisa mecapai ratusan kg dalam sekali membom. Diperkirakan pendapatan nelayan mencapai Rp. 1.250.000. Dengan cara membius, rata-rata satu nelayan bisa mendapatkan Ikan Napoleon hingga 50 - 70 kgbulan. 1990an - 2004 III Akses Tertutup pada komunitas- Pasar Terjadi fenomena kualitas terumbu karang yang berbeda antara wilayah Barat dan Selatan Kabalutan. Pada kurun waktu tahun 2010 hingga 2011, di Selatan Kabalutan menunjukan peningkatan tutupan karang mati sebesar 92.72 dan penurunan tutupan karang hidup sebesar 12.44 , sedangkan pada Barat Kabalutan tahun 2011 menunjukan tutupan karang hidup dalam kategori baik yaitu 54.90 dan tutupan karang mati sebesar 12.30 . Dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, pendapatan nelayan Kabalutan mengalami penurunan. 68.42 responden menyatakan bahwa pendapatan dari hasil laut saat ini semakin sedikit. 2004 – saat ini Berdasarkan hasil survei menunjukan bahwa 57.89 responden menyatakan bahwa ikan Napoleon merupakan ikan yang sulit ditemukan saat ini, kemudian sebesar 36.84 menjawab ikan jenis kerapu yang sulit ditemukan. Terjadi penurunan hasil tangkap nelayan. Satu pengumpul hanya bisa mendapatkan rata-rata 100 kgbulan untuk jenis Ikan kerapu Sunu. Dalam sekali melaut, seorang nelayan hanya bisa mendapatkan rata- rata 2 kg untuk ikan jenis kerapu. lebih detail lihat lampiran Sumber: Hasil analisis 201