Kondisi Terumbu Karang di Pulau Kabalutan

karang mati tersebut juga mengakibatkan hancurnya organisme alga yang hidup di media karang mati. Gambar 9 Persentase tutupan karang hidup, karang mati, alga, abiotik dan biota lainnya di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan tahun 2010 dan 2011 Sumber: BTNKT 2010, 2011 Jika dibandingkan dari tahun 1998, 2008, 2010, dan 2011, kondisi ekosistem terumbu karang hidup memperlihatkan penurunan yang sangat signifikan dari tahun 1998-2011 yakni sebesar 56.4, sedangkan karang matinya mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakini sebesar 125 Gambar 6. Tabel 7 Analisis persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Kabalutan tahun 1998, 2008, 2010 dan 2011 Lokasi Kategori Persentase tutupan karang 1998 2008 2010 2011 Selatan Kabalutan Karang hidup 44.70 30.70 22.27 19.50 Karang mati 30.50 34.50 35.60 68.60 Abiotik 9.00 17.50 4.75 8.30 Lainnya 15.80 17.30 37.38 3.60 Sumber : BTNKT 1998, 2008, 2010, 2011 Gambar 10 Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan, 1998-2011 Sumber: BTNKT 1998,2008,2010,2011 Gambar 11 Karang rusak akibat pemboman di perairan bagian Selatan Kabalutan Sumber: BTNKT, 2011 Cukup jauhnya lokasi di perairan bagian Selatan Kabalutan ± 7,6 km dari pemukiman menyebabkan pengawasan lebih sulit dilakukan sehingga penggunaan alat tangkap merusak masih terus berlangsung, intensitas pemanfaatan perikanan di lokasi ini sudah lama berlangsung oleh nelayan baik dari sekitar kampung Kabalutan maupun diluar seperti dari Bunta dan Pagimana. Sementara itu di wilayah perairan bagian Barat Pulau Kabalutan yang dekat pemukiman menujukan kondisi yang berbeda seperti yang ditunjukan pada tabel 7. Tabel 8 Analisis persentase tutupan karang di perairan bagian Barat Kabalutan tahun 2011 Lokasi Kategori Persentase tutupan karang tahun 2011 Barat Kabalutan Karang hidup Acropora 13.90 Karang hidup Non-Acropora 42.60 Karang mati 12.30 Alga 0.00 Lainnya 2.40 Abiotik 28.80 Sumber : BTNKT 2011 Persentase tutupan karang hidup baik jenis Acropora dan Non Acropora di perairan bagian Barat Kabalutan adalah 56.50. Berdasarkan Kepmen LH No. 04 tahun 2001, penutupan karang tersebut dapat dikategorikan dalam kondisi baik. Jenis karang yang mendominasi kawasan ini adalah acropora branching, foliose dan massive. Gambar 12 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Kabalutan dan perairan bagian Barat Kabalutan tahun 2011 Sumber: BTNKT, 2011 Jika dibandingkan dengan daerah di perairan bagian Selatan Kabalutan, kondisi karang di daerah site Barat Kabalutan lebih baik terlihat pada gambar 12 dimana kondisi karang hidup Acropora di site Barat Kabalutan sebesar 13.9, sedangkan di Selatan Kabalutan 0.40. Kondisi karang hidup Non Acropora di site Barat Kabalutan sebesar 42.60, sedangkan di Selatan Kabalutan sebesar 19.10. Dan kondisi karang matinya di site Barat Kabalutan lebih kecil yakni sebesar 12.30 , sedangkan di Selatan Kabalutan mencapai 68.60. Masih baiknya kawasan ini bila dibandingkan dengan Selatan Kabalutan yaitu : 1. Letaknya dekat dengan pos pengawas yang berada dilokasi dekat dengan pemukiman sehingga masih dalam jangkauan pengawasan. 2. Pada areal ini pernah diinisiasi sebagai zona inti no take zone dari program Daerah Perlindungan Laut DPL oleh Conservation International Indonesia.

4.5. Pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut di Pulau

Kabalutan Pulau Kabalutan didominasi oleh komunitas Bajau yang mengupayakan sumber penghidupannya dengan memanfaatkan laut. Komunitas ini erat kaitannya dengan kondisi terumbu karang yang ada di Kabalutan saat ini. Pola pemanfaatan komunitas Bajau sendiri telah mengalami perubahan yang cukup signifikan akibat perubahan metode dan penggunaan alat tangkap. Untuk menelusuri perubahan tersebut, maka penting mengetahui pola pemanfaatan berdasarkan periode transisi waktu. Pada sebelum tahun 1980an, nelayan Kabalutan menggunakan alat dan cara tradisional dalam melakukan aktivitas penangkapan. Hutabarat 2001 mencatat bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat Bajau memiliki berbagai teknik tangkap, diantaranya “Missi” memancing, Bapatape , NgarintaBaninta , NgetuBaetulBarenjo, NondaBatonda Menggunakan pancing tonda, NgaruaBapukat memukat, NyingkelBakanjai Menombak, Nuong Menyelam, ManaBapanah memanah, Ngal’kim a mengambil kima. Penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat menyebutkan bahwa pada pelaksanaannya, teknik-teknik tersebut beberapa dapat menimbulkan kerusakan terhadap karang dan beberapa tidak menimbulkan kerusakan sama sekali. Dengan memadukan pengetahuan lokal yang digunakan untuk memprediksi alam serta kemampuan berbagai tekhnik menangkap secara tradisional komunitas Bajau dianggap mempraktekan kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dengan cara yang ramah. Keragaman aplikasi penangkapan yang dilakukan oleh komunitas Bajau Kabalutan tersebut dapat digolongkan sebagai kegiatan konservasi yang bersandar pada pengetahuan lokal. Pada era 1970-an nelayan Kabalutan hanya melakukan penjualan ikan dalam bentuk ikan garam dalam ukuran kecil dan sedang. Cara penangkapan tradisional mulai berubah pada awal tahun 1994, saat perdagangan ikan hidup dikenalkan khususnya untuk jenis ikan kerapu, pada periode ini nelayan melakukan penangkapan secara masif untuk jenis ikan Napoleon Cheilinus undulatus atau yang biasa dikenal oleh penduduk Togean dengan nama ikan maming. Sebagian besar komunitas Kabalutan menangkap ikan jenis tersebut dengan cara atau metode yang merusak yaitu menggunakan obat bius. Sementara itu penggunaan bom diperuntukan bagi ikan pelagis seperti jenis ikan lolosi Caesio spp yang biasa bergerombol dalam jumlah besar. Penggunaan bius ini berdampak pada rusaknya terumbu karang, disisi lain perburuan ikan Napoleon menyebabkan lipan laut achanster planci meningkat. Saat itu, setidaknya ada tiga cara atau metode penangkapan yang dilakukan oleh komunitas Bajau dan berdampak pada kerusakan yaitu, babom, babius dan bapotas dengan penjelasan sebagai berikut. a. Babom sendiri adalah istilah yang biasa dipakai oleh nelayan di Togean untuk penangkapan ikan menggunakan bom atau bahan peledak. Bom ini bisa dirakit dari mulai jenis yang paling sederhana hingga dengan menggunakan detonator atau pemicu peledak. Bahan peledak utama bom menggunakan pupuk tanaman biasanya ber cap Matahari dan Obor, kemudian bahan lainnya adalah korek api atau biasa dikenal dengan sebutan “machis”, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman ringan. Tiap kelompok nelayan bisa membawa 10 hingga 20 botol bom ini sekali melaut. b. Babius merupakan cara menangkap ikan menggunakan bahan beracun berupa KCN atau potasium sianida. Bahan kimiawi tersebut dilarutkan dalam konsentrasi tertentu dan dimasukkan dalam botol plastik, saat nelayan menyelam, larutan disemprotkan dilokasi ikan berdiam. c. Bapotas merupakan teknik menangkap ikan dengan cara menebarkan butiran-butiran potas pada lokasi dimana banyak ikan berkumpul. Nelayan memilih cara tersebut untuk mempercepat dan lebih mudah mendapatkan ikan, terutama untuk bius yang merupakan cara aman agar menjaga ikan tetap hidup. Cara tersebut dilakukan untuk menangkap ikan ekonomis seperti ikan Napoleon Cheilinus. Dampak praktek penangkapan dengan menggunakan bom menimbulkan kerusakan fatal pada terumbu karang yaitu menyebabkan lubang bekas ledakan dengan diameter hampir 1 hingga 3 meter, serta berakibat pada hancurnya karang sehingga sulit mendapatkan ikan yang hidup disekitar karang. Dari hasil survei yang dilakukan oleh CII 2004 banyak dari jenis karang bercabang atau Acroporidae ditemukan hancur. Sedangkan dampak potas terhadap terumbu karang adalah karang mati dengan kerangka karang yang masih utuh dan lama kelamaan ditumbuhi alga sehingga bertampak kehijauan. Luas kematian karang akibat potas sangat erat kaitannya dengan besaran dan konsentrasi penggunaan bahan potas sendiri. Babius menyebabkan ikan lemas dan karang yang terkena semprotan juga ikut mati, biasanya bekas semprotan terlihat seperti spot-spot. Sementara itu survei CII juga menunjukan bahwa penggunaan potas dan bius paling banyak ditemukan di Desa Kabalutan dibandingkan dengan Desa lainnya di Kepulauan Togean tabel 9. Penelitian yang dilakukan oleh Celia Lowe pada kurun waktu 1994 dan 1997 menjelaskan, komunitas Sama atau Bajau merupakan orang yang paling menerima konsekuensi dari kerusakan terbesar dari terumbu karang akibat penangkapan ikan hidup yang juga dilakukan oleh komunitas sama ini, sedangkan keuntungan keuntungan dari rantai perdangan ikan hidup tidak berada pada komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dari keuntungan yang didapatkan dari masing- masing aktor dalam rantai komoditas perdagangan ikan hidup tabel 9. Tabel 9 Harga ikan hidup pada tahun pertengahan tahun 1997 No Nama ikan Nama ilmiah Harga di nelayan Harga pengumpul Harga di restauran Cina 1995 1 Napoleon Wrasse Cheilinus undulatus 7.50 125 180 2 Polkadot grouper Cromileptes altivelis 9 90 180 3 Coral trout Plectropomus Leopardus P. Maculatus 6 25 4 Flowery cod Epinephelus fuscogutattus 2.50 25 Sumber: Johannes dan Riepen in Lowe 2001