Teori Penguasaan Sumberdaya Land Tenure

aturan yang jelas dan kepemilikan yang dapat dialihkan. Kendala yang diahadapi adalah komitmen pihak swasta terhadap kelestarian sumberdaya alam yang reatif rendah dan cenderung terabaikan. Rezim ini pun sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi. Keempat, rezim komunal atau masyarakat bersifat turun temurun, lokal dan spesifik. Aturan-aturan pengelolaan dapat bersifat tertulis atau tidak tertulis. Peraturan dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Sumberdaya milik msyarakat lokal sebagai mata pencaharian. Selain itu, akses seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya pun relatif sama. Ciri lain adalah memiliki resolusi konflik melalui mekanisme kelembgaan dan memiliki modal produksi khas, serta memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Kendala dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya milik bersama adalah rednahnya pertimbangan sainstifik, bersifat lokal sepesifik dan proses kelembagaan yang cukup rumit. Dari segi hukum formal, keberadaan aturan- aturan lokal pun masih kurang mendapatkan legitimasi. Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat mengambil manfaat atas sesuatu itu, contohnya udara. Ellsworth 2002 in Antoro 2010 memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan property rights dengan istilah kepastian tenurial tenure security 1 . Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian tenurial, yaitu: 1. Aliran Hak Kepemilikan Property Rights Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah: a Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital. b Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan hak kepemilikan. 1 Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya, property rights menjadi bagian dari tenure. c Ketimpangan kepemilikan tidak akan terjadi sejauh dilakukan kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya. d Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk dilakukan. 2. Aliran Tradisi Pemikiran Struktur Agraria Agrarian Structure Tradition Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini. 3. Aliran Advokasi Kepemilikan Bersama Common Property Advocates Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa : a Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan. b Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut. c Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan hukum positif. d Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat ekonomi. 4. Aliran Institutionalist Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro pada rezim-rezim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami bentuk rezim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini, kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk menegakkan dan mempertahankan klaim. Rezim Agrarian Structure Tradition dan Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada ranah politik kebijakan dan budaya penyewaan tradisi. Aliran ini lebih tepat berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rezim penguasaan. Hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak a bundle of rights, maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan a bundle of powers Peluso dan Ribot 2003. Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung. Perbedaan perspektif kekuasaan dalam akses SDA antara Teori Hak Kepemilikan Theory of Property Rights dan Teori Akses Theory of Access disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan Theory of Property Rights dan Theory of Access Sumber Konsep kunci Konsekuensi Schlager dan Ostrom 1992 Theory of Property Rights A bundle of rights Hak adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak tertinggi terdapat pada aktor yang berkuasa melepaskan penguasaannya atas SDA. Kepastian hukum diperoleh dari kemelekatan hak pada seseorang atau sekelompok orang atas SDA. Ribot dan Peluso 2003 Theory of Access A bundle of power Kekuasaan adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak adalah klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Kepastian hukum merupakan arena kekuasaan, pihak yang tidak dilekati hak tetap dapat melakukan akses melalui kekuasaannya. Sumber : Antoro 2010 Merujuk pada Merriam-webster dalam Ribot 1998 akses adalah kebebasan atau kemampuan untuk melakukan atau menggunakan. Akses lebih dekat pada istilah property Mc Pherson yaitu hak “right in the sense of an enforceable claim to some use or benefit of somethings”. Istilah “ability” atau kemampuan lebih luas maknanya dari sekedar “right” atau hak. Right is a prescriptive concept, abilitly is descriptive term, property is de jure . Akses termasuk dalam de jure dan de facto atau extra legal. Mekasnisme Extra legal termasuk struktur dan hubungan mengelola sumberdaya yang didalamnya terdapat identitas social status, gender, usia, hubungan social. Akses adalah kemampuan mendapatkan keuntungan dari sesuatu termasuk material, orang, lembaga dan symbol. Lebih luas yaitu hubungan sosial yang dapat melampaui hambatan atau mendapatkan keuntungan dari sumbedaya tanpa fokus pada hubungan terhadap sumberdayanya sendiri.

2.7. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

Berdasarkan panduan yang disusun oleh Tulungen et al. 2002 in Faiza 2010, pembentukan dan pengelolaan DPL-BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan lain yang ada di desa. Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL-BM, pengembangan dan pendidikan masyarakat, serta memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi pengelolaan DPL. Tanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL- BM ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis pendanaan dan persetujuan terhadap peraturan yang dibuat ditetapkan oleh pemerintah atas persetujuan dan kesepakatan dengan masyarakat. Masyarakat dan pemerintah dapat juga bekerja sama dengan pihak lain seperti LSM atau pihak swasta untuk membentuk dan mengelola DPL-BM. DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali didak diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, seperti berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal. Pada umumnya DPL, seperti : di desa Blonko, Bentenam dan Tumbak, serta desa-desa lain di Sulawesi Utara, di desa Sebesi- Lampung, serta DPL-DPL di Filipina, memiliki 2 zona utama yaitu zona inti no-take zone dan zona penyangga buffer zone. Di Zona penyangga, yang merupakan zona di sekeliling zona inti, kegiatan penangkapan ikan diperbolehkan tetapi dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti pancing dan memanah dengan perahu tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lampu light fishing dan beberapa alat tangkap yang potensial merusak terumbu karang masih dilarang di zona penyangga Buku Panduan DPL Coremap II. Pada tahun 2004, Conservation International Indonesia CII dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una, telah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPLBM. CII menetpakan wilayah Kabalutan dan Teluk Kilat menjadi DPLBM. Perairan Kabalutan yang dikembangkan menjadi DPL seluas 3.800 ha meliputi 10 lokasi hamparan terumbu karang yang selama ini dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan sekitar. Termasuk di dalam 10 lokasi tersebut adalah terumbu karang di Batang Toroh Sidrawi seluah 22 ha yang telah disepakati masyarakat komunitas Bajau Kabalutan menjadi Zona Inti no-take zone. Gagasan pembentukan DPL Kabalutan timbul dari kesadaran sebagian besar nelayan di desa Kabalutan bahwa telah terjadi penyusutan hasil tangkapan ikan akibat lokasi-lokasi karang telah dirusak oleh aktivitas pemboman dan pembiusan ikan La’apo 2010. Beberapa kegiatan masyarakat bersama CII dalam pengembangan DPL di Periaran Teluk Kilat Maupun Kabalutan, antara lain CII 2006 in La’apo 2010: 1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan bersama masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidrawi seluas 22 ha. Di teluk kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembonato dan Matabiyai, yaitu Urung Dolom dan Manggafai dengan total luas areal sekitar 36.92 ha. 2. Pembuatan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam dan air. 3. Penyediaan sarana penunjang, contohnya papan peringatan, pelampung, sabua pos penjagaan disekitar daerah DPL 4. Studi Banding ke TN Bunaken dan DPLBM di Desa Blongko dan Tumbak Sulawesi Utara. 5. Peningkatan kapasitas lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove 6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dan pemenrintah daerha setempat. 7. Kerjasama dengan Balai Taman Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil small grant. 2.8. Model pengelolaan sumberdaya 2.8.1. Model pengelolaan tradisional Pengelolaan sumberdaya tradisional di wilayah Asia –Pasifik berdasarkan pada hak kepemilikan dan berasosisi dengan rejim yang merefleksikan kekuatan struktur lokal dan berdasarkan organisasi sosial. Sistem tradisional didukung oleh kewenangan authority yang berbeda antara area satu dengan area yang lain dan kemungkinan termasuk pemimpin adat, pemimpin agama atau ahli perikanan. Pelaksanaan aturan pengelolaan sangat spesifik dan dikontrol oleh kewenangan local Ruddle 1996 Tidak seperti pengelolaan perikanan konvensional, sistem pengelolaan tradisional fokus pada penyelesaian masalah penggunaan alat tangkap dan berdasarkan pada area dan kontrol terhadap akses, dimana pemantauan dilakukan oleh komunitas lokal dan dilaksanakan oleh moral dari komunitas lokal dan kewenangan politik. Hal tersebut merupakan kekuatan paling baik dari system, yang bisa dikontribusikan kepada kerangka pengelolaan modern Ruddel 1996. Sedangkan Nikijuluw dalam wahyudin 2004, mendefinisikan Pengelolaan Berbasis Masyarakat merupakan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya. Hal ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada