91 ini juga disebabkan oleh adanya pergeseran dalam struktur usia kerja, dimana ada
kecenderungan dari penduduk usia kerja yang berada pada kelompok bukan angkatan kerja mengalami penurunan baik secara relatif, maupun secara absolut
yang ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhannya sebesar –1.52 persen pertahun. Tabel 7 juga memperlihatkan bahwa, meskipun proporsi angkatan kerja
perkotaan jauh lebih kecil dari proporsi angkatan kerja pedesaan, namun dari segi pertumbuhan angkatan kerja perkotaan meningkat lebih cepat yakni dengan
pertumbuhan sekitar 6.91 persen pertahun, sementara di pedesaan hanya tumbuh sekitar 3.19 persen pertahun. Pertumbuhan angkatan kerja perkotaan ini di duga
didorong oleh arus migrasi masuk yang lebih banyak ke wilayah perkotaan, sehingga pertumbuhan penduduk usia kerja di perkotaan meningkat lebih cepat di
bandingkan penduduk usia kerja pedesaa. Hanya saja pertumbuhan angkatan kerja wilayah perkotaan yang tinggi ini tidak diimbangi oleh tingkat penyerapan tenaga
kerja yang sebanding, sehingga diwilayah perkotaan juga memiliki tingkat pengangguran yang lebih besar di bandingkan di wilayah pedesaan.
5.3. Total Faktor Productivity
Produktivitas fakor secara total atau total factor productivity TFP, merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi supply. TFP adalah
perubahan dalam output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam input yakni jumlah pertumbuhan yang tersisa residu setelah dikurangkan dengan
kontribusi pertumbuhan masing- masing input factor produksi yang terukur. TFP ini seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan
efisiensi tenaga kerja. Banyak hal yang dapat mempengaruhi TFP ini, misalnya meningkatnya pengetahuan tentang metode produksi yang lebih baik, peningkatan
keterampilan pekerja, peningkatan modal fisik seperti mesin, infrastruktur dan lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, pokoknya TFP mencakup
apa pun yang dapat mengubah hubungan di antara input dan output Mankiw,2003. Laboran Bank Dunia 2005, menyebutkan bahwa TFP dapat
mencakup lebih banyak hal, seperti keamanan hah-hak atas properti, institusí kelembagaan sosial atau iklim investasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa
percepatan yang dramatis dalam tingkat pendapatan di antara negara- negara
92 dengan tingkat pertumbuhan yang cepat selama lebih 200 tahun disebabkan oleh
adanya peningkatan teknologi. Merujuk pada hasil penelitian Margono 2005 yang telah menghitung
TFP Indonesia selama periode 1972 – 2002. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5.88 persen per tahun
lebih banyak disumbangkan oleh pertumbuhan barang modal 5.55 persen dan sumbangan pertumbuhan tenaga kerja sebesar 0.86 persen, sedangkan
pertumbuhan TFP -0.53 persen tidak banyak berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Barangkali, rendahnya tingkat teknologi ini,
merupakan bukti empiris, sehingga pendapatan perkapita Indonesia sebesar 810 per kapita Tahun 2003, sangat jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga,
yang justru belakangan memulai pembangunannya seperti Jepang dengan pendapatan perkapita mencapai 34,510 per kapita, Malaysia sebesar 3,780
perkapita, Philippines sebesar 1,080 per kapita serta beberapa negara lainnya Bank Dunia, 2005.
Meskipun, TFP Indonesia relatif kecil, namun sudah barang tentu TFP masing- masing provinsi di Indonesia bervariasi, karena pada kenyataannya,
terjadi kesenjangan pendapatan perkapita antara daerah, terutama antara daerah yang ada di Kawasan Barat Indonesia KBI dengan daerah yang ada di wilayah
Kawasan Timur Indonesia KTI. Dugaan kesenjangan TFP ini, juga dapat dilihat dari sebaran dari berbagai faktor determinan TFP itu sendiri, seperti, sarana
pendidikan, tenaga kerja yang terampil dan terdidik, infrastruktur jalan dan berbagai modal fisik lainnya yang umumnya lebih banyak terkonsentrasi di KBI.
Selain itu kesenjangan TFP ini, juga terkait dengan perbedaan corak struktur perekonomian, dimana corak perekonomian KBI terutama Jawa sudah
bertransformasi ke dominasi sektor industri dan jasa, sedangkan daerah-daerah di KTI termasuk Sulawesi Selatan umumnya bercorak dominasi pertanian dimana
sektor ini sangat lamban mengabsorbsi teknologi, khususnya sub sektor tanaman pangannya.
Sulawesi Selatan yang corak perekonomiannya di dominasi ole h sektor pertanian, dan memiliki tingkat pendapatan perkapita PDRB perkapita yang jauh
terpaut dibawah rata-rata PDRB perkapita kawasan KTI dan PDRB per kapita
93 nasional. Akan tetapi prestasi daerah ini cukup membanggakan dalam mendorong
pertumbuhan ekono minya dan pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakatnya. Dalam kurun waktu 1985-2004, secara rata-rata Sulawesi Selatan memiliki
pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita KTI dan nasional Tabel 2.
Berdasarkan hasil analisis tentang kontribusi sumber-sumber pertumbuhan dari sisi supply tenaga kerja, modal dan TFP, yang dihitung dengan
menggunakan metode indirect accounting, maka dalam rentang waktu tahun 1986-2004, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang secara rata-rata
mencapai 5.66 per tahun, lebih banyak disumbangkan oleh pertumbuhan TFP sebesar 2.09 persen, kemudian sumbangan pertumbuhan modal sekitar 1.87
persen dan pertumbuhan tenaga kerja berkontribusi sekitar 1.70 persen Tabel 8 Jika diamati perkembangan kontribusi pertumbuhan TFP setiap tahun,
tampak bahwa, ada periode-periode tertentu dimana pertumbuhan modal diikuti oleh perubahan nilai TFP dengan koefisien arah yang sama tapi dengan
kemiringan yang berbeda dan ada periode tertentu pula dimana koefisien arah pertumbuhan modal kontras dengan koefisien arah pertumbuhan TFP. Periode
dimana kefisien arah yang kontras antara modal dan TFP, umumnya terjadi pada saat pertumbuhan modal sangat tajam tinggi, seperti pada tahun 1991, 1996, dan
2002 Gambar 19. Gambaran ini menunjukkan bahwa peningkatan modal memang dapat mendorong pertumbuhan TFP dan meningkatkan efisiensi, tetapi
jika penggunaan modal terlalu besar, maka justru dapat menciptakan inefisiensi, seperti yang ditunjukkan oleh merosotnya pertumbuhan TFP pada periode
pertumbuhan modal sangat tinggi Tahun 1991, 1996 dan 2002. Pada periode ini, diduga penggunaan modal sudah melampaui ambang batas skala ekonomisnya,
sehingga yang terjadi adalah pemborosan modal dan tentu hal ini akan menciptakan inefisiensi.
94
10.00 8.00
6.00 4.00
2.00 0.00
2.00 4.00
6.00 8.00
10.00 12.00
19 86
19 87
19 88
19 89
19 90
19 91
19 92
19 93
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
Pertumbuhan Ekonomi Kontribusi Pertb.TK
Kontribusi Pertumb. Modal Pertumbuhan TFP
Pertumbuhan Ekonomi
Share TFP Share Tenaga Kerja
Share Modal
Pertumbuhan
Gambar 19 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, modal dan TFP di Sulawesi Selatan analisa seluruh sektor
Meskipun secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam dua dekade terakhir 1986-2004, lebih banyak bersumber dari pertumbuhan TFP
dibandingkan kontribusi pertumbuhan modal dan TK, namun kontribusi sumber- sumber pertumbuhan tersebut berbeda-beda menurut fase pembangunan ekonomi
Sulawesi Selatan. Jika fase pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan dibagi dalam tiga fase yakni fase “sebelum krisis = industrialisasi” 1986 – 1997, dimana fase
ini dicirikan kebijakan yang berpihak ke sektor industri dengan berbagai komponen proteksi untuk sektor ini. Fase kedua 1998-2000 di cirikan oleh
terjadinya krisis ekonomi dan fase ke tiga 2001-2004 disebut fase pasca krisis atau fase otonomi daerah, karena pada fase ini terjadi perubahan mendasar dalam
sistem pemerintahan dan sistem pembangunan nasional, bersamaan dengan diterapkannya sistem Destoda desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Fase Industrialisasi Fase Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1986-1997
Fase ini merupakan fase diterapkannya strategi industrialisasi di Indonesia dengan berbagai komponen proteksi untuk sektor industri, sehingga sektor
industri dan manufaktur di Sulawesi Selatan tumbuh di atas dua digit. Fase ini
95 juga sekaligus merupakan fase dimana sektor pertanian mengalami kemerosotan
setelah tercapai prestasi gemilangnya “swasembada beras” di tahun 1984. Secara nasional, fase 1986-1997, oleh Arifin 2004 disebutkannya sebagai fase
“dekonstruksi pertanian” , karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan
ignorance oleh para perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom sendiri.
Fase ini kemudian dipecah menjadi dua periode, yakni periode pertama 1986 – 1989 dan periode kedua 1990 – 1997. Mengingat pada awal tahun 1990-an
diterapkannya kebijakan yang mengarah pada strategi industrialisasi footloose secara besar-besaran Arifin, 2004. Pada periode 1990-1997 ini, juga ditandai
oleh terjadinya transformasi internal sektor pertanian Sulawesi Selatan, dimana sub sektor tradisional tanaman pangan dan peternakan mengalami kemerosotan,
sementara sub-sektor modern khususnya sub sektor perkebunan Fase ini, ditandai oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
untuk seluruh sektor di Sulawesi Selatan yakni mencapai diatas 7.0 persen pertahun. Pertumbuhan yang tinggi ini, terjadi untuk semua sektor. Bahkan sektor
industri manufaktur pada fase ini memiliki tingkat pertumbuhan yang memukau, yakni di atas 10 persen pertahun, bahkan pada periode pertama dalam fase ini
memiliki pertumbuhan di atas 20 persen pertahun. Periode pertama dalam dalam fase ini tidak hanya memiliki pertumbuhan
ekonomi tinggi, tapi juga diikuti oleh penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, terutama sektor pertanian dan industri. Periode ini juga ditandai oleh pertumbuhan
TFP yang cukup besar yakni sekitar 2.26 persen pertahun, terutama sektor industri dan sektor lainnya, sementara TFP pertanian pada periode ini tumbuh lamban,
mengingat pertumbuhan sektor pertanian pada periode ini terutama disumbangkan oleh sub-sektor pertanian tanaman pangan yang dikenal lamban mengabsorbsi
teknologi. Sementara pada periode kedua dalam fase ini, Meskipun mengalami
perumbuhan yang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya, yang disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan sektor lainnya, tetapi pertumbuhan tenaga kerja
serta pertumbuhan TFP melamban pada periode ini. Untuk sektor industri, periode ini ditandai melambannya pertumbuhan nilai tambah buto sektor ini dibandingkan
periode sebelumnya, demikian pula pertumbuhan TK, Modal dan TFP. Berbeda
96 halnya dengan sektor pertanian, di mana pertumbuhan nilai tambah bruto dan
pertumbuhan tenaga kerja memang melamban, tapi pertumbuhan TFP meningkat secara signikant. Kondisi seperti ini disebabkan oleh andanya transformasi
internal pada sektor pertanian, karena pada periode ini, sektor modern pertanian sub-sektor perkebunan mengalami pertumbuhan besar, terutama diakhir tahun
1990-an. Sementara sub sektor tradisional tanaman pangan dalam periode ini mengalami stagnasi pertumbuhan produktvitas. Hal serupa diungkapkan oleh
Manwan 2003 bahwa dalam kurun waktu 10 – 15 tahun terakhir produksi dan produktivitas padi nasional memiliki pertumbuhan yang stagnan atau tingkat
produksi sudah berada pada tingkat leveling off. Demikian pula yang diungkapkan oleh Majedah 2005 bahwa selama periode 1994-1998 produksi dan
produktivitas padi memiliki laju pertumbuhan secara negatif. Tabel 8 Perkembangan pertumbuhan tenaga kerja, modal dan TFP, menurut fase
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan.
Sumber pertumbuhan Pertumb.Output
T. Verja Modal
TFP No.
Tahun
Y Y
∂ L
L ∂
α
K K
1 ∂
− α
A A
∂
Total Sektor 1 1986 – 1989
7.06 2.94 1.87
2.26 2 1990 – 1997
7.26 2.39 3.52
1.34 3 1998 – 2000
0.70 0.58 2.65
3.93 4 2001 – 2004
4.79 0.80 1.94
2.05 5 1986 – 2004
5.66 1.70 1.87
2.09 Sektor Pertanian
1 1986 – 1989 6.08
4.66 0.76 0.65
2 1990 – 1997 5.54
1.09 2.74 1.71
3 1998 – 2000 0.87
0.09 4.81 3.85
4 2001 – 2004 1.36
0.11 7.27 6.02
5 1986 – 2004 4.04
1.45 3.61 1.02
Sektor Industri Peng 1 1986 – 1989
20.16 3.06 12.19
4.91 2 1990 – 1997
10.82 1.13 5.83
3.85 3 1998 – 2000
1.70 0.40 6.16
8.25 4 2001 – 2004
5.54 0.16 4.24
1.13 5 1986 – 2004
10.23 1.09 4.94
4.20 Sektor Lainnya
1 1986 – 1989 6.39
1.59 5.92 2.06
2 1990 – 1997 7.88
3.03 4.05 0.80
3 1998 – 2000 0.33
0.13 5.41 5.88
4 2001 – 2004 6.97
0.07 6.40 0.50
5 1986 – 2004 6.18
0.93 3.45 1.80
Sumber : Diolah dari data BPS
97 Fase Krisis Ekonomi 1998-2000
Fase ini ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, terutama pada tahun 1998, dimana perekonomian Sulawesi Selatan merosot hingga minus
5.33 persen. Pada fase ini juga ditandai oleh merosotnya pertumb uhan tenaga kerja dan pertumbuhan modal. Akan tetapi pertumbuhan TFP justru mengalami
peningkatan, bahkan fase ini, pertumbuhan TFP mencapai tingkat tertingginya yakni sekitar 3.93 persen pertahun untuk TFP keseluruhan Sektor. Bahkan
pertumbuhan TFP untuk sektor industri dan sektor lainnya dapat mencapai diatas 5.0 persen pertahun.
Tingginya TFP pada kedua sektor ini pada fase krisis ekonomi, disebabkan adanya tindakan efisiensi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis di kedua sektor
ini, dengan melalui penghematan tenaga kerja, serta penghematan modal, mengingat biaya modal atau opportunity cost atas modal menjadi sangat tinggi
sebagai dampak krisis moneter. Pengehematan tenaga kerja sektor industri pada fase ini, terutama terjadi di sektor industri perkotaan dengan penurunan tenaga
kerja sekitar 17.70 persen pada tahun 1998, sementara penurunan tenaga kerja di sektor industri pedesaan hanya sekitar 1.46 persen.
Inovasi lain yang dilakukan oleh para pelaku bisnis di sektor industri dan sektor lainnya di fase ini adalah pengurangan penggunaan input- input yang
mengandung komponen impor karena harganya melambung tinggi pada saat anjloknya nilatukar rupiah terhadap mata uang asing. Hal ini ditunjukkan oleh
anjloknya nilai impor antar negara rata-rata -31.51 persen pertahun selama periode 1997-2002 yakni dari Rp. 5,220.16 M tahun 1997 menjadi Rp. 578.92 M tahun
2002. Pada dasarnya fase ini merupakan, fase yang mendesak para pelaku bisnis untuk melakukan inovasi dalam meramu ulang kombinasi faktor produksinya
guna meningkatkan efisiensi produksi. Tentunya perubahan cara dalam mengkombinasikan faktor produksi ini, merupakan perubahan teknologi yang
dapat meningkatkan efisiensi. Karena teknolgi menurut Arifin 2004 adalah cara, mekanisme dan proses produksi untuk me lakukan kombinasi faktor- faktor
produksi input guna menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Walaupun TFP sektor industri dan sektor lainnya mengalami pertumbuhan
tinggi pada fase krisis ini, namun untuk sektor pertanian, fase ini merupakan fase
98 kemerosotan TFP yang cukup besar dengan pertumbuhan rata-rata -3.85 persen
pertahun. Merosotnya TFP pertanian pada fase ini terkait beberapa faktor 1 Adanya gangguan iklim yang tidak bersahabat, ketika empasan badai kering El
Nino tahun 1997-1998 yang bersamaan waktunya dengan bencana krisis moneter diakhir tahun 1997. Bencana alam ini sudah barang tentu menurunkan produksi
dan produktivitas pertanian sehingga pertumbuhan TFP mengalami kemerosotan pada fase ini. 2 TFP pertanian yang merosot pada fase ini, juga terkait dengan
dicabutnya subsidi atas pupuk, sehingga harga pupuk melambung tinggi pada fase ini. Dampaknya adalah terjadinya pengurangan penggunaan pupuk di tingkat
petani terutama jenis pupuk TSP dan KCl untuk sub sektor tanaman pangan. Pada hal sarana produksi pupuk ini merupakan salah satu kunci sukses gerakan
“revolusi hijau” yang dimulai pada akhir tahun 1960-an. 3 Kemerosotan TFP pertanian di Sulawesi Selatan, juga diperkirakan sangat terkait dengan adanya
kebijakan perdagangan yang sangat tidak berpihak ke pertanian. Terbukanya kran impor beras ditahun 1998, menyebabkan beras impor yang kualitasnya lebih
bagus membanjiri pasar domestik. Kondisi ini jelas berdampak buruk terhadap iklim bisnis perberasan di daerah ini, mengingat Sulawesi Selatan sebagai
penghasil surplus beras terbesar di Indonesia, mengalami penyempitan pasar di berbagai daerah tujuan pasar beras antar pulau Majedah, 2005, terutama di
berbagai pasar antar pulau yang secara tradisional dilayani oleh pedagang- pedagang beras dari tanah bugis Sulawesi Selatan.
Di sisi lain, pada fase ini, tarif ekspor berbagai komoditi pertanian juga meningkat, sehingga harga komoditi ekspor pertanian yang melambung tinggi
dipasaran internasional tidak dapat ditransmisikan secara efektif ke tingkat petani, sehingga berdampak pada tertahannya laju peningkatan pendapatan petani
komoditi ekspor.
Fase Pasca krisis Ekonomi periode Destoda; 2001-Sekarang
Fase ini dapat diterjemahkan sebagai fase diberikannya ruang yang lebih besar bagi pemerintah daerah otonom untuk melakukan kombinasi strategi
pemanfaatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki suatu daerah, atau sebaga i fase peningkatan basis kemandirian daerah dalam
mengelola aktivitas pembangunannya, termasuk membangun pertanian.
99 Pada fase ini, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sudah mulai pulih
dari kemerosotan ekonomi di era krisis, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 4.79 persen pertahun. Pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor lainnya
mengalami pertumbuhan cukup pesat pada fase ini, demikian pula TFP mengalami kemajuan pada kedua sektor ini. Tetapi sektor pertanian, tidak saja
menunjukkan kelambanan pertumbuhan yakni hanya sekitar 1.36 persen pertahun, tetapi pertumbuhan TFP sektor ini masih mengalami pertumbuhan negatif. Nilai
negatif ini menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai tambah yang diciptakan oleh sektor pertanian masih bertumpu pada kontribusi pertumbuhan tenaga kerja dan
modal bahkan penggunaannya boleh jadi sudah melampaui skala efisiensinya, sedangkan faktor produksi lainnya seperti teknologi tidak memberi kontribusi
yang nyata. Selain itu, kemerosotan TFP pada fase ini, diduga masih terkait dengan melambungnya biaya sarana produksi terutama pupuk sebagai dampak
pencabutan subsidi pupuk, serta disebabkan oleh terjadinya kelangkaan pupuk setiap tahun sejak tahun 2002, karena buruknya sistem distribusi pupuk.
Kemerosotan TFP pertanian pada fase ini juga diduga terkait dengan banyaknya bangunan irigasi yang rusak bahkan ada yang tidak dapat berfungsi, sejak
diserahkannya pengelola irigasi ke kelompok P3A. Demikian pula pembinaan kelembagaan kelompok tani mengalami kemunduran, bersamaan menurunnya
aktivitas penyuluhan pertanian dalam mentransfer teknologi ke petani.
100
5.4. Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi