Analisis Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan

101 Selanjutnya asumsi terjadinya multikolenearity tampaknya juga tidak menjadi hal yang serius. Karena menurut Manurung 2005, salah satu cara untuk mendeteksi masalah multikolenearitas ini adalah apabila koefisen determinas R 2 tinggi tapi signifikansi nilai statisti-t rendah sedikit variabel yang signifikan. Berdasarkan hasil analisis, dari 25 persemaan struktural yang dibangun dalam penelitian ini, berbagai persamaan yang memiliki koefisen determinasi R 2 cukup tinggi diatas 90 persen, namun kesemua persamaan tersebut juga memiliki signifikansi nilai statisti-t yang tinggi banyak variabel yang signifikan. Persamaan-persamaan struktural tersebut juga memenuhi asumsi normalitas. Hal tersebut terlihat dari hasil uji Histogram- normality Test, dengan nilai probability Jarque-Bera yang berkisar antara 0.2563 hingga 0.9150 Lampiran 3. Artinya dengan tingkat a = 0.05, kita menerima hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi normal, dengan demikian persamaan-persamaan yang dibangun dalam studi ini memenuhi asumsi normalitas. Berdasarkan pada gambaran umumn hasil dugaan dari persamaan simultan yang dibangun, serta berbagai ha sil pengujian terhadap asumsi-asumsi penting dalam analisa regresi linear, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dalam penelitian ini cukup baik untuk menjelaskan keragaan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1985 – 2004.

5.4.2. Analisis Permintaan Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan

dan Pedesaan Model analisis kesempatan kerja permintaan tenaga kerja di Sulawesi Selatan yang dibangun, di dasarkan pada asumsi bahwa permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan dari output masing- masing sektor produksi. Karena itu model persamaan kesempatan tenaga kerja yang dibangun, selain dipengaruhi oleh tingkat upah riil, juga dipengaruhi oleh berbagai variabel sumber-sumber pertumbuhan ekonomi pertumb uhan PDRB baik dari sisi demand, seperti konsumsi masyarakat CS, investasi INV, pengeluaran pemerintah GOV, eksport EXPR dan impor IMP, maupun dari sisi supply, khususnya TFP. Selain variabel tersebut, permintaan tenaga kerja juga terkait dengan krisis ekonomi dan jumlah angkatan kerja sebagai sisi supply pasar tenaga kerja. Masuknya variabel angkatan kerja dalam model ini didasarkan pada 102 pandangan Juanda 2001 bahwa perkembangan pekerja kesempatan kerja memiliki pola yang sangat mirip dengan perkembangan angkatan kerja atau di sebutkannya menyerupai supply-side determined employment, yang diartikan bahwa banyak sekali pencari kerja tidak mampu bertahan untuk menganggur, sehingga banyak surplus tenaga kerja yang terserap ke pekerjaan sementara, walau dengan tingkat upah yang sangat rendah. Analogi ini mengisyaratkan bahwa perkembangan angkatan kerja, juga memberi tekanan tersendiri pada permintaan tenaga kerja. Hasil analisis pendugaan parameter persamaan kesempatan kerja kerja yang didisagregasi menurut sektor serta menurut wilayah perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, menghasilkan nilai koefisien detereminasi R 2 yang berkisar antara 89.17 persen hingga 99.28 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa peubah penjelas dalam model dapat menjelaskan perilaku variabel endogen secara baik, selain itu pada setiap persemaan peubah penjelas secara bersama-sama juga berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir a = 0.01 dan 0.05. Gambaran rinci mengenai hasil analisis permintaan tena ga kerja sektoral di Sulawesi Selatan, dikelompokkan dalam dua bagian yakni persamaan-persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah perkotaan seperti pada Tabel 9 dan persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah pedesaan seperti pada Tabel 10. A. Kesempatan Kerja Sektoral di Perkotaan Analisis kesempatan kerja kerja sektoral di wilayah perkotaan didisagregasi menurut tiga sektor yakni sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor lainnya. Nilai koefisien detereminasi R 2 pada ketiga sektor perkotaan tersebut berkisar antara 0.9827 – 0.9928, yang berarti bahwa variasi nilai variabel endogen kesempatan kerja sektoral perkotaan dapat dijelaskan sekitar 98.27 persen hingga 99.28 persen oleh peubah penjelas secara bersama-sama, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak masuk dalam model. Hasil perhitungan nilai F-hitung pada setiap persamaan kesempatan kerja di perkotaan berkisar antara 31.0091 hingga 75.4849, yang berarti peubah penjelas pada setiap persamaan, secara bersama-sama signifikan pada tingkat a = 103 0.01 Tabel 9. Uraian hasil pendugaan pada setiap persamaan kesempatan kerja sektoral di perkotaan dijelaskan sebagai berikut Sektor Pertanian Perkotaan : Hasil analisa partial pada persamaan kesempatan kerja sektor pertanian perkotaan, menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja di sektor pertanian perkotaan dipengaruhi oleh upah rill sektor WPK, total factor productivity pertanian TFPP, investasi INV, Pengeluaran pemerintah GOV, ekspor EXPR, impor IMP, nilai tambah sektor pertanian NTBP dan dummy krisis ekonomi, pada tingkat kesalahan yang ditolerir a = 0.01, 0.05. Sementara konsumsi masyarakat CS dan variabel angkatan kerja AKK berpengaruh pada tingkat kesalahan a = 0.15 dan 0.20. Hasil ini menunjukkan bahwa semua variabel dalam model memberi pengaruh nyata terhadap kesempatan kerja pertanian kota. Variabel seperti upah riil, konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah dan impor berkorelasi negatif dengan variabel endogennya, yang berarti apabila variabel- variabel ini mengalami peningkatan, maka cenderung menurunkan perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian perkotaan. Dilihat dari nilai elastisitas masing- masing peubah penjelas, maka respon kesempatan kerja pertanian perkotaan terhadap variabel investasi dan nilai tambah bruto sektor pertanian bersifat elastis dalam jangka pendek, sedangkan varibel- variabel lainnya bersifat in-elastis. Akan tetapi dalam jangka panjang selain kedua variabel yang telah disebutkan, maka variabel upah riil dan impor juga bersifat elastis. Nilai elastisitas diartikan sebagai besarnya perubahan pada variabel endogen dalam satuan persen sebagai respon atas terjadinya perubahan pada peubah penjelas sebesar 1 persen. Dalam jangka pendek nilai elastisitas terbesar berasal dari variabel NTBP yakni sebesar 1.7216 yang berarti bahwa apabila nilai tambah bruto pertanian meningkat sebesar 1 persen, maka akan berdampak pada peningkatan permintaan tenaga kerja sebesar 1.7216 persen pada sektor pertanian perkotaan. Sedangkan nilai elastisitas terendah berasal dari variabel TFPP yakni 0.0165 untuk jangka pendek dan 0.0301 untuk jangka panjang, dengan hubungan korelasi positif. Gambaran ini menunjukkan bahwa, sifat teknologi pada pertanian kota tidak 104 mereduksi kesempatan kerja, bahkan dapat mendorong perluasan kesempatan kerja, meskipun kesempatan kerja yang ditimbulkannya relatif kecil. Tabel 9 Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 Elastisitas PEUBAH Dugaan Parameter Probability t -Statistik JK Pendek JK Panjang KPK Kesemp. Kerja Pert Kota Intersept 28588.88 0.1355 Upah Pert Kota WPK -0.474927 0.0000 a -0.5541 -1.0089 TFP Pert TFPP 1279.903 0.0078 a 0.0165 0.0301 Konsumsi Masy CS -0.002884 0.1684 -0.5432 -0.9890 Investasi INV 0.015884 0.0001 a 1.2071 2.1979 Pengel. Pemerintah GOV -0.009219 0.0468 b -0.4990 -0.9085 Expor EXPR 0.003562 0.0076 a 0.3305 0.6018 Impor IMP -0.006483 0.0017 a -0.5499 -1.0012 Nilai Tambah Pert. NTBP 0.013988 0.0009 a 1.7216 3.1345 Dummy Krisis Eko. DKE 33167.99 0.0000 a 0.1579 0.2875 Angkat Kerja Kota AKK 0.040218 0.1304 0.3735 0.6801 Lag Endogen Lag KPK 0.471574 0.0233 b 0.4508 0.8207 R 2 = 0.9827; F-Hitung = 31.0091 a ; DW = 2.4293 KIK Kesemp. Kerja Industri Kota Intersept 18838.97 0.0004 a Upah Industri Kota WIK -0.208652 0.0001 a -0.4139 -0.5573 TFP Industri TFPI -1169.382 0.0259 b -0.0229 -0.0308 Konsumsi Masy CS 0.005378 0.0441 b 1.5338 2.0653 Investasi INV 0.002307 0.0755 c 0.2655 0.3575 Pengel. Pemerintah GOV 0.002377 0.2268 0.1948 0.2623 Expor EXPR 0.006764 0.0000 a 0.9505 1.2799 Impor IMP -0.00677 0.0002 a -0.8696 -1.1709 Nilai Tambah Indust. NTBI 0.006779 0.3096 0.3807 0.5126 Dummy Krisis Eko. DKE -3696.985 0.3099 -0.0267 -0.0359 Angkat Kerja Kota AKK 0.013617 0.4113 0.1915 0.2579 Lag Endogen Lag KIK 0.270098 0.1840 0.2574 0.3466 R 2 = 0.9635; F-Hitung = 14.3867 a ; DW = 2.1044 KLK Kesemp. Kerja Sek Lain Kota Intersept -29108.14 0.1942 Upah Sek Lain Kota WLK -0.203635 0.0149 b -0.0545 -0.0731 TFP Sektor Lain TFPL -1309.997 0.4147 -0.0027 -0.0036 Konsumsi Masy CS 0.008589 0.0585 c 0.2533 0.3397 Investasi INV 0.03336 0.0000 a 0.3970 0.5324 Pengel. Pemerintah GOV 0.034289 0.0318 b 0.2906 0.3897 Expor EXPR 0.043598 0.0076 a 0.6335 0.8496 Impor IMP -0.044636 0.0089 a -0.5928 -0.7951 Nilai Tambah S.Lain NTBL 0.055009 0.0032 a 1.4318 1.9202 Dummy Krisis Eko. DKE 118674.5 0.0005 a 0.0885 0.1186 Angkat Kerja Kota AKK 0.201516 0.3241 0.2930 0.3930 Lag Endogen Lag KLK 0.266598 0.1927 0.2544 0.3412 R 2 = 0.9928; F-Hitung = 75.4849 a ; DW = 1.6140 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Keterangan : a : Signifikan pada taraf nyata a = 0.01 b : Signifikan pada taraf nyata a = 0.05 c : Signifikan pada taraf nyata a = 0.10 105 Sektor Industri Pengolahan Perkotaan: Hasil pendugaan persamaan kesempatan kerja sektor industri pengolahan di wilayah perkotaan, menunjukkan bahwa, kesempatan kerja di sektor ini selain dipengaruhi oleh upah riil, juga dipengaruhi oleh variabel sumber-sumber pertumbuhan output dari sisi permintaan seperti konsumsi masyarakat, investasi, ekspor dan impor pada tingkat kesalahan a = 0.01; 0.05 dan 0.10. Variabel input residual atau total faktor productivity sektor industri pengolahan TFPI juga signifikan pada taraf nyata a = 0.05, sedangkan variabel nilai tambah industri, dummy krisis ekonomi dan angkatan kerja perkotaan serta lag endogennya tidak memberi pengaruh nyata. TFPI sebagai input residual dari faktor produksi tenaga kerja dan modal misalnya teknologi di sektor industri pengolahan perkotaan, yang signifikan pada taraf nyata a = 0.05, memiliki koefisien korelasi yang negatif. Hal ini diartikan bahwa peningkatan TFPI misalnya teknologi akan cenderung mereduksi permintaan tenaga kerja di sektor ini, atau dengan kata lain TFPI di sektor ini umumnya bersifat menghemat tenaga kerja. Akan tetapi penghematan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh variabel ini relatif kecil, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya atau respon permintaan tenaga kerja terhadap perubahan input residual TFPI yang bersifat in-elastis baik dalam jangka pendek, maupun dalam jangka panjang. Industri pengelohan dikenal sebagai sektor usaha yang memiliki komponen bahan baku impor cukup besar, sehingga biaya produksi sektor ini sangat sensitif terhadap nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing exchange rate, merosotnya nilai tukar rupiah pada saat terjadinya krisis ekonomi, berdampak pada melambungnya harga berbagai bahan baku impor, sehingga banyak kegiatan produksi di sektor ini mengalami kemerosotan yang cukup parah bahkan tidak sedikit kegiatan usaha yang mengalami kebangkrutan, sehingga efisiensi pengurangan tenaga kerja menjadi tidak dapat dihindari. Industri pengolahan yang ada di Sulawesi Selatan pada dasarnya dapat dibagi dua yakni industri yang berorientasi untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dan industri yang berorientasi untuk memenuhi pasar domestik. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan nilai ekspor sulawesi selatan berdampak pada perluasan kesempatan kerja. Hal ini disebabkan karena peningkatan ekspor 106 merupakan penciri meningkatnya daya saing produk yang diproduksi secara domestik di Sulawesi Selatan, termasuk produk industri pengolahan perkotaan. Karena itu, peningkatan ekspor akan berdampak pada perluasan kesempatan kerja di sektor industri perkotaan. Sektor Lainnya di Perkotaan : Hasil pendugaan terhadap persamaan kesempatan kerja sektor lainnya di perkotaan menunjukkan bahwa, variabel upah riil, nilai tambah sektor, dummy krisis ekonomi dan variabel sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan, seperti investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor berpengaruh signifikan terhadap kesempatan kerja di sektor ini pada tingkat kesalahan a = 0.01 dan 0.05 Sementara variabel konsumsi masyarakat signigikan pada tingkat kesalahan a = 0.10. Sedangkan variabel lainnya seperti angkatan kerja dan total factor productivity sektor lainnya TFPL tidak berpengaruh nyata. Peningkatan impor dan peningkatan nilai TFPL di sektor ini, akan menimbulkan penyempitan kesemptan kerja di sektor ini. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang negatif untuk kedua variabel tersebut. Sedangkan variabel- variabel determinan lainnya berkorelasi positif dengan variabel endogen, yang berarti peningkatan nilai variabel tersebut cenderung memperluas kesempatan kerja sektor ini . Dilihat dari nilai elastisitas semua peubah penjelas dalam model, maka hanya variabel nilai tambah sektor NTBL yang bersifat elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, sedangkan peubah lainnya bersifat in-elastis. Dengan membandingkan nilai elastisitas NTBL pada setiap persamaan kesempatan kerja perkotaan, terlihat bahwa respon permintaan tenaga kerja di sektor pertanian dan sektor lain bersifat elastis, sedangkan di sektor industri bersifat inelastis. Perbedaan ini di sebabkan karena sektor industri dikenal sebagai sektor yang hemat tenaga kerja, sedangkan sektor lain, khususnya pertanian di kenal sebagai sektor padat karya. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi jumlah pengangguran perkotaan melalui perluasan kesempatan kerja, maka pertumb uhan ekonomi sebaiknya berbasis pada sektor padat karya seperti pertanian dan sektor lain di perkotaan. 107

B. Kesempatan Kerja Sektoral di Pedesaan

Hasil analisis persamaan kesempatan kerja sektoral di pedesaan menghasilkan nilai koefisien determinasi R 2 yang berkisar antara 0.8917 hingga 0.9677. Dengan demikian peubah penjelas yang ada dalam model dapat menjelaskan perilaku variabel endogennya sekitar 89.17 persen hingga 96.77 persen, sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model. Pengaruh peubah penjelas secara bersama-sama terhadap variabel endogen juga signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir a = 0.01 dan 0.05 Tabel 10. Hasil analisa estimasi parameter peubah penjelas secara partial pada setiap persamaan kesempatan kerja sektoral di pedesaan akan diuraikan satu persatu sebagai berikut. Sektor Pertanian Pedesaan . Hasil pendugaan peubah penjelas pada persamaan kesempatan kerja sektor pertanian pedesaan menunjukkan bahwa, semua variabel estimasi dalam model berpengaruh signifikan terhadap kesempatan kerja pertanian pedesaan pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05 dan 0.10. Variabel determinan yang memiliki koefisien korelasi negatif adalah variabel konsumsi masyarakat CS, pengeluaran pemerintah GOV dan impor IMP. Sedangkan variabel determinan seperti upah riil, TFPP, investasi, ekspor, nilai tambah sektor pertanian, krisis ekonomi dan angkatan kerja pedesaan berkorelasi positif dengan kesempatan kerja pertanian pedesaan. Beberapa interpretasi hasil dari persamaan ini adalah 1 sifat TFPP di sektor pertanian pedesaan dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor ini. Sifat TFP pertanian di ini, kontras dengan sifat TFP di sektor industri dan sektor lainnya, khususnya diperkotaan yang umumnya mereduksi kesempatan kerja hemat tenaga kerja. Karena TFP sering dijadikan simbol kemajuan teknologi, maka sifat TFPP yang berkorelasi positif dengan kesempatan kerja di pertanian dapat dipahami mengingat sifat teknologi pertanian, pada perinsipnya memang ada dua jenis yakni teknologi mekanik mesin yang umumnya menghemat tenaga kerja dan teknologi Bio-Kimiawi atau teknologi intensifikasi yang fungsinya untuk menghemat penggunaan lahan. Jenis teknologi terkahir ini bukanlah menghemat penggunaan tenaga kerja, bahkan dengan teknologi intensif ini, memungkinkan kebutuhan tenaga kerja per satua luas lahan menjadi semakin 108 meningkat. 2 Sektor pertanian pedesaan merupakan ”dewa penyelamat” sebagian besar tenaga kerja pedesaan di saat krisis ekonomi, bahkan mungkin sektor ini merupakan penampung sementara dari limpahan tenaga kerja dari sektor industri dan sektor lainnya di yang melakukan efisiensi tenaga kerja di saat krisis ekonomi. 3 pengeluaran pemerintah GOV berkorelasi negatif dengan permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan. Korelasi yang negatif ini, terlihat jelas pada periode desentralisasi dan otonomi daerah yang diawali sejak tahun 2001. Dimana pada sejak periode ini pengeluaran pemerintah mengalami lompatan besar sejalan dengan kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Namun pada periode ini tenaga kerja pertanian, maupun nilai tambah yang diciptakan mengalami kemerosotan yang tajam Lihat Tabel 6. pada bagian terdahulu. Gambaran ini menjelaskan bahwa pada periode otonomi daerah pun, sektor pertanian masih berada dalam fase ignorance dari pengambil kebijakan di daerah. 4 Sektor pertanian pedesaan seringkali disebut sebagai ”penampung para pekerja sementara” yakni bagian dari surplus tenaga kerja yang tidak tahan menganggur walau dengan tingkat upah yang rendah. Gejala seperti ini, tampaknya masih menjadi trend di Sulawesi Selatan, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi angkatan kerja paling besar terhadap persamaan kesempatan kerja pertanian pedesaan yakni 0.5304, yang berarti setiap pertambahan angkatan kerja pedesaan sebanyak 10 orang, maka akan terserap sebanyak 5 orang di sektor pertanian pedesaan. Akan tetapi, dengan membandingkan nilai elastisitas variabel AKD terhadap setiap persamaan kesempatan kerja pedesaan, maka terlihat bahwa kesempatan kerja sektor lain di pedesaan juga responsif elastis terhadap perubahan AKD. Dengan demikian, maka sektor pertanian pedesaan, bukanlah satu-satunya sektor yang merupakan penampung para pekerja sementara ini. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkat upah di sektor pertanian pedesaan yang sudah sangat rendah, sehingga sebagian dari angktan kerja baru ini lebih memilih sektor lainnya di pedesaan sebagai tempat bekerja sementara di pedesaan. 109 Tabel 10 Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 Elastisitas PEUBAH Dugaan Parameter Probability t -Statistik JK Pendek JK Panjang KPD Kesemp. Kerja Pert Desa Intersept 963282.8 0.0000 a Upah Pert Desa WPD 1.212466 0.0109 b 0.0524 0.0874 TFP Pert TFPP 4384.173 0.0900 c 0.0028 0.0047 Konsumsi Masy CS -0.122221 0.0000 a -1.1406 -1.9045 Investasi INV 0.153021 0.0000 a 0.5762 0.9621 Pengel. Pemerintah GOV -0.065470 0.0007 a -0.1756 -0.2932 Expor EXPR 0.052994 0.0001 a 0.2437 0.4069 Impor IMP -0.063440 0.0001 a -0.2666 -0.4452 Nilai Tambah Pert. NTBP 0.039500 0.1003 c 0.2409 0.4022 Dummy Krisis Eko. DKE 229738.8 0.0000 a 0.0542 0.0905 Angkatan Kerja Desa AKD 0.530425 0.0000 a 0.7726 1.2900 Lag Endogen Lag KPD 0.409153 0.0002 a 0.4011 0.6697 R 2 = 0.9565; F-Hitung = 12.0029 a ; DW = 2.0211 KID Kesemp. Kerja Industri Desa Intersept -1696.024 0.9039 Upah Industri desa WID -0.207047 0.0083 a -0.1651 -0.6095 TFP Industri TFPI 926.2314 0.0109 b 0.0091 0.0337 Konsumsi Masy CS -0.001207 0.6366 -0.1732 -0.6394 Investasi INV 0.003850 0.0038 a 0.2229 0.8229 Pengel. Pemerintah GOV 0.003826 0.1998 0.1577 0.5824 Expor EXPR 0.004550 0.1698 0.3217 1.1876 Impor IMP -0.004249 0.2635 -0.2746 -1.0137 Nilai Tambah Indust. NTBI 0.017665 0.0610 c 0.4991 1.8426 Dummy Krisis Eko. DKE -12545.22 0.0216 b -0.0455 -0.1680 Angkatan Kerja Desa AKD 0.002018 0.8757 0.0452 0.1668 Lag Endogen Lag KID 0.739213 0.0001 a 0.7291 2.6921 R 2 = 0.9668; F-Hitung = 15.8742 a ; DW = 2.4105 KLD Kesemp. Kerja Sek Lain Desa Intersept -207063 0.1379 Upah Sek Lain Desa WLD -0.278456 0.6408 -0.0532 -0.0606 TFP Sektor Lain TFPL -241.8926 0.8176 -0.0005 -0.0006 Konsumsi Masy CS 0.032557 0.2702 1.0160 1.1582 Investasi INV 0.030073 0.0044 a 0.3787 0.4317 Pengel. Pemerintah GOV 0.119764 0.0032 a 1.0740 1.2243 Expor EXPR 0.082427 0.0410 b 1.2674 1.4448 Impor IMP -0.090462 0.0295 b -1.2714 -1.4494 Nilai Tambah S.Lain NTBL 0.002564 0.8747 0.0706 0.0805 Dummy Krisis Eko. DKE -184867.9 0.0205 b -0.1458 -0.1662 Angkatan Kerja Desa AKD 0.198075 0.0769 c 0.9648 1.0998 Lag Endogen Lag KLD 0.123843 0.7214 0.1228 0.1399 R 2 = 0.8917; F-Hitung = 4.4918 b; DW =2.0436 Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004 Sektor Industri Pedesaan , hasil pendugaan peubah penjelas pada persamaan ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja industri pedesaan di pengaruhi oleh variabel upah riil WID, teknologi TFPI, investasi INV, nilai tambah sektor industri NTBI dan dummy krisis ekonomi pada tingkat kesalahan yang dapat ditolerir a = 0.01, 0.05 dan 0.10. Variabel pengeluaran pemerintah GOV dan ekspor EXPR berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan a = 110 0,20, sedangkan variabel seperti konsumsi masyarakat CS, impor IMP dan supply angkatan kerja tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan kesempatan kerja di sektor ini Tabel 10. Koefisien arah dari variabel upah riil, konsumsi masyarakat, impor dan dummy krisis ekonomi bertanda negatif, yang berarti bahwa peningkatan nilai dari variabel- variabel tersebut akan mereduksi kesempatan kerja sektor ini. Sedangkan variabel lainnya akan mendorong perluasan kesempatan kerja. Akan tetapi pengaruh masing- masing variabel terhadap perubahan kenaikanpenurunan kesempatan kerja di sektor ini relatif kecil dalam jangka pendek. Hal ini di didasarkan pada nilai elastisitas jangka pendek masing- masing variabel bersifat in-elastis. Namun dalam jangka panjang, perubahan kesempatan kerja sektor industri pedesaan ini sangat responsif terhadap perubahan variabel ekspor, impor dan nilai tambah sektor, ya ng ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka panjang variabel ini bersifat elastis. Dengan membandingkan hasil estimasi persamaan kesempatan kerja sektor industri di wilayah pedesaan dengan di wilayah perkotaan, maka terdapat perbedaan yang mendasar dalam dua hal yakni 1 TFPI di sektor industri pedesaan bersifat mendorong kesempatan kerja berkorelasi positif, sedangkan pada sektor serupa di wilayah perkotaan, bersifat mereduksi kesempatan kerja berkorelasi negatif. Perbedaan sifat TFPI ini dapat terjadi karena di sebabkan oleh dua hal yakni a Jenis teknologi yang berkembang di perkotaan cenderung hight technology industri padat modal, dengan sekala produksi yang besar, sehingga sehingga sangat menghemat tenaga kerja. Sedangkan teknologi industri pedesaan umumnya teknologi sederhana atau industri padat karya, yang sifatnya tidak banyak menghemat tenaga kerja. b “Efek substitusi” lebih besar dibandingkan “efek nilai tambah” yang ditimbulkan dari teknologi di industri perkotaan, sehingga “efek total” teknologi bersifat negatif terhadap kesempatan kerja pada industri perkotaan. Teknologi pada industri pedesaan memberikan “efek nilai tambah” lebih besar, sehingga secara total, teknologi pada industri pedesaan menghasilkan efek yang bersifat positif dengan kesempatan kerja. Efek nilai tambah terhadap kesempatan kerja, ditunjukkan oleh nilai elastisitas variabel nilai tambah industri NTBI yang memang lebih besar pada industri pedesaan 111 dibandingkan nilai elastisitas variabel serupa pada industri perkotaan. -- Sebagai faktor produksi, teknologi tidak hanya menimbulkan “efek substitusi” dengan faktor produksi tenaga kerja, tetapi juga menimbulkan “efek peningkatan nilai tambah” yang bersifat positif dengan kesempatan kerja. Apabila efek substitusi melebihi efek nilai tambah, maka efek total dari teknologi akan mereduksi kesempatan kerja, sebaliknya apabila efek substitusi lebih kecil dari efek nilai tambah, akan mendorong perluasan kesempatan kerja . Hasil ini juga diperkuat oleh temuan Nordhaus 2005 dalam Siregar 2006, yang menunjukkan bahwa peningkatan teknologi pada sektor padat karya seperti pertanian dan industri agro justru meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Logikanya adalah bahwa kenaikan produktivitas dan daya saing produk sektor tersebut akan menyebabkan harga jual yang lebih kompetitif, sehingga meningkatkan permintaan terhadap produk itu. Kenaikan permintaan ini pada gilirannya meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Temuan Juanda 2001, juga menunjukkan bahwa pembangunan agroindustri akan memberi beberapa keuntungan yaitu penyerapan tenaga kerja, pasar untuk komoditi pertanian, kemampuan ekspor dan relaif sedikit komponen bahan baku impornya. Perbedaan kedua adalah dampak konsumsi masyarakat CS, dimana pada persamaan kesempatan kerja industri kota signifikan mendorong perluasan kesempatan kerja di sektor ini, akan tetapi cenderung mereduksi kesempatan kerja industri pedesaan. Hal ini disebabkan, karena peningkatan kosumsi masyarakat yang disertai oleh peningkatan pendapatan, akan menyebabkan pegeseran pola permintaan masyarakat ke komoditibarang yang bersifat lux atau barang yang berkualitas bagus. Hasil industri seperti ini umumnya di produksi di wilayah perkotaan. Sementara hasil industri pedesaan yang kualitasnya rendah atau bersifat inferior biasanya permintaannya menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Adanya pergeseran pola permintaan barang hasil industri tersebut, tentunya juga akan berdampak pula pada pergeseran permintaan tenaga kerja sektor industri. Hasil pendugaan persamaan kesempatan kerja industri pengolahan di perkotaan dan di pedesaan juga memiliki karakteristik yang mirip, terutama pada 112 tiga hal yakni 1 sektor industri pengolahan perkotaan dan pedesaan sama-sama mengalami kemerosotan tajam pada saat terjadinya krisis ekonomi, yang ditunujukkan oleh koefisien korelasi variabel dummy krisis ekonomi bertanda negatif di masing- masing persamaan; 2 persamaan kesempatan kerja pada kedua sektor ini, juga sama-sama memiliki koefisien korelasi angkatan kerja yang sangat kecil dan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah merupakan sektor penampung para pekerja sementara, seperti halnya di sektor pertanian; 3 Koefisien korelasi variabel pengeluaran pemerintah terhadap persamaan kesempatan kerja industri pengolahan perkotaan dan pedesaan sama- sama bertanda positif, sedangkan di sektor pertanian variabel ini bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah cenderung bias industri pengolahan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kesempatan Kerja Sektor Lainnya di Pedesaan , Hasil pendugaan variabel- variabel penjelas pada persamaan kesempatan kerja sektor lainnya di pedesaan menunjukkan bahwa, kesempatan kerja di sektor ini dipengaruhi oleh investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor, dummy krisis ekonomi dan peningkatan angkatan kerja. Variabel- variabel ini signifikan pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05 dan 0.10. Sedangkan variabel konsumsi masyarakat, upah riil WLD, teknologi TFPL dan nilai tambah sektor NTBL tidak memberi pengaruh yang signifikan. Dari variabel-variabel yang memberi pengaruh signifikan tersebut, hanya variabel impor dan dummy krisis ekonomi yang brsifat mereduksi korelasi negatif kesempatan kerja sektor lainnya di pedesaan. Dilihat dari nilai elastisitas masing- masing peubah penjelas, tampak bahwa variabel seperti konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah dan ekspor dan impor memiliki nilai elastisitas jangka pendek yang bersifat elastis. Hal ini diartikan bahwa jika terjadi peningkatan 1 persen pada variabel tersebut akan berdampak besar meningkat diatas 1 persen pada penigkatan kesempatan kerja di sektor lainnya di pedesaan. Bahkan dalam jangka panjang respon kesempatan kerja di sektor ini terhadap perubahan variabel tersebut lebih besar lagi lebih elastis . Gambaran ini menunjukkan bahwa, ada kecenderungan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar dalam jangka panjang di sektor ini sejalan 113 dengan meningkatnya ekspor dan peningkatan konsumsi masyarakat, serta sejalan dengan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah yang selama ini banyak diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur pedesaan.

5.4.3. Upah Riil Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan