Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral

123 tidak akan berdampak besar pada peningkatan upah tenaga kerja. Sementara sektor serupa di pedesaan yang umumnya tidak menggunakan standar upah yang bersifat fixed cost, tapi tergantung pada volume pekerjaan atau kondisi keuntungan usaha, sehingga ketika nilai produksi keuntungan usaha meningkat maka tenaga kerja juga akan memperoleh upah yang lebih besar.

5.4.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral

Model analisis persamaan pertumbuhan ekonomi dibangun untuk melihat pengaruh masing- masing sumber pertumbuhan baik dari sisi supply maupun dari sisi demand pendapatan regional Sulawesi Selatan. Dari sisi supply-nya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan PE merupakan fungsi dari pertumbuhan tenaga kerja PTK, pertumbuhan Investasi PINV dan pertumbuhan teknologi TFP yang dinyatakan dalam satuan persen. Sedangkan dari sisi demand, pertumbuhan ekonomi adalah fungsi konsumsi masyarakat CS, investasi INV, pengeluaran pemerintah GOV, Ekspor EXPR dan impor IMP yang dinyatakan dalam satuan Rp. juta dengan menggunakan harga konstan tahun 2000. Pada persamaan pertumbuhan ekonomi ini, variabel pengeluaran pemerintah GOV merupakan variabel endogen, yang dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah PAD, Dana Perimbangan DP dan PDRB. Selanjutnya model analisis yang dibangun pada persamaan nilai tambah bruto sektoral, dimana nilai tambah pada masing- masing sektor merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja sektoral, penaman modal sektoral serta produktivitas tenaga kerja sektoral. Hasil pendugaan parameter peubah penjelas terhadap persamaan pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi supply, tampak bahwa pertumbuhan tenaga kerja PTK, pertumbuhan modal PINV dan pertumbuhan faktor residual TFP berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada kesalahan a = 0.10. Variabel- variabel ini memiliki hubungan korelasi positif dengan variabel dependennya, yang berarti apabila terjadi peningkatan dari variabel tersebut akan diikuti oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika dilhat dari responsi pertumbuhan ekonomi terhadap variabel sumber-sumber pertumbuhan dari sisi supply ini, tampak bahwa pertumbuhan ekonomi lebih responsif terhadap 124 pertumbuhan input residual TFP, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendek paling besar yakni sekitar 0.3242, kemudian diikuti oleh pertumbuhan modal dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.2020. Pertumbuhan tenaga kerja memiliki elastisitas paling kecil yakni 0.1758. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, tidak didorong sektor-sektor yang padat karya, tetapi sektor yang padat modal dan padat teknologi lebih banyak berkembang. Selanjutnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan demand menunjukkan bahwa semua variabel dari sumber-sumber ini juga berpengaruh signifikan hingga tarap kesalahan a = 0.01, kecuali variabel konsumsi masyarakat CS signifikant pada tingkat kesalahan a = 0.05. Dilihat dari nilai elastisitas masing- masing variabel pada sumber-sumber pertumbuhan dari sisi permintaan, menunjukkan bahwa variabel ekspor dan konsumsi msyarakat memiliki nilai elastisitas paling tinggi. Nilai elastisitas jangk a pendek variabel ekspor dan konsumsi masyarakat ini adalah sekitar 0.0248 dan 0.0229 yang artinya, bahwa ketika nilai ekspor mampu dilipat gandakan, maka pertumbuhan ekonomi dapat meningkat sekitar 2.48 persen. Sedangkan variabel yang memberi pengaruh paling kecil terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, dilihat dari segi elastisitas adalah variabel pengeluaran pemerintah GOV yakni sebesar 0.0139 yang artinya ketika variabel ini meningkat dua kali lipat sekalipun, maka pertumbuhan hanya meningkat sekitar 1.39 persen. Gambaran ini sekaligus menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, terutama di dorong oleh pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan konsumsi masyarakat. Padahal variabel konsumsi masyarakat ini bersifat mereduksi kesempatan kerja di sektor tertentu, terutama di sektor pertanian. Rendahnya kemampuan variabel konsumsi masyarakat dalam mengurangi tekanan pasar tenaga kerja dipandang sebagai salah satu jawaban atas puzzle pertumbuhan- pengangguan di Sulawesi Selatan. Kinerja pereknomian yang dapat mengurangi tekanan pasar tenaga kerja adalah apabila pertumbuhan ekonomi berbasis pada peningkatan investasi dan ekspor, karena kedua variabel ini secara konsisten berpengaruh signifikan terhadap perluasan kesempatan kerja di semua sektor. 125 Tabel 13 Hasil estimasi parameter persamaan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah sektoral di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004 Elastisitas PEUBAH Dugaan Parameter Probability t -Statistik JK Pendek JK Panjang PE Pertumbuhan Ekonomi Intersept -0.354928 0.1385 Pertumb. TK PTK 0.448443 0.0000 a 0.1758 0.2664 Pertumb. Investasi PINV 0.239133 0.0000 a 0.2020 0.3061 TFP Total TFP 0.624773 0.0000 a 0.3242 0.4912 Konsumsi Masy CS 9.05E-07 0.0249 b 0.0229 0.0347 Investasi INV 1.54E-06 0.0000 a 0.0158 0.0239 Pengel. Pemerintah GOV 0.0000019 0.0000 a 0.0139 0.0211 Expor EXPR 1.99E-06 0.0000 a 0.0248 0.0375 Impor IMP -1.94E-06 0.0000 a -0.0218 -0.0331 Lag Endogen Lag PE 0.334779 0.0001 a 0.3401 0.5153 R 2 = 0.9956; F-Hitung = 202.6395 a ; DW = 1.8717 GOV Pengeluaran Pemerintah Intersept -259280.2 0.6015 Pend. Asli Daerah PAD 1.198744 0.5715 0.0616 0.0864 Dana Perimbangan DP 0.18347 0.3595 0.0622 0.0873 Pend. Regional Bruto PDRB 0.128561 0.0222 b 0.7754 1.0869 Lag Endogen Lag GOV 0.301977 0.2904 0.2866 0.4018 R 2 = 0.9058; F-Hitung = 31.2557 a ; DW = 1.8796 NTBP Nilai Tanbah Pert Intersept -341794.9 0.6468 Total K.Kerja pert. KP 0.824697 0.1072 0.1409 n.a Pen. Modal Pert PMP 19.48803 0.0001 a 0.2296 n.a Produktiv. TK Pert. PKP 1.330001 0.0000 a 0.7961 n.a R 2 = 0.9676; F-Hitung = 139.443 a ; DW = 1.4741 NTBI Nilai Tambah Industri Intersept -1216458 0.0101 b Total K.Kerja Industri. KI 5.652867 0.0059 a 0.3392 0.6656 Pen. Modal Industri PMI 1.622544 0.0115 b 0.2123 0.4165 Produktiv. TK Industri PKI 0.059015 0.0018 a 0.3477 0.6822 Lag Endogen Lag NTBI 0.533543 0.0000 a 0.4903 0.9619 R 2 = 0.9909; F-Hitung 355.3301 a; DW = 1.7084 NTBL Nilai Tanbah Sektor Lain Intersept -10172175 0.0000 a Total K.Kerja S.Lain. KL 10.85187 0.0000 a 0.8012 0.9806 Pen. Modal Sek. Lain PML 1.799773 0.0181 b 0.1287 0.1575 Produktiv. TK S.Lain PKL 0.765203 0.0000 a 0.7792 0.9536 Lag Endogen Lag NTBL 0.193716 0.1762 0.1829 0.2239 R 2 = 0.9955; F-Hitung = 711.8868 a; DW = 1.2255 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004 Pada persamaan pertumbuhan ekonomi tersebut, variabel pengeluaran pemerintah merupakan variabel yang bersifat endogen yang dalam model dipengaruhi oleh variabel yang merupakan sumber-sumber utama penerimaan pemerintah daerah yakni dari PAD dan dana perimbangan, selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah yang dicirikan oleh variabel PDRB. Berdasarkan hasil estimasi pada persamaan pengeluaran pemerintah ini, maka tampak bahwa PAD dan dana perimbangan DP tidak memberi pengaruh 126 yang signifikan, sedangkan variabel PDRB signifikan pada tarap a = 0.05. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa mainstream pemerintah daerah yang selama ini berorientasi meningkatkan PAD, tidak akan berdampak banyak pada peningkatan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya perbaikan kondisi perekonomian peningkatan PDRB, justru dapat memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah GOV yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka panjang yang cukup besar yakni sekitar 1.0869 yang artinya ketika PDRB meningkat 1 persen, maka pengeluaran pemerintah dapat meningkat 1.0869 persen. Namun, mainstream pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD, seringkali bersifat trade off dengan kondisi perekonomian PDRB, karena peningkatan PAD berarti mengoptimalkan penarikan pajak dan retribusi dapat menimbulkan “biaya ekonomi tinggi” bagi sektor riil usaha-usaha produktif, sehingga hal ini tentunya dapat berdampak pada kontraksi pertumbuhan PDRB. Dengan demikian, hasil estimasi pada persamaan ini dapat dinterpretasikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, hendaknya lebih berorientasi pada perbaikan kondisi perekonomi peningkatan PDRB, dari pada berorientasi meningkatkan PAD. Selanjutnya pada persamaan-persamaan nilai tambah sektoral, secara konsisitem di ketiga persamaan nilai tambah sektoral yang dirumuskan, dimana seluruh variabel seperti tenaga kerja sektoral, penanaman modal sektoral dan produktivitas tenaga kerja sektoral berpengaruh pada nilai tambah sektor pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05, kecuali variabel tenaga kerja sektor pertanin berpengaruh pada nilait tambah bruto sektor pertanian berpengaruh pada tingkat kesalahan a = 0.15. Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas variabel tenaga kerja ini, tampak bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap nilai tambah bruto sektor paling kecil terjadi di sektor pertanian, sedangkan nilai elastisitas variabel serupa di sektor industri dan sektor lainnya cukup besar. Gambaran ini menunjukkan bahwa tenaga kerja di sektor pertanian sudah menghampiri ambang batas kejenuhan. Dengan kata lain pertambahan tenaga kerja di sektor pertanian tidak memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pertambahan nilai tambah. Rendahnya pengaruh tenaga kerja pertanian terhadap nilai tambah pertanian ini, mungkin merupakan jawaban pada persamaan sebelumnya, dimana pertumbuhan 127 ekonomi kurang responsif terhadap pertumbuhan tenaga kerja total di Sulawesi Selatan, mengingat lebih dari 50 persen tenaga kerja yang ada di Sulawesi Selatan menggantungkan hidupnya di sektor ini terutama di sektor pertanian di wilayah pedesaan. Untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian yang cukup berarti, maka haruslah berbasiskan pada pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Hal ini dilihat dari tingkat signifikansi dan besarnya nilai elastisitas variabel ini terhadap nilai tambah sektor yakni sekitar 0.7961 yang artinya apabila produktivitas tenaga kerja meningkat 10 persen, maka pertumbuhan nilai tambah pertanian dapat meningkat sekitar 7.96 persen. Peningkatan produktivitas ini dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani atau melalui peningkatan modal dan teknologi.

5.4.5. Produktivitas Kerja Sektoral