Tema Unsur Intrinsik Prosa

meluapkan kerinduan Dimas dan teman-temannya terhadap Indonesia. Seperti kutipan novel dibawah ini: “Untuk restoran kita.” Kami saling memandang. “Apa ya namanya, Mas Nug?” Risjaf bertanya. Mas Nug melirikku. “Kita tanya pada sang penyair.” Aku menatap kawanku satu per satu. Ada yang hilang di sana. Seharusnya ada lima. “Kita,” aku menghela nafas, “adalah empat pilar dari Restoran Tanah Air.” Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku. 5 Pada akhirnya, penantian Dimas selama berpuluh-puluh tahun akhirnya berhenti saat ajalnya memanggil dan dia bisa beristirahat dengan tenang, berpulang di tanah Indonesia yang dia cintai. Hal ini dikisahkan oleh Lintang, putrinya, sebagai berikut: Tetapi di balik semua kisah itu, Ayah juga menyelipkan keinginannya yang hampir berbunyi seperti wasiat. “Seperti Bhisma, aku juga ingin memilih tempatku bersemayam terakhir kali,” katanya setengah menggumam. Semula aku menyangka Ayah ingin dimakamkan di sana, bersama para sastrawan, musikus, dan filsuf pujaannya. Tentu saja itu mustahil. Baru belakangan aku sadar, Ayah sebetulnya mempunyai mimpi untuk bisa dimakamkan di Indonesia. Ketika Ayah memperkenalkan puisi karya penyair Indonesia, Chairil Anwar, barulah aku paham: Ayah ingin dimakamkan di sebuah tanah bernama Karet, yang terdengar begitu puitis di telingaku. 6 Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang berbeda dengan tanah Cimetiere du Pere Lachause. Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang. 7 b. Lintang Utara Lintang Utara merupakan anak semata wayang Dimas Suryo dan Vivienne Deveraux. Hidup sederhana sejak kecil dan dicintai oleh kedua orangtuanya 5 Ibid., h. 104. 6 Ibid., h. 154. 7 Ibid., h. 447. memang pernah dialami oleh Lintang. Akan tetapi, asal-usul sang ayahnya yang tidak jelas dan penuh misteri menjadikannya kehilangan identitas. Dia terombang- ambing dengan rasa nasionalisme apa yang seharusnya ada di dalam dirinya. Sebagai seorang Prancis namun memiliki darah Indonesia yang tidak dia kenal: Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran. 8 Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak kukenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain bernama Prancis. ... Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dalam diriku itu. 9 Kehidupan Lintang semakin hampa tatkala kedua orangtuanya berpisah. Perceraian kedua orangtuanya membawa dampak pada dirinya untuk bersikap tidak peduli terhadap ayahnya dan segala hal yang berhubungan dengan ayahnya, termasuk Indonesia. Namun, nasib membawanya untuk datang ke Indonesia. Penelitiannya terhadap Indonesia membuka satu per satu masa lalu sang ayah yang selama ini tidak dapat dia pahami. Rasa cintanya terhadap Indonesia perlahan muncul, begitu pula dengan rasa cintanya terhadap sang ayah. Tragedi 1998 menambah pula pemahamannya terhadap Indonesia, tempat yang selalu dicita-citakan oleh sang ayah sebagai tempat untuk pulang. Seperti yang dapat telah dijabarkan oleh Leila S. Chudori dalam novel tersebut: Ayah dan Maman yang saya cintai, Saya tak akan bisa menjawab pertanyaan saya sendiri. Apa yang bisa saya petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. ... 10 Teriakan „reformasi‟ itu menonjok gendang telinga, sementara dari arah lain terdengar sayup-sayup rombongan mahasiswa menyanyikan sebuah lagu balada yang liriknya kukenal betul: “...aku mendengar suara jerit makhluk terluka...orang memanah rembulan...,” 8 Ibid., h. 137. 9 Ibid., h. 137. 10 Ibid., h. 413.