Situasi Indonesia Setelah Tragedi September 1965
Jaksa. Selama pemeriksaan inilah para korban mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti penganiayaan, perkosaan, bahkan sampai kepada pembunuhan.
Selama dalam penahanan ini selain mengalami kekerasan, para korban juga sangat sedikit atau bahkan tidak diberi akses kepada keluarga, dan tidak diberi makanan
yang layak bahkan terdapat korban-korban yang sama sekali tidak diberi makanan. Beberapa saksi menerangkan méreka melihat tahanan-tahanan lain me-
ninggal karena kekuarangan makanan. Sebagian kecil tahanan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses pengadilan yang dianggap oleh para korban
sebagai pengadilan yang tidak jujur dan fair. Hukuman penjara yang didapat sangat maksimal bahkan beberapa orang mendapat huku- man mati. Sebagian
tahanan, pada tahun-tahun berikutnya dipindahkan ketempat-tempat kamp pengasingan seperti pulau Buru dan Nusakambangan.
69
Seperti yang diperlihatkan oleh Leila dalam novel Pulang-nya.
Ketika aku mengambil segelas es leci, aku mendengar beberapa lelaki yang jelas tengah terlibat dalam debat.
“Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?” “Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?”
“Sudah pada Bersih Lingkungan?” “Kan itu larangan bagi tapol untuk bekerja jadi PNS. Atau jadi
guru atau wartawan. Cuma d atang ke pesta, memang kenapa?”
70
Ada sesuatu tentang Ayah dan Indonesia yang selalu ingin kupahami. Bukan Cuma soal sejarah yang penuh darah dan persoalan
nasib para eksil politik yang harus berkelana mencari negara yang bersedia menerima mereka. ada sesuatu yang membuat Ayah selalu peka terhadap
penolakan. Aku mulai memahami sedikit demi sedikit ketika dia begitu obsesif bercerita tentang Ekalaya.
71
Dalam kutipan novel di atas mengingatkan kita tentang Intruksi Menteri Dalam Negeri No.321981 dan Pedoman Pelaksanaannya yang menjadi dasar
pencantuman kode-kode khusus dalam Kartu Tanda Penduduk ex-tapol, yang terkenal dengan ET. Instruksi Mendagri No. 321981 tentang Pembinaan dan
69
Roichatul Aswadiah dan Muhammad Nurkhoiron, e-book Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, Jakarta: KOMNASHAM RI, tanpa
tahun h. 27.
70
Leila, op. cit., h. 161.
71
Leila, op. cit., h. 183.
Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30SPKI, para Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30SPKI mendapat perlakuan yang
sangat diskriminatif. karena peraturan ini, maka diskriminasi ini tak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka. Seperti
yang diungkapkan Leila S. Chudori melalui kutipan novel Pulang: Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari.
Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan, berubah keluarga...segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari
kami terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya sendiri. Gangguan, atau Mas Nug lebih suka menyebutnya
„tantangan‟, yang kami hadapai datang bertubi-tubi. Karena itu, setelah keberhasilan malam pembukaan ini membutuhkan antagonis.
72
Peraturan yang ditetapkan kepada para eks-tapol, mereka terkena tekanan mental yang luar biasa dengan adanya momok „bersih lingkungan‟, mereka
sampai harus membuat surat keterangan tidak terlibat G30SPKI. Mereka membuat surat keterangan tersebut agar dapat mengurangi beban mental, agar
mereka lebih diterima oleh masyarakat pada masa itu. Bahkan untuk sekolah, menjadi PNS, atau bekerja di instansi-instansi pemerintah pada masa tersebut
wajib di screening secara mendetail oleh intelejen demi terlaksananya „bersih diri‟
dan „bersih lingkungan‟. Dengan adanya Instruksi Mendagri No. 321981 tentang Pembinaan dan
Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30SPKI. Pada masa Orde Baru, banyak dari istri dan anak-anak yang terlantar, atau yang dijauhi
oleh sanak-saudaranya sendiri. Adik dan kakak atau mertua, yang segan mendekati mereka, karena takut kalau
dicap “tidak bersih lingkungan”. Dapat dilihat pada kutipan novel di bawah ini, bagaimana Leila S. Chudori
menggambarkan dengan jelas dan tegas ketegangan yang terjadi pada masa tersebut:
“Kasian loo, di KTP mereka harus diletakkan tanda ET. Terus, Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di media sekarang
menggunakan nama samaran. Lha tapi kami semua tahuu kalau Sinar Mentari itu ya nama samaran Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas
72
Leila, op. cit., h. 120.