Eks Tahanan Politik Indonesia

Muuuur. Bikin nama samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu lo, anak-anaknya sekarang ikut-ikut kerja di media. Pake nama samaran juga. Rupanya sedang jadi model menggunakan nama samaran. Ya bapak, ya anak, semuanya samar- menyamar.” Dia terkikik begitu lama dan panjang hingga aku teringat adegan Bima menyobek mulut Sangkuni dalam Bharatayudha. h. 125 Perlakuan para diplomat KBRI pun selalu tak ramah terhadap para eks tahanan politik. Dikarenkana adanya instruksi tersebut pada masa Orde Baru tentang ke bijakan “Bersih Diri” dan “Bersih Lingkungan”.

c. Rezim Presiden Soeharto

Masa-masa di sekitar tahun 1970-an adalah saat upaya perubahan struktur politik dimulai. Orde Baru yang telah menghadapi masa kritis transisi Orde Lama ke Orde Baru sudah tentu perlu landasan politik yang lebih kukuh, tidak semata- mata untuk mempertahankan Orde Baru, tetapi juga untuk memberikan landasan politik yang lebih sehat. 73 Sesuai dengan tekad untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen, acuan berpikir sudah tentu harus ke sana. Dan kenyataan ini harus dihadapi dengan kebesaran jiwa, mendahulukan kepantingan bangsa dan negara daripada kepentingan golongan atau pribadi. Meskipun kekuatan Orde Baru memang berada di mana-mana, tetapi hasil yang dicapai oleh Golongan Karya memang pantas menjadi tolok ukur yang utama. Transisi Orde Lama ke Orde Baru, adalah memang wajar diwarnai pergeseran peranan politik parpol ke Golkar. Dan mampukah Golkar memenangkan Pemilu? Pertanyaan seperti ini wajar, mengingat peranan PNI dan NU yang mungkin masih besar. Tetapi, pada akhirnya memang Pemilu terselenggarakan juga pada tahun 1971. Golkar ternyata dapat memenangkan Pemilu dan sebaliknya PNI mengalami kemundiran yang luar biasa, NU relatif stabil. 74 Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah jelas aku tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Kementerian Pertanian 73 Sulastomo, op. cit., h. 273. 74 Sulastomo, op. cit., h. 274. itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan sesekali mendistribusikannya dalam newsletter untuk teman-teman sesama eksil politik di Eropa. Aku mendapat kabar dari rekan-rekan yang bekerja di media di Jakarta tentnag perkembangan terbaru, misalnya pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden Soeharto. Aku juga mendengar, beberapa intelektual seperti sosiolog Arief Budiman mengkritik proyek ini. perkembangan politik yang semakin mengerikan adalah bagaimana partai politik semakin dikuasai eksekutif, dan bagaimana anggota parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka belaka. Itu kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada kawan-kawan sejawat di Eropa. Newsletter dengan tenaga gratis itu ternyata cukup populer sehingga jika sumbangan yang masuk sudah cukup banyak, aku bisa mencetaknya dalam bentuk seperti koran, dengan bantuan desain Risjaf. 75 Perjalanan bangsa terus berlangsung, Presiden Soeharto selalu berhasil mengemudikan kapal bernama Indonesia melalui badai demi badai yang memang harus dihadapi dan dimenangkan. Namun, tidak demikian yang terjadi ketika badai topan baru bernama “krisis moneter global” menimpa kawasan Asia pada 1997. Kapal besar yang dikemudikan Pak Harto oleng terkena imbasnya, setelah badai krisis moneter itu juga meremukkan perekonomian Thailand. Tapi puluhan tahun berlalu dan Sang Jenderal semakin kuat dan semakin ditakuti. Mungkin gaya pemerintahan Indonesia tidak sama dengan gaya para jenderal di negara-negara Amerika Latin. Tapi Sang Jenderal masih mencengkeram takhtanya dengan kuat. 76

d. Tragedi dan Reformasi Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Setiap tahun selalu ada yang memperingatinya. Namun dengan berlalunya waktu, tidak banyak yang mengetahui atau ingat gambaran besarnya, di mana benang merah yang mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian lain, dan apa yang ada di balik suatu peristiwa atau rentetan peristiwa. Kerusuhan Mei 1998 telah menyebabkan tragedi besar, dalam, dan berkepanjangan bagi banyak komunitas dan keluarga, tapi juga telah mengangkat ke permukaan segi-segi positif dari rasa kemanusiaan yang masih inheren dalam masyarakat Indonesia. 75 Leila, op. cit., h. 86 76 Leila, op. cit., h. 204 Di Jakarta, mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan akademisi mulai menyuarakan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Namun dalam aksi-aksinya pengunjuk rasa ini menghadapi bahaya fisik serius, k arena aparat keamanan langsung dikerahkan untuk “mengamankan” mereka. Kendati demikian, aksi-aksi ini tidak berhenti begitu saja. Tiap hari ada saja sejumlah pendemo yang ditangkapi lalu ditahan. 77 Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan, mimbar bebas mahasiswa —yang sudah berlangsung sejak 1 Mei—pasti akan sangat panas pada puncaknya, tanggal 20 Mei. Informasi ini sudah beredar di kalangan mahasiswa, baik yang tergabung dalam Forkot kalau tak salah ini singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra-kampus yang terdiri dari belasan perguruan tinggi maupun mahasiswa, aktivis, dan para wartawan. Saya yakin para lalat —maaf saya sudah mulai tertular menggunakan istilah Alam —yang mendengung juga sudah menyampaikan info ini kepada keamanan, karena di kampus mana pun yang saya kunjungi sejak tanggal 9 Mei lalu penjagaan sangat ketat. 78 Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang mengahdiri aksi berkabung ini. Aku melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung Nasution. 79 Di Jakarta, Mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan akademisi mulai menyerukan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto. Gejolak politik ini terkait juga dengan situasi perekonomian yang semakin buruk akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan Asia seperti Thailand, Korea Selatan, dan Filipina, di samping Indonesia. Nilai tukar rupiah terus melorot, kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok, dan lain- 77 Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Jakarta: PT Kompas Media, 2014, h. 21 78 Leila, op. cit., h. 410 79 Leila, op. cit., h. 415 lain. 80 Suasana pada saat kerusuhan terjadi digambarkan oleh Leila sebagai berikut: “Selama kau tidur tadi, entah sudah berapa mobil dibakar, toko- toko dijarah. Mita sudah diantar Agam ke Bintaro. Kalau sudah begini, baisanya warga pemukiman akan saling koordinasi mencari cara pencegahan agar jangan sampai terjadi apa-apa dengan rumah dan keluarga mereka.” Aku tercengang. “Massa memasuki pemukiman? Lalu apa yang akan mereka lakukan?” “Apa saja. menjarah, merampok, apa saja yang dilakukan orang- orang keji yang blingsatan terutama jika sudah bergerak sebagai bagian dari gerombolan. Tapi mudah- mudahan itu tak terjadi,” kata Alam mencoba menenangkan aku, meski aku merasa dia menenangkan dirinya sendiri. “Tapi ada sesuatu yang khas tentang psikologi kelompok di negeri ini. begitu bergerombol, tinggal teriak „maling‟ atau „komunis‟, tanpa tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan kena hajar.” 81 Masyarakat jadi anarkis, mereka menjarah, membakari toko-toko dan pusat perbelanjaan yang rata-rata milik etnis Tionghoa. Gadis-gadis dan wanita Tionghoa diperkosa. Situasi semakin parah dan tidak terkendali, menimbulkan kemarahan, rasa dikhianati, rasa dijadikan korban, dan rasa putus asa yang merebak di kalangan rakyat yang merasa kehilangan pegangan. 82 Demonstrasi terjadi di berbagai tempat, terutama di kampus-kampus dan sekitarnya. Di tengah suhu politik yang memanas itu Pak Harto berangkat menghadiri KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Di Tanah Air, demonstrasi mahasiswa semakin menjadi. Pada 12 Mei 1998 suasana kian chaos akibat ditembaknya empat Mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi di bawah Jembatan Semanggi: Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya merekam orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi 80 Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik Lobi Politik Para Penguasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 118. 81 Leila, op. cit., h. 424. 82 Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Jakarta: PT Kompas Media, 2014, h. 22.