Unsur Intrinsik Prosa Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, 2 sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan 3 sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga. 30

D. Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik merupakan suatu pendekatan yang setelah menyelidiki karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu dihubung-hubungkan hasil temuan itu dengan realita objektif. Betapapun sebuah karya sastra sebagai otonom tetap masih mempunyai hubungan dengan sumbernya, dan sampai sejauh mana hubungan tersebut perlu diselidiki lebih lanjut. Otonomi sastra tidak berarti menghambat pencaharian hubungan data imajinatif dengan data normatif dan data praktis dalam masyarakat yang menghidupkan dan menyuburkan karya satra tersebut. 31 Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas. 32 Jadi, pendekatan mimetik adalah kritik yang membahas dan menilai karya sastra dihubungkan dengan realita atau kenyataan. Dalam kritik ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Karya sastra dianggap refleksi, tiruan, ataupun cermin dari realitas. Menurut Abrams, pendekatan mimetik atau mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada dibawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya satra seni berusaha menyucikan jiwa 30 Siswanto, op. cit. h. 152. 31 Hasanuddin, op. cit., h. 108. 32 Siswanto, op. cit., h. 188. manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri. 33 Dalam pandangan Lowenthal sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan meurjuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak diimajinasikan. Karya sastra pada dasarnya merupakan karya ekspresif seorang pengarang, tetapi di dalamnya juga kadang terungkap data yang menyangkut keadaan sosial dari periode tertentu. Keadaan sosial seperti struktur sosial, kelas sosial, dan lembaga-lembaga sosial, bahkan penggambaran keadaan sosial itu cenderung lebih mendekati kenyataan dan tidak dilukiskan semata-mata menurut fantasi atau imajinasi yang bebas. 34

E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra adalah agar 1 peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan 2 peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. 35 Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi 33 Nyoman, op. cit., h. 70. 34 Dudung Abdurrahman, M.Hum, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 35. 35 Siswanto, op. cit., h. 212. kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra puisi, prosa, drama baik karya asli maupun saduranterjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya satra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati puisi, prosa, drama dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. 36 Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. 37 Pembelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan isi dan jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu, maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena itu, 36 Siswanto, op. cit., h. 212. 37 Euis Sulastri, Dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia 2, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008, h. iv. sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Proses pembelajaran tetap berada pada aktivitas peserta didik sebagai subjek. 38 Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun demikian, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pada pengajaran sastra yang dasarnya mengemban misi afektif memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya yang memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai –baik dalam konteks individual maupun sosial. Sastra memang tidak bisa dikelompokan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam prakteknya, pembelajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.

F. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian berjudul Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot Robert Stanton penulis Eko Sulistyo mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2014. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur plot novel Pulang karya Leila S. Chudori. Pengetahuan mengenai struktur plot berguna untuk meningkatkan apresiasi pembaca terhadap novel Pulang. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis struktur plot novel Pulang dengan cara mendeskripsikan strukturnya terlebih dahulu, kemudian mendeskripsikan aspek estetisnya. Teori yang digunakan adalah teori struktural Robert Stanton. Robert Stanton menekankan pentingnya fungsi dalam struktur sebuah karya sastra. Dalam plot Pulang, deskripsi identitas dan 38 Euis, op. cit., h. iv.