Rezim Presiden Soeharto Indonesia Periode 1966-1998

lain. 80 Suasana pada saat kerusuhan terjadi digambarkan oleh Leila sebagai berikut: “Selama kau tidur tadi, entah sudah berapa mobil dibakar, toko- toko dijarah. Mita sudah diantar Agam ke Bintaro. Kalau sudah begini, baisanya warga pemukiman akan saling koordinasi mencari cara pencegahan agar jangan sampai terjadi apa-apa dengan rumah dan keluarga mereka.” Aku tercengang. “Massa memasuki pemukiman? Lalu apa yang akan mereka lakukan?” “Apa saja. menjarah, merampok, apa saja yang dilakukan orang- orang keji yang blingsatan terutama jika sudah bergerak sebagai bagian dari gerombolan. Tapi mudah- mudahan itu tak terjadi,” kata Alam mencoba menenangkan aku, meski aku merasa dia menenangkan dirinya sendiri. “Tapi ada sesuatu yang khas tentang psikologi kelompok di negeri ini. begitu bergerombol, tinggal teriak „maling‟ atau „komunis‟, tanpa tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan kena hajar.” 81 Masyarakat jadi anarkis, mereka menjarah, membakari toko-toko dan pusat perbelanjaan yang rata-rata milik etnis Tionghoa. Gadis-gadis dan wanita Tionghoa diperkosa. Situasi semakin parah dan tidak terkendali, menimbulkan kemarahan, rasa dikhianati, rasa dijadikan korban, dan rasa putus asa yang merebak di kalangan rakyat yang merasa kehilangan pegangan. 82 Demonstrasi terjadi di berbagai tempat, terutama di kampus-kampus dan sekitarnya. Di tengah suhu politik yang memanas itu Pak Harto berangkat menghadiri KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Di Tanah Air, demonstrasi mahasiswa semakin menjadi. Pada 12 Mei 1998 suasana kian chaos akibat ditembaknya empat Mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi di bawah Jembatan Semanggi: Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya merekam orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi 80 Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik Lobi Politik Para Penguasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 118. 81 Leila, op. cit., h. 424. 82 Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Jakarta: PT Kompas Media, 2014, h. 22. juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka, darah kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan kaca tebal yang berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih „hidup‟ dan lebih jujur memberikan saksi. 83 Pada kutipan novel di bawah dipaparkan bahwa ribuan mahasiswa sudah menunggu kepulangan Soeharto dari KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Ribuan mahasiswa menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk meminta Soeharto turun dari kursi presiden. Jakarta, 16 Mei 1998 Ketika terdengar kabar Presdien Soeharto sudah mendarat di Jakarta kemarin, Alam dan kawan-kawannya tampak keranjingan. Bukan karena kehadirannya akan menyelesaikan persoalan, tetapi karena “saatnya Indonesia membuat perhitungan dengannya”. Gaya Gilang dan Alam seperti dua jenderal yang siap mengangkat senjata meski „senjata‟ mereka Cuma sikat gigi yang dibawa kemana- mana. Tetapi memang banyak harapan yang agak mengawang. Menurut Gilang, sejak kemarin dia mendengar banyak tokoh yang bertemu di beberapa tempat secara terpisah. Salah satunya dia mendengar dari berbagai sumber bahwa Nurcholis Madjid —yang dipanggil dengan nama Cak Nur oleh G ilang, dan aku lupa bertanya apa arti „cak‟—bertemu dengan beberapa tokoh atas undangan salah seorang petinggi militer di Markas Besar ABRI. Katanya, Nurcholis membaut semacam coret-coretan konsep yang perlu disampaikan kepada Presiden Soeharto. Isinya ada beberapa poin, tapi yang paling menarik dan membuat Gilang dan Alam seperti menang perang adalah Presiden diminta untuk tidak bersedia dipilih lagi dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan dalam waktu secepatnya. 84 Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma‟aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang, 83 Leila, op. cit., h. 414. 84 Leila, op. cit., h. 432