SINOPSIS NOVEL PULANG Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

diartikan sebagai kebersamaan, melainkan bagaimana dia mampu untuk melindungi dan mengayomi orang yang dia cintai. b. Lintang Utara yang terlahir dari dua orang tua yang berbeda kebangsaan dan besar di lingkungan keluarga yang hancur membuat Lintang Utara menjadi seorang wanita yang merasa tidak memiliki jati diri. Masa lalu ayahnya sebagai warga negara Indonesia yang „tidak tinggal‟ di Indonesia untuk alasan yang jelas membuatnya merasa jauh dan tidak mengenal Indonesia. Hingga nasib memilihnya untuk mengenal Indonesia secara langsung dengan datang sendiri ke Indonesia, dia harus menerima kenyataan bahwa Indonesia memang bagian dari dirinya yang hilang. Hanya dengan kedatangannya ke Indonesia itulah dia baru dapat memahami arti Indonesia baginya. Bahkan yang lebih penting dari itu, kedatangannya ke Indonesia memperat hubungannya dengan sang ayah karena Lintang akhirnya memahami betapa ayahnya memendam rasa rindu terhadap Indonesia tercinta.

2. Tokoh dan Penokohan

a. Dimas Suryo Dimas Suryo merupakan salah satu tokoh utama dalam novel Pulang ini. Bahkan, judul Pulang merujuk pada cita-citanya untuk bisa pulang ke Indonesia. Dimas Suryo, seorang wartawan Kantor Berita Nusantara terjebak teror pemusnahan orang-orang yang terkait atau diduga terkait gerakan kiri oleh pemerintah saat itu. Demi menjaga keselamatan dirinya dan juga teman-temannya, dia memutuskan untuk hidup terasing di beberapa negara hingga akhirnya menetap di Prancis. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan novel di bawah ini: Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan, kemanusiaan Dimas dan kawan-kawannya, hingga mereka harus memungut serpihan dirinya dan membangun itu semua kembali agar bisa kembali menjadi sekumpulan manusia yang memiliki harkat yang utuh. 1 Mungkin pada saat itulah Vivienne perlahan berhasil menjadikan Paris seperti rumah persinggahan. Bukan rumah. Tetapi rumah persinggahan. Lama-kelamaan matanya yang hijau terasa tulus dan menyediakan perlindungan bagiku, seperti sebatang pohon tanjung rindang yang melindungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan bayang- bayang. 2 Dimas Suryo lalu menikah dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita sekaligus aktivis mahasiswa Prancis pada saat itu. Selama menetap di Prancis, Dimas Suryo tidak bisa melupakan kekhawatirannya terhadap orang-orang yang dia cintai di Indonesia. Meskipun hidup jauh dari keluarga dan orang yang dia cintai, Dimas tetap memantau apa yang terjadi pada mereka. Cinta sejatinya, Surti Anandari yang manakala saat itu hidup menjanda karena suaminya, Hananto Prawiro ditangkap dan dieksekusi mati, melewati hari-hari yang keras bersama ketiga anaknya. Dimas Suryo dengan penuh kepedulian menemani Surti Anandari meski lewat surat menyurat. Bentuk perhatiannya tersebut membantu Surti dan ketiga anak-anaknya untuk bisa lebih tegar menghadapi kehidupan yang penuh ancaman. “Sungguh. Kini aku menghormati dan menyayangi Surti seperti sau dara. Dia adalah isteri Mas Hananto.” 3 Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri tak yakin. Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku berlompatan. Itu adalah nama-nama pemberianku. Aku tak pernah tahu apakah Mas Hananto meyadarinya. 4 Di belahan dunia lain, ketegaran dan perjuangan hidupnya bersama teman- teman setanah airnya mereka buktikan dengan membuat sebuah restoran khas Indonesia. Restoran Tanah Air, begitu mereka menamainya, telah menjadi wadah 1 Leila S. Chudori, Pulang, Jakarta: Gramedia, 2012, Cet. 2, h. 203. 2 Ibid., h. 84. 3 Ibid., h. 41. 4 Ibid., h. 41. meluapkan kerinduan Dimas dan teman-temannya terhadap Indonesia. Seperti kutipan novel dibawah ini: “Untuk restoran kita.” Kami saling memandang. “Apa ya namanya, Mas Nug?” Risjaf bertanya. Mas Nug melirikku. “Kita tanya pada sang penyair.” Aku menatap kawanku satu per satu. Ada yang hilang di sana. Seharusnya ada lima. “Kita,” aku menghela nafas, “adalah empat pilar dari Restoran Tanah Air.” Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku. 5 Pada akhirnya, penantian Dimas selama berpuluh-puluh tahun akhirnya berhenti saat ajalnya memanggil dan dia bisa beristirahat dengan tenang, berpulang di tanah Indonesia yang dia cintai. Hal ini dikisahkan oleh Lintang, putrinya, sebagai berikut: Tetapi di balik semua kisah itu, Ayah juga menyelipkan keinginannya yang hampir berbunyi seperti wasiat. “Seperti Bhisma, aku juga ingin memilih tempatku bersemayam terakhir kali,” katanya setengah menggumam. Semula aku menyangka Ayah ingin dimakamkan di sana, bersama para sastrawan, musikus, dan filsuf pujaannya. Tentu saja itu mustahil. Baru belakangan aku sadar, Ayah sebetulnya mempunyai mimpi untuk bisa dimakamkan di Indonesia. Ketika Ayah memperkenalkan puisi karya penyair Indonesia, Chairil Anwar, barulah aku paham: Ayah ingin dimakamkan di sebuah tanah bernama Karet, yang terdengar begitu puitis di telingaku. 6 Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang berbeda dengan tanah Cimetiere du Pere Lachause. Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang. 7 b. Lintang Utara Lintang Utara merupakan anak semata wayang Dimas Suryo dan Vivienne Deveraux. Hidup sederhana sejak kecil dan dicintai oleh kedua orangtuanya 5 Ibid., h. 104. 6 Ibid., h. 154. 7 Ibid., h. 447.