I. PENDAHULUAN UMUM
A. Latar Belakang
Kecenderungan pemakaian bahan alam terutama tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan semakin meningkat, karena mahalnya obat sintetik dan berbagai efek
sampingnya yang merugikan. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa tanaman menghasilkan senyawa aktif yang berkhasiat sebagai obat.
Diantara senyawa aktif yang dihasilkan oleh tanaman diantaranya protein bioaktif, yang biasanya digunakan sebagai protein pertahanan bagi tanaman
penghasilnya. Protein bioaktif tersebut diekspresikan pada berbagai organ dan jaringan, misalnya peptida antimikroba Snakin-1 SN1 dari umbi kentang. Snakin
mempunyai aktivitas anti bakteri dan anti jamur, menyebabkan agregasi pada bakteri gram negatif dan gram positif Segura et al. 1999. Protein anti jamur,
misalnya protein PR-5 dari daun labu Cucurbita sp. dan protein PR-5d dari daun serta akar tembakau. Keduanya mempengaruhi permiabilitas membran plasma,
sehingga menyebabkan kebocoran membran dan keluarnya material intraseluler dari organisme target Cheong et al. 1997; Koiwa et al. 1997. Protein antivirus
dari akar Bougainvillea spectabilis BAP 1 menunjukkan aktivitas penghambatan sintesis protein secara in vitro Balasaraswati et al. 1998. Protein anti virus
MAP 30 dari biji Momordica charanthia dan GAP 31 dari Gelonium multiflorum. Kedua protein tersebut menghambat infeksi virus HIV-1 dan perkembangbiakan
virus pada sel yang sudah terinfeksi dengan menghambat HIV-integrase dan menonaktifkan topologi HIV-LTR Huang et al. 1999. Protein penginaktivasi
ribosom ribosom inactivating protein = RIPs, menghambat sintesis protein pada organisme lain. RIPs bekerja dengan memotong N-glikosida pada Subunit besar
ribosom pada situs spesifik, akibatnya ribosom tidak dapat berinteraksi dengan faktor elongasi, sehingga menghambat perpanjangan rantai polipeptida Endo
et al . 1987; Jensen et al. 1999.
Protein bioaktif menarik perhatian para peneliti karena dapat dikembangkan potensinya sebagai senyawa toksik pada imunotoksin. Protein dikonjugasikan
dengan antibodi untuk mengenali sel target, sehingga tidak menyerang sel lainnya. Imunotoksin digunakan untuk perlakuan penyakit penting pada manusia seperti
kanker, AIDS dan penyakit degeneratif Minami et al. 1992; Girbes et al. 1993.
Protein bioaktif yang telah digunakan dalam imunotoksin antara lain protein antivirus dari daun dan biji Phytolaca americana PAP. PAP termasuk
kelompok protein penginaktivasi ribosom, yang dapat menahan serangan virus pada tanaman maupun manusia seperti virus influenza, herpes simplek, polio dan
HIV-1. PAP dikonjugasikan dengan antibodi TXU anti CD7 menjadi TXU-PAP untuk perlakuan sel yang terinfeksi HIV. Konjugat TXU-PAP sangat efektif
dalam menghambat perkembangbiakan HIV-1 in vitro, efisiensi pengham- batannya meningkat 400 kali dibanding dengan PAP, selain itu tidak toksik
terhadap sel-T Anonym, 1998. Untuk mendapatkan protein dari tanaman dapat diperoleh dengan
mengekstrak langsung tanaman yang berasal dari lapang, atau melalui kultur in vitro
. Keuntungan dari kultur in vitro adalah kultur dalam kondisi aseptik, lingkungan tumbuh dapat diatur, dan waktu relatif pendek. Kultur in vitro yang
sering dilakukan untuk memproduksi suatu metabolit adalah kultur sel dan kultur organ. Kendala yang sering terjadi antara lain pada tingkat sel seringkali metabolit
yang diinginkan tidak terbentuk, atau terbentuk tetapi jumlahnya sangat kecil. Sedangkan untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan sel atau jaringan
diperlukan zat pengatur tumbuh ZPT. Pemberian ZPT pada suatu kultur secara terus menerus dalam waktu lama dapat mengubah komposisi genetik sel, dan
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kestabilan metabolit yang dihasilkan Baiza et al. 1999.
Kultur in vitro yang lebih menjanjikan adalah kultur akar rambut hairy root
melalui bantuan Agrobacterium rhizogenes yang mampu mentransfer sebagian materi genetiknya T-DNA ke genom tanaman. Ekspresi T-DNA dari
plasmid Ri root inducing mengakibatkan tumbuhya akar adventif dari tempat infeksi. Keunggulan kultur akar rambut adalah akar dapat tumbuh dan
berkembang tanpa pemberian ZPT, karena terintegrasinya T-DNA dalam genom. Oleh karenanya dapat menurunkan biaya produksi dan mempunyai kestabilan
genetik tinggi, sehingga pertumbuhan kultur serta metabolit yang diproduksi juga lebih stabil.
Uji pendahuluan aktivitas protein dilakukan dengan uji kematian larva udang brine shrimp lethality test menggunakan larva Artemia salina mengikuti
metode Meyer 1982. Menurut Hostettmann 1991 metodenya sederhana,
bahannya mudah didapat, relatif murah, perlu waktu singkat, dan mempunyai korelasi positif dengan pengujian sitotoksisitas pada 3PS P-388 murine leukemia
in vivo .
Uji selanjutnya menggunakan galur sel kanker in vitro untuk mengetahui aktivitas protein dalam menghambat proliferasi sel kanker. Uji in vitro
menggunakan kultur sel dapat mengamati secara langsung pengaruh protein terhadap viabilitas sel Wilson, 1992. Uji in vitro sering dilakukan sebelum
melangkah ke uji in vivo karena lebih ekonomis dan cepat. Kanker adalah salah satu penyakit yang mendapat perhatian besar dalam
ilmu kedokteran. Dengan perubahan pola hidup serta tingginya polusi, penderita kanker semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Berbagai pengobatan
untuk penanggulangan penyakit kanker telah dilakukan, namun karena mahalnya biaya pengobatan dan dampak sampingnya yang berat semakin banyak dicari obat
alternatif dari alam antara lain tumbuh-tumbuhan.
B. Tujuan Penelitian