Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien 1. Koefisien fungsi respon produksi-soil depth

6.5. Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien 6.5.1. Koefisien fungsi respon produksi-soil depth Pendugaan parameter a dan b 1 pada fungsi produksi komoditas diperoleh dari hasil analisis regresi sederhana. Variabel tidak bebas explanatory variable adalah tingkat erosi setiap paket pola tanam yang menjadi variabel keputusan; sedangkan tingkat produksi merupakan variabel tidak bebas dependent variable. Data tingkat produksi merupakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara sub-bab 6.2; data tingkat erosi merupakan hasil perhitungan persamaan 6.13 dari data sekunder. Besaran parameter respon SD terhadap produksi, R, ditentukan secara sengaja yang didasarkan pada pengalaman peneliti lain seperti yang terdapat pada persamaan 4.7 sampai dengan persamaan 4.9. Besaran magnitude R dari komoditas dengan erosi tinggi tanaman sayuran adalah 0.99; untuk komoditas dengan erosi sedang tanaman pangan berkisar antara 0.95 hingga 0.96. Pada tanaman dengan erosi rendah tanaman tahunan sebesar 0.95. Upaya-upaya tersebut terpaksa dilakukan karena untuk mendapatkan besaran parameter fungsi respon produksi-soil depth dari hasil kajian aspek teknis relatif sulit, bahkan tidak tersedia.

6.5.2. Harga air untuk irigasi

Pendugaan harga air untuk pengairan PI didasarkan pada rata-rata produksi selama tahun 1998 hingga 2002; rata-rata produksi padi sawah dan tegal adalah sebesar 58.94 tonha dan 35.01 tonha. Rata-rata kebutuhan air irigasi padi sawah di wilayah hilir bendung Mrican sebesar 15 000 m 3 ha hasil perhitungan juru pengairan. Dengan mengaplikasikan persamaan 5.4, hasil pendugaan dapat dilihat pada Lampiran 7 baris kesatu.

6.5.3. Sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap pengairan dan industri

Perhitungan besarnya sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap debit irigasi maupun industri didasarkan pada debit penggunaan outflow bendung Mrican. Dasar pertimbangan yang menyertai adalah: 1 jumlah intake irigasi maupun debit irigasi terbesar terjadi pada bendung Mrican, 2 kebutuhan air irigasi untuk wilayah Wlingi Blitar dapat dipenuhi dari remaining basin, yang dicerminkan dari kondisi debit untuk pengairan lebih kecil daripada inflow remaining basin-nya, dan 3 kebutuhan air irigasi untuk wilayah Tulungagung dipenuhi dari daerah tangkapan air setempat dan outflow dari Waduk Wonorejo. Berdasarkan kuantitas total air irigasi di wilayah DAS kali Brantas dan total debit outflow Waduk Sutami tahun 2002, maka besarnya sumbangan outflow Sutami terhadap air baku untuk pengairan sebanyak 28.75. Besarnya persentase sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap debit irigasi maupun industri diperoleh dengan cara mengalikan antara persentase debit irigasi maupun industri terhadap debit inflow bendung Mrican dengan persentase outflow Sutami terhadap inflow bendung Mrican Lampiran 7 baris ke-2.

6.5.4. Biaya pengerukan per unit

Biaya pengerukan per m 3 sedimen didekati dengan nilai riil terdeflasi hasil perhitungan PERUM Jasa Tirta I 1998 yang dilakukan pada tahun 1998. Besarnya biaya pengerukan pada tahun 1998 sebesar Rp 4 500m 3 . Dengan menggunakan indeks harga konsumen tahun dasar 2003, besarnya biaya pengerukan menjadi Rp 7 517.23m 3 .

6.5.5. Pendugaan tingkat erosi

Besarnya tingkat erosi setiap pola tanam E ijk atau e ijk diestimasi dengan metode USLE The Universal Soil Loss Equation sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Wischmeier dan Smith 1978 dalam Ward and Elliot 1995. E ijk = R K LS C ijk P ijk 6.13 Dimana E ijk adalah tingkat erosi setiap tahun tonth dari fungsi lahan non budidaya intensif pada klasifikasi kemiringan ke-j dan lokasi Sub-sub DAS ke-k; e ijk merupakan tingkat erosi setiap tahun tonth dari aktivitas komoditas atau pola tanam ke-i dengan klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-j pada Sub- sub DAS ke-k; R dan K adalah indeks erosivitas hujan dan faktor erodibilitas tanah; LS merupakan faktor kemiringan dan panjang lereng; C ijk ialah faktor pengelolaan penutup vegetasi pada paket pola tanam menurut jenis penggunaan dan kemiringan lahan; dan P ijk adalah faktor penerapan konservasi pada paket pola tanam menurut jenis penggunaan dan kemiringan lahan.

6.5.6. Pendugaan sumbangan lahan terhadap inflow air

Sumbangan per hektar lahan terhadap inflow dari air masing-masing Sub- sub DAS didekati dengan proporsi lahan terhadap rata-rata debit inflow bulanan yang masuk dalam tahun 20022003. Rumusan dan hasil pendugaan dapat diikuti pada Lampiran 7 baris ke-3 dan ke-4.

6.5.7. Koefisien penyesuaian massa sedimen

Besaran pendugaan koefisien kp diperoleh dari rata-rata rasio antara massa sedimen hasil analisis pengukuran transportasi sedimen dan hasil perhitungan erosi yang terjadi pada tiga titik pengamatan. Rumusan dan hasil pendugaan dapat diikuti pada Lampiran 7 baris kelima.

6.5.8. Koefisien pengali volume sedimen

Besaran koefisien 0.93 pada persamaan 5.15c merupakan proporsi volume sedimen yang terdistribusi dalam elevasi ≤ 246.00 m pada Waduk Sutami. Koefisien tersebut adalah rasio antara total volume sedimen yang terdistribusi dalam elevasi ≤ 246.00 m dan total sedimen yang terjadi pada tahun 2003. Dari Tabel 5.2 kolom ke-8 dari hasil kajian Tim Peneliti Jurusan Teknik Pengairan 2003 a , diperoleh total volume sedimen yang tertahan pada elevasi 230.00 m hingga 272.50 m sebesar 0.83 juta m 3 ; sedangkan volume sedimen yang terdistribusi pada elevasi ≤ 246.00 m sebanyak 0.77 juta m 3 .

6.5.9. Kendala lahan yang tersedia

Lahan budidaya intensif yang tersedia merupakan hasil penjumlahan luas areal dari berbagai pola tanam pada suatu jenis fungsi lahan yang terdapat pada satu fungsi kawasan yang sama. Sebagai contoh, kendala luas sawah dengan klasifikasi kemiringan 0–15 merupakan penjumlahan dari luas areal dari perbagai pola tanam pada lahan sawah dengan lereng 0–8 dan 8–15 dengan fungsi kawasan D tanaman semusim seperti yang terdapat pada Lampiran 1-5. Untuk mendapatkan besaran ketersediaan lahan non-budidaya intensif pekarangan, semak-belukar, dan hutan dilakukan penyesuaian. Hal itu dilakukan atas dasar adanya perbedaan antara fungsi kawasan potensial yang seharusnya dengan kondisi riil di lapangan. Sebagai contoh, pada Lampiran 1 terdapat pola tanam apel 9.90 ha pada fungsi lahan kebun dengan lereng 25- 45 dan fungsi kawasan penyangga B. Luas lahan apel tersebut selanjutnya diklasifikasikan dalam lahan hutan.

6.5.10. Ketebalan lapisan tanah soil depth pada kondisi awal

Besaran soil depth pada kondisi periode awal dari setiap Sub-sub DAS ditetapkan dengan rata-rata tertimbang dengan formula berikut : SD = ∑ ∑ ∗ N n n N n n n a a s 6.14 Dimana SD merupakan ketebalan lapisan tanah rata-rata tertimbang pada suatu Sub-sub DAS dalam cm; s dan a masing-masing adalah solum tanah dan luas areal dari Satuan Pengelolaan Lahan SPL; n ialah Satuan Pengelolaan Lahan pada setiap Sub-sub DAS .

6.6. Penentuan Perubahan Parameter