Landasan Teori Model Optimasi Dinamik 1. Komponen optimasi dinamik

sebagaimana yang diuraikan dalam perumusan masalah di depan. Dari kedua sub-sistem dapat diidentifikasi state variable dari suatu keputusan, yakni terdiri atas: 1 ketebalan lapisan atas tanah soil depth atau SD, dan 2 kapasitas tampungan waduk. Dengan kata lain, kedua variabel tersebut dijadikan sebagai variable cadangan reserve sumberdaya dalam problem pola tanam. Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa keputusan aktivitas pengelolaan lahan yang cenderung menghasilkan erosi akan menyebabkan adanya kecenderungan penipisan deplesi lapisan atas tanah. Sebagaimana telah diuraikan oleh Anderson dan Thampapillai 1990, bahwa dalam kajian degradasi lahan dari praktek tataguna lahan di negara berkembang dengan mengukur perubahan SD merupakan suatu sumberdaya nonrenewable nampak konsisten. Untuk menangkap esensi problem dinamik produksi pertanian dan deplesi tanah pada tingkat usaha tani telah dilakukan kajian berpespektif ekonomi sumberdaya oleh: Burt 1980, McConnell 1983, Saliba 1985, Sagara Taylor 1987, Barbier 1990 dan Syaukat 1992. Penetapan kapasitas tampungan efektif sebagai state variable didasarkan pada asumsi bahwa kapasitas waduk merupakan suatu sumberdaya. Hal itu karena, dalam mewujudkan fasilitas fisik tersebut diperlukan investasi kombinasi antara sumberdaya alam natural capital, sumberdaya manusia human capital, serta sumberdaya buatan manusia man made capital. Komponen fungsi transisi merupakan kendala dinamis yang dimaksudkan untuk menggambarkan besarnya cadangan sumberdaya pada tahap ke t + 1 yang ditentukan oleh besarnya cadangan dan keputusan pada tahap ke-t. Pada penelitian ini, fungsi transisi yang menjadi kendala dinamis problem pola tanam terdiri atas: 1 ketebalan lapisan tanah dari masing-masing Sub-sub DAS, dan 2 kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Sutami. Horizon waktu time horizon pemecahan problem dinamik ditetapkan dengan sengaja, yakni dari tahun 2003 hingga 2020. Dasar pertimbangan penentuan tahun 2003 sebagai awal horizon waktu adalah karena seluruh data aspek ekonomi dan sebagian data fisik yang dipergunakan dalam analisis dikumpulkan pada saat penelitian dilakukan. Tahun 2020 ditetapkan sebagai tahun akhir horizon wktu dari pemecahan problem dinamik karena tahun tersebut merupakan dasar evaluasi usulan proyek fisik pembangunan sabo dam. Untuk mengendalikan masuknya sedimen ke Waduk Sutami dan Sengguruh telah diusulkan pembuatan pembangunan sabo dam sebanyak 17 unit di daerah hulu waduk dengan tiga alternatif penanganan yang mempertimbangkan kapasitas tampungan dengan estimasi volume tampungan efektif pada tahun 2020 Nippon Koei Co, 1998. Paket pola tanam dijadikan sebagai variabel keputusan karena paket pola tanam yang terdiri dari beberapa komoditas berperan dalam menentukan manfaat sosial bersih, tingkat erosi dan sedimentasi waduk. Pemecahan problem optimal didasarkan pada fungsi tujuan aditif, yaitu penjumlahan dari hasil setiap tahap periode tahun. Fungsi tujuan yang dimaksud dalam kajian ini adalah memaksimalkan nilai sekarang present value atau PV penerimaan bersih yang berasal dari sub-sistem wilayah hulu waduk dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Penerimaan bersih dari sub-sistem wilayah hulu adalah penerimaan bersih dari pengelolaan lahan pertanian budidaya intensif; dan penerimaan yang berasal dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk ialah nilai manfaat dari air baku yang dipergunakan untuk listrik, pengairan dan industri. Perumusan model pemecahan optimasi dinamik pada sistem DTA Waduk Sutami dan Sengguruh didasarkan pada keterkaitan komponen tersebut di atas. Gambar 6 menyajikan skema rangkaian keterkaitan antar enam komponen optimasi dinamik sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

5.1.2. Fungsi penerimaan lahan

Penerimaan dari lahan budidaya intensif didasarkan pada fungsi produksi dari masing-masing komoditas yang membentuk paket pola tanam. Rumusan umum fungsi produksi dari masing-masing komoditas persamaan 5.1 disusun berdasarkan pada bentuk umum fungsi M-S pada persamaan 4.1c, serta bentuk aplikasinya pada persamaan 4.7, dan 4.8. Keputusan Pola tanam Lahan budidaya intensif decision variable Usaha tani: ƒ Penerimaan ƒ Biaya Limpasan permukaan inflow waduk ƒ Kapasitas tampungan efektif ƒ Kapasitas tampungan mati State erosi Degradasi lahan pertanian Sedimentasi waduk Produktivitas lahan Pendangkalan Umur ekonomis bendungan Ketebalan lapisan tanah soil depth State variable Opportunity cost on-site cost Opportunity cost off-site cost Maksimasi PV. Manfaat Sosial Bersih 2003-2020 Fungsi tujuan Syarat maksimasi Æ FOC First Order Condition User cost Costate Outflow : ƒ PLTA ƒ Pengairan ƒ Industri ƒ Manfaat ƒ Biaya penge- rukan sedimen Return of stage Manfaat bersih Return of stage Keterangan: PV. = Present Value Decision stage: tahunan dari tahun 2003 sampai dengan 2020 Gambar 6. Diagram Alur Keterkaitan Antar Komponen Optimasi Dinamik pada Sistem Tangkapan Air Catchment Area Suatu Waduk 5.1 Dimana y adalah produksi per hektar; a, b 1 dan R merupakan estimasi statistik dari parameter fungsi respon produksi-soil depth; SD ialah ketebalan lapisan tanah. Besaran parameter a dan b ≥ 0; serta 0 R 1. Penerimaan bersih komoditas dan paket pola tanam per hektar dalam satu tahun didasarkan pada formulasi berikut: 5.2 dimana PC i adalah harga komoditas dari masing-masing tanaman yang mem- bentuk paket pola tanam dalam satu tahun menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i; dan CF ij adalah biaya usaha tani per hektar per tahun pada suatu paket pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i.

5.1.3. Manfaat air waduk

Manfaat air baku dari waduk yang dipertimbangkan dalam model terdiri atas nilai dari outflow waduk yang dioraperasikan untuk: 1 PLTA, 2 irigasi atau pengairan, dan 3 industri. Manfaat air untuk PLTA didasarkan pada pendekatan manfaat langsung direct benefit air sebagai input utama, yakni melalui pengukuran manfaat kotor gross benefit dari produsen Unit Pembangkitan Brantas. Pertimbangan pemilihan pendekatan tersebut pertama, dalam praktek perhitungan manfaat langsung dapat dianggap sama dengan manfaat kotor, biaya alternatif dan manfaat bersih PERUM Jasa Tirta I, 2002 e . Kedua, harga daya listrik di tingkat produsen mencerminkan beberapa komponen biaya, yaitu mulai dari biaya investasi hingga biaya operasi dan pemeliharaan daerah tangkapan air. Dalam Lampiran G pada Amandemen II Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT Pembangkitan Jawa Bali dan PT PLN 1 1 SD R b a y − + = [ ] 1 1 t CF R b a t PC ij ij SD ij ij i − − + Persero dimuat bahwa struktur pembayaran meliputi nilai komponen A hingga komponen F. Komponen A merupakan pembayaran atas biaya investasi pembangunan Unit Pembangkit UP yang terdiri dari biaya penyusutan, pembayaran pokok pinjaman ditambah bunga. Komponen B adalah pembayaran atas biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan dan pemeliharaan untuk menjamin ketersediaan daya listrik yang dihasilkan UP. Komponen C-EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA dan pemeliharaan DAS yang hak pengelolaannya dipegang oleh suatu organisasi usaha. Komponen C-Non EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA yang hak pengelolaannya tidak dipegang oleh suatu organisasi usaha. Secara teknis kuantitas produksi daya listrik dari setiap turbin ditentukan berdasarkan rumus berikut: D = g ∗ η ∗ Wo ∗ H ef 5.3a Dimana D merupakan daya yang dihasilkan suatu turbin dalam kurun waktu satu detik Watt; Wo adalah debit pembangkitan m 3 det; H ef ialah tinggi jatuh efektif m; g adalah gravitasi 9,8 m 2 det; dan η ialah efisiensi turbin dan generator. Dalam pendugaan kuantitas daya yang dibangkitkan oleh setiap turbin dipergunakan tinggi jatuh efektif H ef dan efisiensi η pada tingkat tertentu given. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa variasi tinggi jatuh efektif sangat berperan terhadap kuantitas daya yang dihasilkan pada setiap periode selama horizon waktu; sedangkan horizon waktu yang diterapkan pada penelitian ini adalah selama 17 tahun 2003 hingga 2020. Tinggi jatuh efektif PLTA Sengguruh sebesar selisih antara elevasi tertinggi 292.5 m dan elevasi dasar sungai 264 m; sedangkan pada PLTA Sutami adalah selisih antara rata- rata tinggi muka air waduk MAW selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 sebesar 267.305 m dan menggunakan tail race TWL yang diterapkan oleh PERUM Jasa Tirta I sebagaimana telah diuraikan pada anak Sub-bab 2.3.1. Pola operasi Waduk Sengguruh bersifat harian lihat pada anak sub-bab 2.3.1, maka pendugaan produksi daya listrik dalam kurun waktu satu hari didasarkan pada perkalian antara daya yang dibangkitkan persamaan 5.3a dan waktu yang dipakai untuk operasi. Pendugaan rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi harian didasarkan pada waktu operasi sepuluhharian selama kurun waktu dari bulan Juni 2002 hingga Mei 2003 Lampiran 6. Adapun rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi adalah 13.31 jam per hari jamhr. Dengan mengaplikasikan persamaan 5.3a pada efisiensi turbin dan generator sebesar 0.9, maka didapatkan produksi daya listrik setiap turbin pada PLTA Sengguruh selama satu hari sebesar: q 1 = 9.80 ∗ 0.90∗ Wo 1 ∗ H ef1 ∗ 13.31 KWh 5.3b Pada PLTA Sengguruh terdapat 2 unit turbin serta tinggi jatuh efektif PLTA Senguruh adalah 28.50 m, sehingga total produksi daya listrik dari Waduk Sengguruh dalam periode satu tahun adalah: TE 1 = 365 ∗ 2 ∗ 3,345.73 ∗ Wo 1 KWh = 2 ∗ 1.22 ∗ Wo 1 GWh 5.3c Sementara itu, pola operasi Waduk Sutami bersifat tahunan lihat pada anak sub-bab 2.3.1. Oleh karena itu, pada pendugaan produksi daya listrik mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak P peak maupun beban dasar P off . Berdasarkan data produksi beban puncak dan beban dasar pada musim kemarau MK tahun 2002 dan musim penghujan MP tahun 2003 dapat diperoleh informasi bahwa: 1. Rata-rata produksi beban puncak operasi 5 jamhr sebesar 84 bila dibandingkan dengan beban puncak potensial 105 MWdet. 2. Rata-rata produksi beban dasar operasi 19 jamhr sebesar 25 beban puncak potensial 105 MW det. Persentase tersebut lebih lanjut dipergunakan sebagai dasar perumusan pendugaan produksi daya listrik dari PLTA Sutami yang mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak maupun beban dasar. Berdasarkan persamaan 5.3a dan η = 0.9, maka didapatkan pendugaan total daya dari setiap turbin dalam satu hari sebesar: q 2 = 9.80 ∗ 0.90 ∗ 5 ∗ 0.84 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 + 9.8 ∗ 0.9 ∗ 19 ∗ 0.25 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 = 9.80 ∗ 0.90 ∗ 8.95 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 = 78.94 ∗ Wo 2 ∗ H ef2 KWh 5.3d Pada PLTA Sutami terdapat tiga 3 unit turbin. Rata-rata MAW selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 sebesar 267.31 m. Dengan menggunakan tail race TWL setinggi 181.90 m, maka tinggi jatuh efektif PLTA Sutami sebesar 85.41 m. Dengan demikian Produk Nilai Total Total Value Product atau TVP daya listrik Waduk Sutami dalam satu tahun sebesar: TE 2 = 3 ∗365 ∗ 78.94 ∗ Wo 2 ∗ 85.41 KWh = 3 ∗ 2.46 ∗ Wo 2 GWh 5.3e Manfaat air baku yang lain dari waduk adalah nilai untuk pengairan dan industri. Oleh karena Iuran Pengelolaan Air Irigasi IPAIR yang ditetapkan pemerintah Daerah Tingkat II kurang mencerminkan harga air baku untuk irigasi, maka penentuan nilai air baku untuk pengairan dikembangkan dari factor income method FIM sebagaimana yang diuraikan oleh Chutubtim 2001. Metode tersebut dipergunakan untuk mengestimasi dampak proyek sebagai input dari produksi, sehingga nilai air irigasi didekati dengan tambahan penerimaan incremental income earned. Dengan demikian harga air baku untuk pengairan dalam penelitian ini diduga berdasarkan rumus sebagai berikut: 5.4 Dimana PI adalah harga air air baku untuk pengairan Rpm 3 ; P k ialah harga komoditas padi ribu Rpton; Y tp Y p merupakan proporsi perbedaan produk-tivitas antara pengairan dan tanpa pengairan tonha; dan A p adalah volume kebutuhan air irigasi tanaman padi m 3 ha. Nilai satuan air untuk irigasi tersebut dianggap telah mencerminkan manfaat dari investasi sekaligus biaya operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan. Proporsi perbedaan produktivitas antara padi dengan pengairan dan tanpa pengairan didekati dengan rasio antara produktivitas padi sawah dan padi tegal. Hal tersebut dilakukan karena hasil kajian secara spesifik tentang perbedaan produktivitas dengan pengairan dan tanpa pengairan relatif sulit didapatkan. Manfaat air baku untuk pengairan merupakan hasil kali antara harga air persatuan dan kuantitas air waduk yang dipergunakan untuk pengairan. Volume air untuk pengairan didekati besarnya sumbangan outflow Sutami terhadap air baku untuk pengairan. Hasil pendugaan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk pengairan maupun industri secara rinci disajikan pada Lampiran 7 baris kedua. Sementara itu, pendugaan manfaat air baku Waduk Sutami untuk industri sebesar hasil kali antara harga air industri dan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk industri. Harga air baku yang didistribusi- kan untuk industri didasarkan pada tarif yang merupakan hasil kesepakan antara pihak otorita dengan pengguna, yakni sebesar Rp 60m 3 PERUM Jasa Tirta I, 2003. Disadari bahwa tingkat tarif tersebut baru mencerminkan komponen biaya operasional dan pemeliraharaan sarana dan prasarana, sehingga belum p p tp A Y Y Pk PI = mempertimbangkan biaya investasi. Namum oleh karena keterbatasan peneliti dalam pengumpulan data dan kesulitan perhitungan nilai satuan air untuk industri, maka manfaat air untuk penggunaan industri didasarkan pada tarif tersebut.

5.2. Perumusan Kerangka Model Analisis Optimasi Dinamik

5.2.1. Manfaat sosial bersih pengelolaan lahan Manfaat bersih lahan pertanian yang dipertimbangkan dalam fungsi tujuan adalah total pendapatan usaha tani dari areal lahan budidaya intensif yang ber- ada di seluruh wilayah Sub-sub DAS. Pendapatan usaha tani merupakan selisih antara total nilai produksi dan total biaya produksi. Formulasi manfaat bersih pengelolaan lahan di DTA pada persamaan 5.5 memperhatikan klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, keragaman paket pola tanam dan Sub-sub DAS. BL X ijk t = 5.5 Dimana BL adalah besarnya total manfaat bersih yang dapat diperoleh dari berbagai paket pola tanam menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan sepanjang horizon waktu T juta Rpton; X ijkt adalah luas areal dari klasifikasi jenis lahan i dengan paket pola tanam j dan Sub-sub DAS k pada tahun t Ha. Sedangkan P C t adalah harga masing-masing komoditas yang membentuk paket pola tanam ke-j juta Rpton; dan a, b 1 ialah koefisien regresi fungsi produksi tonha; dan R merupakan estimasi parameter fungsi respon SD terhadap produksi. SD ialah kedalaman lapisan tanah cm. CF ij adalah biaya usaha tani per hektar per tahun pada suatu paket pola tanam menurut klasifikasi kemiringan lahan juta Rpha.

5.2.2. Nilai outflow waduk untuk operasi PLTA

[ ] ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ − − + ∑∑∑ = = = 1 1 6 1 25 1 5 1 t CF R b a t P t X ij SDjk i i C i j k ijk Berdasarkan besarnya total produksi daya listrik PLTA Sengguruh dan Sutami dari persamaan 5.3c dan 5.3e, maka total nilai air baku untuk listrik periode tahunan adalah: NML Wo l t = PE 1 ∗ 2 ∗ {1.22 ∗ Wo 1 t} + PE 2 ∗ 3 ∗ {2.46 ∗ Wo 2 t} 5.6 Dimana NML ialah nilai manfaat air baku yang digunakan untuk pembangkit listrik pada tahun ke-t juta Rp; PE 1 dan PE 2 masing-masing merupakan harga daya listrik dari unit PLTA Sengguruh dan Sutami RpkWh; Wo l t adalah debit operasi outflow per detik pada tahun ke-t m 3 det. Harga daya listrik setiap unit PLTA tersebut didekati dengan rata-rata dari harga bulanan selama tahun 2003 dari setiap entitas pembangkit. Hal itu karena data tingkat pembayaran per kWh bervariasi menurut bulan dan entitas pembangkit. Perbedaan tersebut dikarenakan kuantitas produksi daya listrik selama kurun waktu satu bulan dari setiap turbin berbeda. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa unit PLTA Sengguruh terdapat 2 turbin dan Sutami terdapat 3 turbin.

5.2.3. Nilai air baku untuk pengairan dan industri

Pendugaan besarnya nilai air baku untuk pengairan dan industri dalam kurun satu hari adalah: NMP = PI ∗ V p = PI ∗ 110 6 D p ∗ cv 1 = PI ∗ 110 6 sh p ∗ Wo 2 ∗ cv 1 = 0.02484 ∗ PI ∗ Wo 2 5.7a NMI = PM ∗V m = PM ∗ 110 6 D m ∗ cv 1 = PM ∗ 110 6 ∗ sh m ∗ Wo 2 ∗ cv 1