responden sebagai peserta program intensifikasi tebu rakyat; dan pada tanaman apel dikarenakan pihak produsen sarana produksi pestisida menjual langsung
pada petani dengan membuat demontrasi percontohan di lokasi. Pada aktivitas dan biaya usahatani yang sama dapat diperoleh manfaat
bersih pendapatan per hektar yang beragam menurut Sub-sub DAS. Hal itu karena adanya perbedaan tingkat ketebalan lapisan tanah soil depth atau SD
dan tingkat erosi. SD secara langsung mempengaruhi tingkat produksi, dan tingkat erosi akan mengurangi SD sehingga menyebabkan tingkat produksi tahun
berikutnya menurun. Keragaman tingkat produksi akan menjadikan tingkat pendapatan per hektar bervariasi antar Sub-sub DAS.
7.2. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Hulu Waduk
Berdasarkan hasil pemecahan optimasi dinamik dapat diperoleh gambaran bahwa alokasi lahan di daerah tangkapan air Waduk Sutami-
Sengguruh relatif tetap sepanjang horizon waktu Tabel 17. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keputusan pola tanam optimal pada awal horizon waktu
tetap dipertahankan hingga akhir. Hal tersebut terjadi karena pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal mempunyai pendapatan per hektar relatif paling
besar dominan mulai dari awal hingga sepanjang horizon waktu. Dengan kata lain, selama horizon waktu tidak ada pola tanam lain yang dapat menghasilkan
pendapatan per hektar lebih besar daripada yang dihasilkan paket pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal pada awal horizon waktu. Pendapatan per
hektar yang dominan selama periode horizon waktu tidak saja ditunjukkan dalam bentuk nominal, namun juga dalam bentuk nilai saat ini seperti yang terdapat
pada Tabel 19 dan 20. Tabel 17. Luas Lahan Optimal ha Selama Horizon Waktu pada Sub-Sub
DAS Bango dan Sumber Brantas pada Tingkat Bunga 10 dengan Tingkat Harga Komoditas dan Biaya Konstan
Tahun
Sub-sub DAS Bango Sub-sub DAS Sumber Brantas
Sawah I Tegal I Tegal II Kebun I Sawah I Sawah II Tegal I
Tegal II Kebun I Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Pd-Jg-KcTnh
Apel Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kn-Wrl
Apel Apel
2003 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2004 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2005 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2006 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2007 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2008 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2009 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2010 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2011 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2012 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2013 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2014 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2015 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2016 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2017 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2018 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2019 3689 7174
211 646
16095 72
4939 628 1856
2020 . .
. .
. . . . .
Sumber: Olahan data
Alokasi lahan optimal yang terdapat pada Tabel 17 didasarkan pada tingkat bunga sebesar 10 serta harga komoditas dan biaya konstan sepanjang horizon
waktu. Aktivitas optimal pada lahan sawah dan tegal kemiringan I antara Sub- sub DAS Bango dan Sumber Brantas tidak terjadi perbedaan. Perbedaan
keputusan optimal terjadi pada lahan tegal kemiringan II ≥ 25; di wilayah
Bango adalah paket pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah dan pada wilayah Sumber Brantas adalah tanaman tunggal apel. Pengusahaan tanaman apel pada lahan
tegal kemiringan II di wilayah Sub-sub DAS Bango secara riil tidak dijumpai Tabel 15.
Pendugaan alokasi lahan optimal yang konstan selama beberapa tahun tersebut terjadi pada keseluruhan Sub-sub DAS. Keadaan tersebut berlawanan
dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan. Berdasarkan data luas panen yang dikumpulkan dari BPS Daerah Tingkat II Kabupaten Malang selama kurun waktu
1998 hingga 2002, terdapat tendensi bahwa luas areal berfluktuasi Tabel 18.
Dari Tabel 18 dapat dikatakan bahwa secara riil luas areal komoditas padi, jagung dan tebu cenderung menurun; sedangkan tanaman kacang tanah
terjadi yang sebaliknya. Berdasarkan sumber data yang sama juga diperoleh pendugaan pertumbuhan komoditas kentang dan wortel masing-masing sebesar
6.71 dan 1.78. Tabel 18. Perubahan Luas Areal Berbagai Komoditas Dominan Menurut
Sub-Sub DAS Berdasarkan Rumus Polinomial
Sub-sub DAS Perubahan areal
Padi Jagung Kacang
Tanah Tebu
Amprong - 3.93
- 12.50 - 14.22
10.71 Bango
0.49 - 6.01
3.02 - 0.69
Lesti - 5.02 - 3.97
- 3.98 -
2.17 Metro
- 0.15 - 6.90
1.96 6.92
Sumber Brantas - 1.23
- 17.39 3.95
- 4.27 Sumber: Olahan data sekunder
Sementara itu, dari hasil wawancara bebas dengan informan kunci didapatkan deskripsi bahwa luas areal pengelolaan tanaman sayuran secara riil
berfluktuasi. Pada wilayah Sub-sub DAS Bango dan Lesti terdapat tendensi bahwa perkembangan luas areal tanaman sayuran kubis, cabe, bawang prei
menggantikan tebu di lahan sawah maupun tegal dengan kemiringan ≤ 16.
Khususnya di Desa Dawuhan salah satu desa di wilayah Sub-sub DAS Lesti didapatkan informasi bahwa perkembangan komoditas sayuran sejak tahun 1998
beriringan dengan adanya program Inpres Desa Tertinggal IDT; ada beberapa masyarakat memanfaatkan bantuan IDT untuk modal usaha sayuran. Luas areal
sayuran mengalami puncaknya pada tahun 2000. Komoditas lombok diusahakan masyarakat setempat sejak tahun 199596; dan komoditas kubis sejak tahun
1999. Sedangkan petani Desa Ngadas wilayah Sub-sub DAS Amprong memulai pengusahakan tanaman kentang sejak tahun 1980 dan perkembangan
areal kentang semakin meluas, namun tata tanam yang searah dengan lereng bukit menyebabkan erosi alur dan parit yang cukup serius KEPPAS, 1988.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada saat penelitian, luas areal tanam apel pada lahan budidaya intensif fungsi kawasan C budidaya
tahunan relatif tetap dan pada fungsi kawasan D tanaman semusim terjadi kenaikan. Perkembangan luas lahan apel yang terjadi di Desa Tulungrejo dan
Sumber Gondo desa-desa di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas karena adanya konversi lahan tegal dari tanaman sayuran menjadi kebun apel.
Disamping itu, lahan dengan pohon pelindung alam sebagai penyangga telah dikonversi menjadi lahan tanaman sayuran Tabel 4. Proses konversi fungsi
lahan di desa tersebut telah terjadi sejak tahun 1935 KEPPAS
, 1988.
Menurut informasi dari Pamong Desa Gubug Klakah pusat produksi apel di wilayah Sub-sub DAS Amprong, perkembangan tanaman apel saat ini relatif
kecil 0.50 bahkan cenderung tetap. Secara historis, tanaman apel mulai dikenal masyarakat desa tersebut sejak tahun 19691970. Pada awalnya,
tanaman apel ditanam di lahan pekarangan dan selanjutnya diusahakan di lahan tegal. Pada tahun 1985 areal tanaman apel telah mencapai 75 dari total lahan
pertanian; dan sejak tahun 1990 hingga kajian ini dilakukan telah mencapai 90. Sisa dari total lahanyang tersedia tetap dipergunakan untuk tanaman palawija
karena: 1 ketidaksesuaian lahan untuk apel, 2 keterbatasan biaya, dan 3 beberapa masyarakat masih mempertahankan pemikiran atau tradisi lama.
Sebelum tanaman apel mendominasi lahan pertanian, pada awalnya didominasi oleh jagung dan sayuran. Walaupun pada saat ini luas areal tanam apel relatif
tetap, namun tingkat erosi yang terjadi perlu diwaspadai karena pada umumnya apel ditanam pada lahan dengan kemiringan
≥ 30. Tingginya tingkat erosi yang terjadi diperparah dengan perilaku petani dalam pengaturan sebagian akar
tanaman apel yang menggantung di bibir teras. Menurut informan kunci
pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan air hujan di permukaan tanah cepat “tuntas” sehingga mengurangi frekuensi serangan hama.
Pengaruh fluktuasi permintaan dan tingkat harga komoditas terhadap keputusan petani tingkat mikro dalam pemilihan jenis tanaman tercermin dari
informasi yang diberikan oleh responden dari Desa Petung Sewu kecamatan Dau wilayah Sub-sub DAS Metro. Pada awalnya, pola tanam lahan sawah didesa
tersebut adalah padi–jagung–kacang tanah. Pada tahun 1985 petani setempat banyak yang mengelola tanaman jeruk. Oleh karena harga jeruk pada saat itu
relatif murah Rp 200kg dan belum ada pasar tengkulakpedagang pengepul belum ada, maka pada tahun 1989 tanaman jeruk di desa tersebut banyak yang
dibongkar. Sejak tahun 1990 komoditas tersebut mulai laku ada pasar dan harga relatif tinggi, maka tanaman jeruk di desa tersebut terus berkembang
sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Sejak tahun 1997 luas lahan sawah yang menjadi kebun jeruk mencapai 40 dari total sawah desa atau
seluas 33.18 ha. Secara riil, luas areal tebu cenderung mengalami peningkatan. Hal itu
karena lahan sawah yang semula ditanami padi mengalami pergeseran menjadi tebu, mengingat padi memerlukan sarana produksi dan tenaga kerja yang lebih
intensif sementara subsidi pupuk mengalami penurunan dan harga gabah tidak terjamin. Menurut petani setempat, menanam tebu relatif lebih menguntungkan
karena lebih hemat tenaga kerja dan sebagian besar petani mengikuti program intensifikasi tebu yang dikelola langsung oleh pabrik gula. Lahan sawah di wila-
yah Sub-sub DAS Amprong menjadi dominan tebu sejak tahun 1992 Tabel 4. Hasil optimasi dinamik pada wilayah Sub-sub DAS Amprong menunjukkan
bahwa komoditas tebu sebagai aktivitas optimal pada lahan tegal klasifikasi kemiringan I 0–15, namun luas areal optimal konstan. Kondisi tersebut
berbeda dengan keadaan di lapangan. Secara riil, perubahan luas lahan tebu wilayah Sub-sub DAS Amprong cenderung naik. Luas areal tanaman sayuran
dan palawija di lahan sawah di Desa Ngadireso Kecamatan Poncokusumo semakin sempit, banyak digantikan dengan tanaman tebu. Lahan sawah di
Desa Kemantren Kecamatan Jabung menjadi dominan komoditas tebu sejak tahun 1992 ; yakni menggantikan pola tanam lama yaitu padi-padi-jagung.
Luas areal tebu pada Kecamatan Dau salah satu wilayah Sub-sub DAS Metro secara riil terjadi fluktuasi. Dari hasil wawancara pada responden
perangkat desa maupun petani biasa, dapat disimpulkan bahwa keputusan pemilihan pola tanam di tingkat mikro pada daerah tersebut dipengaruhi oleh
ketersediaan tenaga kerja. Pada lahan “ganjaran” dengan kemiringan 80 yang semula untuk tanaman pangan pada waktu yang akan datang akan ditanami
sengon, mengingat tenaga kerja untuk pengawasan tidak mencukupi. Beberapa petani tetap menanam tebu karena tanaman tersebut relatif hemat biaya dan
tenaga kerja serta dapat mendatangkan uang tunai. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan deskripsi perubahan tataguna
lahan sub-bab 2.2, dapat diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan antara hasil alokasi lahan optimal yang bersifat normatif dengan
kondisi riil di lapangan. Beberapa faktor tersebut terdiri atas: 1 perbedaan orientasi pencapaian fungsi tujuan, 2 keputusan rumah tangga petani, 3
kebijakan makro, dan 4 wacana politik. Pada perumusan optimasi dinamik secara normatif didasarkan pada
asumsi bahwa semua komponen masyarakat dalam mengelola sumberdaya pada daerah tangkapan air untuk menghasilkan keuntungan maksimal.
Sedangkan pada kondisi riil, tidak semua pengelola lahan budidaya intensif berorientasi memaksimalkan keuntungan. Disamping itu, pengaturan debit
outflow hanya didasarkan pada aspek kuantitas permintaan dan ketersediaan air.
Pada skala mikro, pemilihan aktivitas riil dipengaruhi oleh keputusan rumah tangga petani. Keputusan tersebut didasarkan pada: 1 kondisi pasar fluktuasi
permintaan dan tingkat harga setempat, 2 kendala sumberdaya modal, tenaga kerja dan lahan, 3 sifat pengusahaan subsisten atau komersial.
Pada skala makro karena kebijakan sektoral dan kebijakan harga. Beberapa kebijakan sektoral yang mempengaruhi perubahan luas lahan riil
komoditas tebu adalah program intensifikasi tebu di lahan kering yang telah diintroduksikan sejak tahun tujuh puluhan. Disamping itu, dari Departemen
Kehutanan terdapat program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM sejak tahun 1985. Pada program PHBM, masyarakat diberi hak kelola pada
lahan hutan produksi dengan menanam tanaman pangan. Namun dalam perkembangannya, lahan tersebut diusahakan tanaman sayuran. Penerapan
program tersebut telah diterapkan pada seluruh wilayah sub-sub DAS yang
berada di DTA Bendungan Sengguruh maupun Sutami.
Disadari bahwa salah satu keterbatasan Model-DTA ini adalah belum dipertimbangkannya aspek permintaan pasar dari komoditas yang membentuk
paket pola tanam. Asumsi yang menyertai model adalah keseluruhan kuantitas produksi yang dihasilkan dari aktivitas dan lahan optimal dapat diserap oleh
pasar. Hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa model akan menghasilkan aktivitas yang memproduksi tanaman spesifik tanpa pasar tidak
ada permintaan, apalagi aktivitas produksi pertanian dalam skala wilayah Daerah Aliran Sungai Barbier, 2001. Beberapa kendala lain yang dipertimbang-
kan dalam struktur pemodelan yang dirumuskan oleh Barbier 2001 adalah
ketersediaan lahan, air, tenaga kerja, dan kendala uang tunai.
Penyebab alokasi intertemporal konstan pada Tabel 17 dapat dijelaskan secara matematik melalui transmisi fungsi tujuan pada persamaan 6.1 dan
rumusan kendala pada persamaan 6.2. Perubahan kuantitas produksi suatu
komoditas dipengaruhi oleh perubahan SD yang diestimasi dengan fungsi respon produksi-soil depth. Perubahan SD tergantung pada SL pada satu periode
tahun yang ditentukan oleh tingkat erosi per hektar per tahun. Apabila tingkat erosi per tahun relatif kecil dan SD relatif tebal, maka
perubahan produksi juga relatif kecil. Pada kondisi harga komoditas dan biaya produksi yang konstan, maka perubahan pendapatan setiap periode dari suatu
pola tanam relatif kecil Tabel 19 dan 20. Secara singkat dapat dikatakan bahwa alokasi lahan optimal yang konstan disebabkan oleh perubahan produksi
setiap periode yang relatif kecil karena tingkat erosi per tahun yang kecil dan SD relatif tebal
Pada Tabel 19 tampak bahwa paket pola tanam Pd-Pd-Sy mempunyai pendapatan yang paling dominan diantara pola tanam yang lain pada lahan
sawah kemiringan I 0-15 di Sub-sub DAS Bango. Pendapatan nominal maupun nilai sekarang yang dominan tidak saja terjadi pada awal periode tahun
2003, namun juga terjadi sepanjang time horizon. Keadaan yang sama juga terjadi pada paket pola tanam Kentang-Wortel pada lahan tegal kemiringan I.
Pola tanam pada lahan sawah kemiringan II ≥ 15 yang menghasilkan
manfaat bersih tahunan yang dominan terdapat di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas Tabel 20; yaitu pola tanam Pd-Pd-Sy. Tingkat pendapatan tahunan
tertinggi pada lahan tegal I adalah paket pola tanam Kentang-Wortel; dan pada lahan tegal II ialah tanaman tunggal apel. Tanaman apel tidak saja mendominasi
pada lahan tegal, namun juga pada lahan kebun I maupun II. Tabel 19. Pendapatan ribu Rpha pada Berbagai Paket Pola Tanam
Lahan Sawah dan Tegal di Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga r 10
Sawah I kemiringan 0 – 15
Tahun
Pd-Pd-Pd Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Tebu
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
2003 19 900 19 900 16 976
16 976 51 554
51 554 7 754
7 754 2004 19 899
18 090 16 976 15 432
51 554 46 867
7 753 7 049
2005 19 899 16 446 16 976
14 029 51 553
42 606 7 753
6 408 2006 19 899
14 951 16 976 12 754
51 553 38 732
7 753 5 825
2007 19 899 13 591 16 976
11 595 51 552
35 211 7 753
5 295 2008 19 899
12 356 16 975 10 540
51 552 32 009
7 752 4 814
2009 19 899 11 233 16 975
9 582 51 551
29 099 7 752
4 376 2010 19 899
10 211 16 975 8 711
51 550 26 453
7 752 3 978
2011 19 899 9 283 16 975
7 919 51 550
24 048 7 752
3 616 2012 19 899
8 439 16 975 7 199
51 549 21 862
7 752 3 287
2013 19 899 7 672 16 975
6 545 51 549
19 874 7 751
2 988 2014 19 899
6 974 16 975 5 950
51 548 18 067
7 751 2 717
2015 19 899 6 340 16 975
5 409 51 547
16 425 7 751
2 470 2016 19 898
5 764 16 975 4 917
51 547 14 931
7 751 2 245
2017 19 898 5 240 16 975
4 470 51 546
13 574 7 750
2 041 2018 19 898
4 764 16 975 4 064
51 546 12 340
7 750 1 855
2019 19 898 4 330 16 975
3 694 51 545
11 218 7 750
1 687 2020 . . .
. .
. .
.
Tegal I kemiringan 0 - 15
Tahun
Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Kentang-Wortel
Tebu
Nominal PV Nominal PV Nominal
PV Nominal PV . . . . . . . . . . Rp 1,000ha . . . . . . . . . . .
2003 27 070 27 070
8 803 8 803
69 053 69 053
6 358 6 358
2004 27 030 24 609
8 798 7 998
68 931 62 665
6 358 5 780
2005 26 991 22 339
8 793 7 267
68 809 56 867
6 357 5 254
2006 26 951 20 278
8 788 6 603
68 686 51 605
6 357 4 776
2007 26 911 18 408
8 783 5 999
68 563 46 829
6 357 4 342
2008 26 871 16 710
8 778 5 450
68 439 42 496
6 357 3 947
2009 26 831 15 168
8 773 4 952
68 316 38 562
6 356 3 588
2010 26 791 13 769
8 768 4 499
68 191 34 993
6 356 3 262
2011 26 750 12 498
8 762 4 088
68 067 31 754
6 356 2 965
2012 26 710 11 345
8 757 3 714
67 942 28 814
6 356 2 695
2013 26 669 10 298
8 752 3 374
67 816 26 146
6 355 2 450
2014 26 628 9 347
8 746 3 065
67 690 23 725
6 355 2 227
2015 26 587 8 485
8 741 2 785
67 564 21 528
6 355 2 025
2016 26 546 7 701
8 735 2 530
67 437 19 534
6 355 1 841
2017 26 505 6 990
8 730 2 299
67 310 17 725
6 354 1 673
2018 26 463 6 345
8 724 2 088
67 183 16 083
6 354 1 521
2019 26 422 5 759
8 718 1 897
67 055 14 593
6 354 1 383
Sumber: hasil olahan data Keterangan: PV = Present Value
Dari Tabel 19 dan 20 tampak bahwa pendapatan per hektar lahan semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu karena menurunnya produktivitas
lahan akibat dari lapisan tanah yang hilang. Perubahan pendapatan antar periode tampak relatif kecil. Hal tersebut karena perubahan produktivitas lahan
setiap periode tidak signifikan pada lahan dengan SD yang relatif tebal; sehingga pada tingkat harga komoditas dan biaya yang konstan sepanjang horizon waktu
menjadikan keputusan alokasi lahan dinamik adalah konstan. Tabel 20. Pendapatan ribu Rpha pada Berbagai Paket Pola Tanam
Lahan Sawah dan Tegal dari Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas pada Harga dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga
r 10
Sawah II kemiringan 15
Tahun
Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Tebu Jeruk
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
2003 13 519 13 519 41 706
41 706 7 118
7 118 3 668
3 668 2004 13 519
12 290 41 705 37 914
7 118 6 471
3 668 3 335
2005 13 519 11 173 41 705
34 467 7 118
5 883 3 668
3 031 2006 13 519
10 157 41 704 31 333
7 118 5 348
3 668 2 756
2007 13 518 9 233 41 703
28 484 7 117
4 861 3 668
2 505 2008 13 518
8 394 41 702 25 894
7 117 4 419
3 668 2 277
2009 13 518 7 631 41 701
23 539 7 117
4 017 3 668
2 070 2010 13 518
6 937 41 701 21 399
7 117 3 652
3 668 1 882
2011 13 518 6 306 41 700
19 453 7 117
3 320 3 668
1 711 2012 13 518
5 733 41 699 17 684
7 116 3 018
3 668 1 555
2013 13 518 5 212 41 698
16 076 7 116
2 744 3 668
1 414 2014 13 518
4 738 41 697 14 615
7 116 2 494
3 668 1 285
2015 13 518 4 307 41 697
13 286 7 116
2 267 3 668
1 169 2016 13 518
3 916 41 696 12 078
7 116 2 061
3 668 1 062
2017 13 518 3 560 41 695
10 980 7 116
1 874 3 668
966 2018 13 518
3 236 41 694 9 981
7 115 1 703
3 667 878
2019 13 518 2 942 41 693
9 074 7 115
1 548 3 667
798 Sumber: hasil olahan data
Keterangan: PV = Present Value
Tabel 20. Lanjutan
Tegal I kemiringan 0 - 15
Tahun
Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Kentang-Wortel
Tebu
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
2003 26 728 26 728
8 760 8 760
68 004 68 004
6 344 6 344
2004 26 719 24 298
8 756 7 960
67 951 61 773
6 342 5 766
2005 26 710 22 082
8 753 7 234
67 897 56 113
6 341 5 241
2006 26 701 20 067
8 750 6 574
67 843 50 972
6 340 4 763
2007 26 691 18 237
8 746 5 974
67 790 46 301
6 338 4 329
2008 26 682 16 573
8 743 5 429
67 736 42 059
6 337 3 935
2009 26 673 15 061
8 740 4 933
67 682 38 205
6 336 3 576
2010 26 664 13 687
8 736 4 483
67 628 34 704
6 334 3 250
2011 26 654 12 439
8 733 4 074
67 574 31 524
6 333 2 954
2012 26 645 11 304
8 729 3 702
67 520 28 635
6 331 2 685
2013 26 636 10 273
8 726 3 364
67 466 26 011
6 330 2 440
2014 26 627 9 336
8 722 3 057
67 412 23 627
6 328 2 218
2015 26 618 8 484
8 718 2 778
67 357 21 462
6 327 2 016
2016 26 608 7 710
8 715 2 524
67 303 19 495
6 325 1 832
2017 26 599 7 007
8 711 2 294
67 248 17 709
6 324 1 665
2018 26 590 6 368
8 707 2 085
67 194 16 086
6 322 1 513
2019 26 580 5 787
8 704 1 894
67 139 14 611
6 321 1 376
Tegal II kemiringan 15
Tahun
Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh
Kentang-Wol Apel
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
Nominal PV
2003 16 356 16 356
7 187 7 187
61 890 61 890
64 126 64 126 2004 16 311
14 869 7 152
6 502 61 811
56 192 64 123 58 294
2005 16 266 13 481
7 149 5 908
61 731 51 017
64 121 52 993 2006 16 221
12 221 7 146
5 369 61 651
46 319 64 119 48 173
2007 16 176 11 079
7 143 4 879
61 570 42 053
64 116 43 792 2008 16 130
10 044 7 140
4 433 61 490
38 181 64 114 39 810
2009 16 085 9 105
7 137 4 029
61 410 34 664
64 111 36 189 2010 16 039
8 254 7 134
3 661 61 329
31 471 64 109 32 898
2011 15 993 7 482
7 131 3 326
61 248 28 573
64 106 29 906 2012 15 947
6 782 7 127
3 023 61 167
25 941 64 104 27 186
2013 15 900 6 148
7 124 2 747
61 086 23 551
64 102 24 714 2014 15 853
5 573 7 121
2 496 61 004
21 382 64 099 22 466
2015 15 807 5 051
7 118 2 268
60 923 19 412
64 097 20 423 2016 15 760
4 579 7 114
2 061 60 841
17 624 64 094 18 566
2017 15 713 4 150
7 111 1 873
60. 59 16 000
64 092 16 877 2018 15 665
3 761 7 108
1 702 60 677
14 526 64 089 15 342
2019 15 618 3 409
7 104 1 546
60 595 13 187
64 087 13 947 Sumber: hasil olahan data
Keterangan: PV = Present Value
Sementara itu, hasil kajian Van Kooten et al. 1989 menunjukkan bahwa kehilangan produksi marjinal marginal yield loss akan semakin kecil pada SD
yang semakin tebal. Disamping itu, kehilangan produksi marjinal pada SD lebih dari 35 sentimeter adalah nol. Menurut Barbier 1990, penurunan produktivitas
jangka panjang tidak tampak berarti dikarenakan SD tebal. Dicontohkan bahwa
produktivitas di tingkat petani sayuran komersial kentang, bawang bakung, bawang putih dan kubis Desa Ngadas Jawa Timur tidak terlihat mengalami
penurunan meskipun rata-rata tingkat erosi tahunan antara 150 hingga 200 tonha dan kehilangan lapisan tanah setebal 2 cmth. Lebih lanjut diuraikan
bahwa pada kondisi tersebut petani sayur tidak berminat berinvestasi pada konservasi tanah. Disamping itu, juga dikemukakan bahwa sepanjang tahun
1976 – 1986 merupakan masa berkembangnya petani sayuran di Jawa yang berorientasi pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada tanaman lain.
Sementara itu, dari data sekunder didapatkan bahwa SD di wilayah penelitian berkisar antara 65 hingga lebih dari 100 cm.
Dari berbagai deskripsi yang telah diuraikan tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas optimal secara langsung ditentukan oleh tingkat pendapatan per
hektar lahan. Tingkat erosi, SD dan biaya usahatani merupakan variabel tidak langsung. Pengaruh tidak langsung tersebut melalui transmisi sebagai berikut :
1. Tingkat erosi akan mengurangi ketebalan lapisan tanah sehingga menyebab- kan penurunan kuantitas produksi komoditas.
2. Tingkat produksi akan mempengaruhi penerimaan, dan pada biaya usahatani yang konstan menjadikan pendapatan aktivitas pola tanam menurun.
7.3. Alokasi Optimal pada Sub-Sistem Ekologi Bendungan-Waduk