Perubahan Luas Lahan Hutan Produksi

luas lahan dan pola tanam optimal, sehingga volume sedimen potensial yang terangkut masuk ke waduk tidak berubah. Gambar 15. Pengaruh Perubahan Tingkat Bunga Terhadap Biaya Off-Site Erosi pada Waduk Sengguruh dan Sutami

9.3. Perubahan Luas Lahan Hutan Produksi

Skenario aspek teknis ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pengaruh pengembalian hutan dengan kemiringan ≥ 25 dari lahan untuk produksi menjadi fungsi kawasan penyangga. Pada skenario ini, lahan hutan produksi pada kemiringan I 0–15 dan kemiringan 15–25 tetap dipertahan- kan sebagai lahan produksi dengan pola tanam tumpangsari tanaman pangan dan kayu-kayuan. Adapun luas areal yang dikembalikan sesuai fungsi kawasan pada Sub-sub DAS Bango seluas 1 231 hektar; yaitu pada kemiringan 25-40. Pada Sub-sub DAS Sumber Brantas dan Amprong terdapat pengembalian fungsi 20 40 60 80 100 120 2000 2005 2010 2015 2020 2025 Periode Tahun Biay a of f- sit e eros i Rp m 3 SG Dasar r = 10 SG Skenario 2 r = 5 ST Dasar r = 10 ST Skenario 2 r = 5 lahan pada dua klasifikasi kemiringan, yakni kemiringan 25-40 dan ≥ 40. Total luas pengembalian alih fungsi kawasan di Sumber Brantas dan Amprong masing-masing adalah 1 153 ha dan 4 230 ha; sedangkan pada Lesti dan Metro seluas 1 514 ha dan 165 ha. Pengembalian fungsi kawasan tersebut pada prinsipnya tidak mengubah total ketersediaan luas lahan non-budidaya intensif, namun yang berubah adalah potensi erosi yang dihasilkan. Oleh karena itu, skenario 3 secara langsung berpengaruh pada volume sedimen yang masuk ke dalam waduk. Tingkat erosi lahan hutan dengan fungsi kawasan penyangga relatif lebih kecil daripada hutan produksi, sehingga volume sedimen yang yang dikeruk dari Waduk Sengguruh Vks 1 pada skenario 3 lebih kecil daripada model dasar Tabel 44. Dengan demikian, pengembalian fungsi kawasan penyangga mampu menghemat biaya pengerukan setiap periode sebesar Rp 15 034 460 sebagaimana yang terjadi pada skenario 1. Tabel 44. Perubahan Volume Optimal juta m 3 Waduk Sengguruh Karena Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi Base Skenario 2 Skenario 3 Tahun Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Vsa 1 Vss 1 Vks 1 Vsa 1 Vss 1 Vks 1 2003 2.00 0.32 . 2.00 0.32 . 2.00 0.32 . 2004 1.55 0.77 . 1.55 0.77 . 1.57 0.75 . 2005 1.10 1.22 . 1.10 1.22 . 1.14 1.18 . 2006 0.66 1.67 . 0.66 1.67 . 0.72 1.60 . 2007 0.21 2.11 0.24 0.21 2.11 0.24 0.29 2.03 0.14 2008 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2009 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2010 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2011 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2012 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2013 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2014 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2015 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2016 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2017 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2018 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2019 . 2.32 0.45 . 2.32 0.45 . 2.32 0.43 2020 2.32 . . 2.32 . . 2.32 . Sumber: Olahan data Keterangan: VSA 1 = volume stok air Waduk Sengguruh VSS 1 = volume stok sedimen Waduk Sengguruh VKS 1 = volume sedimen yang dikeruk Waduk Sengguruh Volume air yang tersimpan pada Waduk Sengguruh pada periode 2004 hingga 2007 mengalami peningkatan sebanyak 200 hingga 700 ribu m 3 . Volume tersebut secara nominal sebesar Rp 21 juta hingga Rp 75 juta pada saat OFCE Waduk Sengguruh sebesar Rp 107.17m 3 . Dengan pengembalian fungsi kawasan penyangga dengan kemiringan ≥ 25 skenario 3 dapat menambah volume air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh sebesar 7 hingga 35 olahan dari Tabel 44. Tabel 45. Perubahan Volume Optimal juta m 3 Waduk Sutami Karena Perubahan Tingkat Bunga dan Pengurangan Lahan Hutan Produksi Base Skenario 2 Skenario 3 Tahun VSS2 VSA2 SA2B VSS2 VSA2 VSA2B VSS2 VSA2 SA2B 2003 61.00 175.12 29.00 61.00 175.12 29.00 61.00 175.12 29.00 2004 61.75 174.37 28.25 61.75 174.37 28.25 61.72 174.40 28.28 2005 62.50 173.62 27.50 62.50 173.62 27.50 62.44 173.68 27.56 2006 63.25 172.87 26.75 63.25 172.87 26.75 63.17 172.96 26.84 2007 64.00 172.12 26.00 64.00 172.12 26.00 63.89 172.23 26.11 2008 64.75 171.37 25.25 64.75 171.37 25.25 64.61 171.51 25.39 2009 65.50 170.62 24.50 65.50 170.62 24.50 65.33 170.79 24.67 2010 66.26 169.87 23.75 66.26 169.87 23.75 66.05 170.07 23.95 2011 67.01 169.12 23.00 67.01 169.12 23.00 66.77 169.35 23.23 2012 67.76 168.36 22.24 67.76 168.36 22.24 67.49 168.63 22.51 2013 68.51 167.61 21.49 68.51 167.61 21.49 68.22 167.90 21.78 2014 69.26 166.86 20.74 69.26 166.86 20.74 68.94 167.18 21.06 2015 70.01 166.11 19.99 70.01 166.11 19.99 69.66 166.46 20.34 2016 70.76 165.36 19.24 70.76 165.36 19.24 70.38 165.74 19.62 2017 71.51 164.61 18.49 71.51 164.61 18.49 71.10 165.02 18.90 2018 72.26 163.86 17.74 72.26 163.86 17.74 71.82 164.30 18.18 2019 73.01 163.11 16.99 73.01 163.11 16.99 72.55 163.58 17.46 2020 73.76 162.36 16.24 73.76 162.36 16.24 73.27 162.85 16.73 Sumber: Olahan data Keterangan: VSA 2 = volume stok air Waduk Sutami VSS 2 = volume tampungan mati yang telah terisi Waduk Sutami SA 2 B = volume tampungan mati yang belum terisi Waduk Sutami Dari hasil pemecahan optimasi dari skenario 3 tidak terdapat perubahan keputusan debit outflow optimal pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk bila dibandingkan dengan model dasar. Hal itu karena luas areal dan debit inflow tidak mengalami perubahan. Pada skenario 3 menjadikan volume air yang tersimpan dalam Waduk Sutami Vsa 2 mengalami peningkatan dan volume sedimen yang tertahan Vss2 menjadi lebih kecil Tabel 45. Rata-rata tambahan volume air yang tersimpan dalam Waduk Sutami sebesar 260 ribu m 3 setiap tahun; atau setara dengan nilai nominal sebesar Rp 25 454 000 pada saat OFCE Waduk Sutami sebesar Rp 97.90m 3 Tabel 31. Dengan mengurangkan antara volume air tersimpan Vsa 2 optimasi dinamik skenario 3 dan model dasar didapatkan angka tambahan volume air tersimpan dengan kisaran 29 hingga 490 ribu m 3 pada setiap periode tahun. 9.4. Ikhtisar Perubahan harga komoditas tertentu kacang tanah dan sayuran mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas pola tanam optimal pada sub- sistem hulu waduk, namun tidak menyebabkan perubahan kuantitas debit outflow optimal pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Beberapa kondisi lain yang terjadi pada skenario perubahan harga bila dibandingkan dengan model dasar adalah: 1. Terjadi pergeseran switching paket pola tanam optimal pada lahan tegal. 2. Luas lahan yang tersedia dioptimalkan secara keseluruhan baik pada paket pola tanam yang digantikan maupun pengganti. 3. Terjadi perubahan besaran harga bayangan ketebalan lapisan tanah UCSE, namun pada biaya off-site erosi OFCE tidak terjadi perubahan. 4. Terjadi perubahan volume stok air, sedimen tertahan dan sedimen yang dikeruk. Pergeseran hanya terjadi pada paket pola tanam yang dibentuk oleh komoditas yang mengalami perubahan harga dengan potensi erosi yang relatif lebih besar. Penurunan harga kubis tidak mengubah keputusan aktivitas optimal pada lahan sawah; sedangkan pada fungsi lahan tegal terjadi keadaan yang sebaliknya. Melalui transmisi penerimaan manfaat kotor, perubahan harga komoditas dan berkurangnya SD secara bersama-sama mempengaruhi perubahan pendapatan. Pada kondisi harga berubah dan biaya konstan, maka dinamika pendapatan setiap periode lebih dominan dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas. Perubahan SD relatif kecil sehingga tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas. Beberapa kondisi yang melatarbe- lakangi perubahan maupun pergeseran aktivitas pola tanam optimal adalah: 1 tingkat pendapatan per unit lahan pada awal dan setiap periode, 2 jumlah periode tahun dengan kondisi tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, 3 pergeseran terjadi pada periode setelah tingkat pendapatan per unit lahan bernilai negatif, dan 4 perubahan tingkat pendapatan antar periode relatif kecil. Frekuensi terjadinya pergeseran paket pola tanam selama horizon waktu bervariasi menurut proporsi perubahan harga komoditas. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan optimal bergeser secara langsung atau tidak bertahap. Luas lahan pola tanam optimal pengganti pada periode t+1 sama dengan luas keseluruhan lahan pola tanam optimal yang digantikan pada periode t. Dengan kata lain bahwa model perumusan optimasi dinamik Model-DTA belum bisa mengakomodasi fenomena perubahan luas lahan optimal secara bertahap sebagaimana kondisi riil di lapangan. Antara perubahan harga komoditas dan UCSE terdapat hubungan negatif. Perubahan UCSE antar periode pada skenario 1 penurunan harga komoditas tertentu relatif lebih besar daripada model dasar. Perbedaan terjadi karena perbedaan variabel yang mempengaruhi perubahan tingkat pendapatan per unit lahan. Perubahan tingkat pendapatan per unit lahan pada skenario 1 dipengaruhi oleh perubahan SD dan harga komoditas, sedangkan pada model dasar hanya dikarenakan oleh perubahan SD. Keragaman perubahan besaran UCSE juga disebabkan oleh proporsi perubahan harga komoditas. Perbedaan proporsi perubahan harga menyebabkan perbedaan perubahan penerimaan, Pc ∂y⋅∂S jk t, sehingga menimbulkan perbedaan terjadinya periode pergeseran switching pola tanam optimal. Kedua perbedaan perubahan tersebut, selanjutnya berpengaruh pada perbedaan besaran UCSE, λ 1ijk t+1. Perubahan harga komoditas di wilayah sub-sistem hulu waduk tidak mempengaruhi debit outflow optimal maupun besaran OFCE. Perubahan harga komoditas hanya berpengaruh terhadap perubahan volume sedimen yang tertahan dan air yang tersimpan dala waduk; yakni melalui variabel tingkat erosi karena perubahan paket pola tanam. Pendugaan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh peningkatan volume sedimen karena dampak tidak langsung dari perubahan harga komoditas dapat didekati dari biaya pengerukan sedimen dan biaya kesempatan air yang tersimpan dalam waduk. Perubahan tingkat bunga tidak mempengaruhi perubahan keputusan aktivitas optimal pada sub-sistem hulu maupun debit outflow. Kondisi tersebut berlawanan dengan fenomena secara umum; yakni tingkat bunga mempengaruhi kuantitas ekstrasi. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, keputusan ekstrasi sumberdaya alam tergolong keputusan suatu transfer penggunaan dari periode berikutnya ke periode sekarang yang mecerminkan karakteristik keputusan investasi, dimana tingkat bunga sangat berperan. Pada tataran teori, tingkat bunga mempengaruhi perubahan harga dan kuantitas optimal intertemporal. Disamping itu, dari hasil kajian peneliti sebelumnya diperoleh hasil bahwa semakin tinggi tingkat diskonto, PV dari UCSE per hektar semakin kecil. Perbedaan fenomena dampak tersebut karena: 1 perubahan tingkat bunga pada hasil optimasi Model-DTA hanya akan merubah PV manfaat sosial bersih secara proporsional selama horizon waktu, dan 2 keputusan aktivitas optimal ditentukan oleh pendapatan setiap periode. Pada kondisi tersebut menjadikan perubahan tingkat bunga hanya berpengaruh pada perubahan UCSE λ 1ijk t+1 maupun OFCE λ 2 t+1 dan λ 4 t+1; serta tidak mengubah aktivitas optimal. Perubahan UCSE terjadi pada semua jenis fungsi lahan dengan persentase yang beragam. Disparitas UCSE antara model dasar dengan skenario 2 perubahan tingkat bunga cenderung semakin menurun antar waktu; dan pada OFCE terjadi keadaan yang sebaliknya. Oleh karena perubahan tingkat bunga tidak berpengaruh terhadap perubahan keputusan paket pola tanam optimal, maka volume air yang tersimpan dan sedimen yang tertahan dalam waduk maupun sedimen yang dikeruk juga tidak mengalami perubahan. Pengembalian fungsi hutan klasifikasi kemiringan ≥ 25 dari lahan untuk produksi menjadi fungsi kawasan penyangga hanya bersifat fisik; sehingga dari skenario 3 hanya menyebabkan perubahan potensi erosi yang dihasilkan oleh total ketersediaan luas lahan non-budidaya yang tetap. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pengembalian fungsi kawasan penyangga secara langsung berpengaruh pada volume sedimen yang masuk ke dalam waduk. Dalam perumusan Model-DTA perubahan fisik tersebut terjadi pada kendala transisi kapasitas waduk. Keputusan kuantitas debit outflow optimal tidak berubah karena besarnya debit outflow hanya dipengaruhi oleh luas lahan optimal X ijk , sumbangan lahan terhadap inflow air waduk dan volume stok air dalam waduk sub-bab 7.3. Skenario perubahan variabel fisik tersebut tidak mengubah biaya off-site erosi, sehingga untuk valuasi dampak erosi terhadap sedimentasi waduk akibat dari perambahan hutan penyangga dapat didekati dari biaya pengerukan sedimen dan biaya kesempatan stok air yang tersimpan. Besarnya total biaya dihitung berdasarkan hasil pemecahan optimasi; yakni dengan mengalikan antara OFCE Rpm 3 dan disparitas volume sedimen yang dikeruk serta volume air tersimpan dalam waduk antara model dasar dan skenario 3 pengembalian fungsi kawasan penyangga.

X. KESIMPULAN DAN SARAN