1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemekaran wilayah terjadi pada suatu wilayah administratif yang disebut dengan daerah induk yang mengalami pemekaran sehingga menghasilkan daerah
otonom baru. Dorongan akan terjadinya pemekaran tersebut dapat mengemuka salah satunya karena jauhnya pusat pelayanan publik oleh masyarakat setempat.
Sehingga, jika hal itu permasalahannya maka tindakan untuk memekarkan suatu wilayah berpotensi untuk dilakukan. Namun, apakah tujuan dari pemekaran
wilayah itu sendiri untuk mendekatkan pelayanan publik ke tengah-tengah masyarakat dapat tercapai?
Konsep pemekaran wilayah di dalam UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemekaran wilayah merupakan suatu proses membagi satu
daerah administratif daerah otonom yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru, di mana landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP No.
129 Tahun 2000. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tahun 2008, BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengeluarkan sebuah hasil riset yang dilangsir atas kerjasamanya
dengan United Nations Development Programme UNDP tentang “Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah” bahwa hampir menyeluruh kawasan
pemekaran secara administratif di Indonesia, kecuali di Pulau Jawa dalam kurun waktu 5 tahun, Daerah Otonom Baru DOB secara kinerja pelayanan publik
masih berada di bawah daerah Induk dan daerah Kontrol Tarigan, 2010: 25. Rilis terbaru “Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah”
EKPPD, Kemendagri, disebutkan ada 6 daerah otonom yang kinerjanya rendah. Permasalahannya terletak pada pengelolaan keuangan daerah yang bermasalah,
aparatur daerah yang kurang berkualitas, tata kelola pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel, serta salah satunya kualitas pelayanan publik yang
rendah INA, 25 April 2012: 2. Rendahnya kualitas pelayanan publik menjadi hal yang menjadi sorotan
yang ranahnya ditujukan bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, terlebih dalam hal ini adalah pemerintah daerah otonom baru
hasil dari suatu pemekaran wilayah. Restorasi pelayanan publik merupakan harapan seluruh masyarakat, yang nyata-nyatanya tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Berbagai jenis pelayanan publik cenderung mengalami kemunduran dengan ditandai adanya penyimpangan pelayanan publik di tengah-
tengah masyarakat. Hal-hal yang sering disoroti adalah sistem dan prosedur
pelayanan yang berbelit-belit dan kelambanan sumber daya manusia dalam melayani pelayanan publik tersebut.
Pelayanan publik merupakan hal yang paling mudah untuk mengukur suatu kinerja pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Semua itu
bisa dilihat dari penilaian masyarakat yang dituangkan dalam tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik dari pemerintah setempat. Terlebih, ketika
adanya keengganan dari masyarakat untuk berhubungan langsung dengan pemerintah daerah kaitannya dengan urusan pelayanan publik menjadi indikator
bahwa kinerja pelayanan publik pemerintah daerah tersebut dapat dikatakan rendah. Menurut Safroni 2012: 15, dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya
telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, murah, dan transparan. Namun pada kenyataannya
upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit,
lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain. Lain daripada itu, seperti apa yang telah dikemukakan di awal, satu hal
yang menjadi agenda akbar dalam setiap adanya pemekaran wilayah adalah untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga masyarakat semakin
mudah dan praktis untuk mendapatkan pelayanan publik. Disini bisa dijelaskan bahwa ada aspek keterjangkauan aksesibilitas di setiap adanya pemekaran
dikaitkan dengan kemudahan akses terhadap pelayanan publik. Aspek keterjangkauan terhadap pelayanan publik tersebut dapat diukur dengan ukuran
jarak, waktu, dan biaya tempuh untuk menuju pusat pelayanan publik tersebut.
Logikanya, dengan adanya pemekaran wilayah, maka akses terhadap pelayanan publik menjadi mudah mengingat didekatkannya pusat pelayanan publik tersebut.
Dalam ilmu geografi, yang menjadi obyek kajiannya adalah atmosfer, hidrosfer, litosferpedosfer, biosfer, dan antroposfer. Fenomena geosfer tersebut
selanjutnya dilakukan analisis dengan salah satu maupun lebih pendekatan geografi. Pendekatan geografi ini adalah sebagai cara atau metode untuk
memecahkan atau menjawab permasalahan atas fenomena-fenomena geosfer tersebut. Di dalam ilmu geografi dikenal dengan 3 pendekatan geografi, yaitu
pendekatan keruangan spatial approach, pendekatan kelingkungan ecological approach, dan pendekatan kompleks wilayah regional approach.
Pendekatan keruangan akan mencari pola hubungan, distribusi, maupun penyebarannya dalam suatu ruang. Pendekatan kelingkungan memasukkan aspek
lingkungan sebagai tempat tinggal manusia dimana di dalamnya terdapat interaksi antar keduanya. Sedangkan, pendekatan kompleks wilayah memiliki ruang
lingkup yang lebih luas di mana memasukkan aspek keruangan dan interaksi antara manusia dan lingkungannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan
geografi secara keruangan spatial approach dan aspek aksesibilitas keterjangkauan terhadap lokasi pelayanan publik termasuk dalam pendekatan
tersebut. Kecamatan Puhpelem merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran
wilayah dari Kecamatan Bulukerto, terbentuk pada tahun 2002 dengan Perda No. 32002 tentang Pembentukan Kecamatan Dalam Kabupaten Wonogiri lihat di
lampiran 5. Tentunya, dari terbentuknya daerah otonom baru ini dapat dilakukan
tinjauan secara keruangan terhadap keterjangkauan aksesibilitas suatu pelayanan publik dengan menitikberatkan pada kemudahan akses pelayanan publik. Selain
itu, juga muncul pertanyaan bagaimana kinerja pemerintah daerah setempat dalam melayani pelanggannya, dalam hal ini masyarakat setempat. Sederet penilaian dan
tanggapan dari masyarakat mengenai sistem, kualitas, prosedur pelayanan, dan lain sebagainya menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai kinerja pemerintah
daerah dimana salah satu fungsinya sebagai pelayan publik public service. Dari paparan di atas, sehingga memunculkan sebuah judul skripsi: Studi Pelayanan
Publik di Kecamatan Puhpelem Kabupaten Wonogiri Pasca Pemekaran Wilayah Tahun 2002.
1.2. Perumusan Masalah