BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang
berkepentingan terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan
bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat
hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan miskin, kota dan desa, kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki
dan perempuan. Kemerdekaan Indonesia mengalihkan kekuasaan kolonial atas tanah
pada negara ternyata tetap tidak berpihak pada masyarakat, terutama petani. Data Badan Pertanahan Nasional BPN menyebutkan 71 persen luas daratan
Indonesia dikategorikan sebagai kawasan kehutanan. Pada kenyataannya, kawasan yang dikategorikan hutan ini dapat saja terwujud pemukiman turun-
temurun tanpa hak kepemilikan atau hutan tak berpohon. Perkebunan besar milik negara dan swasta tercatat seluas 3,55 juta hektar pada tahun 2002.
Rata-rata luas lahan kebun dengan Hak Guna Usaha HGU pada perusahaan swasta besar sekitar 530 hektar, sedangkan perkebunan besar negara rata-rata
seluas 2.800 hektar Hidayati, 2003. Lebih lanjut diungkapkan oleh Hidayati 2003 bahwa Departemen
Pertanian mencatat rata-rata luas kepemilikan rakyat atas perkebunan swadaya pada tahun 2002 hanya sekitar 0,7 hektar. Di Pulau Jawa, luasan penguasaan
lahan per keluarga pada tahun 1993 bahkan hanya 0,41 hektar. Diperkirakan rata-rata luas lahan milik keluarga semakin menyusut. Tak terhitung jumlah
2 petani yang hanya menjadi penggarap tanpa lahan. Tekanan ekonomi akibat
ketidakadilan penguasaan lahan melukai harga diri dan merampas eksistensi sosial petani, dan menjadi pendorong kuat gerakan petani. Gerakan petani
dilakukan untuk memulihkan kembali eksistensi mereka. Pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia dicirikan oleh perpaduan dari
pertanian berorientasi pasar dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, industrialisasi dan urbanisasi, eksploitasi hutan berskala luas, migrasi, tekanan demografi yang
semakin meningkat, perubahan-perubahan hubungan keluarga dan kerabat. Di masa Orde Baru, negara mempunyai peran utama dan menonjol dalam pembangunan
ekonomi, yang dievaluasi kembali sejak awal reformasi. Intervensi pemerintah dalam manajemen sumberdaya alam semakin meningkat sehingga banyak sumberdaya
yang pengelolaannya berpindah dari penduduk lokal kepada pemerintah. Mitchell, et al. 2000 menegaskan bahwa setiap masyarakat selalu terdiri
dari individu dan kelompok yang mempunyai nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan, dan prioritas yang berbeda, atau bahkan terdapat ketidakcocokan
diantara karakter-karakter tersebut, sehingga sangat penting menjadikan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam sebagai suatu proses
pengelolaan konflik. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan hubungan antar manusia dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Pada kondisi ekstrim,
perbedaan kepentingan dan harapan tersebut dapat mendorong konflik bersenjata pada suatu bangsa atau antar bangsa.
Pada masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan
yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, era Reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah
berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai
3 mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera
ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Setelah tumbangnya Presiden Soeharto, orang mulai secara terbuka
mengajukan tuntutan reformasi agraria melalui perubahan undang-undang pokok tentang tanah dan sumber daya alam. Adapun pokok persoalan yang mereka bahas
adalah Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 UUPA 1960, sebuah perundang-undangan yang pada awalnya ditujukan untuk membatasi sistem
pemilikan tanah, pembagian tanah dan penghapusan tanah absentee yang biasa dipraktekkan para tuan tanah. Undang-undang ini juga memberikan pengakuan
terhadap sistem pemilikan komunal dan individual, serta mendorong pelaksanaan pendaftaran tanah. Namun pembagian tanah itu tidak dapat berjalan seluruhnya
selama lima tahun sebelum rejim Presiden Soeharto berkuasa. Ketika Presiden Soeharto berkuasa, landreform dianggap sesuatu praktek
yang berbau kiri dan komunis. Oleh karena itu, pemerintah menghentikan praktek pendistribusian tanah dan sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan berbagai
peraturan yang membuat UUPA semakin terbatas, termasuk undang-undang yang mengatur larangan pengambilalihan lahan secara paksa oleh negara. Pemerintah
memang tidak menghapuskan sama sekali UUPA 1960. Namun sayangnya, praktek di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa pembagian dan penguasaan tanah
sekarang ini bukannya jatuh ke tangan petani kecil dan tak bertanah, tetapi malah semakin banyak dikuasai oleh para pengusaha besar dan elit politik. Suatu praktek
yang jelas sangat bertentangan dengan gagasan dasar UUPA 1960. Lebih parah lagi, UU Pokok Kehutanan 1967 yang menempatkan persoalan tanah hutan di luar
jangkauan hukum UUPA yang menjadi dasar pengalihan lahan hutan kepada para pengusaha perkayuan Down To Earth, 1999.
Setelah rejim Presiden Soeharto tumbang, tuntutan pelaksanaan landreform kembali mencuat. Bersama-sama dengan organisasi-organisasi petani yang baru
dibentuk, kalangan LSM yang peduli terhadap masalah hak-hak masyarakat desa
4 dan pengelolaan sumber daya alam mulai melancarkan desakan perubahan.
Diantaranya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria--KPA, sebuah konsorsium berbagai LSM dan organisasi petani di Indonesia yang berbasis di Bandung, Jawa
Barat dan WALHI. Mereka menyerukan pemulihan hak-hak kepemilikan tanah rakyat, baik tanah pertanian bagi petani dan tanah ulayat bagi masyarakat adat.
Memfokuskan perhatian dan kritik mereka terhadap kegiatan proyek pendaftaran tanah Bank Dunia. Menurut mereka, proyek itu sama sekali mengabaikan pengakuan
terhadap hak adat dalam bentuk kepemilikan tanah. Selain itu, ia bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan cenderung mempercepat komoditisasi tanah Down To
Earth, 1999. Direktorat Jendral Perkebunan dalam Kompas 2003 menyebutkan bahwa
penyebabpemicu konflik perkebunan sampai Agustus 2003, lebih berkaitan dengan sengketa tanah, baik di sektor swasta 225 kasus, maupun negeri seperti PTPN
350 kasus. Di sektor swasta, secara berturut-turut di sebabkan oleh garapan dan okupasi
1
39 kasus, ganti rugi dan tuntutan masyarakat untuk pengembalian tanah 30 kasus, tanah masyarakat yang diambil perusahaan 18 kasus, tanah adatulayat
15 kasus, tuntutan masyarakat terhadap pergantian areal plasma 6 kasus, tumpang tindih alokasi lahan untuk perusahaan perkebunan 5 kasus, tumpang
tindih antara perkebunan dan kawasan hutan, masyarakat berkeberatan atas perpanjanganpemberian izin HGU, ingin ikut sebagai peserta plasma, dan
kelambatan konversi plasma 3 kasus, HGU cacat hukum, tuntutan masyarakat terhadap tanah yang sedang dalam proses HGU, tanah yang diperjualbelikan, dan
penggunaan lahan tanpa izin 2 kasus, serta keinginan untuk memiliki lahan 1 kasus. Selain itu ada sengketa lain, seperti tuntutan nilai kredit yang memberatkan,
perusakan tanaman, dan penjarahan produksi sebanyak 22 kasus. Sedangkan di sektor PTPN, penyebab konflik perkebunan hingga bulan
Agustus 2003, antara lain: garapan 166 kasus, tuntutan masyarakat untuk
1
Penyerobotan lahan oleh masyarakat.
5 pengembalian tanah 55 kasus, tanah masyarakat yang diambil perusahaan 34
kasus, ganti rugi 25 kasus, tuntutan masyarakat terhadap tanah yang sedang dalam proses HGU 14 kasus, okupasi 10 kasus, keinginan untuk memiliki lahan 8
kasus, tuntutan masyarakat terhadap pergantian areal plasma dan masyarakat berkeberatan atas perpanjanganpemberian izin HGU 6 kasus, adatulayat 5
kasus, okupasi oleh instansi pemerintah dan atau pemerintah daerah 3 kasus, penggunaan lahan tanpa izin, tumpang tindih alokasi lahan untuk perusahaan
perkebunan, dan ingin ikut sebagai peserta plasma 2 kasus, tumpang tindih antara perkebunan dan kawasan hutan, HGU cacat hukum, dan tanah diperjualbelikan 1
kasus, serta terdapat sengketa lainnya sebanyak 9 kasus. Pertentangan kepentingan biasanya terjadi antara perusahaan pemegang
Hak Guna Usaha HGU yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti PT. Hevea Indonesia Hevindo yang berada di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat dengan masyarakat sekitar. Hal yang sering dirasakan adalah masyarakat lokal terlantar, tersisih dan akses terhadap sumberdaya alam menjadi tidak ada
terutama lahan. Masyarakat desa berjuang merebutmengambil alih tanah-tanah kosong milik HGU yang sudah hampir puluhan tahun ini tidak termanfaatkan dengan
melakukan aksi pendudukan lahan-lahan tersebut di berbagai lokasi HGU, meski sebagian besar cara yang digunakan belum berujung pada tindakan-tindakan radikal.
Teridentifikasi pula benturan kepentingan antara perusahaan dengan pihak lain, dalam hal ini Perum Perhutani Unit III Jawa Barat yang menimbulkan persengketaan
yang sampai saat ini masih belum ada penyelesaian Stalemate, terutama tentang tata batas. Permasalahan ini juga melibatkan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak TNGH-S sebagai pihak yang menerima pelimpahan lahan dari Perhutani.
6
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Orde Baru, Krisis Ekonomi, dan Desentralisasi