Sejarah Konflik Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

BAB V ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

5.1 Sejarah Konflik

PT. Hevindo merupakan perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha PT. Cengkeh Zansibar. Sebelum PT. Cengkeh Zansibar, telah beroperasi sebelumnya PT. Sinar Mutiara. Saat itu masyarakat telah bekerja sama dengan perusahaan untuk tumpang sari. Masyarakat yang menggarap diberikan kartu putih sebagai surat garapan tumpang sari. Beberapa tahun kemudian perusahaan tersebut tidak dapat beroperasi dan lahan kebun menjadi terlantar. Tahun 1979 PT. Cengkeh Zansibar masuk, dan meminta kepada masyarakat untuk tidak menggarap lahan milik HGU yang telah dialihkan menjadi hak PT. Cengkeh Zansibar, serta meminta masyarakat untuk menyerahkan kartu putih kepada perusahaan. Ada masyarakat yang menyerahkan kartu putih tersebut dan ada yang tidak. Masyarakat yang tidak menyerahkan kartu tersebut pada tahun 1983 di Prona-kan program sertifikasi tanah yang memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah, dan bertahun-tahun telah menggarap tanah tersebut oleh pemerintah. Luas lahan HGU awalnya 1200 hektar, namun setelah program sertifikasi tersebut, luasnya tersisa 500 hektar. Luasan ini semakin berkurang setelah tanah HGU tersebut diminta 20 hektar tiap desa dengan alasan untuk tanah PEMDA pemerintah daerah yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa, namun kegiatan tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Kegiatan tersebut dilakukan oleh tokoh masyarakat waktu itu, seperti kepala desa dan camat yang berkompromi dengan oknum tertentu. Manajer kebun, AGR menyebutkan bahwa: 49 “Lurah waktu itu menginginkan masyarakatnya memiliki tanah, sehingga dilakukan ploting areal perkebunan untuk pengembangan masyarakat, tapi hal ini dilakukan sepihak rupanya, jadi orang itu “main” dengan camat dan lain-lain, sehingga hal ini menimbulkan konflik saat masa peralihan. Setelah diselidiki, ternyata tanah bekas HGU itu, atas nama masyarakat Jakarta dan Bogor, mana mungkin hal ini bisa terjadi, jika tanah tersebut memang untuk masyarakatnya.” Menurut pimpinan perusahaan saat ini luasan HGU yang tersisa seluas 310 hektar, namun efektif digunakan 215 hektar. Banyak lahan kosong yang belum mereka tanami. Beberapa bulan ini perusahaan sedang melakukan perbaikan, salah satu yang dilakukan adalah dengan mencoba menanami kembali lahan perkebunan yang kosong dan menjaga lahan-lahan kosong tersebut agar tidak disalah gunakan oleh pihak lain. Pada masa peralihan yang memakan waktu sekitar 3 tahun tersebut, peristiwa-peristiwa yang memicu konflik dimulai, meski tidak mencuat. Para tokoh masyarakat di tiga desa Nanggung, Curugbitung dan Cisarua saat itu meminta kepada PT. Cengkeh Zansibar untuk memberikan 20 hektar lahan yang akan digunakan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pembangunan infrastruktur desa. Hal ini dilakukan karena dirasakan selama ini perusahaan jarang memberikan bantuan kepada masyarakat. Beberapa tahun kemudian, masyarakat meminta perusahaan agar mengijinkan mereka melakukan kegiatan pertanian di lahan-lahan kosong, namun tidak diijinkan. Tanpa sepengetahuan direksi, pada tahun 1995 beberapa pemuda dan masyarakat mulai membuka lahan kosong milik HGU, yang sebelumnya telah diketahui bahwa tanah tersebut mengandung unsur galian teras galian C yang dapat digunakan untuk bahan bagunan pembuatan batu bata. Kegiatan ini telah diijinkan oleh pihak mandor kebun, meski pimpinan tidak mengetahuinya. Setelah beberapa waktu dilakukan pelarangan dari pihak direksi, dan diancam akan dilaporkan pada polisi. 50 Pasca pelarangan, pihak mandor bersepakat untuk meneruskan dan menyetujui adanya pajak konvensional dari penggali yang diberikan kepada mandor perkebunan saat itu. Pajak tersebut sebesar Rp. 100.000 setiap bulannya. Ditambah lagi dengan iuran sebesar Rp. 150.000 setiap bulan sebagai jaminan keamanan kepada Polsek Nanggung. Dan hal tersebut berlangsung selama lima bulan, karena kegiatan tersebut dilarang oleh kades waktu itu. Setelah dikonfirmasi kepada masing- masing pihak ternyata beberapa pihak mengaku tidak tahu tentang pajak tersebut, termasuk perusahaan, polisi, dan aparat desa yang saat ini masih bertugas. Pembuka lahan pertama kali adalah MRF dan beberapa warga Teluk Waru I lainnya. MRF saat ini juga menjadi penggarap di lahan HGU di Desa Nanggung. Selain itu, ia menjabat sebagai ketua salah satu kelompok tani yang ada di Desa Curugbitung. Dalam kurun waktu 6 bulan ia melakukan penggalian di wilayah tersebut, hingga kemudian ia menghentikan penggalian karena dilarang oleh pihak perkebunan. Beberapa waktu kemudian kegiatan penggalian tersebut dimulai kembali, namun dengan orang yang berbeda dan jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Tidak ada data yang menunjukkan secara pasti bagaimana proses penggalian dimulai kembali. Sampai penelitian selesai, penggalian tersebut masih berlangsung dan sebagian besar jumlah pekerja berasal dari Sukabumi. Terdapat 3 orang pengusaha yang berada di lahan tersebut. Beberapa pekerja menyebutkan bahwa setiap bulan ada polisi yang datang untuk menerima setoran ”uang keamanan” dari para pengusaha. Mereka tidak tahu besar dana yang dikeluarkan oleh masing-masing pengusaha. Diperkirakan juga bahwa pengusaha tersebut memberikan masukan kepada pihak desa. Awalnya tempat galian tersebut merupakan salah satu bukit di Desa Curugbitung, namun saat ini telah menjadi lembah dengan lubang-lubang besar. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. berikut: 51 Gambar 5. Lokasi Tempat Penggalian Teras Di Lahan PT. Hevindo Sumber: Dok. Penelitian 0206. Kegiatan penggalian ini telah berlangsung sekitar 11 tahun. Menurut pihak perusahaan, termasuk mandor, menyatakan tidak pernah mengetahui ada pemungutan dari mereka. Mandor PGA, yang telah 26 tahun bekerja di kawasan ini menerangkan bahwa: “Selama saya bekerja di kawasan Curugbitung, saya belum pernah menerima dari masyarakat yang namanya pajak konvensional atau apalah namanya. Selama ini perusahaan hanya memberikan toleransi kepada masyarakat karena saat itu kondisi sedang krisis moneter, tanpa meminta imbalan apapun.” Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh pekerja dan masyarakat yang pernah bekerja di lahan tersebut. Keterlibatan aparat kepolisian dalam kasus tanah galian teras membuat masing-masing pihak terkesan menutup- nutupi konflik yang sedang terjadi, yaitu konflik antara pemegang HGU PT. Hevindo dan masyarakat desa, serta keterlibatan pihak lain dalam konflik tersebut. Diketahui bahwa salah satu pemilik usaha galian tersebut dilakukan atas pengaruh kuat dari salah satu mantan lurah MMT. Perusahan belum bisa untuk menangani hal ini karena ditakutkan akan memperkeruh masalah yang terjadi di Desa Curugbitung, 52 seperti pemobilisasian massa oleh tokoh masyarakat, yang berujung pada aksi rekliming terhadap lahan HGU. Pada tahun 1997, saat krisis moneter terjadi beberapa masyarakat melakukan pembukaan lahan milik HGU yang telah banyak ditumbuhi alang-alang. Kegiatan ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1980-an, namun masih dalam luasan kecil. Hal ini dilakukan dengan alasan kebutuhan ekonomi yang mendesak, sedangkan lahan yang ada tidak mampu memenuhi kecukupan mereka dan lahan hanya dikuasai oleh beberapa orang saja. Setelah selesai digarap menjadi kebun dan ditanami, pihak perusahaan mendesak masyarakat penggarap untuk meninggalkan lahan tersebut, mencabuti tanaman mereka secara paksa, bahkan sampai melibatkan aparat keamanan. Beberapa minggu kemudian mandor perkebunan mengedarkan surat perjanjian bagi masyarakat penggarap lahan HGU. Pembagian hasil ini hanya kesepakatan dengan mandor tanpa dicantumkan dalam surat perjanjian, sebesar 50:50 dari hasil panen, untuk penggarap dan mandor. Disebutkan dalam surat tersebut bahwa perusahaan sewaktu-waktu akan mengambil lahan tersebut, tanpa ganti rugi dalam bentuk apapun. Kebanyakan masyarakat waktu itu tidak membaca dan memahami isi surat tersebut, sehingga dengan mudah perusahaan mendapatkan tanda tangan tanpa perlawanan. Surat tersebut dikenal dengan “surat pemutihan”. Setelah setahun—tahun 1999—karena dirasakan tidak menguntungkan perusahaan 1 , mandor perkebunan mengeluarkan surat untuk kedua kalinya, namun perihal surat kali ini tentang tumpang sari. Setiap penggarap dikenai biaya sebesar RP. 2.500. Bagi penggarap yang tidak membayar, mereka diancam akan diusir dari lahan garapannya. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 2000, karena terjadi pergantian manajer kebun. Pihak direksi menganggap bahwa manajer kebun 1 Hal ini terjadi karena banyak penggarap yang gagal panen atau panennya kecil, sehingga tidak banyak memberikan pemasukan kepada pihak perusahaan. Selain itu, perusahaan harus menunggu lama hasil panen para penggarap. 53 sebelumnya, ADS kurang bisa menjalankan perusahaan dengan benar. Laporan administrasi perusahaan yang tidak teratur dan bertambahnya jumlah penggarap di lahan HGU menjadi alasan penggantian manajer kebun sebelumnya. Manajer yang baru mengetahui kegiatan mandor tersebut dan segera menghentikan pemungutan. Selain itu pimpinan berharap agar masyarakat tidak lagi melakukan penggarapannya di lahan HGU. Meski ada pelarangan, masyarakat tetap meneruskan kegiatan bertaninya, bahkan ada beberapa penggarap yang mendirikan pondok di lahan yang tidak ada tanaman karetnya, namun hal ini tidak diketahui oleh pihak Hevindo. Kegiatan ini tetap berlangsung dan hingga pada 15 September 2003 terjadi pengusiran terhadap salah satu warga LTF Kampung Cibeber Kulon yang mendirikan pondok di lahan HGU dengan cara melaporkannya kepada Polsek Nanggung. Selang waktu satu bulan LTF mendirikan pondokan kembali dan diketahui oleh mandor, sehingga LTF kembali diusir, namun ia melawan dengan bantuan warga yang lain. Yang terjadi mandor lari menghindari kerumunan warga. Pada tanggal 25 Februari 2004, MRF ketua salah satu kelompok tani desa, membuka lahan baru di lahan kosong milik HGU, namun hal ini langsung diketahui oleh mandor, dan diminta berhenti saat itu juga. Meski telah dilarang tiga kali, namun MRF tidak menghiraukan larangan mandor tersebut. Hingga tanggal 29 Februari 2004 ketika sedang melakukan penggarapan, ia disatroni oleh Kapolsek Nanggung dan diminta menghentikan penggarapan. Jika tidak menghentikan MRF diancam dengan hukuman penjara. MRF dituduh melakukan pengrusakan dan pembakaran pohon jati milik Hevindo. Menurut MRF, “Saya tidak pernah melakukan hal tersebut dengan kata lain laporan yang mandor berikan adalah menggada-ada belaka.” Pada bulan yang sama mandor juga melakukan pencabutan sepihak terhadap semua tanaman salah satu penggarap. Kejadian tersebut sudah dianggap bukan sesuatu yang biasa, meski mereka sadar bahwa tanah yang digarap adalah tanah HGU. Perlakuan pihak Hevindo yang apatis membuat masyarakat bersepakat 54 untuk memberikan perlawanan, seperti yang dilakukan para petani di desa tertangganya Desa Malasari yang melakukan pendudukan lahan terhadap perusahaan perkebunan PT. Nirmala Agung. Selain itu mereka bersepakat untuk membentuk suatu perkumpulan, sebagai bentuk antisipasi terhadap perlakuan perusahaan buruk yang lain. Menurut BBY, penggarap yang masih tetap bertahan dilahan HGU menyebutkan: ”Selamanya kami akan dijadikan bulan-bulanan oleh perusahaan, jika tidak melakukan perlawanan. Seluruh penggarap harus bergabung agar bisa berjuang bersama-sama dalam melawan segala bentuk tindakan perusahaan yang merugikan masyarakat.” Hingga pada awal tahun 2005, dengan bantuan pihak RMI proses pembentukan kelompok tersebut terbentuk dipaparkan dalam 4.4 sebagian besar penggarap tergabung dalam kelompok tersebut, dengan nama Komunitas Petani Curugbitung KPC. Melalui kelompok inilah petani melakukan perjuangan untuk mendapatkan tanah HGU yang akan berakhir tahun 2014. Keterbatasan lahan milik dan keinginan masyarakat untuk mengelola dan mengembangkan model pertanian yang berbasiskan pada kearifan lokal, memunculkan inisiatif untuk mengelola lahan kosong milik HGU. Dengan beberapa pelatihan dan bimbingan yang rutin dari RMI setiap bulan, telah menjadikan masyarakat memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya dan berbicara dengan pihak luar. Tidak banyak kejadian pada tahun 2005, kegiatan penggarap tetap berjalan meski tetap dalam pengawasan Hevindo, terutama jenis tanaman yang masyarakat tanam. Penggarap hanya diijinkan untuk menanam sayur-sayuran dan ubi-ubian, bukan tanaman tahunan atau tanaman berbatang keras. Pada akhir Januari 2006, terjadi pencabutan bibit kayu afrika, sengon, dan buah-buahan milik MJD, dan tidak ada perlawanan. Menurut AGR, manajer kebun PT. Hevindo: 55 ”Masyarakat telah melanggar kesepakatan yang dibuat bersama dengan perusahaan untuk tidak menanam tanaman kehutanan di lahan HGU, seperti kayu sengon, afrika dan tanaman buah-buahan, seperti durian dan mangga, karena hal itu butuh waktu yang lama untuk memanennya. Jika ditanya alasan, mereka mengatakan untuk pakan ternak daunnya. Jadi terpaksa kami harus mencabutnya.” Pada awal bulan April dilakukan pelarangan bagi semua penggarap untuk menggarap di lahan HGU, tidak hanya tanaman musiman, tapi juga singkong dan kapulaga tidak dibolehkan. Padahal masyarakat telah menanam tanaman tersebut sudah 2 bulan usia tanam. Masyarakat berjanji akan melakukan perlawanan ketika tanaman mereka dicabut. Seperti yang dikatakan MJD, penggarap yang telah 8 tahun menggarap di lahan HGU: ”Kami berjanji, jika perusahaan mencabut lagi tanaman kami, maka kami akan melakukan perlawanan dengan mengerahkan penggarap lainnya. Biar perusahaan tahu kalau kami juga punya keberanian untuk memberikan perlawanan.” Setiap bulan dilakukan pertemuan dengan pihak RMI dan beberapa kali dengan pihak HuMa. KPC juga tergabung dalam Komunitas Petani Nanggung KPN. Dalam pertemuan tersebut, seluruh kelompok tani yang tergabung dalam KPN, melakukan diskusi guna mencari jalan pemecahan konflik, serta mencari strategi untuk perjuangan mereka selanjutnya. Gambar 6. menunjukkan lahan milik HGU yang digarap oleh Masyarakat. 56 Gambar 6. Salah Satu Lahan HGU yang Telah Digarap oleh Masyarakat Sumber: Dok. Penelitian 0206 Di dalam lahan HGU terdapat juga lahan-lahan eks HGU yang digunakan untuk usaha lain seperti usaha peternakan ayam yang tersebar di wilayah perkebunan, seperti yang tampak pada Gambar 7. di bawah ini. Keberadaan kandang ayam di lahan HGU ini mengundang banyak pertanyaan dari warga setempat. Gambar 7. Kandang Ayam di lahan HGU PT. Hevindo Sumber: Dok. Penelitian 0206 57 Setiap panen ayam dilakukan banyak bertebaran lalat yang dirasakan mengganggu masyarakat, terutama masalah bau tidak sedap dan masalah kesehatan. Dari data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bogor, izin HGU diberikan untuk tanaman karet dan cengkeh, serta tanaman kayu. Menurut manajer kebun AGR, ”Kandang ayam tersebut bukan milik kami, tapi milik pihak lain. Kami kadang merasa tidak enak kepada masyarakat sekitar. Kami tidak tahu bagaimana penyelesaiannya sampai saat ini. Sampai ada aksi protes dari tokoh-tokoh masyarakat kepada pihak kecamatan. Dan yang paling keras adalah pihak SMP, karena sangat tergangu proses belajar mengajar mereka.” Sejak tahun 1995 perusahaan mengalami penurunan produksi karena terkena penyakit, sehingga pohon-pohon cengkeh dan karet yang menjadi komoditas handalan mereka menjadi tumbang. Hingga akhirnya sampai diborongkan ke masyarakat. Harga pasar kedua komoditas tersebut menurun sehingga masyarakat menebang pohon-pohon tersebut, karena tidak berarti lagi, maka jadilah lahan-lahan bekas tebangan tersebut menjadi tanah terlantar selama dua periode kepemimpinan PT. Hevindo. Terdapat sekitar 95 hektar lahan kosong bekas cengkeh yang belum digarap kembali oleh perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh manajer kebun AGR sebagai berikut: ”Ketika saya memimpin, saya sudah dihadapkan pada persoalan lahan HGU yang dikonflikkan dengan masyarakat. Setelah dihitung secara visual lahan terlantar tersebut seluas 95 hektar bekas cengkeh. Ketika saya konfirmasikan kepada direktur Hevindo, tenyata pimpinan tidak memberikan keputusan apakah akan ditamani kembali dengan karet atau ditunda, karena perusahaan belum tahu apakah HGU akan diperpanjang atau tidak. Namun perusahaan akan mencoba menanaman pohon jati di lahan-lahan kosong tersebut, guna pengamanan aset perusahaan, yang sebelumnya telah mengajukan permohonan diversifikasi usaha kepada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.” Pada tahun 2002, perusahaan melakukan diversifikasi usaha menjadi tanaman jati dan kapulaga, dengan tetap mempertahankan tanaman karet dan cengkeh yang masih hidup. Hasil observasi menunjukkan bahwa jumlah tanaman cengkeh dan karet yang ada di Desa Curugbitung sangat jarang. Bahkan sebagian 58 lahan HGU banyak ditumbuhi ilalang, dan tanaman usaha tidak terawat. Hal ini memang diakui pihak perusahaan, sebagai salah satu akibat dari defisitnya anggaran mereka, sehingga jumlah tenaga kerja perawatan menjadi terbatas. Menurut pihak perusahaan, lahan eks HGU yang banyak terdapat kandang ayam telah dikuasai oleh beberapa tokoh masyarakat sejak peralihan dari PT. Cengkeh Zansibar tahun 1983. Kenyataan yang terjadi setelah pihak perusahaan selidiki, lahan eks HGU telah berpindah tangan kepada orang luar desa, dengan kata lain tokoh masyarakat yang dulu meminta dengan alasan pemberdayaan masyarakat telah menjual atau menyewakan lahan tersebut kepada pengusaha luar desa. Menurut manajer kebun, AGR: “Setelah pihak kami pelajari karakteristik masyarakat di sekitar perkebunan, ternyata masyarakat hanya ingin memperoleh uang dengan cara cepat. Bahkan lahan eks. HGU yang dulu diminta untuk masyarakat, ternyata digadaikan kepada pihak bank, untuk memperoleh modal usaha untuk pribadi.” Kondisi ekonomi yang defisit 2 mengakibatkan perusahaan belum sanggup mengisi kembali lahan-lahan yang kosong seluruhnya. Sampai tahun 2005, perusahaan baru mampu mengisi sekitar 22 hektar dari 95 hektar lahan kosong yang ada. Sehingga yang terjadi lahan-lahan tersebut sudah 10 tahun tidak dimanfaatkan dengan optimal. Hal tersebut juga diungkapkan oleh DDH, penggarap HGU yang pernah juga menggarap lahan kehutanan: “Perusahaan Hevindo telah menelantarkan lahan HGU, dengan tidak mengelolanya selama bertahun-tahun, sehingga atas ijin dari pihak desa, kami menggarap lahan tersebut guna menambah penghasilan kami daripada mubassir 3 .” Saat ini menurut manager kebun, pihaknya sedang memperbaiki kondisi perusahaan, dengan cara melakukan penanaman kembali di lahan-lahan kosong, terutama diluar area konflik. 2 PT. Hevindo merupakan holding company dengan 8 perusahaan milik direksi, dan merupakan perusahaan yang menjadi awal berdirinya 8 perusahaan lain. Hal ini menyebabkan pihak direksi ingin mempertahankan perusahaan ini meski dalam kondisi sedang di subsidi. 3 Istilah yang sering digunakan untuk mengartikan: dibiarkan percuma, sia-sia, tidak termanfaatkan, tanpa memperoleh manfaat dari sesuatu. 59

5.2 Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik

Dokumen yang terkait

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Peranan Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten DT II Bogor Propinsi Jawa-Barat

0 5 164

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecarnatan Indrarnayu, Kabupaten Indrarnayu, Propinsi Jawa Barat)

0 7 155

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

1 29 446

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41