Pengelolaan dan Hasil Akhir Konflik

75 Apabila dilihat dari level konflik, maka konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Curugbitung dengan PT. Hevindo tergolong konflik vertikal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Fuad dan Maskanah 2000 yang menyatakan bahwa konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik antara golongan X dan golongan Y tergolong pada konflik horisontal, yaitu terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya. Konflik horisontal juga terjadi antara TNGH-S dengan PT. Hevindo, PT. Hevindo dengan Perum Perhutani, pemerintah Kecamatan Nanggung, dan pemerintah Desa Curugbitung, meski wujudnya laten.

5.5 Pengelolaan dan Hasil Akhir Konflik

Seperti diungkapkan Maguire dan Boiney 1994 dalam Mitchell, et al., 2000, bahwa penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: 1 Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar; 2 Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; 3 Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa. Berdasarkan proposisi Maguire dan Boiney ini, bahwa masyarakat Curugbitung lebih merasa takut untuk menggunakan jalur hukum. Berikut hasil kutipan wawancara dari BBY: 76 ”Kami sangat tidak ingin menempuh jalur hukum untuk menangani masalah ini. Menurut pengamatan kami, biasanya jalur hukum itu lebih sulit ditempuh, jika kami tidak punya uang banyak, kami tidak akan mampu untuk melakukan ini, lebih-lebih untuk memenangkanya. Sanksinya lebih berat, prosesnya lama.” Senada dengan BBY, YYH mengungkapkan: ”Jalan hukum tidak akan mampu mengeluarkan kami dari permasalahan ini, karena kami petani kecil yang tidak akan mampu untuk membayar pengacara hebat.” Perusahaan awalnya menggunakan pendekatan fisik dan ancaman, dengan melibatkan aparat keamanan disertai pengusiran oleh mandor. Menurut Soekanto 1990 dan Ibrahim 2002 tindakan tersebut disebut tindakan dalam bentuk coercion, yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik secara langsung, maupun secara psikologis secara tidak langsung. Pergantian manajer kebun juga berpengaruh pada aktivitas kerja karyawan. Mandor yang dulu secara diam-diam melakukan pungli 6 pungutan liar kini tidak berani lagi, karena AGR, manajer kebun yang baru mengatakan: ”Kami akan memberhentikan karyawan yang bertindak tidak sesuai dengan kebijakan perusahaan, apalagi karyawan yang membantu melakukan tindakan penggarap di lahan HGU tanpa izin perusahaan.” Pendekatan ini tidak berhasil sehingga beberapa waktu perusahaan tidak melakukan tindakan apapun. Hingga pada tahun 1997, dikeluarkan surat penjanjian penggarapan. Surat penjanjian dengan para penggarap tahun 1997 tersebut, sebagai salah satu aplikasi penyelesaian konflik, namun orang-orang yang saat itu melakukan perjanjian kini sudah tidak ada lagi atau meninggal, sehingga sulit 6 Istilah masyarakat lokal, atau sering juga mengistilahkan pajak konvensional. 77 untuk mengusut kembali. Tentang hal ini manajer kebun AGR mengungkapkan bahwa: ”Saat ini salah satu yang bisa kami lakukan dalam menyelesaikan konflik dengan para penggarap di lahan kami adalah mengeluarkan kembali surat perjajian yang pernah kami keluarkan di tahun 1997, namun sampai saat ini ketika ditawarkan surat perjanjian tersebut para penggarap tidak mau menandatanginya. Kami tidak tahu siapa saja yang menggarap lahan kami, karena lahan-lahan yang dulu telah diperjanjikan kini mungkin telah diberikan kepada anak, cucu, bahkan cicitnya untuk menggarap lahan tersebut, sehingga kami harus melakukan pendataan kembali.” Surat perjanjian yang dikeluarkan perusahaan, tidak mendapatkan tanggapan baik dari masyarakat. Alasan yang muncul antara lain: 1. Masyarakat keberatan dengan salah satu butir yang terdapat dalam surat perjanjian yang mengungkapkan bahwa: “Apabila perusahaan akan menggunakanmenanam pohon jenis apa saja pada saat belum panen, saya akan bersedia melepaskan tanah yang saya garap.” Butir tersebut terkesan sepihak dan mengandung sikap arogansi yang kuat; 2. Masyarakat sampai saat ini belum berkesempatan untuk bertemu dengan perusahaan. Alasan kedua ini, lebih dipicu orang rasa takut dari pihak masyarakat untuk bertemu dengan pihak perusahaan karena takut dikenakan tindakan hukum, seperti dimasukkan dalam penjara. Pemerintahan di tingkat desa maupun kecamatan, tidak banyak memberikan tanggapan terhadap persoalan tersebut. Ketika diwawancarai, lurah OBG hanya berkomentar: “Oh...masalah lahan kosong itu...saya tidak banyak tahu tentang masalah itu sambil mengarahkan pandangan kepada kepala LPMD.” Pendekatan APK 7 Alternatif Penyelesaian Konflik terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi, namun belum dapat dilakukan sepenuhnya 7 APK muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum. 78 dalam kasus ini, kecuali konsultasi publik dengan lembaga-lembaga pemerintahan daerah, seperti Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor dan Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Mitchell, et al. 2000: Pertama, individu-individu pihak-pihak yang berkonflik tidak mengalami kondisi dan posisi yang terbaik untuk mengidentifikasi isu-isu yang menyebabkan konflik dan sama-sama mencari jalan keluar penyelesaian konflik. Kedua, diskusi dengan tatap muka tidak dapat dilakukan, sebagai tindakan yang paling produktif dalam penyelesaian konflik. Ketiga, tidak muncul komitmen sukarela untuk penyelesaian masalah bersama. Keempat, keinginan masing-masing pihak belum bisa diterima oleh pihak lain, sehingga sulit untuk mencapai konsensus bersama. Dalam kasus ini kondisi stalemate dicapai lebih awal setelah bentuk compromise dilakukan, dimana pihak-pihak yang bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang dan atau keinginan untuk tidak memunculkan konflik yang terbuka. Hal ini juga disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur. Setelah proses conciliation, perusahaan memilih bentuk toleration, karena waktu itu melihat kondisi masyarakat yang terkena imbas krisis moneter, seperti yang diungkapkan oleh mandor PGR: ”Perusahaan memberikan toleransi kepada masyarakat untuk menggarap lahan HGU, karena waktu itu terjadi krisis moneter. Tapi masyarakat yang akan menggarap harus menandatangi surat perjanjian dulu dengan perusahaan.” Kondisi ini tidak seperti yang diungkapkan oleh Soekanto 1990 dan Ibrahim 2002, bahwa bentuk-bentuk akomodasi yang ada itu umumnya lebih cenderung berurutan sebagai suatu proses mulai dari coercion, compromise, arbitration, mediation, conciliation, toleration, stalemate, adjudication. Pendekatan akomodasi dipilih dengan tujuan diantaranya: 79 1. Untuk mengurangi pertentangan antara pihak-pihak yang mengalami perbedaan pemahaman. 2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. Bentuk akomodasi yang terlihat dari kasus penyelesaian konflik di Desa Curugbitung secara berurutan adalah compromise, stalemate, conciliation, toleration, coercion, mediation, [arbitration, adjudication]. Bentuk adjudication hukum dipilih sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian konflik, namun hal ini belum dilakukan oleh salah satu pihak atau keduanya. Arbitration 8 dan mediation yang direncanakan dilakukan oleh pihak ketiga yang netral tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena pihak ketiga yang ada RMI, LSM lain, dan pemerintahan desa tidak mendapatkan kepercayaan dari pihak perusahaan sebagai pihak yang mampu menyelesaikan konflik secara adil. Selain itu, salah satu pihak belum memiliki kesiapan, terutama masyarakat untuk menemui pihak lain dalam konflik. Begitu juga dengan proses conciliation, meski dapat terjadi namun tidak memberikan dampak terhadap penyelesaian penuh konflik yang terjadi. Hal ini lebih disebabkan oleh kepentingan masing-masing pihak tidak diungkapkan secara jujur dan terbuka, dalam artian kepentingan-kepentingan laten masih belum dimunculkan, serta belum munculnya keinginan untuk bekerja sama satu sama lain. Surat perjanjian yang dikeluarkan perusahaan setelah tahun 1997, tidak mendapatkan respon dari masyarakat. Setelah proses conciliation, tidak berjalan baik, perusahaan mulai menggunakan bentuk coercion paksaan, baik dalam bentuk teguran, ancaman, penggunaan aparat kepolisian hingga pencabutan tanaman masyarakat. Cara-cara persuasif tidak dapat dilakukan, karena keberadaan tokoh masyarakat di desa tersebut tidak banyak berpengaruh terhadap tindakan 8 Pihak-pihak yang bertentangan atau badan yang berkedudukan lebih tinggi memilih pihak ketiga, karena tidak sanggup menyelesaikan sendiri kasus ini, belum dilakukan sepenuhnya. 80 masyarakat. Hal ini diduga bahwa masyarakat desa ini kehilangan tokoh panutan yang dapat didengar dan dituruti ucapannya. Kondisi ini juga mempengaruhi terhadap penyelesaian konflik. Selain itu didukung oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap informasi tentang Hevindo sehingga untuk mengambil keputusan cukup sulit dilakukan oleh para penggarap yang sebagian besar bernaung di bawah KPC. Secara umum, pendekatan akomodasi yang terjadi dapat di lihat pada Gambar 11. berikut: Gambar 11. Proses Pengelolaan Konflik Antara PT. Hevindo dan Masyarakat Desa Curugbitung dengan Pendekatan Akomodasi No. Menurut Soekanto 1990 Menurut Hasil Penelitian Deskripsi Hasil Akhir 1. Coercion Compromise Masyarakat meminta agar perusahaan mau untuk merasakan kondisi dan situasi yang masyarakat alami saat ini Sementara waktu, memunculkan konflik laten, karena ketidakpuasan salah satu pihak 2. Compromise Stalemate Keinginan masing-masing pihak untuk tidak memunculkan konflik yang terbuka Berlangsung lama, hingga dilakukan kesepakatan baru 3. Arbitration Conciliation Masing-masing pihak melakukan persetujuan meski semua tidak tertulis dalam surat perjanjian. Perusahaan mengeluarkan surat perjanjian menggarap. Berlangsung sementara, karena kedua belah pihak melanggar beberapa ketentuan 4. Conciliation Toleration Perusahaan yang memiliki kekuatan lebih secara hukum memberikan toleransi terhadap masyarakat karena kondisi ekonomi yang buruk Berlangsung dalam tempo tertentu karena masyarakat semakin meluaskan wilayah garapannya di lahan HGU 5. Mediation Coercion Perusahaan melakukan ancaman, pengusiran, penggunaan aparat keamanan, hingga pencabutan tanaman milik masyarakat, tanpa ganti rugi Awalnya tidak mendapatkan perlawanan, namun setelah beberapa kali mendapatkan perlawanan dan menaikkan konflik 6. Toleration Mediation Hadirnya beberapa LSM untuk membantu menyelesaikan konflik yang terjadi. Gagal dilakukan karena pihak perusahaan tidak percaya kepada LSM tersebut 7. Stalemate Arbitration Masih direncanakan - 8. Adjudication Adjudication Dilakukan jika terpaksa - 81 Jika dilihat dari segi wujud konflik yang terjadi dan upaya-upaya pengelolaan konflik yang masing-masing pihak lakukan dan tawarkan, maka akan terlihat bahwa: 1. Konflik laten sangat lama terjadi di Desa Curugbitung, hal ini dipengaruhi oleh kuatnya dukungan dari tokoh masyarakat dan aparat kepolisian yang biasa bertugas meredam konflik sebelum reformasi. Posisi tawar yang sama antara masyarakat desa dengan perusahaan membuat kondisi ini berlangsung lama. Perusahaan hanya melakukan pengawasan terhadap lahan HGU yang mereka garap agar tidak terjadi penjarahan. 2. Konflik mencuat ketika hadirnya pihak ketika, seperti LSM RMI dan beberapa LSM lain, serta adanya informasi terjadinya aksi tuntutan masyarakat terhadap perusahaan HGU di lokasi yang lain. Krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997 menjadi pendorong masyarakat untuk menggarap lahan HGU yang kosong guna memperoleh tambahan penghasilan. 3. Konflik terbuka, belum terjadi sepenuhnya karena masing-masing pihak mencoba menghindari benturan fisik satu sama lain, meski beberapa kali sempat terjadi tindakan pengancaman dan pencabutan tanaman masyarakat oleh pihak perusahaan, termasuk perombakan pondok salah satu warga penggarap. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12. di halaman berikutnya. Gambar 12. Upaya-Upaya Pengelolaan Konflik di Desa Curugbitung yang Berkaitan dengan Wujud Konflik Solusi yang Dilakukan dan Ditawarkan oleh Pihak-Pihak yang Terlibat Konflik Wujud Konflik Masyarakat Perusahaan Aparat Keamanan Tokoh Masyarakat LSM Pemerintahan Desa dan Kec. Hasil Akhir Konflik Laten Meminta perusahaan agar mengijinkan menggarap di lahan kosong HGU; bernegosiasi dengan mandor Konsentrasi pada penanaman kembali lahan kosong yang tidak berada di wilayah konflik; mengawasi karyawan yang terlibat dengan tindakan masyarakat di lahan HGU __ Tidak banyak mengungkit permasalahan yang terjadi di desanya __ Secara diam-diam mengijinkan masyarakat untuk menggarap lahan kosong HGU. Masih berlangsung, karena masing- masing menutupi konflik Laten- Mencuat- Laten Menggarap lahan dengan dukungan pihak desa; membuka lahan kosong yang belum digunakan oleh perusahan, bernegosiasi dengan mandor; ikut merawat tanaman milik Hevindo; bersama LSM melakukan audiensi dengan pihak PEMDA; membentuk organisasi lokal Menyetujui beberapa kegiatan masyarakat yang mengajukan proposal atas nama yayasan tertentu dengan persetujuan kepala desa; mengeluarkan kartu putih; menginjinkan kegiatan tumpang sari bersama masyarakat; mengeluarkan surat perjanjian dengan masyarakat penggarap di lahan HGU. Membantu melakukan penegakan hukum ketika diminta oleh perusahaan Negosiasi yang kuat dan dukungan pihak keamanan menjadikan masing-masing pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan keluar atau berdiam diri, meski salah satu atau keduanya sama- sama mengalami kerugian Memperkuat masyarakat, baik secara individu maupun kelembagaan; melakukan pelatihan; penyadaran akan hak mereka atas tanah; memfasilitasi kebutuhan akan informasi dan ruang gerak ke sektor lain Tidak banyak terlibat secara terang-terangan Masing- masing berusaha untuk menghindari konflik terbuka, namun tidak mampu menyelesaikan konflik. Laten- Terbuka Mengalang dukungan dari pihak lain, termasuk PEMDA, dan LSM di luar desa. Menguatkan kelembagaan lokal untuk menyiapkan perlawanan. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan masyarakat di lahan HGU, dan mengantisipasi agar wilayah perambahan tidak lebih luas; mencoba untuk berdiskusi dengan pihak LSM, sebagai pihak yang mengintervensi masyarakat belum terlaksana; menggunakan pendekatan fisik dan ancaman, dengan melibatkan aparat keamanan disertai pengusiran oleh mandor; menghentikan pungutan tumpang sari. Memanggil pihak-pihak yang terlibat konflik __ Memberikan masukan kepada masyarakat agar tidak terburu-buru melakukan perlawanan; menyiapkan penguatan masyarakat dengan konsep dan strategi; mendampingi. Melibatkan polisi untuk mencegah terjadinya konflik Tidak terjadi penuh konflik terbuka, karena masing- masing pihak masih menahan diri untuk melakukan perlawanan fisik 83

5.6 Peta Kekuatan yang Dimiliki Pihak-Pihak Berkonflik

Dokumen yang terkait

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Peranan Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten DT II Bogor Propinsi Jawa-Barat

0 5 164

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecarnatan Indrarnayu, Kabupaten Indrarnayu, Propinsi Jawa Barat)

0 7 155

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

1 29 446

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41