Pihak-Pihak Lain Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik

62 “Sebenarnya kami keberatan jika HGU diperpanjang oleh PT. Hevindo, hal ini dirasakan masyarakat tidak terlalu banyak membantu selama ini”. Menurut MRF, ketua KPC: “Kalaupun HGU diperpanjang, masyarakat berharap perusahaan lebih peduli terhadap mereka, sehingga kami masih dapat memenuhi kebutuhan ekonomi yang merupakan hak dasar yang dijamin oleh hak asasi”. Ditambahkan oleh BBY, masyarakat yang menggarap di Desa Nanggung. “Masyarakat ini telah lama hidup di pinggiran wilayah perkebunan, bahkan sebelum Indonesia merdeka, setidaknya kami memiliki sedikit hak untuk mendapatkan manfaat dari lahan tersebut.”

5.2.3 Pihak-Pihak Lain

Pihak-pihak lain yang terlibat konflik antara lain: pemerintah desa, Dinas Pertanian Dan Kehutanan Kabupaten Bogor, pengusaha bangunan, Mandor, LSM RMI, LSM HuMa, mantan lurah, Polsek Nanggung, pemerintah Kecamatan Nanggung, KPC, dan KPN. Pemerintahan Desa Curugbitung, baik Lurah OBG maupun ketua LPMD SYD, tidak banyak mengungkit permasalahan yang terjadi di desanya, terutama tentang penggalian pasir dan penggarapan lahan kosong Hevindo. Meskipun pihak desa tidak secara tegas mengungkapkan tentang persetujuan terhadap tindakan para penggarap, namun tercantum dalam papan rencana program kerja desa, terdapat kalimat: ”...memberikan [motifasi] 4 dengan penyuluhan dan pemanfaatan lahan kosong menjadi lahan produktif, untuk mengurangi angka pengangguran.” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa desa mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong yang ada di desa. Sikap ini juga diketahui oleh pihak Hevindo, sehingga sampai saat penelitian ini selesai Hevindo tidak melakukan tindakan apapun yang berhubungan dengan desa. 4 Tertulis seperti yang di papan rencana program kerja desa. 63 RMI, sebagai salah satu LSM yang melakukan intervensi terhadap masyarakat, termasuk lembaga lain, seperti HuMa, Sawit Watch, Ranca Institut, Serikat Petani Mandiri SPM, Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor, dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. Pendampingan yang intensif dan akses yang dimiliki RMI kepada pihak lain telah banyak merubah sikap dan perilaku masyarakat dalam menghadapi konflik yang terjadi dengan Hevindo. Salah satu relawan RMI yang bertempat tinggal di desa tersebut HLD menyebutkan bahwa: “Konflik yang terjadi antara masyarakat dan Hevindo merupakan salah satu bentuk ketidakpuasan atau protes terhadap perusahaan, dan juga pemerintah yang selama ini tidak memperdulikan nasib mereka. Himpitan ekonomi yang terlalu berat mendorong masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan kosong HGU, meski sering disebut sebagai penjarah.” Menurut penilaian mereka, “Masyarakat telah memiliki kelembagaan yang cukup kuat dan terorganisir, sehingga RMI hanya membantu memperkuat kelembagaan tersebut dan tidak terlalu banyak terlibat dalam proses-proses penyelesaian konfliknya, hanya menfasilitasi dan mendampingi saja.” Pada kasus ini, pihaknya hanya memberikan masukan-masukan bagi masyarakat dalam proses negosiasi. Masyarakat datang ke RMI dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada, kemudian hasilnya mereka musyawarahkan dengan masyarakat dan anggota KPC yang lainnya. Selanjutnya RMI hanya mengawasi implementasi dan perkembangan dari kesepakatan yang telah dipilih oleh masyarakat. “Kadang-kadang kami datang ke lokasi untuk bertemu dengan seluruh penggarap di lahan HGU.” Sedangkan pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, yang diwakili oleh staf subid perkebunan SPR, mengaku tidak banyak tahu tentang konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Hevindo. Pernah secara pribadi dia mendengar tentang konflik yang terjadi di wilayah sekitar PT. Hevindo. Secara resmi, laporan dari pihak Henvindo selama ini tidak terlalu banyak menyinggung tentang 64 konflik yang masih terjadi sampai saat ini. Sampai saat ini pihaknya belum menerima laporan dari masyarakat tentang konflik yang terjadi. “Kami bersedia menindaklanjuti jika dirasa dapat membantu menyelesaikan konflik yang terjadi.” “Setiap perusahaan harus memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan masyarakat, terutama melalui program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar, agar dapat menghidari timbulnya ketidakpuasan yang memicu konflik.” Hingga penelitian selesai, mantan lurah tidak berada di desa, menurut masyarakat mantan lurah ini dikenal sebagai salah satu gurandil 5 yang sering naik gunung untuk mencari biji emas. Berbagai pihak yang telah disebutkan di atas memiliki karakteristik dan peranan yang berbeda dalam konflik antara masyarakat Desa Curugbitung dengan PT. Hevindo. Gambaran karakter dan peranan masing- masing pihak dapat di lihat pada Gambar 8. di halaman berikutnya. 5 Istilah lokal yang digunakan untuk menyatakan pencari emas liar PETI. 65 Gambar 8. Karakteristik Pihak-Pihak yang terlibat Konflik Pihak-Pihak yang terlibat Konflik Karakteristik Peranan dalam Konflik PT. Hevindo Pemilik ijin HGU sejak tahun 1988 hingga 2014; berusaha mengamankan aset perusahaan lahan agar tidak di ambil alih oleh pihak lain. Membatasi akses masyarakat terhadap SDA Pelaku utama konflik, melakukan tindakan-tindakan yang dapat mendorong konflik sekaligus yang dapat meredam konflik dalam waktu tertentu. Masyarakat Desa Curugbitung Berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara mengekspansi lahan milik HGU yang kosong; berusaha mengembangkan keahlian bidang pertanian yang mereka miliki. Pelaku utama, berdiam diri, hingga melakukan perlawanan terhadap pihak lawan. Meminta pihak lain untuk membantu dalam melakukan pergerakan. LSM RMI, Huma dan LSM lain Memiliki kemampuan untuk melakukan advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat; memiliki akses terhadap informasi dan memilik jaringan terhadap LSM maupun lembaga lain. Sebagai tempat konsultasi masyarakat. Membantu mendirikan organisasi lokal. Sebagai fasilitator masyarakat dalam melakukan konsultasi publik, dan mengakses lembaga-lembaga di tingkat kabupaten. Melakukan fungsi penyadaran terhadap hak masyarakat terhadap tanah. sebagai pemicu konflik yang terjadi. KPC dan KPN Organisasi lokal yang bertujuan sebagai sarana memperjuangkan hak- hak masyarakat terhadap tanah, dan mengembangkan keterampilan dalam bidang pertanian. Sebagai alat perjuangan masyarakat ketika menghadapi masyarakat. Diduga sebagai pemicu konflik. Melakukan tindakan perlawanan terhadap tindakan apatis perusahaan. Pemerintah Desa dan Kecamatan Lembaga pemerintah yang menginginkan masyarakatnya memiliki tanah dan tidak jatuh miskin. Secara diam-diam mendukung masyarakatnya untuk menggarap lahan HGU. Dinas Pertanian dan Kehutanan Lembaga pemerintah yang memiliki hubungan dekat dengan pihak perusahaan. Menjadi tempat konsultasi pihak perusahaan. Mendukung perusahaan HGU, dan tidak melibatkan dalam konflik. Bapeda dan Dinas Tata Ruang Lembaga pemerintah yang diajak berkonsultasi oleh pihak masyarakat dan LSM Menjadi pengamat dalam konflik Polsek Nanggung Aparat keamanan yang sering membantu pihak perusahaan untuk mengamankan lahan HGU, dan pihak yang mendapatkan dana keamanan dari pihak pengusaha dan penggarap di lahan HGU. Melakukan identifikasi tempat kejadian, terlibat dalam penggusuran dan pengusiran penggarap dari lahan HGU. Mampu meredam konflik dengan ancaman hukuman. Mandor Pihak perusahaan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap lahan-lahan HGU. Kadang berperan sebagai peredam konflik, tapi kadang berperan sebagai pencari keuntungan. Kaki tangan perusahaan dalam melakukan kesepakatan dengan masyarakat. Selain Gambar 8. di atas, dapat diketahui juga secara umum, pola hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik antara masyarakat Desa Curugbitung dan PT. Hevindo dapat dipetakan dalam Gambar 9. di halaman berikutnya. 66 Gambar 9. Pola Hubungan Pihak-Pihak Terlibat Konflik Keterangan: 5.3 Penyebab Konflik Beberapa penulis di Bab II mengungkapkan bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Penyebab konflik yang terjadi antara masyarakat Curugbitung dan PT. Hevindo berawal pada keterbatasan jumlah lahan milik, sementara kebutuhan selalu meningkat, baik fungsi maupun : Konflik Utama : Konflik Laten : Hubungan Dekat : Hubungan Kerjasama : Hubungan ”Kepentingan” : Pihak yang terlibat konflik : Pihak yang mengamati konflik atau pihak yang tidak menampakkan ketelibatan secara langsung dalam konflik Masyarakat Curugbitung PT. Hevea Indonesia Pemerintahan Desa Curugbitung Mandor KPC Komunitas Petani Curugbitung Mantan Lurah LSM Sawit Watch, Raca Institut, SPM LSM RMI LSM HuMa Pengusaha Dinas Tata Ruang Kab. Bogor Bapeda Polsek Nanggung KPN Komunitas Petani Nanggung DinTanHut Kabupaten Bogor Perum Perhutani III Pemerintahan Kecamatann Nanggung TNGH-S 67 manfaat lahan tersebut bagi masyarakat. Kemudian hal tersebut dipacu juga oleh adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang terus bertambah, sehingga memunculkan alternatif untuk mengembangkan bidang pertanian melalui pembukaan lahan kosong HGU PT. Hevindo. Bidang ini dipilih karena hanya dibidang ini mereka memiliki kemampuan. Jika dilihat dari sisi masyarakat, konflik yang terjadi merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat, baik yang bermotif ekonomi maupun non-ekonomi. Perlawanan dengan motif ekonomi tampak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, seperti menanam singkong, talas, pisang dan sayuran meski tidak diijinkan pihak perusahaan. Perlawanan juga bersumber dari kebutuhan akan ruang kelola kebutuhan atas lahan pertanian oleh masyarakat, hal ini disebabkan karena tingkat kepemilikan lahan masyarakat di desa pada umumnya kecil. Perlawanan yang bermotif non-ekonomi bersumber dari upaya masyarakat untuk mengungkap ketidakadilan sosial yang telah dilakukan perusahaan terhadap masyarakat yang puluhan tahun hidup di wilayah enclave wilayah kantung ini. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dirasakan sangat tidak banyak. Perlawanan ini juga sebagai protes atas ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial terhadap masyarakat, sehingga masyarakat menghindari ketergantungan terhadap pemerintah dalam kesejahteraan sosialnya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengarap lahan HGU milik pemerintah yang disewakan kepada PT. Hevindo hingga tahun 2014. Hal yang diinginkan masyarakat adalah pemerintah memberikan sebagian lahan HGU kepada mereka agar kehidupan mereka terjamin di masa yang akan datang. Perbedaan kepentingan dan pemahaman antara masyarakat dan Hevindo di atas telah menjadi penyebab terjadinya konflik, serta hadirnya pihak ketiga yang mendukung kegiatan masyarakat, seperti LSM dan pemerintahan desa di tiga wilayah afdeling PT. Hevindo, mungkinkan memperkuat konflik yang terjadi, bahkan sulit menemui titik penyelesaian. 68 Perbedaan pemahaman lebih disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara pihak perusahaan dan masyarakat serta lembaga lain yang ikut terlibat dalam konflik ini. Informasi yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi sedikit, bisa salah, dan menyebabkan perbedaan persepsi, sehingga terjadi perbedaan dalam menterjemahkan sesuatu. WWN, salah satu pengurus KPC menggungkapkan: “Selama ini kami belum pernah bertemu secara langsung dengan manajer kebun, karena manajer kebun yang sekarang orangnya sangat tegas dan tidak suka tawar-menawar, sehingga kami pun tidak berani untuk bertemu. Pernah beberapa kali kami dipanggil untuk bertemu pihak perusahaan namun kami tidak berani.” Perusahaan mengganggap bahwa masyarakat melakukan tindakan penyerobotan lahan milik HGU sehingga harus dihentikan, tanpa melihat kondisi dan keinginan masyarakat. Sedangkan masyarakat menganggap bahwa perusahaan hanya menjadi pembatas akses mereka terhadap sumberdaya alam dengan tidak memberikan kesempatan untuk mengelola lahan kosong yang belum digunakan perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh YYH, pengurus KPC yang pernah menjadi pembuka galian teras di lahan HGU: “Kalau kondisinya terus-terusan begini, maka perusahaan hanya menjadi penghambat bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya alam yang ada”. Perbedaan persepsi dan pemahaman inilah yang menjadi awal mula terjadinya konflik. Perbedaan kepentingan antara masyarakat dan PT. Hevindo terlihat juga saat masyarakat telah dikenalkan pada wawasan-wawasan baru tentang pengelolaan sumberdaya alam, tentang hak mereka sebagai warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak dengan memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Tidak hanya itu saja, tapi masyarakat juga dikenalkan pada kesempatan untuk memperoleh tanah. Konflik ini masih terjadi meskipun masing-masing pihak memiliki interpretasi dan pemahaman yang sama, serta mempunyai kesamaan nilai. Masyarakat tahu kalau lahan yang mereka garap adalah lahan HGU PT. Hevindo, namun yang terjadi mereka tetap saja menggarap lahan tersebut. Masyarakat sadar 69 kalau mereka tidak banyak memiliki hak apapun terhadap lahan tersebut, namun kondisi ekonomi yang pas-pasan memaksa mereka untuk melakukan pembukaan lahan HGU. Menurut BBY, penggarap yang masih tetap bertahan dilahan HGU menyatakan: “Pembukaan lahan juga tidak dilakukan dengan semena-mena tanpa perhitungan, namun kita melihat lahan mana yang kosong dan sudah lama tidak dikelola oleh pihak Hevindo. Selain itu, kami juga meminta izin kepada lurah setempat untuk membuka lahan tersebut.” Menurut perusahaan, tindakan yang dilakukan masyarakat adalah liar. Sedikit banyak perusahaan tahu kalau masyarakat membutuhkan lahan untuk membantu kebutuhan hidup mereka, namun mereka tidak menginginkan jika tanah HGU atas nama mereka digarap tanpa surat perjanjian. Menurut manajer kebun AGR: “Selama ini kami tidak pernah meminta imbalan apapun dari masyarakat yang menggarap di lahan kosong perusahaan kami dan telah menandatangi surat perjanjian, namun kami juga tidak ingin masyarakat turut menjadi penyebab kerugian perusahaan kami, dengan merencanakan tindakan pengambilalihan lahan milik kami.” Seperti yang telah diungkapkan di bab sebelumnya, bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat diukuti oleh kebutuhan akan sumberdaya alam, terutama lahan mendorong masyarakat untuk membuka kembali lahan milik HGU yang kosong. Alasan ini didukung oleh angka kepadatan agraris 555 per km persegi yang sangat tinggi, sehingga dapat dianggap suatu yang wajar ketika mereka merambah ke lahan milik HGU yang menurut masyarakat tidak termanfaatkan. Menurut WWN: ”Untuk saat ini tidak banyak yang bisa kami lakukan, kemampuan kami terbatas hanya pada bidang pertanian, sedangkan lahan tidak ada, apalagi kami harus tetap mencari makan buat anak-anak dan istri kami, barang serba mahal, ya..mau bagaimana lagi, selain membuka lahan HGU, kan belum dipakai juga” 70 Perubahan status kawasan milik Perum Perhutani menjadi kawasan TNGH- S, mengakibatkan terputusnya hubungan antara masyarakat yang sebelumnya pernah menjadi penggarap di lahan Perhutani melalui SK Mentri Kehutanan No175Kpts-II2003. Larangan menggarap di lahan konservasi dan penjagaan polisi hutan menjadikan masyarakat takut untuk menggarap di kawasan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini, peraturan pemerintah juga menjadi pendorong terjadinya konflik antar anggota masyarakat, serta masyarakat dengan pihak lainnya. Perbedaan nilai dalam kasus konflik ini tidak terjadi antara perusahaan dan masyarakat, namun perbedaan tersebut lebih tampak dalam masyarakat Desa Curugbitung sendiri. Perbedaan nilai antara golongan X dan golongan Y, menyebabkan masing-masing pihak seakan-akan berebut untuk mencari jamaah pengikut. Hal ini juga dikaitkan dengan isu-isu partai politik dan kekuasaan lembaga keagamaan seperti MUI di desa. Dalam kasus ini juga ada terlihat konflik terjadi karena perbedaan latar belakang pendidikan masing-masing pemimpin maupun pengikut golongan tersebut. Golongan X berlatar belakang pondok pesantren, sedangkan golongan Y berlatar belakang perguruan tinggi agama negeri. Tindakan yang pernah terjadi, antara lain: pengerahan massa untuk menurunkan salah satu ketua DKM masjid tertentu, yang dianggap nilai yang dibawa tidak sesuai dengan pemahaman nilai pemimpin golongan X tersebut. Massa saat itu diajak karena alasan akan dilakukan pengajian, namun ternyata pimpinan dari golongan tersebut ingin menurunkan ketua DKM baru yang baru 6 bulan bekerja. Selain itu, terjadi juga konflik antara perusahaan PT. Hevindo dengan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak TNGH-S yang disebabkan oleh tata batas dan perbedaan dasar hukum yang digunakan. Sebelumnya Hevindo telah berkonflik dengan Perum Perhutani III Jawa Barat. Seiring dengan dikeluarkannya SK Mentri Kehutanan No175Kpts-II2003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun TNGH, memberikan kesan bahwa terjadi “perubahan” pihak yang berkonflik, meski masih berwujud laten. Awalnya yang berkonflik adalah Hevindo dan Perhutani, tapi 71 dengan dikeluarkannya SK tersebut berubah menjadi TNGH-S dengan Hevindo. Selain itu, TNGH-S juga mengalami konflik dengan Perhutani, seperti yang diungkapkan oleh JYR, staf kantor seksi konservasi wilayah II TNGH-S Bogor: “Ada oknum dari Perum Perhutani yang melakukan penebangan pohon di lahan bekas Perum Perhutani yang sekarang menjadi TN. Tanah tersebut sedang diserahkan kepada pemerintah pusat untuk memutuskannya. Kami hanya menunggu perintah dari pimpinan dalam penanganan kasus lahan bekas Perhutani tersebut” Lebih lanjut dikatakan bahwa: “Masih ada juga masyarakat yang mengelola di lahan bekas Perhutani itu. Kami tidak mengambil pungutan seperti yang dilakukan Perhutani dulu. Syarat yang harus dipenuhi oleh masyarakat adalah tidak boleh memperluas areal garapan. Untuk menangani ini, TN tidak melakukan pengusiran secara langsung, tapi memakai jalur musyawarah dengan masyarakat. Meski sebenarnya kami dapat melakukannya atas peraturan yang ada seperti UU No. 51990 tentang Konservasi SDA hayati dan ekosistem yang melarang masyarakat untuk mengelola kawasan konservasi seperti TNGH-S.” Konflik juga terjadi antara Hevindo dengan LSM RMI dan LSM HuMa, pemerintah desa, dan pemerintah Kecamatan Nanggung. LSM dan pemerintah Desa Curugbitung dianggap sebagai pihak yang mendorong masyarakat untuk menguasai lahan kosong milik HGU. Sedangkan pemerintah Kecamatan Nanggung dianggap sebagai pihak yang mendukung aksi kedua pihak tersebut LSM dan pemerintah desa. Konflik seperti ini lebih disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan munculnya prasangka negatif dari pihak-pihak berkonflik.

5.4 Karakteristik Konflik

Dokumen yang terkait

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Peranan Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten DT II Bogor Propinsi Jawa-Barat

0 5 164

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecarnatan Indrarnayu, Kabupaten Indrarnayu, Propinsi Jawa Barat)

0 7 155

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

1 29 446

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41