8 HPH dan masyarakat sering bermunculan. Penyebabnya antara lain karena
masyarakat lokal merasakan ketidakadilan yang terkait dengan sistem pengelolaan hutan skala besar yang menyebabkan akses masyarakat terhadap sumberdaya
hutan menjadi terbatas. Konflik semacam ini tidak hanya terjadi di areal HPH, tetapi juga sering ditemukan di kawasan HTI, perkebunan dan kawasan lindung seperti
taman nasional. Pembatasan akses terhadap sumber daya tersebut menyebabkan berkurangnya jaminan sosial dalam masyarakat.
1.2.3 Penataan Kebijakan Pemerintah secara Terpusat
Rumusan kebijakan yang tumpang tindih dan penetapan rumusan kebijakan secara sepihak oleh pemerintah, terutama tentang pengelolaan sumberdaya alam,
secara tidak langsung telah menuntut banyak masyarakat lokal untuk membatasi akses terhadap sumberdaya alam sekitarnya. Seiring dengan perubahan jaman,
pengelolaan konflik perlu dijadikan wacana pembelajaran bagi semua pihak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang kasus-kasus konflik
pengelelolaan sumberdaya alam lain, misal di sektor pertanian dan perkebunan. Penelitian ini membahas tentang kasus pengelolaan sumberdaya alam yang
terjadi di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terutama kasus konflik antara masyarakat dan pemegang HGU Hak Guna Usaha
yang ada di desa tersebut sejak tahun 1980. Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dan HuMa-
Perhimpunan untuk Pembaharuan Hukum Agraria, bahwa di desa tersebut ditemukan konflik di beberapa sektor dengan perusahaan-perusahaan pemegang
HPH dan HGU Hak Guna Usaha, baik di sektor perkebunan, peternakan maupun kehutanan. PT. Hevea Indonesia Hevindo merupakan salah satu pemegang HGU
yang salah satu wilayah afdelling mereka berada di Desa Curugbitung. Sejak hadir di wilayah Nanggung tahun 1980-an, perusahaan ini telah mengalami konflik dengan
masyarakat dan elemen pemerintahan desa hingga saat ini. Daya tarik kasus ini
9 adalah adanya konflik yang bertahan lama di suatu tempat Desa Curugbitung yang
sampai saat ini belum ditemukan jalan keluarnya, sehingga menarik untuk diteliti. Dibandingan dengan 2 wilayah afdeling PT. Hevindo yang lain, Desa Curugbitung
memiliki organisasi lokal yang cukup kuat, yang dapat digunakan untuk memperjuangkan hak-hak petani, sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya
konflik. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama—sekitar 20 tahunan—padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen
pemerintahan desa, serta Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik?
Dari pertanyaan tersebut, dapat diuraikan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut ini:
1. Bagaimana karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung?
2. Mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama?
3. Bagaimana karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung? 4. Bagaimana upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah
dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik?
1.3 Tujuan Penelitian