22 keputusan rnaupun yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa LH.
2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan
Kompas 2003 menuliskan bahwa ”Sebanyak 71 persen dari seluruh areal [perkebunan] di seluruh Indonesia berada dalam kawasan hutan.”,
sebagian besar masyakarat hidup tanpa memiliki tanah tapi mereka hidup di pinggir enclave daerah kantong perkebunan besar atau di pinggir hutan
perhutani. Tidak berbeda dengan keadaan yang terjadi di wilayah afdeling perusahaan Hevindo, yang salah satunya adalah Desa Curugbitung.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691Kpts-II1991 yang dimaksud dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-
kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Hotte 2001 menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh
masyarakat sekitar hutan memerlukan pengakuan oleh orang lain. Dalam merealisasikannya dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila
terdapat rasa tidak adil dalam merealisasikan hak tersebut akan menjadi pemicu bagi timbulnya konflik.
Menurut Soekanto 1990, masyarakat lokal atau masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah
tertentu secara geografis dalam batas-batas tertentu, interaksi yang lebih intensif diantara angota-anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar
batas wilayah tersebut. Di samping faktor tempat tinggal, dasar pokok masyarakat lokal dibentuk oleh community sentiment, yakni perasaan diantara
para anggotanya bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa tanah yang mereka tempati memberikan kehidupan kepada mereka semua.
Nasendi dan Mas’ud 1996 menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan
karena rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran
23 akan fungsi hutan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan akan
sangat menentukan keberhasilan pengusahaan hutan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Masalah deforestasi, degradasi hutan, kebakaran hutan,
pencurian hasil hutan dan tekanan-tekanan terhadap hutan lainnya merupakan tantangan dan ancaman yang dapat timbul sebagai akibat dari permasalahan
sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang seharusnya dikembangkan dan diakomodasikan dengan tepat serta terarah dalam kegiatan pengusahaan
hutan. Konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini
pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ketertinggalan dari segi ekonomi menyebabkan timbulnya sikap
resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan. Sikap inilah yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan
sumberdaya hutan Nugraha, 1999. Oleh karena itu, Darusman 1993 menyatakan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih
diperhatikan dalam pembangunan sektor kehutanan dalam
pengelolaanpengusahaan hutan, karena mereka adalah bagian atau unsur dari
ekosistem hutan yang saling tergantung. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar, yang apabila tidak diperhatikan dapat menjadi kekuatan perusak yang
sangat dahsyat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Sebaliknya bila diperhatikan dapat menjadi kekuatan pendukung yang juga sangat dahsyat. Lebih lanjut,
Darusman 1993 menyatakan bahwa dampak positif pembangunan kehutanan bagi masyarakat di daerah masyarakat pedesaan sekitar hutan masih sangat
kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat dimana kegiatan masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat langsung dengan kegiatan
kehutanan itu sendiri.
24
2.2 Hipotesa Pengarah