Pengelolaan Konflik Tinjauan Pustaka .1 Konflik

18 Tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah sumberdaya alam yang sama, menyebabkan konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat tidak membantu karena saling bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin meningkatkan intensitas konflik atas sumberdaya alam. Merujuk pada gambaran tersebut di atas maka tepatlah bahwa pada dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif bisa konstruktif, dan kadangkala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang penting adalah bagaimana respon terhadap konflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru ditumbuhkan agar dapat menghadapi dan mengelola konflik.

2.1.2 Pengelolaan Konflik

Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: 1 Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar; 2 Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; 3 Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000. Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik APK. APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat 19 lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum Mitchell, et al., 2000. Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik, yaitu pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan equilibrium dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan Mack 1959 dalam Soekanto 1990 dan Ibrahim 2002, adalah sebagai berikut: 1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik secara langsung, maupun secara psikologis secara tidak langsung. 2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya. 3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. 20 Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak- pihak yang bertentangan. 4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasehat belaka dan dia tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan tersebut. 5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan- keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. 6. Toleration juga sering dinamakan t o l e r a n t - p a r t i c i p a t i o n , ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang- perorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan. 7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur. 8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan. Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk mediation dan compromise dipandang lebih efektif daripada bentuk-bentuk akomodasi lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi. 21 Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram; cara-cara persuasive proses pengendalian sosial tanpa kekerasan mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara coercive proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan, karena biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan pihak-pihak tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu saatnya dimana pihak lawan berada dalam keadaan lemah. Meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi diantara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena itu, peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia Sakai, 2002. Selanjutnya, berhubungan dengan pengelolaan konflik tersebut dijelaskan pula dalam UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hutan LH. Dalam pasal 30 dinyatakan bahwa: ”1 Penyelesaian sengketa LH dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa; 2 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap tindak pidana LH sebagaimana diatur UU ini; 3 Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.” Dalam pasal 31 dinyatakan bahwa: Penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terladi atau terulangnya dampak negatif terhadap LH. Dalam pasal 32 dinyatakan bahwa: Dalam penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ke tiga baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil 22 keputusan rnaupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa LH.

2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan

Dokumen yang terkait

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Peranan Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten DT II Bogor Propinsi Jawa-Barat

0 5 164

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecarnatan Indrarnayu, Kabupaten Indrarnayu, Propinsi Jawa Barat)

0 7 155

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

1 29 446

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41