71
dengan dikeluarkannya SK tersebut berubah menjadi TNGH-S dengan Hevindo. Selain itu, TNGH-S juga mengalami konflik dengan Perhutani, seperti yang
diungkapkan oleh JYR, staf kantor seksi konservasi wilayah II TNGH-S Bogor: “Ada oknum dari Perum Perhutani yang melakukan penebangan
pohon di lahan bekas Perum Perhutani yang sekarang menjadi TN. Tanah tersebut sedang diserahkan kepada pemerintah pusat untuk
memutuskannya. Kami hanya menunggu perintah dari pimpinan dalam penanganan kasus lahan bekas Perhutani tersebut”
Lebih lanjut dikatakan bahwa: “Masih ada juga masyarakat yang mengelola di lahan bekas
Perhutani itu. Kami tidak mengambil pungutan seperti yang dilakukan Perhutani dulu. Syarat yang harus dipenuhi oleh
masyarakat adalah tidak boleh memperluas areal garapan. Untuk menangani ini, TN tidak melakukan pengusiran secara langsung,
tapi memakai jalur musyawarah dengan masyarakat. Meski sebenarnya kami dapat melakukannya atas peraturan yang ada
seperti UU No. 51990 tentang Konservasi SDA hayati dan ekosistem yang melarang masyarakat untuk mengelola kawasan
konservasi seperti TNGH-S.” Konflik juga terjadi antara Hevindo dengan LSM RMI dan LSM HuMa,
pemerintah desa, dan pemerintah Kecamatan Nanggung. LSM dan pemerintah Desa Curugbitung dianggap sebagai pihak yang mendorong masyarakat untuk menguasai
lahan kosong milik HGU. Sedangkan pemerintah Kecamatan Nanggung dianggap sebagai pihak yang mendukung aksi kedua pihak tersebut LSM dan pemerintah
desa. Konflik seperti ini lebih disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan munculnya prasangka negatif dari pihak-pihak berkonflik.
5.4 Karakteristik Konflik
Pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat karakteristik konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung adalah dengan
melihat konflik menurut wujud dan level konflik yang terjadi. Seperti ditulis oleh Hendricks 1996, bahwa: 1 Dengan meningkatnya konflik, perhatian pada
konflik itu akan meningkat; 2 Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; 3 Strategi manajemen konflik yang
72
berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; 4 Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; 5
Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik. Fuad dan Maskanah 2000 serta Hae, et al. 2001 menyatakan bahwa
menurut wujudnya, konflik dapat berwujud tertutup latent, mencuat emerging, dan terbuka manifest, juga dapat meningkat eskalasi.
Sedangkan menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal.
Menurut wujudnya, konflik yang terjadi di wilayah Desa Curugbitung cenderung tertutup laten dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut terjadi
karena kecakapan para elit lokal tokoh masyarakat untuk meredam terjadi konflik hingga tidak dapat terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah tersebut. Seperti yang
diungkapkan oleh salah satu pimpinan RMI, NEI menyatakan bahwa: “Kami telah masuk wilayah Kecamatan Nanggung sejak tahun 1998,
namun kami baru mengetahui adanya konflik di Desa Curugbitung sekitar tahun 2004.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah 2000, bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak
sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan
paling potensi sekalipun. Negosiasi yang kuat dan dukungan pihak keamanan menjadikan masing-
masing pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan keluar atau berdiam diri, meski salah satu atau keduanya sama-sama mengalami kerugian. Setelah beberapa
sesepuh desa meninggal, maka mulai banyak muncul masalah dalam desa. Mulai masalah tanah hingga masalah minuman keras. Permasalahan dalam masyarakat
tersebut mengarahkan masyarakat menuju pengotak-ngotakan diri dan membentuk golongan-golongan tertentu dengan pemahaman dan keyakinan masing-masing
dalam menjalani kehidupan keseharian mereka, seperti yang diungkapkan oleh
73
Soekanto 1990 dan Hae, et al. 2000, bahwa dalam konflik akan timbul persepsi pengotak-ngotakan yang terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu
kelompok tertentu sehingga tidak menciptakan perasaan in-group dalam kelompok tersebut.
Kehadiran beberapa LSM memberikan wacana baru masyarakat, dari segi wawasan, masyarakat dapat memiliki cara pandang baru terhadap kasus yang terjadi
dalam artian ada proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama bergaining dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya alam. YYH, pengurus
KPC yang menjadi pembuka galian teras di lahan HGU menguraikan: “RMI memberikan banyak pengalaman dan bimbingan kepada kami
petani, terutama yang tidak memiliki lahan agar dapat melatih diri dengan lahan pertanian yang semakin sempit. Sedangkan HuMa
membantu kami dalam konsultasi tentang tindakan yang kami akan lakukan berkaitan dengan bidang hukum”.
Dari segi konflik, kedatangan pihak LSM sebagai pihak ketiga tidak terlihat banyak memberikan jalan keluar, karena pihak RMI sendiri sedikit kesulitan untuk
berkomunikasi dengan pimpinan perusahaan. Hal ini juga diakui oleh manajer kebun AGR dalam wawancara:
“Kami tahu siapa sebenarnya dibalik semua ini, ada pihak ketiga yang kami sendiri tidak tahu dengan jelas maksud dan tujuannya,
andai saja kami tahu siapa pihak RMI itu, maka kami akan coba berdiskusi, namun sampai saat ini belum ada yang menemui kami,
duduk bersama dan mencari solusi terbaik. Kami juga tidak mau jika masalah ini hanya diwacanakan sepihak dengan masyarakat,
tanpa ada pertemuan yang resmi.”
Suatu konflik dikatakan mencuat jika masing-pihak yang berselisih mulai diketahuiteridentifikasi, telah diakui adanya perselisihan, dan kebanyakan
permasalahannya jelas, namun proses penyelesaian masalahnya belum berkembang Fuad dan Maskanah, 2000. Konflik antar masyarakat Desa
Curugbitung dan PT. Hevindo mulai mencuat ketika hadirnya LSM ke desa dan ketika perusahan telah melakukan tindakan agresif, dalam bentuk teguran, ancaman,
penggunaan aparat keamanan, hingga pencabutan tanaman. Tindakan Hevindo hal
74
ini semakin mendorong masyarakat untuk melakukan konsolidasi dengan semua penggarap yang jumlahnya sekitar 200 orang di lahan HGU untuk merencanakan
tindakan perlawanan. Hal ini diungkapkan BBY saat bersama-sama dengan para penggarap lain di rumahnya:
“Sebagian besar penggarap di lahan Hevindo telah masuk menjadi anggota KPC Komunitas Petani Curugbitung, saat ini
pengurusnya berjumlah 10 orang dalam artian menjadi motor penggerak gerakan ini, dan jumlah petani yang telah terdaftar
sekitar 200 orang.”
Dilanjutkan oleh MRF, ketua KPC: “Jika perusahaan melakukan pencabutan tanaman kami lagi, kami
berjanji untuk melakukan perlawanan fisik.” Hingga penelitian ini selesai pihak perusahaan belum melakukan tindakan
pencabutan tanaman, sehingga dapat dikatakan bahwa konflik belum sepenuhnya berwujud terbuka, seperti yang dicirikan oleh Fuad dan Maskanah 2000, dimana
pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, juga sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai
jalan buntu. Fakta yang terjadi masing-masing pihak baru akan memulai proses
negosiasi satu sama lain, dan masing-masing pihak tidak terlibat secara aktif. Jika dikaitkan dengan sejarah konflik yang terjadi, maka wujud konflik yang
terjadi dapat dilihat pada Gambar 10. berikut ini: Gambar 10. Wujud Konflik Antara Masyarakat Desa Curugbitung
dan PT. Hevea Indonesia
Area Laten Area Mencuat
Area Terbuka Area Eskalasi
1979 1983
1988 1995 1997 1999 2003 2004 2005 2006
75
Apabila dilihat dari level konflik, maka konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Curugbitung dengan PT. Hevindo tergolong konflik vertikal. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Fuad dan Maskanah 2000 yang menyatakan bahwa konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level
yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik antara golongan X dan golongan Y tergolong pada konflik
horisontal, yaitu terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan
seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya. Konflik horisontal juga terjadi antara TNGH-S dengan PT. Hevindo, PT. Hevindo
dengan Perum Perhutani, pemerintah Kecamatan Nanggung, dan pemerintah Desa Curugbitung, meski wujudnya laten.
5.5 Pengelolaan dan Hasil Akhir Konflik