Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Hipotesa Pengarah

9 adalah adanya konflik yang bertahan lama di suatu tempat Desa Curugbitung yang sampai saat ini belum ditemukan jalan keluarnya, sehingga menarik untuk diteliti. Dibandingan dengan 2 wilayah afdeling PT. Hevindo yang lain, Desa Curugbitung memiliki organisasi lokal yang cukup kuat, yang dapat digunakan untuk memperjuangkan hak-hak petani, sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya konflik. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama—sekitar 20 tahunan—padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa, serta Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik? Dari pertanyaan tersebut, dapat diuraikan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut ini: 1. Bagaimana karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung? 2. Mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama? 3. Bagaimana karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung? 4. Bagaimana upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, adapun tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk menggambarkan karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung. 2. Untuk menjelasakan konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama. 3. Untuk memaparkan karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung. 4. Untuk mengidentifikasi upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. 10

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya informasi mengenai konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan, terutama mengenai upaya-upaya pengelolaan konflik sumberdaya alam yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, serta hasil akhirnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada pembaca untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap konflik, serta dapat dijadikan bahan rujukan bagi perencanaan pengelolaan konflik, terutama konflik pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat desa hutan.

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konflik Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman Ibrahim, 2002. Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan competition dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif. Menurut Fisher et al. 2000 konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi. Menurut Mitchell, et al. 2000 dan Hendricks 2004 konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalapahaman. 12 Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo. Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah 2000 konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi sosial budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam. Menurut Penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat pada munculnya konflik- konflik antar berbagai unsur masyarakat Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et al., 2000. Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan- kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor- faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi konflik. Selain itu Dorcey 1986 dalam Mitchell, et al. 2000 dan Wirajardjo, et al. eds. 2001 mengungkapkan bahwa penyebab dasar konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam antara lain: 1. Perbedaan pengetahuan atau pemahaman, juga disebut konflik data. Terjadi ketika kelompok kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal ini disebabkan 13 kurangnya komunikasi di antara orang-orang yang berkonflik. Konflik data lainnya bisa jadi karena memang disebabkan informasi dan atau tata cara yang dipakai oleh orang-orang untuk mengumpulkan datanya tidak sama. 2. Perbedaan nilai. Hal disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, baik itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Sebagai contoh, mungkin ada kesepakatan tentang bentuk suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, akan tetapi terjadi perbedaan pokok pada titik akhir yang dituju. 3. Perbedaan kepentingan. Perbedaan ini dapat menimbulkan konflik walaupun berbagai pihak menerima fakta dan interpretasi yang sama serta mempunyai kesamaan nilai. Akan tetapi konflik dapat saja muncul bukan karena perbedaan pengetahuan atau karena perbedaan nilai tapi karena perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan. Juga dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Misalnya pada masalah yang mendasar uang, sumber daya fisik, waktu, dll., masalah tata cara sikap dalam menangani masalahnya atau masalah psikologis persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dll.. 4. Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok yang berkepentingan. Terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang repetitif. Masalah-masalah ini sering menghasilkan konflik- konflik yang tidak realistis atau tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik, seperti terbatasnya sumber daya atau tujuan-tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada. MasaIah hubungan antar manusia seperti yang disebut di atas, sering kali 14 memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu. Lebih lanjut Wirajardjo, et al. eds. 2001 menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab pokok konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarahwaktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Koentjaraningrat dan Ajamiseba 1994 menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan dan pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati dirinya dan merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan mereka apatis dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat menciptakan suatu gerakan destruktif. Anau, et al. 2002 menyebutkan pula bahwa benturan kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat menimbulkan persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga terjadi antara masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu. Menurut Fuad dan Maskanah 2000, konflik dapat berwujud tertutup laten, mencuat emerging, dan terbuka manifest. Konflik tertutup latent dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. seringkali 15 salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat emerging adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses peyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka manifest merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. 2001, bahwa konflik bisa berwujud meningkat eskalasi. Konflik Eskalasi merupakan konflik yang mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah konflik Ambon misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan maupun organik. Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan senjata tumpul dan senjata tajam. Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya Fuad dan Maskanah, 2000. Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks 1996, yakni: 1 Dengan meningkatnya 16 konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; 2 Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; 3 Orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; 4 Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; 5 Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; 6 Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik. Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik Hae, et al., 2000, antara lain: 1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis yang kebanyakan Protestan dan kelompok prokemerdekaan yang kebanyakan Katolik sudah sampai pembuatan tembok setinggi 5 meter. Demikian pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segregasi wilayah kelompok Muslim dan Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu Soekanto 1990 menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan yang semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu kelompok tertentu. 2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk merendahkan pihak lawan. 3. Demonisasi penjelek-jelekan. Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini 17 menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul, misalnya: Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia. 4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi. 5. Pemaksaan koersi. Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain. 6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid. 7. Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya. 8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui bahwa saya adalah musuh orangkelompok lain. Pernyataan yang biasa muncul ya, saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,....” dan seterusnya. Selanjutnya Soekanto 1990 menambahkan akibat-akibat tersebut dengan: 9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk pertentangan terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa-raga manusia. 10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan pihakpihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul akomodasi. 18 Tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah sumberdaya alam yang sama, menyebabkan konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat tidak membantu karena saling bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin meningkatkan intensitas konflik atas sumberdaya alam. Merujuk pada gambaran tersebut di atas maka tepatlah bahwa pada dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif bisa konstruktif, dan kadangkala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang penting adalah bagaimana respon terhadap konflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru ditumbuhkan agar dapat menghadapi dan mengelola konflik.

2.1.2 Pengelolaan Konflik

Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: 1 Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar; 2 Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; 3 Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000. Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik APK. APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat 19 lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum Mitchell, et al., 2000. Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik, yaitu pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan equilibrium dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan Mack 1959 dalam Soekanto 1990 dan Ibrahim 2002, adalah sebagai berikut: 1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik secara langsung, maupun secara psikologis secara tidak langsung. 2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya. 3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. 20 Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak- pihak yang bertentangan. 4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasehat belaka dan dia tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan tersebut. 5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan- keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. 6. Toleration juga sering dinamakan t o l e r a n t - p a r t i c i p a t i o n , ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang- perorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan. 7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur. 8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan. Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk mediation dan compromise dipandang lebih efektif daripada bentuk-bentuk akomodasi lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi. 21 Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram; cara-cara persuasive proses pengendalian sosial tanpa kekerasan mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara coercive proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan, karena biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan pihak-pihak tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu saatnya dimana pihak lawan berada dalam keadaan lemah. Meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi diantara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena itu, peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia Sakai, 2002. Selanjutnya, berhubungan dengan pengelolaan konflik tersebut dijelaskan pula dalam UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hutan LH. Dalam pasal 30 dinyatakan bahwa: ”1 Penyelesaian sengketa LH dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa; 2 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap tindak pidana LH sebagaimana diatur UU ini; 3 Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.” Dalam pasal 31 dinyatakan bahwa: Penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terladi atau terulangnya dampak negatif terhadap LH. Dalam pasal 32 dinyatakan bahwa: Dalam penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ke tiga baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil 22 keputusan rnaupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa LH.

2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan

Kompas 2003 menuliskan bahwa ”Sebanyak 71 persen dari seluruh areal [perkebunan] di seluruh Indonesia berada dalam kawasan hutan.”, sebagian besar masyakarat hidup tanpa memiliki tanah tapi mereka hidup di pinggir enclave daerah kantong perkebunan besar atau di pinggir hutan perhutani. Tidak berbeda dengan keadaan yang terjadi di wilayah afdeling perusahaan Hevindo, yang salah satunya adalah Desa Curugbitung. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691Kpts-II1991 yang dimaksud dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok- kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Hotte 2001 menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan memerlukan pengakuan oleh orang lain. Dalam merealisasikannya dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila terdapat rasa tidak adil dalam merealisasikan hak tersebut akan menjadi pemicu bagi timbulnya konflik. Menurut Soekanto 1990, masyarakat lokal atau masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu secara geografis dalam batas-batas tertentu, interaksi yang lebih intensif diantara angota-anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayah tersebut. Di samping faktor tempat tinggal, dasar pokok masyarakat lokal dibentuk oleh community sentiment, yakni perasaan diantara para anggotanya bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa tanah yang mereka tempati memberikan kehidupan kepada mereka semua. Nasendi dan Mas’ud 1996 menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran 23 akan fungsi hutan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan akan sangat menentukan keberhasilan pengusahaan hutan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Masalah deforestasi, degradasi hutan, kebakaran hutan, pencurian hasil hutan dan tekanan-tekanan terhadap hutan lainnya merupakan tantangan dan ancaman yang dapat timbul sebagai akibat dari permasalahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang seharusnya dikembangkan dan diakomodasikan dengan tepat serta terarah dalam kegiatan pengusahaan hutan. Konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ketertinggalan dari segi ekonomi menyebabkan timbulnya sikap resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan. Sikap inilah yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan Nugraha, 1999. Oleh karena itu, Darusman 1993 menyatakan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih diperhatikan dalam pembangunan sektor kehutanan dalam pengelolaanpengusahaan hutan, karena mereka adalah bagian atau unsur dari ekosistem hutan yang saling tergantung. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar, yang apabila tidak diperhatikan dapat menjadi kekuatan perusak yang sangat dahsyat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Sebaliknya bila diperhatikan dapat menjadi kekuatan pendukung yang juga sangat dahsyat. Lebih lanjut, Darusman 1993 menyatakan bahwa dampak positif pembangunan kehutanan bagi masyarakat di daerah masyarakat pedesaan sekitar hutan masih sangat kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat dimana kegiatan masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat langsung dengan kegiatan kehutanan itu sendiri. 24

2.2 Hipotesa Pengarah

1. Dalam pengelelolaan sumberdaya alam terdapat dua komponen penting yang diberikan hak oleh negara untuk mengelola SDA, yaitu masyarakat lokal dan lembaga yang diberikan wewenang oleh pemerintah dengan batas waktu tertentu. Lembaga yang diberi wewenang tersebut, salah satunya berupa Hak Guna Usaha dengan batas waktu tertentu. 2. Dalam pengelolaan sumberdaya alam bisa timbul permasalahan, yang sekaligus menjadi penyebab terjadinya konflik diantara pihak yang berkepentingan terhadap SDA. Pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh pemegang HGU belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, sehingga berkembang pola hubungan disosiatif. Hubungan inilah yang dapat berkembang menjadi sebuah konflik. 3. Permasalahan yang timbul diantaranya bisa karena tata batas, perbedaan kepentingan, masuknya pihak luar ke dalam kawasan, pembatasan akses, ketidakadilan pemeretaan hasil pengelolaan, keterpurukan ekonomi masyarakat, salah persepsi atau stereotif negatif, serta dapat juga disebabkan karena kerusakan lingkungan. 4. Adanya intervensi dari pihak lain terhadap konflik yang sedang terjadi dapat merupakan penyebab meningkatnya konflik. 5. Perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan dasar hukum yang digunakan merupakan penyebab sulitnya memperoleh penyelesaian dan penanggulangan konflik yang ideal. 6. Konflik dapat berakibat pada pembatasan akses masyarakat lokal, kerusakan lingkungan, penjarahan hutan, perambahan hutan, tindakan agresif dan apatis dari masyarakat, hilangnya jati diri masyarakat, juga dapat terjadi kerugian materi dan sosial. 7. Persoalan pengelolaan SDA ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tapi lebih memiliki multi-faktor penyebabsumber terjadinya konflik. Penyebab 25 yang satu bisa menjadi penyebab bagi yang lainnya, atau akibat konflik yang satu bisa menjadi pemicu konflik yang lainnya. 8. Pengelolaan konflik bisa berakibat pada timbulnya perundingan dan kesepakatan bersama yang kemudian menuju pada distribusi manfaat dari SDA berjalan seimbang. 9. Bentuk pengelolaan bisa dengan cara coercion, compromise, arbitration, mediation, conciliation, toleration, stalemate, dan adjudication. 10. Pengelolaan konflik yang berhasil akan mengakibatkan pengelolaan sumberdaya yang seimbang, terutama mengenai distribusi manfaat. Sedangkan yang tidak berhasil akan kembali terus berkonflik, dan jika memungkin akan terjadi pengelolaan kembali terhdap konflik yang pernah dan masih terjadi. Lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1. di halaman berikutnya. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Keterangan: Lembaga Pemerintah BUMN, Swasta, dan Koperasi Pengelolaan SDA Tidak Menimbulkan Permasalahan Menimbulkan Permasalahan Konflik Pengelolaan SDA Masyarakat Lokal Penyebab Konflik • Tata Batas • Perbedaan Kepentingan • Masuknya Pihak Luar • Pembatasan Akses • Ketidakadilan Pemeretaan Hasil • Keterpurukan Ekonomi • Salah Persepsi atau Stereotif • Kerusakan Lingkungan Akibat Konflik • Akses Masyarakat Lokal Terbatas • Kerusakan Lingkungan • Penjarahan Hutan • Tindakan Agresif dan Apatis • Kerugian Materi dan Sosial • Kelangkaan SDA Pengelolaan Konflik Pendekatan Administrasi Pendekatan Hukum Pendekatan APK Pendekatan Politis Pendekatan Akomodasi Pengelolaan Tidak Berhasil Pengelolaan Konflik Berhasil : Aksi Diteliti : Reaksi Tidak Diteliti : Tidak diteliti 26

2.3 Batasan Konsep

Dokumen yang terkait

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Peranan Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten DT II Bogor Propinsi Jawa-Barat

0 5 164

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecarnatan Indrarnayu, Kabupaten Indrarnayu, Propinsi Jawa Barat)

0 7 155

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

1 29 446

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41