Iklim Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan

113 sekitar 77 persen dari luas lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI. Tabel 19 dan Lampiran 24 sampai Lampiran 26. Luas lahan kosong dan semak belukar masing-masing seluas 338.9 ha dan 749 ha. Dengan demikian pengelolaan lahan kritis di eks-areal RKI lebih diprioritaskan kepada ladangkebun masyarakat karena memiliki areal yang paling luas terutama yang berdekatan dengan TNKS. Tabel 18. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2005 Kategori Luas Ha Agak Kritis 519.8 1.2 Baik 30 908.7 74.1 Mulai Kritis 4 216.6 10.1 Normal Alami 6 072.7 14.6 Total 41 717.9 100.0 Sumber: Analisis Spasial, 2005 Tabel 19. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2002 Jenis Penutupan Lahan Luas Ha Mulai Kritis Agak Kritis Total LadangKebun Masyarakat 3 205.9 442.4 3 648.3 77.0 Lahan Kosong 261.5 77.4 338.9 7.2 Semak Belukar 749.3 749.3 15.8 Total 4 216.6 519.8 4 736.4 100.0 Sumber: Analisis Spasial Menggunakan Citra Landsat Akuisisi Tahun 2002, 2005

5.2.5. Iklim

Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim pada eks-areal HPH PT. RKI termasuk kedalam tipe A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0.0 – 0.5 bulan. Data curah hujan, hari hujan dan intensitas hujan dapat dilihat pada Tabel 20. 114 Tabel 20. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun 1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Bulan CH MM HH Hari Temperatur C Kecepatan Angin Knot Arah angin Kelem- baban Nisbi Maks Min Rataan Januari 254 14 30.1 22.9 26.5 7 NW 77 Februari 177 12 35.0 23.4 29.2 6 NW 95 Maret 286 14 33.0 24.1 28.6 6 NW 95 April 238 12 34.3 24.4 29.4 5 NW 96 Mei 198 10 33.0 24.4 28.7 5 SE 95 Juni 130 7 31.7 24.3 28.0 6 S 97 Juli 100 7 32.5 22.2 27.4 7 S-SE 94 Agustus 139 7 33.8 22.5 28.2 8 S-SE 93 September 199 11 34.0 24.7 29.4 7 SE 98 Oktober 232 13 31.5 22.9 27.2 6 SE 94 November 299 13 30.8 20.9 25.9 7 NW 93 Desember 411 16 30.2 23.3 26.8 7 NW 95 Jumlah 2 663 136 Rata-rata 222 12 32.5 23.3 27.9 6.4 94 Keterangan : CH=Curah Hujan dan HH= Jumlah hari hujan Sumber : Stasiun Metereologi Sultan Thaha, Jambi 1984-1994 Stasiun Metereologi Rimbo Bujang, Jambi 1984-1994 dalam Laporan Independent Concession Audit, 2001 Curah hujan tahunan untuk Unit-I termasuk sedang berkisar 100–411 mmbulan dengan curah hujan rata-rata sebesar 222 mm. Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata bulanan sebsar 27.9 C. Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban berkisar antara 77–97 persen dengan rata-rata 94 persen Unit-I.

5.2.6. Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan

1. Sistem penguasaan lahan dan perladangan Di desa sekitar eks-areal RKI, tidak ditemukan adanya hak ulayat atau hak persekutuan atas tanah dan hutan. Sistem penguasaan lahan oleh masyarakat desa berlangsung mengikuti peraturan hukum secara tradisional dengan menganut sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Bagi masyarakat desa, kawasan hutan dan tanah kosong merupakan tanah bebas open acces. Seseorang atau 115 keluarga yang membuka hutan atau tanah kosong untuk pertama kalinya akan diakui sebagai pemilik lahan yang dibuka tersebut. Dalam hal penguasaan lahan dapat dipilah menjadi dua, yaitu: 1 sistem penguasaan lahan oleh masyarakat asli, dan 2 sistem penguasaan lahan oleh masyarakat pendatang. Dasar penguasaan lahan oleh masyarakat bersumber dari: sistem pewarisan, membuka hutan, ijin garap dari desa dan jual-beli. Rata-rata luas kepemilikan lahan masyarakat pendatang yang terdiri dari etnis: minang, Rejang, Jawa dan dari Sumatera Selatan bersumber dari surat ijin garap dari aparat desa dan Muspika serta membeli dari masyarakat asli. Luas kepemilikan lahan oleh masyarakat pendatang berkisar antara 2-6 haKK. 2. Kegiatan usaha tani dan perambahan Masyarakat sekitar eks-areal RKI banyak tergantung pada usaha pertanian lahan kering. Dalam usaha perkebunan, masyarakat desa umumnya mengusahakan tanaman karet disamping tanaman lainnya seperti: kopi, kayu manis, kelapa sawit dan durian. Hasil produksi dari budidaya tanaman perkebunan tersebut dijual dalam bentuk tanpa olahan kepada tauke atau pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa pada saat hari pasar. Dalam usaha perkebunan tersebut, terdapat kecenderungan masyarakat memanfaatkan kawasan hutan dan memanfaatkan areal di tepi sungai yang relatif subur. Perambahan lahan dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan eks-areal RKI. Perambahan bahkan telah terjadi sewaktu perusahaan HPH masih beroperasi sebagai akibat lemahnya penjagaan kawasan konsesi yang dilakukan perusahaan – meskipun secara hukum adalah tanggung jawab perusahaan – masalah perambahan lahan tampaknya makin meluas ke 116 daerah-daerah yang mudah dimasuki. Masalah ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan hutan yang masih tersisa di eks-areal RKI. Konversi lahan bekas tebangan menjadi ladang yang meluas saat ini menimbulkan perubahan landskap, yang tadinya hutan terganggu menjadi lahan marjinal – yang tidak memiliki nilai konservasi keanekaragaman hayati sama sekali. Mengingat eks-areal RKI memiliki topografi yang terjal bergelombang dengan tipe-tipe tanah yang tidak potensial untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan, maka konversi kawasan ini ke bentuk lahan lain, hanya akan membawa bencana banjir atau kekeringan di daerah-daerah hilirnya. Berdasarkan observasi di lapangan telah terdapat perladangan masyarakat dalam bentuk spot-spot kecil yang dilakukan tidak kurang dari 150 KK. Lokasi perambahan ini banyak terdapat di sekitar Desa Batu Kerbau. Disamping melakukan perambahan khususnya pada blok-blok tebangan, terjadi pencurian kayu yang dilakukan secara terkoordinir. Dari hasil survei diketahui bahwa pengelolaan kebun karet rakyat di desa sekitar eks-areal RKI sudah berlangsung secara turun temurun dan terus bertahan hingga sekarang. Hal ini bisa dilihat dari peruntukan lahan yang dimiliki oleh responden, dimana luas lahan yang ditanami karet menduduki peringkat pertama yaitu seluas 213 ha atau 71.2 persen dari total luas lahan yang dimiliki oleh petani. Hal ini menunjukkan besarnya animo dan kebutuhan masyarakat dalam pengusahaan usahatani karet, bahkan telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat setempat. Tabel 21 berikut ini menggambarkan klasifikasi kepemilikan lahan yang dimiliki oleh kepala keluarga. Sebagian besar responden memiliki tanaman karet 117 dengan luas 2 Ha 54 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki luas tanaman karet sesuai luas lahan yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan pada program hutan kemasyarakatan HKm seluas 2 haorang. Dari hasil survei juga didapatkan bahwa sebagian besar 82 persen usia tanaman karet yang dimiliki respoden berumur antara 4-11 tahun. Dengan demikian usahatani responden adalah berada pada usia produktif. Tabel 21. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga Jenis Tanaman Luas Ha Responden Kategori Luas Lahan ≤ 1 Ha 1 - ≤ 2 Ha 2 Ha KK KK KK KK Karet 213 71.2 50 60.2 11 13.3 12 14.5 27 32.5 Sawit 42 14.0 2 2.4 0 0.0 0 0.0 2 2.4 Jeruk 5.61 1.9 2 2.4 1 1.2 0.0 1 1.2 Kopi 1.67 0.6 4 4.8 3 3.6 1 1.2 0 0.0 Kelapa 1.5 0.5 4 4.8 3 3.6 1 1.2 0 0.0 Mangga 0.25 0.1 1 1.2 1 1.2 0.0 0 0.0 Cempedak 0.06 0.0 1 1.2 1 1.2 0 0.0 0.0 Sawah 7 2.3 7 8.4 7 8.4 0 0.0 0 0.0 Alang-Alang 28 9.4 12 14.5 5 6.0 3 3.6 4 4.8 Jumlah 299.09 100 83 100 32 100 17 100 34 100 Sumber: Hasil Survei, 2005 diolah 3. Model usaha tani karet Pola umum pendirian kebun karet rakyat di desa sebagai berikut: 1. Pembukaan lahan dan persiapan penanaman yang dilakukan pada tahun pertama, meliputi kegiatan : a. Penebasan semak belukar dan pohon diameter kecil tingkat tiang dan pancang. b. Penebangan pohon diameter besar. c. Tutuh yaitu perecahan batang pohon kecil, cabang, dan ranting pohon besar. Hasil tutuh ini dikumpulkan untuk dibakar, sedangkan batang pohon besar dibiarkan tidak dipotong-potong. d. Kekas yaitu kegiatan pembersihan batas lahan. 118 e. Pembakaran hasil tutuh. f. Manduk yaitu membakar ulang sisa-sisa yang terbakar. g. Mengumpulkan kayu yang berasal dari batang pohon besar untuk bahan pagar dan dilanjutkan dengan membuat pagar. h. Pembuatan pondokan. 2. Penanaman yang dilakukan meliputi kegiatan : a. Pemasangan ajir. b. Penanaman padi dan tanaman sela. c. Penanaman karet. 3. Pemeliharaan yang dilakukan pada tahun I, II, dan III, meliputi kegiatan : a. Penyiangan yaitu membersihkan rumput. b. Pemupukan. 4. Pemanenan, yaitu penyadapan getah karet yang dimulai sekitar tahun ke 5-7. Intensitas responden dalam melakukan kegiatan pemeliharaan adalah sebagai berikut : 1. Responden yang melakukan penyiangan dan pemupukan satu kali baik pada tahun ke-1 atau tahun ke-2 adalah sebanyak 24.01 persen. 2. Responden yang melakukan penyiangan dua kali baik pada tahun I dan II, atau II dan III adalah sebanyak 25.01 persen. 3. Responden yang melakukan pemupukan dua kali baik pada tahun I dan III, atau tahun II dan III adalah sebanyak 18.76 persen. 4. Responden yang tidak melakukan penyiangan dalah sebanyak 50 persen, dan yang tidak melakukan pemupukan adalah sebanyak 56.26 persen. 119 Adapun intensitas pemeliharaan kebun karet rakyat yang dilakukan oleh petani karet di desa dapat dilihat pada Tabel 22 bawah ini. Lebih dari separoh responden tidak melakukan penyiangan dan pemupukan terhadap usahatani mereka. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kendala yang dialami petani karet dalam melakukan kegiatan pemeliharaan, antara lain masalah modal. Selain itu, petani karet juga tidak mendapat penyuluhan dari aparat pemerintah, sehingga ada kemungkinan petani karet belum mendapat informasi yang lengkap tentang teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman karet. Tabel 22. Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat Jenis Kegiatan Pemeliharaan Responden Melakukan Kegiatan Tahun Ke- 1 2 3 1 dan 2 1 dan 3 2 dan 3 Tidak ada kegiatan Penyiangan 3.13 21.88 15.63 9.38 53 Pemupukan 3.13 21.88 0 0 3.13 15.63 56.26 Sumber: Hasil Survei, 2005 diolah Pola usahatani karet yang dikembangkan oleh penduduk, umumnya menerapkan sistem pengelolaan hutan karet rakyat ketimbang kebun karet rakyat yang notabene relatif lebih maju. Tabel 23 menyajikan ilustrasi perbandingan kedua sistem usahatani dimaksud. Sistem pengelolaan kebun karet pada prinsipnya lebih memerlukan intensitas modal dan tenaga kerja dibandingkan dengan hutan karet. Hal ini, tergambar dari penggunaan bibit unggul dan pengaturan jarak tanam serta kegiatan pemeliharaan. Perbedaan input tersebut berdampak pada output yang didapat. Produktifitas kebun karet lebih tinggi dari pada hutan karet, walaupun secara ekologi yang tercerminkan dari keragaman jenis pohon yang tumbuh, hutan karet lebih baik dari kebun karet. 120 Tabel 23. Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat Uraian Sistem Pengelolaan Hutan Karet Rakyat Kebun Karet Rakyat Bibit Lokal Unggul Jarak tanam Tidak teratur Teratur 4x4m atau 4x5m Pemeliharaan Tidak ada kegiatan pemeliharaan 1. Penyiangan tahun I, II, dan III 2. Pemupukan tahun I, II, dan III Produksi 1. Mulai disadap sekitar 10 tahun. 2. Rata-rata produksi getah setengah dari produksi kebun karet. 3. Masa produksi sekitar 30 tahun. 1. Mulai disadap pada tahun ke-5- 7. 2. Rata-rata produksi getah 2 kali lipat dari produksi hutan karet. 3. Masa produksi sekitar 20 tahun. Keragaman jenis Heterogen, dengan kerapatan jenis karet 200-490 pohonha, non karet 260-300 pohon ha Homogen, dengan kerapatan 500-625 pohonha Modal Lebih kecil Lebih besar Peremajaan Sisipan Tebas bakar Jarak lokasi Jauh dari tempat tinggal Jauh dari tempat tinggal Jenis tanaman sela Pisang, nanas, singkong, sayuran dan padi Pisang, nanas, singkong, sayuran dan padi Sumber: Hasil Observasi, 2005 Perolehan Lahan Secara umum ada tiga cara petani karet memperoleh kebun karet, yaitu warisan, membeli kebun karet yang sudah jadi, dan membuka lahan hutan. Berdasarkan pola perolehan lahan karet, sebagian lahan karet yang ada yaitu 302.10 ha atau 60 persen lebih merupakan warisan dan 171.75 ha atau 34.16 persen diperoleh dari pembelian dan 28.93 ha atau 5.75 persen dari membuka lahan kosong atau membuka hutan. Hal ini menunjukkan pola pertanian karet sudah menjadi tradisi yang turun temurun bagi masyarakat desa. Pembangunan Lahan Kebun Kegiatan pembangunan lahan kebun dimulai dengan melakukan tebas tebang yang pada umumnya dilakukan sendiri oleh si pemiliki lahan. Dilanjutkan dengan kegiatan persiapan pembakaran. Terdapat kebiasaan masyarakat di sana sebelum melakukan kegiatan pembakaran, yaitu si pemilik lahan tersebut akan 121 mengkonfirmasikan kepada para pemilik lahan di sekitarnya bahwa dia akan membuka lahan, dan menanyakan apakah di antara pemilik lahan tersebut ada yang akan membuka lahan. Jika di antara para pemilik lahan tersebut berniat membuka lahan, maka mereka melakukan kegiatan tersebut bersama-sama, sehingga dari segi biaya menjadi lebih murah karena mereka tidak perlu membuat pagar untuk membatasi lahan mereka. Sebelum kegiatan pembakaran dilakukan, areal di sekeliling lahan harus dibersihkan supaya api tidak menyebar. Kegiatan pembakaran biasanya dilakukan secara gotong-royong oleh petani pemilik lahan bersama kerabat dekat dan penduduk lainnya lebih kurang 20 orang, sedangkan waktunya adalah sore hari selama ± 2–3 jam. Setelah kegiatan pembakaran tersebut, ada kemungkinan lahan belum bersih, oleh karena itu dilakukan pembakaran ulang sehingga lahan menjadi benar-benar bersih. Kegiatan pembakaran ulang tidak dilakukan secara gotong-royong tetapi cukup dilakukan sendiri oleh petani pemilik lahan. Pembuatan Pagar Selesai kegiatan pembakaran, dilakukan pembuatan pagar di sekeliling kebun yang dibuat setinggi manusia. Tujuan pemagaran ini adalah untuk menghindari hama babi hutan. Pembuatan pagar dilakukan sendiri oleh petani karet pemilik lahan atau diupahkan. Sebagai bahan pagar digunakan batang pohon tegakan besar yang sengaja tidak potong-potong dalam kegiatan pembukaan lahan, dan sisa pembakaran dengan kawat serta paku sebagai bahan pelengkap. Penanaman Setelah pemagaran selesai, dilanjutkan dengan pemasangan ajir untuk tanaman karet. Kegiatan penanaman bibit karet dan padi dapat dilakukan 122 bersamaan waktunya, atau dapat juga menanam padi lebih dahulu baru menanam karet. Kegiatan ini dilakukan dengan cara bergotong-royong. Adapun jenis bibit karet yang ditanam tergantung dari kemampuanmodal yang dimiliki oleh pemilik lahan. Ada tiga macam bibit yang biasa digunakan yaitu : 1. Bibit lokal, yang dicabut dari kebun sendiri biasanya gratis. 2. Mata tidur, dimana petani membeli mata tidur seharga Rp 500buah dan mereka melakukan okulasi sendiri. 3. Polybag , yaitu bibit karet siap tanam dalam polybag. Harganya relatif mahal jika dibandingkan dengan bibit lokal dan mata tidur sekitar Rp 2000buah. Penanaman padi dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau kadang-kadang diupahkan. Setelah tanam padi dilakukan kegiatan pemeliharaan, yaitu penyiangan dan pemupukan yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau diupahkan. Penanaman padi dan tanaman sela dilakukan hingga tahun kedua atau ketiga. Pemanenan Pada karet teknis klon kegiatan pemanenan dilakukan setelah pohon pohon karet berumur 5-7 tahun, sedangkan untuk karet alam relatif lebih lama dari kebun karet. Kegiatan penyadapan getah karet dilakukan setiap hari dan dilakukan secara sendiri-sendiri. Terdapat pula sistim bagi hasil dalam pemanenan tergantung pada kondisi produksi getah. Sistem bagi hasil 2:1, jika kondisi produksi getah sudah lewat dari masa produksi optimum, 2 bagian untuk pemotong dan 1 bagian untuk pemilik. Dalam kondisi produksi getah optimum 123 dan karet teknis yang produksinya tinggi, sistem bagi hasil adalah 1:1, satu bagian untuk pemotong dan satu bagian untuk pemilik. Pengolahan Pengolahan getah karet yang dilakukan masih sederhana, yaitu dengan cara melakukan pemasakan dengan asam anti koagulasi kemudian merendamnya, hasilnya disebut slab. Di pasar, harga slab ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan karet sheet dan crepe. Namun kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengolahan karet sheet dan crepe adalah jauhnya jarak antara rumah dengan lokasi kebun karet, karena untuk melakukan pengolahan karet sheet dan crepe hasil sadapan harus diangkut setiap hari. Pada tingkat pedagang pengumpul, harga karet sheet dan crepe tidak jauh berbeda dengan harga karet slab, sehingga tidak ada insentif bagi petani karet. Pemasaran Penjualan getah karet biasanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Petani karet menjual hasil produksinya langsung kepada pedagang pengumpul yang datang ke desa sekitar eks-areal RKI. Petani karet mempunyai kebebasan untuk memilih pedagang pengumpul yang membeli dengan harga tinggi. Beberapa petani karet menjual hasil produksinya kepada pedagang pengumpul tertentu, hal ini terjadi karena pedagang pengumpul tersebut masih kerabat, atau mereka mempunyai perjanjian tersendiri dengan pedagang pengumpul tersebut, misalnya petani karet mempunyai hutang yang akan dibayar dengan hasil produksi getah karet selama satu atau dua minggu. Dalam kasus lain, pedagang pengumpul tersebut memiliki banyak kebun dan kebun karet tersebut dikelola sebagai sistem bagi hasil, sehingga bagi si 124 penyadap ada loyalitas kepada si pemilik kebun karet jika si pemilik kebun karet tersebut merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun demikian pemilik kebun karet tersebut membeli getah karet dengan harga yang relatif sama dengan pedagang pengumpul yang lain. 4. Kependudukan Secara umum, di sekitar eks-areal RKI terdapat 1 140 rumah tangga yang tersebar di 9 desa pada empat wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan eks-areal RKI Kecamatan: Tabir Ulu Kabupaten Merangin, Pelepat, Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan Kabupaten Bungo. Hingga tahun 2003, secara keseluruhan jumlah penduduk di desa-desa tersebut sebanyak 6 670 jiwa dengan sex-ratio sebesar 85. Secara terperinci, variasi kependudukan di desa sekitar eks-areal RKI dapat dilihat pada Tabel 24. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk maupun rumah tangga, desa-desa sekitar RKI tergolong memiliki kepadatan yang relatif rendah. Kepadatan rumah tangga tercatat antara 2-7 rumah tangga tiap km 2 , sementara kepadatan penduduk antara 8-31 jiwakm 2 . Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Renah Sungai Ipuh, Kecamatan Lembur Lubuk mengkuang, sedangkan kepadatan penduduk terendah ditemui di Desa Sungai Tabir, Kecamatan Tabir Ulu. Pada lokasi lokasi survei yang dilakukan di Kecamatan Lembur Lubuk Mengkuang dan Pelepat, jumlah rumah tangga di sekitar eks-areal RKI tercatat sebanyak 492 rumah tangga, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2003 sebanyak 2 215 jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata untuk penduduk dan rumah tangga juga tergolong relatif rendah, masing-masing adalah 27 jiwakm 2 dan 1 rumah tanggakm 2 . 125 Tabel 24. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian No KecamatanDesa Luas KM 2 Jumlah Penduduk Jiwa Jumlah Rumah Tangga RT Kepadatan JiwaKM 2 RTKM 2 Tabir Ulu 1 Batang Kibul 110.28 965 241.25 9 2 2 Telentam 57.00 1 057 211 19 4 3 Sungai Tabir 38.00 294 59 8 2 4 Air Liki 61.00 965 193 16 3 Lembur Lubuk Mengkuang 5 6 Pemunyian Renah Sei Ipuh 21.00 13.08 396 663 102 237 19 50 5 18 Pelepat 7 Batu Kerbau 38.94 1 100 245 29 6 Rantau Pandan 8 Muara Buat 28.44 778 195 27 7 9 Lubuk Beringin 27.22 396 99 15 4 Total 404.88 6 670 1 490.25 Keterangan : dan masing-masing merupakan kecamatan dan desa-desa lokasi survei Penelitian Sumber : 1. Kecamatan Tabir Ulu Dalam Angka, 2002 2. Kecamatan Pelepat Dalam Angka, 2003 3. Kecamatan Lembur Lubuk Mengkaung Dalam Angka, 2003 4. Kecamatan Rantau Pandan Dalam Angka, 2003

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan 6.1.1. Eks HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Tutupan lahan di eks-areal Maju Jaya Raya Timber MJRT berdasarkan citra landsat tahun 1988, 2001, 2003 dan 2005 secara umum mengalami perubahan pada semua tipe tutupan lahannya. Seperti dapat dilihat pada Tabel 25 dan Gambar 18, hingga tahun 1988 ketika masih dalam pengelolaan HPH, belum terdapat adanya perkebunan besar maupun ladangkebun masyarakat. Kedua jenis penutupan lahan ini baru muncul paska pengelolaan HPH tahun 2001 1 . Hingga tahun 2005 tutupan lahan eks-areal MJRT didominasi oleh hutan bekas tebangan logged over area yakni seluas 23 409 ha atau sekitar 50 persen dari total eks- areal MJRT. Selanjutnya diikuti oleh jenis penutupan lahan lain, diantaranya: hutan lebat seluas 14 071 ha 30 persen, perkebunan besar seluas 5 587 ha 12 persen, ladangkebun masyarakat dan semak belukar masing-masing 1 959 ha dan 1 960 ha atau dengan proporsi sekitar 4 persen. Untuk jenis penutupan lahan non-hutan alang-alang, perkebunan besar, ladangkebun masyarakat mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1988 luas lahan non hutan hanya 202 ha atau dengan proporsi 0.4 persen dari total luas lahan, namun pada tahun 2005 lahan non-hutan terdapat seluas 9 507 ha atau 20 persen dari total luas tanah. Dengan demikian, paska pengelolaan HPH, kawasan hutan pada eks-areal MJRT mengalami pengurangan, sedangkan kawasan non hutan mengalami peningkatan. 1 Untuk kondisi tahun 2000 dilaporkan oleh Hernawan 2001, penutupan lahan tipe perkebunan dan ladangkebun masyarakat terdapat 16 248 ha. Khusus untuk perkebunan besar, diperkirakan telah dibangun begitu izin perpanjangan HPH berakhir 1999. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis yang dilakukan oleh TNKS-ICDP Komponen C1 2002 dengan citra rekaman tahun 2000 dan 2001, dilaporkan bahwa perkebunan besar terdapat seluas 555 ha baik pada tahun 2000 maupun 2001.