Evaluasi ekonomi penggunaan lahan eks areal hutan konsesi di sekitar daerah penyangga taman nasional kerinci seblat

(1)

EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR

DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

KERINCI SEBLAT

MUHAMMAD RIDWANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA

TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2007

MUHAMMAD RIDWANSYAH NRP. A161020031


(3)

MUHAMMAD RIDWANSYAH. Evaluasi Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci

Seblat (BUNASOR SANIM sebagai Ketua, MUHAMMAD NUR AIDI dan

YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Penelitian ini secara umum bertujuan mengetahui dampak ekonomi penggunaan lahan eks-areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) mengevaluasi perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, (2) mengetahui biaya imbangan total (total opportunity cost) yang diakibatkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, (3) mengevaluasi dampak ekonomi internalisasi biaya lingkungan terhadap penampilan usahatani tanaman komersial yang menggunakan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, dan (4) mengevaluasi dampak ekonomi alternatif kegiatan penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS mengalami pengurangan luasan tutupan hutan dari waktu ke waktu. Pola alih fungsi hutan bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit dan ladang/kebun masyarakat merupakan jenis-jenis penggunaan lahan yang paling dominan dilakukan. Biaya imbangan total penggunaan lahan menjadi perkebunan sawit yang dikelola swasta merupakan yang paling besar, yakni mencapai Rp 191 427 700/ha/tahun. Selanjutnya diikuti penggunaan lahan menjadi ladang/kebun masyarakat, yakni mencapai Rp 118 842 600/ha/tahun. Dari total biaya imbangan, kehilangan unsur hara merupakan kerugian paling besar, rata-rata 80 hingga 90%. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit swasta memberikan dampak yang negatif, sedangkan pengusahaan kebun karet rakyat baik secara finansial maupun ekonomi menunjukkan penampilan yang baik.

Penelitian ini merekomendasikan penerapan sistem agroforestri dalam upaya pengelolaan kerusakan hutan dan lahan di eks-areal hutan konsesi. Sistem ini, secara ekonomis menunjukkan kelayakan untuk dikembangkan, tidak saja karena memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan tetapi juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan. Dalam upaya pengembangan sistem agroforestri ini, langkah-langkah yang perlu diupayakan antara lain mendorong rehabilitasi lahan kritis dengan areal yang lebih luas (ekstensifikasi), mengupayakan stabilitas harga output, mencegah peningkatan biaya produksi, dan mengupayakan penurunan suku bunga kredit pertanian.

Kata Kunci: Hutan Konsesi, Penggunaan Lahan, Valuasi Ekonomi, Dampak Ekonomi, Jasa Ekosistem


(4)

MUHAMMAD RIDWANSYAH. Economic Evaluation on Land Uses in Ex Forest Concession Areas Around Buffer Zone of Kerinci Seblat National Park (BUNASOR SANIM as Chairman, MUHAMMAD NUR AIDI and YUSMAN SYAUKAT as Members of Advisory Committee).

This research generally aims at identifying economic land use effects in ex-forest concession areas around buffer zone of Kerinci Seblat National Park (KSNP). In particular, the objectives of this research are: (1) to evaluate the change of land cover and land uses on ex-area HPH around KSNP buffer zone, (2) to find out total opportunity cost resulted by land uses on ex-area HPH around KSNP buffer zone, (3) to evaluate the economic effects of environmental cost internalization on the performance of commercial crop farming which use land ex-area HPH around KSNP buffer zone, and (4) to evaluate economic effects of alternative activities for handling critical area as the impact of land use on ex-area HPH around KSNP buffer zone.

Research findings show that ex-area HPH around KSNP buffer zone has experienced reduction on forest coverage extent. Pattern of land uses from former extracting forest to palm plantation and public plantation are dominant types of land uses carried on. Total opportunity cost of land uses into palm plantation

managed by private companies is the greatest, that is up to Rp 191 427 700/ha/year. It is then followed by land use into public farming land

or plantation, that is up to Rp 118 842 600/ha/year. The reduction of the loss of fertile soil substance is the greatest loss which is about 80-90%. The economic analyses shows that palm plantation creates negative impact while the exertion of public rubber plantation financially or economically shows good performance.

The research recommends application of agroforestry system in seeking for critical land management on former acceptable forest concession areas not only because of its potential to promote the service rendered by forest ecosystem but also for its potential to increase public income in the surrounding area. In the attempt of agroforestry system development, actions that are highly sought are (1) encouraging critical land rehabilitation through extensification, (2) seeking for output price stability, (3) preventing increase of production cost, and (4) seeking for decreasing of interest rate of agricultural credit.

Key words: Forest Concession, Land Uses, Economic Effect, Economic


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN

EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR

DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

KERINCI SEBLAT

MUHAMMAD RIDWANSYAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Hutan Konsesi Di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat

Nama Mahasiswa : Muhammad Ridwansyah Nomor Pokok : A161020031

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua

Dr. Ir. Muhamad Nur Aidi, MS. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc.

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(8)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sarolangun Bangko (sekarang Kabupaten Merangin), Provinsi Jambi pada tanggal 14 Juni 1968. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan H. Mohd Sareh (Ayah) dan Hj. Rohana (Ibu). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi (1991). Penulis melanjutkan pendidikan di University of Philippines Los Banos (UPLB) dengan beasiswa ADB-SEARCA, Higher Education Project (HEP) ADB Loan INO dan memperoleh gelar Master of Science (M.Sc) dalam bidang Agricultural Economics (1998). Kesempatan melanjutkan S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) diperoleh tahun 2002 dengan beasiswa penuh BPPS.

Ketika penulis sebagai mahasiswa S1, penulis menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I sebagai Mahasiswa Teladan/Berprestasi tingkat nasional dari Universitas Jambi (1990). Penulis menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jambi (1990 s.d 1991). Ketika menempuh pendidikan di UPLB, penulis aktif sebagai pengurus Internasional Muslim Students Association (IMSA) sebagai koordinator social affair (1997-1998). Selama menempuh pendidikan S3, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan konservasi yang dikoordinir oleh beberapa LSM/NGO diantaranya: Birdlife Indonesia, Yayasan Mangrove dan Greenomics Indonesia.

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi. Penulis banyak terlibat sebagai konsultan pada berbagai proyek konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, diantaranya sebagai Resource Economist pada: Integrated Watershed


(9)

Jambi Province Indonesia (1999-2000); Project of the ICDP- KSNP (Kerinci Seblat National Park) Component C: Integrating Biodiversity Conservation and

Non Timber Forest Product Utilization in Concession Area Management

(2000-2002); Conservation of Key Forests in Sangihe-Talaud Islands (2003); Resource

Valuation of Lorentz National Park, Papua Province (2005). Pada tahun 2006

penulis dipercaya sebagai Lead Trainer pada Environmental Law Enforcement Training, Indonesia-Australia Spesialised Training Project, Phase III (IASTP III) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan PT. Sucofindo Indonesia.

Penulis telah berkeluarga dengan Linda Susanti, SE dan dikaruniai 2 orang anak yaitu: Achmad Farras Kanzil (7 tahun) dan Farren Athasari (2,5 tahun).


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini dapat diselesaikan. Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan sabar telah banyak memberikan arahan akademik dan secara khusus bimbingan dalam penyusunan disertasi.

2. Dr. Ir. H. Muhammad Nur Aidi, M.S dan Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan disertasi penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, yang sejak awal telah memotivasi penulis mengembangkan gagasan penelitian ini. Beliau juga telah memberikan masukan penting ketika bertindak sebagai penguji luar komisi baik pada ujian tertutup maupun terbuka. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada beliau selaku Ketua Progaram Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengakomodasi upaya penulis selama menimba ilmu di Program Studi ini. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang

telah mendanai penelitian disertasi ini melalui program Hibah Pasca Sarjana – HPTP (Hibah Pasca).

5. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S yang telah memberikan koreksi ketika bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Yetty Rusli, M.Sc dan Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Ec yang telah menyampaikan masukan


(11)

luar komisi pada ujian terbuka.

6. BPTIC Dataport (Biotrop), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Badan Planologi, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang telah memberikan kemudahan dalam pengadaan data spasial.

7. Rekan-rekan mahasiswa yang terlibat dalam penelitian Hibah Pasca antara lain: Saudara Idham Khalid, SP; Ir. Hutwan Syaifuddin, M.P; Samsuri, S.Hut; Sunarti, S.P M.P; Haryanto, S.Hut dan Dr. Ir. Ardi Novra, M.P, atas bantuannya dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian dan sumbangan pemikiran yang telah diberikan.

8. Saudara Bambang Tetuko, S.Si dan Ambrosius Ari Waspodo, S.Si yang telah membantu dalam pengolahan data spasial.

9. Saudara Yeri Pasoma, Restuwardi, Ali dan Sefti yeng telah membantu dalam data entry.

10.Orang tua penulis Hj. Rohana (ibu), H. Mohd. Sareh (ayah), Hj. Fatmah (ibu mertua), dan istri penulis Nyonya Linda Susanti, SE serta anak-anak penulis Achmad Farras Kanzil dan Farren Athasari, atas dorongan motivasi dan pengertiannya selama penulis menyusun disertasi.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesian disertasi ini.

Sulit kiranya penulis dapat membalas budi baik atas bantuan-bantuan tersebut, untuk itu dengan tulus hati penulis memohonkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk membalasnya.


(12)

pengelolaan eks-areal HPH di Indonesia, khususnya yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Selain itu, temuan-temuan yang telah diperoleh dalam penelitian ini dapat bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu ekonomi lingkungan, khususnya tentang integrasi sistem informasi geografi atau

geographical informatian system (GIS) dengan penilaian atau valuasi kerusakan lingkungan.

Disadari bahwa disertasi ini masih mengandung kekurangan-kekurangan, untuk itu saran dan arahan perbaikan sangat diharapkan. Terima kasih.

Bogor, Mei 2007


(13)

i

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 9

1.6. Definisi Operasional ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Pengukuran Dampak Lingkungan ... 14

2.2. Nilai Ekonomi Hutan Tropika ... 15

2.3. Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya ... 19

2.4. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan ... 28

2.5. Telaah Penelitian Terdahulu ... 30

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 38

3.1. Penyusunan Model Teoritis... 41

3.2. Kerangka Pemikiran ... 47

IV. METODE PENELITIAN ... 57

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 57

4.2. Jenis Data yang Digunakan ... 59

4.2.1. Data Spasial ... 59

4.2.2. Data Sosial-Ekonomi ... 61

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 61

4.4. Penentuan Sampel ... 65


(14)

ii

4.5.2. Pengolahan Data Sosial dan Ekonomi ... 75

4.6. Metode Analisis ... 75

4.6.1. Analisis Citra ... 75

4.6.2. Valuasi Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH 76

4.6.3. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan ... 80

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 94

5.1. Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 94

5.1.1. Letak dan Lokasi ... 94

5.1.2. Sejarah Pengelolaan ... 94

5.1.3. Kondisi Penutupan Lahan ... 96

5.1.4. Kondisi Tanah, Kelerengan dan Kekritisan Lahan . ... 98

5.1.5. Kondisi Iklim ... 101

5.1.6. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan ... 101

5.2. Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah ... 107

5.2.1. Letak dan Lokasi ... 107

5.2.2. Sejarah Pengelolaan ... 108

5.2.3. Kondisi Penutupan Lahan ... 110

5.2.4. Kondisi Tanah dan Kekritisan lahan ... 111

5.2.5. Kondisi Iklim ... 113

5.2.6. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan ... 114

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 127

6.1. Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan ... 127

6.1.1. Eks HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 127

6.1.2. Eks HPH PT. Rimba Karya Indah ... 133

6.2. Biaya Imbangan Penggunaan Lahan ... 143

6.2.1. Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 143

6.2.1.1. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit ... 144

6.2.1.2. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat ... 146


(15)

iii

Menjadi Semak Belukar ... 149

6.2.1.4. Kerugian Ekonomi Penggunaan Hingga Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka... 151

6.2.2. Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah ... 152

6.2.2.1. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit ... 153

6.2.2.2. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat ... 154

6.2.2.3. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Semak Belukar ... 156

6.2.2.4. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Lahan Kosong/ Tanah Terbuka... 157

6.3. Dampak Ekonomi Praktik Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH 159 6.3.1. Perkebunan Kelapa Sawit yang Dikelola Swasta ... 160

6.3.2. Pengusahaan Kebun Kelapa Sawit yang Dikelola Masyarakat ... 162

6.3.3. Pengusahaan Kebun Karet yang Dikelola Masyarakat 163

6.4. Dampak Ekonomi Alternatif Rehabilitasi Eks-Areal HPH ... 164

6.4.1. Alternatif Kegiatan ... 164

6.4.2. Maksud dan Tujuan ... 168

6.4.3. Lokasi ... 169

6.4.4. Ketentuan Umum ... 169

6.4.5. Kelayakan Finansial ... 171

6.4.6. Kelayakan Ekonomi ... 172

6.4.6.1. Penyesuaian Harga Finansial Menjadi Harga Ekonomi ... 172

6.4.6.2. Nilai Manfaat Rehabilitasi ... 173

6.4.6.3. Kriteria Kelayakan ... 176

6.4.6.4. Hasil Analisis Sensitivitas ... 177

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 183


(16)

iv

7.2.1. Implikasi dan Rekomendasi ... 185

7.2.2. Penelitian Lanjutan ……... 188

DAFTAR PUSTAKA ... 190


(17)

v

Nomor Halaman 1. Areal Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Eks HPH di Sekitar

Kawasan Penyangga TNKS ... 4 2. Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang

Disediakan ... 16 3. Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan

Environmental Cost Benefit Analysis ... 29 4. Rekapitulasi Ground Control Point dari Seluruh Citra Landsat

Tematik Mapper dan Enhance Tematic Mapper di Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah ... 71 5. Rancangan Skenario Analisis Sesitivitas Alternatif Pengelolaan

Lahan Kritis di Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS ... 93 6. Kondisi Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya

Timber, Tahun 2003 ... 97 7. Jenis Tanah di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 99 8. Kondisi Kelerengan Lapangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya

Raya Timber ... 99 9. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya

Timber, Tahun 2005 ... 100 10. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya

Raya Timber, Tahun 2005 ... 101 11. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun

1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 102 12. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga ... 104 13. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di

Desa Sekitar Lokasi Penelitian... 106 14. Fungsi hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah

Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan ... 109 15. Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah


(18)

vi

Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan ... 110 17. Penyebaran Kelas Lereng di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah ... 112 18. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 2005 ... 113 19. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 2002 ... 113 20. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun

1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah ... 114 21. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga ... 117 22. Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat ... 119 23. Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat . 120 24. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di

Desa Sekitar Lokasi Penelitian... 125 25. Penutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber,

Tahun 1988-2005 ... 127 26. Rata-rata Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju

Jaya Raya Timber, Tahun 1988-2005 ... 128 27. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya

Timber, Tahun 1988-2005 ... 131 28. Rata-rata Penggunaan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya

Raya Timber, Tahun 1988-2005 ... 131 29. Perubahan Rata-rata Tutupan Hutan Eks-Areal PT. Rimba Karya

Indah ... 134 30. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 1988-1999 ... 136 31. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 1999-2002 ... 138 32. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 1988-2002 ... 141 33. Rata-rata Penggunaan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya


(19)

vii

PT. Maju Jaya Raya Timber Menurut Pola dan Periode Penggunaan Lahan yang Terjadi ... 144 35. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas

Tebangan Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 2001-2003 ... 145 36. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer

Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 1988-2001 ... 146 37. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas

Tebangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun 2003-2005 ... 147 38. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer

Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun 1988-2003 ... 148 39. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan

Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Semak Belukar, Tahun 2001-2003 ... 149 40. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal

HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Hingga Menjadi Semak Belukar, Tahun 1988-2003 ... 150 41. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju

Jaya Raya Timber Menjadi Tanah Terbuka, Tahun 1988-2003 ... 151 42. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT.

Rimba Karya Indah Menurut Periode ... 152 43. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan

Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 1999-2002 ... 153 44. Dampak Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT.

Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 1988-2002 ... 154 45. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan

Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun 1999-2002 ... 155 46. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal

HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun 1988-1999 ... 156


(20)

viii

Karya Indah Menjadi Semak Belukar, Tahun 1988-1999 ... 157 48. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan

Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun 1999-2002 ... 158 49. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal

HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun 1988-2002 ... 159 50. Ringkasan Hasil Analisis Finansial dan Ekonomi Praktik

Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Menjadi Usahatani Tanaman Komersial ... 161 51. Respon dan Harapan Masyarakat Terhadap Rencana Pengelolaan

Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah ... 165 52. Partisipasi Masyarakat Tentang Sistem Pengelolaan Lahan

Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah ... 166 53. Harapan Masyarakat dalam Sistem Pengelolaan Lahan Eks-HPH

PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah ... 167 54. Jenis Komoditi yang Diharapkan dapat Dikembangkan dalam

Rencana Pengelolaan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah ... 168 55. Ringkasan Kelayakan Hasil Analisis Finansial Alternatif

Pengelolaan Lahan pada Eks-Areal HPH. ... 172 56. Nilai Ekonomi Rehabilitasi Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah

Penyangga TNKS, Gabungan Penyangga-1 & Penyangga-2 ... 174 57. Ringkasan Hasil Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Lahan

Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS... 176 58. Ringkasan Hasil Analisis Sensitivitas Alternatif Pengelolaan Lahan


(21)

ix

Nomor Halaman 1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan:

Nilai Ekonomi Total ... 14

2. Manfaat Sosial Hutan Tropis ... 17

3. Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu .. 18

4. Keuntungan Penebangan Kayu dengan Penilaian Sosial yang Baik… ... 18

5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal ... 20

6. Representasi Surplus Konsumen dan Produsen ... 22

7. Representasi Diagram Surplus Sosial ... 23

8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ... 25

9. Penentuan Output Optimal “dengan” dan “tanpa” Biaya Eksternalitas pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi ... 26

10. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Pajak Lebih Efektif (ABD>BCE)) ... 27

11. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Standar Lebih Efektif (ABD<BCE)) ... 28

12. Kerangka Pemikiran Evaluasi Ekonomi Kegiatan Penggunaan Lahan Hutan Eks-Areal HPH di Sekitar Derah Penyangga TNKS ... 48

13. Kerangka Penilaian Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS ... 50

14. Kawasan Areal dan Eks Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga TNKS dan Lokasi Penelitian ... 60

15. Kerangka Sampel ... 66

16. Skema Pengolahan dan Analisis Data Spasial ... 68

17.1. Bagan A: Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Langkah-Langkah Utama ... 84

17.2. Bagan B: Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Pembayaran Transfer Langsung ... 85

17.3. Bagan C: Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Diperdagangkan ... 85

17.4. Bagan D: Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Tidak Diperdagangkan ... 85


(22)

x

Timber, Tahun 1988-2005 ... 130 19. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya

Timber, Tahun 1988-2005 ... 132 20. Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun

1988, 1999 dan 2002 ... 133 21. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 1988-1999 ... 136 22. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun1999-2002 ... 137 23. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya

Indah, Tahun 1988-2002 ... 139 24. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya


(23)

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki peranan ekologi penting. Kawasan seluas 1.37 juta ha ini, membentang di tengah Pulau Sumatera, di empat wilayah Provinsi. Disamping berperan penting dalam melindungi flora dan fauna yang ada di dalamnya, kawasan yang telah menjadi warisan dunia (world heritage) ini berjasa dalam pengatur tata air, konservasi tanah, dan iklim bagi wilayah sekitarnya. Dalam kaitannya dengan pengaturan tata air, Purnajaya dalam BTNKS (2006), melaporkan ekosistem TNKS merupakan hulu air penting bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Sumatera Bagian Tengah yang memberikan kontribusi hidrologis bagi areal persawahan seluas ± 10 000 000 ha.

Selain memiliki peranan ekologi yang tinggi, ekosistem TNKS memiliki peranan ekonomi bagi wilayah sekitarnya. Greenomics Indonesia (2001), mempublikasikan nilai jasa ekosistem yang diberikan kepada wilayah kabupaten perbatasan1 mencapai 63 persen dari total nilai ekonomi utamanya atau sekitar Rp 5.9 trilyun selama 10 tahun. Sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang memiliki ketergantungan paling tinggi terhadap jasa ekosositem TNKS yakni mencapai Rp 624.64 milyar/tahun atau dengan nilai bersih sekarang atau net present value (NPV) sebesar Rp 3.84 trilyun. Konsekuensi logisnya, kerusakan pada ekosistem TNKS berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap perekonomian lokal kabupaten yang berbatasan.

1 Ke-sebelas kabupaten yang berbatasan dengan TNKS, meliputi Kabupaten: Kerinci, Bungo, Sarolangun, Merangin (di Provinsi Jambi); Pesisir Selatan, Solok, Sawah Lunto/Sijunjung (di Provinsi Sumatera Barat); Bengkulu Utara, Muko Muko, Rejang Lebong (di Provinsi Bengkulu); dan Musi Rawas (Provinsi Sumatera Selatan).


(24)

Sayangnya, ekosistem TNKS hingga dewasa ini mendapat tekanan dari berbagai kegiatan ekstraktif yang berlangsung di sekitar kawasan ini. Tekanan yang paling menonjol berasal dari penggunaan lahan eks-areal hutan konsesi atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di daerah penyangga TNKS. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) maupun kegiatan eksploitasi kayu yang telah dilakukan oleh perusahaan HPH, selanjutnya diikuti oleh penggunaan lahan eks-areal HPH. Seperti dilaporkan oleh Hernawan (2001), bahwa kasus PWH yang dilakukan oleh perusahaan HPH di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu telah mengakibatkan tingkat mobilitas masyarakat ke dalam daerah penyangga TNKS untuk berusahatani, pasca pengelolaan HPH meningkat drastis. Indrizal (1995), menyatakan bahwa ladang/kebun tanaman komersial seperti di kawasan penyangga TNKS secara kompleks – cepat atau lambat namun pasti – memiliki kecenderungan mendorong ekspansi penduduk dan penetrasi perambahan lahan: ‘maju terus ke arah hutan tanpa mengenal titik balik’. Akibatnya, tekanan terhadap hutan dan degradasi ekosistem TNKS dapat terus berlanjut.

Pasca diterapkannya kebijakan otonomi daerah, praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS semakin meningkat. Pilihan-pilihan pengelolaan beralih orientasi menyediakan lahan untuk para investor perkebunan – setidaknya dimulai secara de facto di lapangan – terhadap upaya-upaya untuk mendapatkan penerimaan finansial dalam jangka pendek. Hal ini terlihat dari banyaknya Izin Pemanfaatan Kawasan (IPK) yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya penerima izin atau perusahaan, melakukan kegiatan alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit, terdapat pula beberapa kasus dimana setelah pengambilan kayu (clear cutting)


(25)

dilakukan, pihak perusahaan meninggalkan begitu saja lahan yang sudah dibuka, sehingga menambah proporsi areal lahan kosong atau terbuka.

Sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka hutan yang ada dalam kawasan eks-HPH tersebut baik berupa hutan bekas tebangan maupun hutan primer seharusnya dipertahankan karena memiliki peranan ekologis yang penting. Selain dapat melindungi TNKS dari perambahan dan kebakaran, juga dapat berperan sebagai daerah tangkapan air yang sangat penting bagi wilayah sekitarnya. Keberadaan kawasan hutan di eks-areal HPH diharapkan dapat pula mendukung kehidupan keanekaragaman hayati yang memiliki nilai penting dalam skala global, yakni memiliki sisa-sisa ekosistem hutan hujan tropis Sumatra (yang saat ini sudah mulai menuju kepunahan).

Tanpa adanya langkah-langkah nyata dan program yang konsisten dalam mengendalikan penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan lenyapnya hutan alami di daerah penyangga TNKS. Secara ekologis hal ini tidak saja akan mengakibatkan masa depan beberapa bagian TNKS akan menghadapi ancaman serius tetapi juga berdampak negatif bagi perekonomian lokal dan kesejahteraan masyarakat di wilayah sekitarnya.

Oleh karena itu diperlukan evaluasi yang seksama mengenai persoalan penggunaan lahan pada eks-areal HPH dimaksud dalam upaya pengambilan keputusan yang tepat dan bijaksana. Data dan informasi yang diperoleh dari kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menyusun alternatif pengelolaan eks-areal HPH yang terdapat di sekitar daerah penyangga TNKS.


(26)

1.2. Perumusan Masalah

Di sekitar daerah penyangga TNKS terdapat kawasan hutan produksi dengan jarak yang relatif dekat dengan kawasan TNKS. Pengelolaan kawasan ini diserahkan kepada sembilan perusahaan HPH dimana enam diantaranya sudah tidak aktif lagi melakukan kegiatan produksi yakni: PT. Duta Maju Timber, PT. Serestra I, PT. Rimba Karya Indah, PT. Maju Jaya Raya Timber, PT. Bina Samaktha, dan PT. Dirgahayu Rimba (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Areal Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Eks HPH di Sekitar Kawasan

Penyangga TNKS

Nama HPH/Eks HPH Lokasi Status Jarak ke TNKS

Luas (Ha) PT. Duta Maju Timber Sumbar Non aktif < 1 km 56 534

PT. Injapsin Jambi Aktif < 1 km 51 610 PT. Serestra I Jambi Non aktif < 1 km 60 000 PT. Serestra II Jambi Aktif < 1 km 96 000 PT. Nursa Lease Timber Co Jambi Aktif < 1 km 60 443 PT. Rimba Karya Indah Jambi Non aktif < 1 km 87 000 PT. Maju Jaya Raya Timber Bengkulu Non aktif >3 km 80 000 PT. Bina Samaktha Bengkulu Non aktif > 3 km 72 900 PT. Dirgahayu Rimba Bengkulu Non aktif > 3 km 126 000

Sumber: Laporan Teknis ICDP-TNKS, 2002

TNKS-ICDP, Komponen C1 (2002), melaporkan bahwa pada ke-enam eks areal HPH tersebut telah terjadi perubahan tutupan hutan yang cukup pesat terutama dari hutan bekas tebangan menjadi kawasan non-hutan. Pada eks-areal HPH di Provinsi Bengkulu, hingga tahun 2001 tercatat seluas 4 749 ha telah dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Mulyanto (2004), yang melakukan studi di areal konsesi PT. Duta Maju Timber (DMT) melaporkan bahwa selama kurun waktu 1999 sampai dengan 2002, sebagian besar (95 persen)


(27)

dari hutan primer yang ada pada tahun 1999, seluas 2 046 ha telah berubah, diantaranya seluas 1 449 ha mengalami degradasi (dari hutan primer menjadi hutan bekas tebangan). Sementara sisanya telah menjadi semak belukar, tanah kosong dan lahan pertanian dengan perubahan mencapai 4.6 persen atau sekitar 1.5 persen/tahun.

Menurut Sunderlin dan Ida (1999), tindakan ekstraktif terhadap kawasan hutan, tidak terlepas dari persepsi yang melihat kawasan hutan hanya terbatas pada lahan dan tegakan kayu semata. Padahal kawasan hutan memiliki fungsi ekologis, seperti pengendali banjir dan erosi, hasil hutan non-kayu dan keanekaragaman hayati yang sangat diperlukan bagi pembangunan berkelanjutan. Manakala fungsi ekologis ini diabaikan akan mendorong terjadinya kegiatan ekonomi ekspansif yang menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan fungsi-fungsi pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Persepsi seperti itu mengemuka dalam opsi penggunaan lahan (land use

options) eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Selain untuk

pembangunan perkebunan besar, penggunaan lahan eks-areal HPH yang banyak dilakukan antara lain adalah pembukaan ladang oleh masyarakat terutama untuk usahatani tanaman komersial. Pengembangan usahatani tersebut memanfaatkan kawasan hutan bekas tebangan maupun hutan primer dengan mengenyampingkan fungsi ekologis hutan. Dengan kata lain, praktik penggunaan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS telah mengabaikan biaya imbangan (opportunity cost)2 yang terkandung di dalamnya.

2

Opportunity cost adalah nilai yang dikorbankan apabila memilih satu pilihan atau apabila melakukan sesuatu tindakan tertentu. (Schmid, 1993).


(28)

Situasi ini merupakan faktor kuat yang menekan posisi tawar (bargaining position) eks-areal HPH berada pada posisi yang lemah jika dihadapkan dengan kepentingan konservasi. Artinya, manakala pilihan penggunaan lahan yang mengejar penerimaan finansial jangka pendek berhadapan dengan kepentingan untuk melindungi kawasan TNKS, maka keputusan untuk menggunakan lahan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS menjadi pilihan. Hal ini pada gilirannya mendorong terjadinya “ekonomi ekspansif” dimana target peningkatan produksi yang maksimal dilakukan melalui ekstensifikasi lahan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Pada sisi yang lain, penanganan terhadap lahan kritis akibat praktik penggunaan lahan eks-areal HPH menyisakan masalah sosial ekonomi. Program rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilaksanakan ternyata belum mampu melakukan “rekonsilitasi” antara kepentingan rehabilitasi dengan kepentingan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya dalam jangka pendek. Kurang diakomodasikannya akses dan preferensi masyarakat dalam pelaksanaan program kerap menjadi sumber penolakan dan konflik. Persoalan seperti ini mengakibatkan program kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak efektif dalam menangani kerusakan hutan dan lahan termasuk pada eks-areal HPH yang terdapat di daerah penyangga TNKS.

Pokok permasalahan yang dapat disarikan dari identifikasi masalah di atas adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya perubahan tutupan lahan yang demikian cepat dikhawatirkan menimbulkan tekanan serius terhadap ekosistem TNKS, (2) penggunaan lahan eks-areal HPH telah mengakibatkan kehilangan nilai jasa ekosistem hutan di daerah penyangga TNKS, (3) penggunaan lahan tersebut lebih


(29)

mengutamakan penerimaan finansial dalam jangka pendek, namun tidak memperhitungkan biaya imbangan yang ditimbulkan, dan (4) kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mengalami kerusakan sebagai akibat praktik alih fungsi belum mengakomodasi akses dan preferensi masyarakat sekitarnya.

Sehubungan dengan pokok persoalan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, menimbulkan tekanan yang serius terhadap keutuhan kawasan ini?

2. Berapa biaya imbangan total (total opportunity cost) kegiatan penggunaan lahan eks- areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS?

3. Bagaimana dampak ekonomi praktik penggunaan lahan eks-areal tersebut, dilihat dari sudut pandang ekonomi lingkungan?

4. Bagaimana dampak ekonomi alternatif penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak ekonomi penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Sementara, secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Mengevaluasi perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.

2. Mengetahui biaya imbangan total (total opportunity cost) yang diakibatkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.


(30)

3. Mengevaluasi dampak ekonomi internalisasi biaya lingkungan terhadap penampilan usahatani tanaman komersial yang menggunakan lahan eks-areal HPH, di sekitar daerah penyangga TNKS.

4. Mengevaluasi dampak ekonomi alternatif kegiatan penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk hal-hal berikut ini:

1. Hasil evaluasi perubahan tutupan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak seperti: Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (BTNKS), Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian dalam menyusun rencana pengelolaan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS.

2. Biaya imbangan total penggunaan lahan eks-areal HPH yang didapatkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan komitmen multi pihak dalam rangka rehabilitasi eks-areal HPH, sehingga mencegah terjadinya

underpricing terhadap harga sumberdaya hutan dan memberikan kesadaran

bahwa nilainya bukanlah sesuatu yang murah dan tak terbatas. Hal ini pada gilirannya akan lebih mendorong efisiensi dan sikap konservatif dalam menggunakan/mengalihfungsikan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS. 3. Menyajikan informasi kepada para pengambil kebijakan dan pengelola di bidang kehutanan dan pertanian mengenai kelayakan ekonomi pengusahaan alih fungsi lahan eks-areal HPH sehingga para pengambil kebijakan tersebut memiliki pertimbangan yang objektif dalam menghadapi derasnya tuntutan


(31)

masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk memanfaatkan sumberdaya eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.

4. Memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan dan pengelola hutan di tingkat operasional lapangan mengenai alokasi sumberdaya eks-areal HPH yang dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan tingkat kepuasan tertentu pada berbagai kelompok yang saling berkepentingan.

5. Dari penelitian ini dapat disampaikan rekomendasi untuk meningkatkan ketepatan setiap penggunaan lahan eks-areal HPH, dengan demikian rencana-rencana untuk pelaksanaan kegiatan dapat diperbaiki bilamana kegiatan sedang berjalan dan juga kegiatan-kegiatan yang akan datang dapat direncanakan lebih baik lagi jika kegiatan yang dievaluasi sudah selesai.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Secara umum, penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian. Pada bagian pertama dilakukan evaluasi tutupan lahan terhadap eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS yang meliputi kegiatan analisis perubahan tutupan lahan (land cover change) yang selanjutnya difokuskan pada kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH. Evaluasi perubahan penutupan lahan dilakukan di dua eks-eks-areal HPH, yakni di Kabupaten Bungo (Provinsi Jambi) dan Kabupaten Bengkulu Utara (Provinsi Bengkulu). Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode analisis citra digital untuk memperoleh hasil interprestasi citra satelit Landsat terhadap klasifikasi perubahan penggunaan eks-areal HPH dimaksud. Adapun klasifikasi perubahan tutupan lahan yang diteliti meliputi lima kegiatan alih fungsi lahan yang dominan, yakni: alih fungsi hutan primer dan hutan bekas tebangan (logged


(32)

over area atau LOA) menjadi perkebunan besar; kebun/ladang masyarakat; semak belukar, alang-alang dan lahan kosong atau tanah terbuka.

Kegiatan penggunaan lahan yang diteliti meliputi kegiatan yang dilakukan oleh swasta dan masyarakat di sekitar kawasan yang memanfaatkan kawasan hutan yang terdapat pada eks-areal HPH di sekitar penyangga TNKS untuk dijadikan lahan perkebunan. Pada penelitian ini, areal perkebunan yang dievaluasi dibatasi pada studi kasus areal tanaman yang dominan diusahakan pada eks-areal HPH, yakni perkebunan kelapa sawit dan karet.

Bagian kedua dari penelitian ini adalah evaluasi ekonomi, meliputi kegiatan valuasi ekonomi dan penentuan kelayakan ekonomi praktik penggunaan lahan. Valuasi ekonomi dalam penelitian ini meliputi kegiatan menghitung nilai kerugian yang ditimbulkan akibat praktik penggunaa lahan eks-areal HPH berupa kehilangan biaya sosial: (1) kehilangan nilai kegunaan langsung (direct use value losses), antara lain kehilangan kayu komersial dan hasil hutan non-kayu, (2) kehilangan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value losses), seperti: kehilangan pengontrol banjir, unsur hara tanah, karbon, (3) kehilangan nilai pilihan (option value losses), terdiri dari nilai pilihan dan nilai warisan, dan (4) nilai bukan kegunaan (non use value) yakni: nilai keberadaan (existence value).

Mengingat manfaat dari usaha perkebunaan demikian beragam, maka dibatasi pada total nilai manfaat yang diterima dari usahatani (on farm). Sementara, pendugaan biaya meliputi: biaya investasi, biaya produksi, biaya pemeliharaan dan biaya sosial yang terjadi di lokasi penggunaan lahan (on site). Selanjutnya dilakukan estimasi dampak penggunaan lahan pada tataran proyek (project level) yang dibatasi pada dampak ekonomi (economic effects). Dampak


(33)

ekonomi meliputi tingkat pengembalian (rate of return) suatu kegiatan penggunaan lahan. Tingkat pengembalian ini diperoleh dari hasil analisis finansial dan analisis ekonomi meliputi: tingkat pengembalian internal atau internal rate return (IRR), rasio manfaat-biaya atau benefit-cost ratio (B/C ratio), dan nilai bersih sekarang atau net present value (NPV).

1.6. Definisi Operasional

(1) Evaluasi ekonomi merupakan suatu pendekatan yang didasarkan kepada biaya dan manfaat kegiatan/proyek terhadap ekonomi secara keseluruhan, diukur dengan nilai ekonomi. Evaluasi ini mengkaji seluruh dampak kegiatan ekonomi, termasuk konsekuensi lingkungan (Asian Development Bank, 1996).

(2) Dampak ekonomi (economic effects) merujuk pada pengertian yang dikembangkan oleh Gittinger (1982). Dalam penelitian ini dampak ekonomi didefinisikan sebagai tingkat pengembalian (rate of return) suatu kegiatan alih fungsi lahan di eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. (3) Valuasi ekonomi adalah proses mengenakan nilai (atau harga) kepada

sumberdaya dan lingkungan eks-areal HPH di sekitar penyangga TNKS yang tidak diperjualbelikan di pasar atau tidak dihargai secara benar. (4) Perubahan tutupan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS

yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keadaan lahan yang karena manusia, mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda.

(5) Pilihan penggunaan lahan (land use options) adalah tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk memanfaatkan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS untuk dijadikan lahan perkebunan.


(34)

(6) Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukan bumi.

(7) Lahan perkebunan diartikan sebagai lahan yang penggunaannya untuk menghasilkan komoditas komersial, meliputi penggunaan lahan untuk tanaman kelapa sawit, karet, kopi, kayu manis dan sebagainya.

(8) Lahan hutan merupakan daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase penutup tajuk) 10 persen atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan kayu atau produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim dan tata air lokal. Lahan yang tutupan tajuknya kurang dari 10 persen, tetapi lahan tersebut belum dimanfaatkan untuk penggunaan yang lain, maka lahan tersebut masih termasuk hutan. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998).

(9) Biaya imbangan (opportunity cost) adalah manfaat yang dikorbankan apabila memilih melakukan alih fungsi lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS (Schmid, 1993).

(10) Pengertian daerah penyangga dalam penelitian ini mengacu pada pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, bahwa daerah penyangga TNKS adalah wilayah yang berada di luar kawasan TNKS, baik kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan TNKS.

(11) Reboisasi adalah upaya penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998).


(35)

(12) Reboisasi partisipatif adalah melibatkan peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dengan melakukan penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak di dalam kawasan hutan dalam rangka meningkatkan penggunaan lahan kritis di eks-areal HPH.

(13) Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau yang diharapkan. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998).


(36)

2.1. Pengukuran Dampak Lingkungan

Setiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya alam, disamping menimbulkan manfaat, dapat pula menimbulkan biaya dalam bentuk penurunan aliran jasa lainnya atau disebut sebagai dampak dari kegiatan tersebut. Dikemukakan oleh Freeman III (1992), nilai dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan ekonomi dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan nilai ekonomi total atau total economic value (TEV)1.

Pagiola, Ritter and Bishop (2004), menyusun representasi TEV seperti disajikan pada Gambar 1. Nilai penggunaan (use value) adalah nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tak langsung. Nilai penggunaan langsung (direct use value) adalahbarang dan jasasumberdaya dan

lingkungan yang digunakan langsung oleh manusia2.

Sumber: Pagiola, Ritter and Bishop, 2004

Gambar 1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan: Nilai Ekonomi Total

1

Freeman III (1992), mendefinisikan nilai ekonomi total sistem sumberdaya dan lingkungan merupakan

penjumlahan dari nilai sekarang yang terdiskon (discounted presentvalue) dari aliran semua jasa.

2 Pagiola, Ritter and Bishop (2004), membedakan nilai penggunaan langsung menjadi

consumptive use dan

non-consumptive use. Consumptive use misalnya adalah pemanenan produk makanan, kayu bakar, kayu untuk

konstruksi, tanaman obat-obatan dan satwa buruan untuk dimakan, dan non-consumptive use seperti kegiatan

wisata alam dan aktivitas budaya yang tidak memerlukan pemanenan produk.

Total Economic Value (TEV)

Use value Non- use value

Direct use value: 1. Consumptive 2. Non- consumptive

Indirect use value Option Value 1. Option 2. Bequest


(37)

Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) adalah nilai

ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan sebagai pengatur tata air, penyerapan karbon, iklim mikro dan pencegah erosi. Nilai pilihan (option

value) diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan

barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang, baik bagi dirinya sendiri (option value)

maupun bagi yang lainnya/ahli warisnya (bequest value).

Nilai bukan penggunaan (non use value) merupakan nilai keuntungan

yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan tanpa bermaksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka memberikan nilai secara murni pada sumberdaya alam, dengan harapan keberadaan sumberdaya hutan dapat dipertahankan terus-menerus. Nilai ini juga tercermin dari banyak pihak ingin memberi uang, waktu, ataupun barang untuk membantu melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah.

2.2. Nilai Ekonomi Hutan Tropika

Kim (2002), menjelaskan hutan tropika sangat berperan terhadap keberadaan manusia di bumi ini, yaitu dapat menjamin dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Karena pemanfaatan hutan tropika selama ini lebih banyak berorientasi pada kayu, memacu kerusakan dan kehilangan sumberdaya lainnya seperti keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi hutan.

Tabel 2 menjelaskan jenis-jenis ekosistem dan jasa lingkungan yang disediakan oleh masing-masing ekosistem. Namun, karena kawasan hutan


(38)

dikonversi menjadi peruntukan lainnya, mengakibatkan jasa ekosistem hutan terbatas atau tidak lengkap. Sebagai contoh konversi hutan menjadi ladang mengakibatkan kehilangan sumberdaya dan lingkungan antara lain: penyediaan air bersih, kayu dan hasil hutan non-kayu, serta pencegah bencana alam.

Tabel 2. Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang Disediakan

Ekosistem

Jasa ekosistem

Persawahan La

d a ng Hu tan Perk otaa n

Airdalam tan

ah Pesisi r La u t

Polar Gu

n

ung

pula

u

Air bersih • • • • •

Makanan • • • • • • • • • •

Kayu dan hasil hutan non-kayu • • •

Produk baru (novel product) • • • • •

Pengaturan keanekaragaman hayati • • • • • • • • • •

Konservasi tanah • • • • • •

Kualitas udara dan Iklim • • • • • • • • • •

Kesehatan manusia • • • • •

Penawar racun • • • • • •

Mencegah bencana alam • • • •

Budaya • • • • • • • • • •

Sumber : Millenium Ecosystem Assesment dalam Pagiola, Ritter and Bishop, 2004

Suparmoko (2002), mengidentifikasi beberapa dampak negatif dari penebangan hutan tropika, diantaranya adalah hilangnya kayu hutan dan hasil ikutannya, dan ada kemungkinan timbulnya erosi tanah sehingga beberapa jenis tanaman ikut hilang atau menurun produktivitasnya. Untuk menghitung nilai kayu yang hilang digunakan angka volume kayu yang hilang dikalikan dengan rente ekonomi per unit (unit rent)3.

3 Rente ekonomi (economic rent) adalah nilai yang harus dibayarkan kembali kepada pemerintah

sebagai agen yang memperhatikan kepentingan umum dan menjaga terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan (Suparmoko, 2002:45)


(39)

Untuk keperluan evaluasi penggunaan lahan hutan tropika, perlu diidentifikasi terlebih dahulu sumberdaya apa saja yang disediakan oleh suatu hutan tropis. Hutan tropis diibaratkan oleh Godoy (1992), sebagai kue lapis yang terdiri atas berbagai tipe manfaat. Pada Gambar 2, garis vertikal (aksis Y) merupakan nilai dollar untuk barang-barang dan jasa hutan meliputi: (1) rente kayu komersial, (2) hasil hutan non-kayu, (3) eksternalitas, (4) wisata, dan (5) keanekaragaman hayati. Garis horizontal (aksis X) menunjukkan dimensi waktu.

5. Keanekaragaman hayati 4. wisata

3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial

Gambar 2. Manfaat Sosial Hutan Tropis

Suatu perusahaan akan melakukan investasi untuk menggunakan lahan hutan jika nilai sekarang atau net present value (NPV) adalah positif yang

ditunjukkan dalam Gambar 3 dimana area A lebih besar dari area B. Area B

merepresentasikan biaya investasi awal seperti pembangunan jalan, pembelian mesin, dan lain sebagainya. A merepresentasikan manfaat finansial bersih yang

diperoleh perusahaan dari satu kali produksi. (-)

waktu 0

$ (+)


(40)

Gambar 3. Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu Seperti diilustrasikan pada Gambar 4, perusahaan hanya akan menanamkan modalnya jika A’>B+B merupakan biaya investasi dan B’ atau

(X1, X5, X6, X4) merupakan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan kepada

pemerintah sebelum produksi dimulai. Segi empat (X5, X2, X3, X6)

merepresentasikan pemindahan manfaat dari perusahaan kepada pemerintah. Oleh karena itu, keuntungan bersih (net gain) perusahaan adalah sebesar

A’(keuntungan) dikurangi B (biaya investasi), sementara kerugian bersih (net

losses) perusahaan sebesar B’ (pembayaran bersih kepada pemerintah).

5. Keanekaragaman hayati 4. Wisata

3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial

Gambar 4. Keuntungan Penebangan Kayu dengan Penilaian Sosial yang Baik (-)

0

B

A

waktu $

(+)

(-)

waktu b

$ (+)

X4 X6

X5

X1 X2

X3

A’

B B’


(41)

2.3. Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya

Umumnya para ekonom menggunakan kriteria efisiensi untuk mengevaluasi alokasi sumberdaya dan prioritas kegiatan pada suatu proyek atau kebijakan. Konsep efisiensi yang menjadi dasar adalah pareto efficiency atau

pareto optimal. Suatu kegiatan ekonomi atau proyek dikatakan memiliki alokasi

sumberdaya yang efisien atau optimal menurut Just and Schmitz (1982), jika tidak ada lagi alternatif pengalokasian yang akan meningkatkan sekurang-kurangnya satu orang menjadi lebih baik (better off) situasinya tanpa membuat

pihak lainnya lebih buruk (worse off).

Namun dalam kenyataannya kondisi optimal ini jarang ditemui, tetap saja ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan suatu kegiatan ekonomi atau disebut juga dengan pareto-inferior. Keadaan ini dapat dilihat dari timbulnya

eksternalitas atau dampak eksternal bagi pihak lain. Secara umum eksternalitas didefinisikan sebagai pengaruh yang diterima oleh pihak lain sebagai akibat dari kegiatan ekonomi. Lebih spesifik lagi disampaikan oleh Fauzi (2004), bahwa eksternalitas terjadi jika kegiatan ekonomi (produksi atau konsumsi) dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak.

Intervensi pemerintah paling tidak ditujukan untuk menghilangkan eksternalitas dan menciptakan alokasi sumberdaya dengan kondisi

pareto-superior. Pada kondisi pareto-improvement ini paling tidak, terdapat seorang yang

kedudukannya menjadi lebih baik, sedangkan tidak seorangpun yang kedudukannya menjadi lebih buruk (Panayotou, 1997).


(42)

Teori ekonomi standar mengenai ekternalitas diilustrasikan seperti Gambar 5 dimana Q merepresentasikan kegiatan ekonomi; MNPB (marginal net private

benefit) merupakan tambahan manfaat bersih dari perubahan satu unit tingkat

kegiatan ekonomi; dan MEC (marginal external cost) adalah nilai tambahan

kerusakan lingkungan dari kegiatan ekonomi. Saat kegiatan ekonomi berada pada

Q* merupakan kondisi sosial yang diinginkan dimana tingkat eksternalitas berada

dalam kondisi yang optimal yakni sebesar area B. Namun, kondisi ini sulit dicapai karena pihak swasta sebagai operator kegiatan ekonomi, melakukan intensitas kegiatan ekonomi yang lebih tinggi, yakni pada tingkat QΠ. Pada tingkat ini

manfaat bersih yang diperoleh swasta sebesar area A+B, namun menimbulkan

tingkat eksternalitas yang merugikan (cost) sebesar area C + D.

Sumber: Pearce and Turner, 1990

Ilustrasi pada Gambar 5 ini memberikan proposisi penting bahwa konsep eksternalitas tidak lain adalah perbedaan antara biaya swasta (private cost) dan

biaya sosial (social costs). Pearce and Turner (1990) mengatakan, jika perbedaan Gambar 5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal

Q* O

Cost, benefit

MEC

D MNPB

A X

C Y


(43)

ini tidak diatur, maka pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan (eksternalitas negatif) akan terus beroperasi pada titik dimana manfaat yang

diterima sebesar area A + B + C, namun biaya eksternalitas (negative externality)

yang ditimbulkan adalah sebesar area B + C + D, sehingga manfaat sosial bersih

atau net social benefit (NSB) yang diterima = (A + B + C) – (B + C + D).

Panoyotou (1997), memahami bahwa NSB merupakan selisih antara manfaat kotor yang diterima dengan manfaat yang diabaikan (opportunity costs).

Manfaat bersih yang diterima konsumen disebut dengan consumer surplus (CS).

Sedangkan manfaat bersih yang diterima oleh produsen disebut dengan producer

surplus (PS). Dengan demikian NSB adalah penjumlahan antara perubahan

consumer surplus dan producer surplus Δ (CS + PS) yang disebut juga dengan

social surplus (pengertian ini diringkas seperti terlihat pada Kotak 1).

Kotak 1. Ringkasan: Net Social Benefit (Panayotou, 1997)

Dalam bentuk grafik, CS ditunjukkan dengan area di bawah kurva permintaan (demand curve) yang sekaligus mengekspresikan marginal benefit

(MB) dari output kebijakan atau proyek. Sedangkan PS ditunjukkan dengan area di atas kurva penawaran (yang mengekspresikan marginal opportunity cost) dan

di bawah tingkat harga (Gambar 6).

Dari penjelasan di atas diperoleh pengetahuan penting bahwa dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, biaya eksternalitas identik dengan total biaya imbangan atau total opportunity cost (diindikasikan dalam Gambar 6). Ini

Net Social Benefits:

= Benefit gained (added) – benefit given up (opportunity cost)

= Δ(net benefit to consumer) + Δ (net benefit to producers)

= Δ (willingness to pay – actual payments)+ Δ (revenus – opportunity cost)


(44)

diperkuat oleh Pearce and Turner (1990), yang menyatakan opportunity cost dan

eksternalitas merupakan dua cara pandang yang berbeda dalam melihat masalah yang sama.

Sumber: Panayotou, 1997

Jika kedua kurva pada Gambar 6 digabung, maka diperoleh diagram representasi surplus sosial (social surplus) seperti terlihat pada Gambar 7. Pada

pasar persaingan yang berfungsi dengan baik dan tidak ada kegagalan pasar

(market failure), pasar berada pada kondisi keseimbangan, yakni: (1)

memaksimumkan surplus sosial, dan (2) mencapai pareto efisien.

Q* adalah tingkat kegiatan ekonomi yang mengalami efisiensi alokatif.

Gangguan terhadap proses keseimbangan ini akan merubah alokasi sumberdaya, selanjutnya akan menurunkan surplus sosial sehingga terjadi distorsi ekonomi. Sebaliknya, adanya eksternalitas negatif atau manfaat yang diabaikan menyebabkan terjadinya suatu alokasi yang tidak efisien.

0

Q Q

Rp

P

Q* CS

Actual Payment

Rp

0 P

Q* PS

Total willingnes to pay

Total opportunity cost D=MB=MWTP

S=MC


(45)

Sumber: Panayotou, 1997

Secara konsepsual, alternatif pengendalian eksternalitas negatif yang ideal dikenal dengan the first best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui

bargaining” dan”negotiation” antara pihak perusahaan yang menimbulkan

dampak (pollutant) dengan masyarakat yang terkena polusi (suffer). Mekanisme

yang digunakan dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini adalah pemberian kompensasi sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

Mengingat target the first best policy ini sulit dicapai, maka telah

dikembangkan konsep the second best policy dimana pengendalian polusi

dilakukan melalui intervensi pemerintah. Penerapan tindakan ini tidak akan menghilangkan dampak negatif polusi tetapi dalam konteks mengupayakan agar masyarakat menerima manfaat yang lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkan atau dikenal dengan prinsip society benefit > society cost.

Dalam upaya menerapkan prinsip kemasyarakatan ini kedalam pengelolaan hutan, Fauzi (2004), mengedepankan pentingnya pengukuhan hak

Gambar 7 Representasi Diagram Surplus Sosial Q Q*

O Rp

S=MC

D=MB=MWTP

P

Allocative Efficiency Net Social Benefit

= Social Surplus = CS + PS

PS CS

Total opportunit


(46)

kepemilikan (assigning property rights)4 dan pemberian akses kepada masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengukuhan hak akan meningkatkan manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas. Pengukuhan hak

kepemilikan akan efektif, hanya jika diketahui persis pihak mana yang melakukan eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bisa dihitung dan tawar-menawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Hal ini dimungkinkan karena pemberian hak akan meningkatkan gains (manfaat

ekonomi) dari salah satu pihak dengan menurunkan gains dari pihak lain.

Fauzi (2004), mengembangkan empat kemungkinan kombinasi yang dapat digunakan untuk memberikan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat menjamin pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Tipe pertama, hak kepemilikan sumberdaya berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari;

Tipe kedua, sumberdaya dimiliki secara individu (private) dengan akses yang

terbatas. Pada tipe ini karakterteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; Tipe ketiga adalah kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe ini akan melahirkan ”the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang

dihasilkan dari sumberdaya alam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna; Tipe keempat, suatu kombinasi yang jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan seperti ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap

4 Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004), menjelaskan bahwa hak kepemilikan akan terkukuhkan dengan

baik (well-define property right) jika memenuhi karakteristik: (1) hak milik tersebut dikukuhkan

pemilikannya baik secara individu maupun kolektif, (2) eksklusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya

penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi hak (tanggung jawab) pemilik sumberdaya, (3) transferable

(dapat dipindah-tangankan) karena hak pemilikan yang transferable akan menimbulkan insentif untuk

mengkonservasi (melestarikan) sumberdaya tersebut, dan (4) terjamin (secure), dengan adanya jaminan

memiliki maka akan timbul insentif untuk memperbaiki atau memperkaya sumberdaya tersebut selama


(47)

intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah, sehingga sumberdaya akan cepat terkuras habis.

Hubungan antara hak kepemilikan dan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam digambarkan Fauzi (2204), dalam bentuk bagan. Sayangnya bagan yang ditampilkan belum sepenuhnya menggambarkan konsekuensi dari masing-masing akses (terbuka dan terbatas). Hal ini perlu diketengahkan karena setiap keputusan pengelolan yang dipilih harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu dilakukan modifikasi gambar Fauzi (2004), menjadi sebagai berikut.

Sumber: Fauzi, 2004 (dimodifikasi)

Gambar 8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam

Selain mengupayakan pengukuhan hak kepemilikan, tindakan lainnya yang dapat dilakukan adalah ’menginternalkan’ dampak yang ditimbulkan, yakni memasukkan komponen biaya eksternal sehingga diperoleh output yang optimal. Teori ekonomi standar untuk menentukan ouput optimal adalah ’Coase Theorem

(Coase, 1960 dalam Pearce and Turner, 1990). Pada kasus produksi komoditas yang menimbulkan eksternalitas negatif, dapat dijelaskan dalam Gambar 9.

Hak Kepemilikan

Komunal

Negara

Individu

Akses terbatas (Limited acces) Akses terbuka (Open acces)

Kerusakan sumberdaya alam tidak terkendali

Kerusakan sumberdaya alam terkendali


(48)

Gambar 9 pada prinsipnya menjelaskan tentang pengaruh internalisasi biaya eksternal terhadap tingkat keluaran (output) suatu kegiatan ekonomi. Tanpa

memasukkan biaya eksternal (internalisasi) tingkat output optimal terjadi pada saat MNPB=MEC atau pada tingkat Q2. Namun jika biaya eksternal tidak diperhitungkan, tingkat output yang diusahakan pada tingkat Q1. Hal inilah yang Gambar 9. Penentuan Output Optimal “dengan” dan “tanpa” Biaya Eksternalitas

pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi Q Polusi

Output= Q 0

Q2

Q of Polution

Output Q 0 MNPB, MEC Output=Q 0 MEC Biaya bencana polusi Output=Q 0

Total damage pollution Q1

Q3

Q2 Q1

Q3

Q2 Q1

Q3

Q2 Q1

Q3

MNPB

MEC

Polusi yang belum mengeluarkan biaya eksternal untuk

menghilangkan polusi yang sama dengan batas ambang polusi

Q3=tingkat output yang polusinya

belum memerlukan biaya eksternal

Q1=tingkat output tanpa

memperhitungkan biaya eksternal

Q2=tingkat output optimal yang telah

memperhitungkan biaya eksternal atau kondisi tercapainya polusi optimal


(1)

Lampiran 18c. Analisis Finansial Perkebunan Kelapa Sawit PT. Alno Agro

Utama, di Eks-Areal HPH MJRT, Kabupaten Bengkulu Utara

Tahun

Umur

Kebun

(Th)

Laba/rugi

sebelum PPH

(Rp)

PPH 30%

(Rp)

Laba/rugi

setelah PPH

(Rp)

Pengembalian

Biaya

Penyusutan

(Rp)

Pembayaran

Hutang Pokok

(Rp)

1994

0

(7,796,820)

-

(7,796,820)

-

-

1995

1

(11,020,193)

-

(11,020,193)

-

-1996

2

(11,773,809)

-

(11,773,809)

-

-

1997

3

(13,342,044)

-

(13,342,044)

-

-

1998

4

(16,242,460)

-

(16,242,460)

194,153

(16,242,460)

1999

5

(4,209,112)

-

(4,209,112)

388,008

(4,209,112)

2000

6

5,481,338

1,644,401

3,836,937

521,354

3,836,937

2001

7

14,144,280

4,243,284

9,900,996

734,778

9,900,996

2002

8

23,247,484

6,974,245

16,273,239

734,778

16,273,239

2003

9

34,545,613

10,363,684

24,181,929

734,778

24,181,929

2004

10

42,264,720

12,679,416

29,585,304

734,778

29,585,304

2005

11

49,228,193

14,768,458

34,459,735

734,778

34,459,735

2006

12

55,382,780

16,614,834

38,767,946

734,778

2007

13

54,368,464

16,310,539

38,057,925

734,778

2008

14

54,677,864

16,403,359

38,274,505

734,778

2009

15

53,874,658

16,162,397

37,712,261

734,778

2010

16

52,299,192

15,689,757

36,609,434

734,778

2011

17

49,811,168

14,943,350

34,867,818

734,778

2012

18

47,409,229

14,222,769

33,186,461

734,778

2013

19

44,539,146

13,361,744

31,177,403

734,778

2014

20

41,689,170

12,506,751

29,182,419

734,778

2015

21

38,991,983

11,697,595

27,294,388

734,778

2016

22

36,298,617

10,889,585

25,409,032

734,778

2017

23

32,740,295

9,822,088

22,918,206

734,778

2018

24

29,900,799

8,970,240

20,930,559

734,778

2019

25

27,666,749

8,300,025

19,366,724

734,778

TOTAL

724,177,304

236,568,523 487,608,782

15,064,306

97,786,567

NPV

=

18,145,715.60

IRR

=

20%


(2)

Lampiran 19. Analisis Finansial

Kebun Kelapa Sawit Masyarakat

di Eks-Areal HPH MJRT, Bengkulu utara

URAIAN

TAHUN KE-

0

1

2

3

4

5

6 s.d 10

11

12

16 s.d 24

12 s.d 15

A. Biaya tenaga kerja

a.

Menebas

1,200,000

- - - - - -

b.

Menebang

800,000

- - - - - -

c. Membakar dan memanduk

400,000

-

-

-

-

-

-

-

-

-

d.

Memasang

pancang 240,000

- - - - - -

e. Membuat lobang

560,000

-

-

-

-

-

-

-

-

-

f. Penanaman

1,600,000

-

-

-

-

-

-

-

-

-

g. Penyiangan rumput

960,000

960,000

960,000

960,000

960,000

960,000

960,000

960,000

960,000

960,000

h. Pemanenan

160,000

-

-

160,000

1,360,000

1,360,000

1,360,000

1,360,000

1,360,000

1,360,000

B. Biaya Alat

a. Ember @ Rp. 5.000

20,000

-

-

-

-

-

-

20,000

-

-

b. Cangkul @ Rp. 40.000

160,000

-

-

-

-

-

-

160,000

-

-

c. Alat dodos, @ Rp. 30.000

120,000

-

-

-

-

-

-

120,000

-

-

d. Gancu, @ Rp. 5.000

20,000

-

-

-

-

-

-

20,000

-

-

e. Alat semprot, @ Rp. 190.000

380,000

-

-

-

-

-

-

380,000

-

-

f. Arit, Rp. 15.000

60,000

-

-

-

-

-

-

60,000

-

-

g. Parang, @ Rp. 10.000

40,000

-

-

-

-

-

-

40,000

-

-

h. Kereta sorong, @ Rp. 130.000

260,000

-

-

-

-

-

-

260,000

-

-

c. Penyusutan peralatan

5%/tahun

- 53,000

46,500

46,500

46,500

46,500

46,500 - 46,500

46,500

C. Biaya bahan

a. Bibit kelapa

sawit+penyulaman

4,200,000

- - - - - -

b. Urea @ %Rp. 1.500

675,000

1,350,000

1,350,000

1,350,000

1,800,000

-

-

-

-

-

c. TSP @ Rp.2.000

1,800,000

1,800,000

1,200,000

1,200,000

1,200,000

-

-

-

-

-

d. KCL @ Rp. 2.500

1,125,000

2,250,000

1,500,000

1,500,000

1,500,000

-

-

-

-

-

e. Roundap @ Rp. 40.000

1,680,000

1,680,000

1,120,000

1,120,000

1,120,000

-

-

-

-

-

f. Metafuron @ Rp. 5.000

210,000

210,000

140,000

140,000

140,000

140,000

140,000

140,000

140,000

70,000

D. Angkutan

300,000 -

- 300,000

300,000

300,000

300,000

300,000

300,000

300,000

E. Lain-lain

64,000 64,000 64,000 64,000 64,000

64,000

64,000 64,000 64,000 64,000

G. Pajak Bumi dan Bangunan

76,000 76,000 76,000 76,000 76,000

76,000

76,000 76,000 76,000 76,000

Total Biaya

17,110,000 8,443,000 6,456,500 6,916,500 8,566,500 2,946,500 2,946,500 3,960,000 2,946,500 2,876,500

Penjualan hasil panen (TBS)

- - - -

19,200,000

28,800,000

38,400,000

38,400,000

38,400,000

38,400,000

Total Laba/Rugi

(17,110,000) (8,443,000) (6,456,500) (6,916,500) 10,633,500 25,853,500 35,453,500 34,440,000 35,453,500 35,523,500

NPV

72,078,995

IRR

36%


(3)

Lampiran 20. Analisis Finansial

Kebun Karet Masyarakat

di Eks-Areal HPH RKI, Kabupaten Muara Bungo, Jambi

URAIAN TAHUN KE-

- 1 2 3 s.d 4 5 6 7 8 9 10 11 12 s.d 24

BIAYA A. Biaya tenaga kerja

a. Menebas 500,000 - - - -

b. Menebang 700,000 - - - -

c. Membakar dan memanduk 400,000 - - - -

d. Memasang pancang 120,000 - - - -

e. Membuat lobang 280,000 - - - -

f. Membuat pagar 500,000 - - - -

g. Membuat pondokan 175,000 - - - -

h. Penanaman 225,000 - - - -

i. Penyiangan rumput 375,000 375,000 375,000 375,000 - - - -

j. Pemanenan - - - - 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000

B. Biaya Alat

a. Galon getah @ Rp. 60.000 - - - - 120,000 - - - -

b. Bak getah @ Rp. 25000 - - - - 25,000 - - - -

c. Cangkul @ Rp. 40.000 80,000 - - - 160,000 -

d. Garpu, @ Rp. 30.000 60,000 - - - 120,000 -

e. Pisau sadap, @ Rp. 7.500 30,000 - - - 20,000 -

f. Alat semprot, @ Rp. 60.000 200,000 - - - 380,000 -

g. Arit, Rp. 15.000 60,000 - - - 60,000 -

h. Parang, @ Rp. 10.000 20,000 - - - 40,000 -

i. Kawat, @ Rp. 10.000 20,000 - - - 260,000 -

j. Tempurung kelapa 450,000 450,000 450,000 450,000 450,000 450,000 450,000 450,000

k. Cuka @ Rp.7500 - - - - 86,250 108,750 127,500 142,500 157,500 180,000 180,000 180,000

l. Penyusutan peralatan 5%/tahun - 23,500 23,500 23,500 23,500 23,500 23,500 23,500 23,500 23,500 - 23,500

C. Biaya bahan

a. Bibit karet+penyulaman 3,710,000 - - - -

b. Urea @ %Rp. 1.500 - - - -

c. TSP @ Rp.2.000 - - - -

d. KCL @ Rp. 2.500 - - - -

e. Pestisida @ Rp. 56.000 3,600,000 3,600,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 - -

f. Atap pondok @ Rp. 500.000 500,000 - - - -

g. Papan dinding pondokan@ Rp. 400.000 1,250,000 - - - -

D. Angkutan 300,000 - - 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 e. Pembayaran PBB 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 7,000 E. Lain-lain 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 Total Biaya 13,176,000 4,069,500 2,869,500 3,169,500 7,475,750 7,353,250 7,372,000 7,387,000 7,402,000 7,424,500 6,041,000 5,024,500 MANFAAT

A. Karet segar - - - - 12,190,000 15,370,000 18,020,000 20,140,000 22,260,000 25,440,000 25,440,000 25,440,000

B. Kayu karet tua - - - - - - - - -

Total manfaat - - - - 12,190,000 15,370,000 18,020,000 20,140,000 22,260,000 25,440,000 25,440,000 25,440,000 Total Laba/Rugi (13,176,000) (4,069,500) (2,869,500) (3,169,500) 4,714,250 8,016,750 10,648,000 12,753,000 14,858,000 18,015,500 19,399,000 20,415,500


(4)

Lampiran 21. Analisis Finansial Rehabilitasi Eks-Areal HPH,

Alternatif Pengelolaan 1: 70% Tanaman Kayu + 30% Tanaman Buah + Tanaman

Sela

URAIAN

TAHUN KE-

0 1 s.d 3 4 s.d 9 10, 12 s.d 14 11 15 s.d 17 18 s.d 19 20 s.d 22 23 s.d 30 BIAYA

A. Pembuatan persemaian

a. Bibit meranti dan bibit durian - - - -

b. Polybag @ Rp. 300 166,800 - - - -

B. Biaya tenaga kerja

a. Mempersiapkan lahan (swadaya) - - - -

b. Memasang pancang (swadaya) - - - -

c. Membuat lobang (swadaya) - - - -

d. Penanaman (swadaya) - - - -

f. Membuat pondokan 175,000

g. Membuat pagar 625,000

h. Penyiangan rumput (swadaya) - - - -

i. Pemanenan (swadaya) - - - -

C. Biaya Alat

a. Cangkul @ Rp. 40.000 80,000 - - - 160,000 - - - -

b. Garpu, @ Rp. 30.000 60,000 - - - 120,000 - - - -

c. Alat semprot, @ Rp. 60.000 400,000 - - - 380,000 - - - -

d. Arit, Rp. 15.000 60,000 - - - 60,000 - - - -

e. Parang, @ Rp. 10.000 20,000 - - - 40,000 - - - -

D. Biaya bahan/input

a. Pupuk dasar (NPK) a) 100,000 100,000 - - - -

b. Herbisida b) 330,000 330,000 - - - -

d. Pestisida c) 9,000 9,000 - - - -

f. Atap pondok @ Rp. 500.000 500,000 g. Papan dinding pondokan@ Rp. 400.000 1,250,000 E. Insentif

a. Insentif penangkar bibit d) 708,900 -

b. Insentif pemeliharaan tanaman e) 1,125,900 1,125,900

F. Angkutan hasil panen tnmn utama - - - 252,000 252,000 252,000 252,000 484,800 484,800 G. Pajak Bumi dan Bangunan 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 H. Lain-lain 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 Total Biaya 5,731,600 1,685,900 121,000 373,000 1,133,000 373,000 373,000 605,800 605,800 MANFAAT

a. Buah durian (84 batang/ha) - - - 6,048,000 7,560,000 7,560,000 9,072,000

b. buah nenas - 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000

c. Getah damar (194 batang/ha) - - - 13,968,000 13,968,000

Total manfaat - 960,000 960,000 960,000 960,000 7,008,000 8,520,000 22,488,000 24,000,000 Total Laba/Rugi (5,731,600) (725,900) 839,000 587,000 (173,000) 6,635,000 8,147,000 21,882,200 23,394,200

NPV 59,862,052

IRR 19%


(5)

URAIAN

TAHUN KE-

0 1 s.d 3 4 5 6 7 8 9 10 15 s.d

17 18 s.d 21 22 s.d 30 BIAYA

A. Pembuatan persemaian

a. Bibit karet dan bibit durian - - - -

b. Polybag @ Rp. 300 285,600 - - - -

B. Biaya tenaga kerja

a. Mempersiapkan lahan (swadaya) - - - -

b. Memasang pancang (swadaya) - - - -

c. Membuat lobang (swadaya) - - - -

d. Penanaman (swadaya) - - - -

e. Membuat pondokan swadaya) 175,000 f. Membuat pagar ((swadaya) 625,000

g. Penyiangan rumput (swadaya) - - - -

h. Pemanenan (swadaya) - - - -

C. Biaya Alat

a. Cangkul @ Rp. 40.000 80,000 - - - -

b. Garpu, @ Rp. 30.000 60,000 - - - -

c. Alat semprot, @ Rp. 60.000 400,000 - - - -

d. Arit, Rp. 15.000 60,000 - - - -

e. Parang, @ Rp. 10.000 20,000 - - - -

D. Biaya bahan/input

a. Pupuk dasar (NPK) a) 100,000 100,000 - - - -

b. Herbisida b) 330,000 330,000 - - - - - - - -

d. Pestisida c) 9,000 9,000 - - - - - - - -

f. Atap pondok @ Rp. 500.000 500,000 g. Papan dinding pondokan@ Rp. 400.000 1,250,000 E. Insentif

a. Insentif penangkar bibit d) 714,000 -

b. Insentif pemeliharaan tanaman e) 1,428,000 1,428,000

F. Angkutan hasil panen tnmn utama - - - - - - - - - 714,000 714,000 1,268,400

G. Pajak Bumi dan Bangunan 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 H. Lain-lain 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 Total Biaya 6,157,600 1,988,000 121,000 121,000 121,000 121,000 121,000 121,000 121,000 835,000 835,000 1,389,400 MANFAAT

A. Penjualan hasil panen/output

a. Buah durian (238 batang/ha) - - - - - - - - - 17,136,000 21,420,000 25,704,000

b. buah nenas 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000

c. SIR-20 (238 batang/ha) - - - 12,190,000 15,370,000 18,020,000 20,140,000 22,260,000 25,440,000 25,440,000 25,440,000 25,440,000

Total manfaat 960,000 960,000 960,000 13,150,000 16,330,000 18,980,000 21,100,000 23,220,000 26,400,000 43,536,000 47,820,000 52,104,000 Total Laba/Rugi (5,197,600) (1,028,000) 839,000 13,029,000 16,209,000 18,859,000 20,979,000 23,099,000 26,279,000 42,701,000 46,985,000 50,714,600

NPV = 69,338,096 IRR = 5.2% BCR = 7.8


(6)

 

Lampiran 23. Analisis Finansial Rehabilitasi Lahan Kritis di Eks-Areal HPH,

Alternatif Pengelolaan 3 : 50% Tanaman Karet + 50% Tanaman Kayu + Tanaman

Sela

Uraian Tahun ke

0 1 s.d 3 4 s.d 10 11 12 s.d 14 15 s.d 19 20 s.d 21 22 s.d 30 BIAYA

A. Pembuatan persemaian

a. Bibit karet dan bibit durian - - - -

b. Polybag @ Rp. 300 285,600 - - - -

B. Biaya tenaga kerja

a. Mempersiapkan lahan (swadaya) - - - -

b. Memasang pancang (swadaya) - - - -

c. Membuat lobang (swadaya) - - - - - - - -

d. Penanaman (swadaya) - - - -

f. Membuat pondokan 175,000

g. Membuat pagar 625,000

g. Penyiangan rumput (swadaya) - - - -

h. Pemanenan (swadaya) - - - -

C. Biaya Alat

a. Cangkul @ Rp. 40.000 80,000 - - 160,000 - - - -

b. Garpu, @ Rp. 30.000 60,000 - - 120,000 - - - -

c. Alat semprot, @ Rp. 60.000 400,000 - - 380,000 - - - -

d. Arit, Rp. 15.000 60,000 - - 60,000 - - - -

e. Parang, @ Rp. 10.000 20,000 - - 40,000 - - - -

D. Biaya bahan/input

a. Pupuk dasar (NPK) a) 100,000 100,000 - - - - -

b. Herbisida b) 330,000 330,000 - - - -

d. Pestisida c) 9,000 9,000 - - - -

f. Atap pondok @ Rp. 500.000 500,000

g. Papan dinding pondokan@ Rp. 400.000 1,250,000

E. Insentif

a. Insentif penangkar bibit d) 357,000 -

b. Insentif pemeliharaan tanaman e) 595,000 595,000

F. Angkutan hasil panen tnmn utama - - - 714,000 714,000 714,000 1,268,400 1,268,400

G. Pajak Bumi dan Bangunan 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000 57,000

H. Lain-lain 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000 64,000

Total Biaya 4,967,600 1,155,000 121,000 1,595,000 835,000 835,000 1,389,400 1,389,400

MANFAAT

A. Penjualan hasil panen/output 6

a. Buah durian (238 batang/ha) - - - 17,136,000 21,420,000 25,704,000

b. buah nenas 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000

c. Getah damar (238 batang/ha) - - - 33,264,000 33,264,000

Total manfaat 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 18,096,000 55,644,000 59,928,000

Total Laba/Rugi (4,007,600) (195,000) 839,000 (635,000) 125,000 17,261,000 54,254,600 58,538,600